Senin, 11 Maret 2013

AGAMA ISLAM MEMANDANG AGAMA LAIN


Dialog Antar Umat Beragama:
AGAMA ISLAM MEMANDANG AGAMA LAIN
Oleh : Chrisnov M. Tarigan Sibero

II.        Pembahasan
2.1. Sekilas Mengenai Agama Islam
Kata Islam berasal dari kata ‘as la ma – yus li mu – Is la man’ artinya, tunduk, patuh, menyerahkan diri. Kata Islam terambil dari kata dasar “sa la ma” atau “sa li ma” yang artinya selamat, sejahtera, tidak cacat, tidak tercela. Dari akar kata “sa la ma” itu juga terbentuk kata “salmon”, “silmun” artinya damai patuh dan menyerahkan diri. Sedangkan kata agama, menurut bahasa Al-Qur’an banyak digunakan kata din, istilah yang lain juga digunakan oleh Al-Qur’an misalnya millah, shalat. Orang-orang Muslim sepakat bahwa ada lima pilar kepercayaan:
·         Percaya hanya kepada satu Allah
·         Percaya kepada nabi-nabi Allah
·         Percaya kepada kitab-kitab Allah
·         Percaya kepada malaikat-malaikat
·         Percaya kepada hari penghakiman[1]

2.2. Agama Islam Memandang Agama Lain
Alquran mengariskan bahwa perbedaan adalah kehendak Ilahi yang berlaku dalam kehidupan ini, demi kelangsungan hidup manusia. Karena itu, seorang Muslim memahami, bahwa perbedaan agama adalah kenyataan yang dikehendaki Allah. Dalam Alquran ada tertulis:
Untuk tiap-tiap umat di antara kamu Kami berikan aturan dan jalan. Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat, tetapi Allah hendak menguji kamu menyangkut anugerah-Nya kepadamu, maka berlomba-lomba berbuat kebajikan (Q.s.5: 48).
Ayat di atas menegaskan bahwa seorang muslim akan memahami bahwa perbedaan agama dan karenanya pula perbedaan pendapat adalah kehendak Allah. Untuk menjamin terwujudnya persaudaraan di antara sesama umat manusia, Allah memberikan beberapa petunjuk sesuai dengan jenis setiap persaudaraan. Al-Qur’an menganjurkan kita (umat Islam) untuk mencari titik singgung dan titik temu antar-agama.[2]
Menurut Nurcholish, agama Islam memandang agama lain adalah:  Pertama, Islam mengajarkan bahwa agama Tuhan adalah universal, karena Tuhan telah mengutus Rasul-Nya kepada setiap umat manusia. Kedua, Islam mengajarkan pandangan tentang kesatuan nubuwwah (kenabian) dan umat yang percaya kepada Tuhan. Ketiga, agama yang dibawa Nabi Muhammad adalah kelanjutan langsung agama-agama sebelumnya, khususnya yang secara “genealogis”  paling dekat ialah agama-agama Semitik-Abrahamik. Keempat, umat Islam diperintahkan untuk menjaga hubungan yang baik dengan orang-orang beragama lain, khususnya para penganut kitab suci (Ahl al-Kitab). Semua prinsip itu mengarah pada ajaran “tidak boleh ada paksaan dalam agama”. [3]
Dalam ayat lain juga dikemukan bahwa “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat” (Q. 11:118). Dari ayat ini dapat dipahami bahwa kalau Tuhan mau, dengan sangat mudah akan menciptakan manusia dalam satu group, monolitik, dan satu agama, tetapi Allah tidak menghendaki hal-hal tersebut. Tuhan malah menunjukkan kepada realita, bahwa pada hakikatnya manusia itu berbeda-beda dan atas dasar inilah orang berbicara tentu keberagaman agama. Dalam Q. 2:213, disebutkan “Manusia itu adalah satu umat (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pembawa kabar berita dan pemberi peringatan, dan beserta mereka Dia turunkan kitab-kitab dengan benar, supaya Dia bisa memberi keputusan antara manusia tentang pekara yang mereka perselisihkan”. Dalam ayat ini muncul 3 fakta yaitu kesatuan umat dibawah satu Tuhan; kekhususan agama-agama yang dibawa oleh para nabi; dan peranan wahyu (kitab suci) dalam mendamaikan perbedaan diantara berbagai umat beragama. Ketiganya adalah konsepsi fundamental Al-Qur’an tentang keberagaman agama. Disatu sisi, konsepsi itu tidak mengingkari kekhususan berbagai agama, disisi lain konsepsi itu juga menekankan kebutuhan untuk mengakui titik temu atau kesatuan manusia dan kebutuhan untuk menumbuhkan pemahaman yang lebih baik antar umat beragama. Kemajemukan sangat dihargai dalam ajaran Islam, karena Islam sebagai Al-din merupakan agama Allah yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan. Salah satu fitrah itu adalah kemajemukan yang hakikatnya bersumber dari ajaran agama.[4]

2.2.1. Sikap Ekslusif Islam terhadap Agama Lain
Dalam Surah Ali Imran 3:85 berbunyi: Barang siapa yang mencari agama selain agama Islam maka sekali-kali tidak akan diterima, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi. Dan surah Ali Imran 3:19 berbunyi: Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.[5]
Ciri sikap ekslusif dalam Islam -- yang menganggap bahwa kebenaran dan keselamatan (truth and salvation) suatu agama, menjadi monopoli agama tertentu. Sementara agama lain, diberlakukan bahkan ditetapkan standar lain yang sama sekali berbeda; “salah dan karenanya tersesat ditengah jalan”. Hal ini sudah masuk ke wilayah state of mind kita. Cara pandang suatu komunitas agama (religious community) terhadap agama lain, dengan menggunakan cara pandang agamanya sendiri. Teologi Ekslusif; tanpa menyisakan ruang toleransi untuk berempati, apalagi simpati; “bagaimana orang lain memandang agamanya sendiri”.[6]
Yang utama dalam agama Islam adalah beriman kepada Allah Yang Mahakuasa, yang dengan kuat ditegakkan oleh Nabi Muhammad saw. Keselamatan dicapai oleh semua orang yang tunduk kepada Allah, yaitu hidup menurut aturanNya sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Alquran diterima sebagai wahyu yang langsung dari Allah hingga Nabi Muhammad saw (melalui Malaikat Jibril) dan karenanya hal itu menjadi dasar bagi semua ajaran Islam.[7] S
Sikap ini ekslusif sudah dimulai dari masa Khalifah Umar Ibnul-Khatthab pada masa awal pemerintahannya. Ia mengutus Ya’laa bin Umayyah ke Najran untuk memindahkan kaum Nasrani dari negeri itu. Alasannya ialah karena Rasulullah saw telah bersabda: “Di Jazirah Arabia jangan sampai ada dua agama berkumpul (di satu tempat). Karena itu tidak dikhendaki adanya percampuran mereka dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani.[8]

2.2.2. Sikap Inklusif Islam terhadap Agama Lain
Dari segi teologis, Islam memberikan landasan agamawi bagi para pemeluknya untuk menerima keberadaan agama-agama lain dan untuk mengadakan hubungan baik dengan agama-agama lain. Sikap umat Islam terhadap agama lain dan pola hubungan mereka dengan umat agama-agama lain dijelaskan oleh Kitab Suci Al-quran dan sesuai dengan konteks zamannya diterjemahkan oleh Nabi Muhammad dalam kehidupan bermasyarakat sebagaimana terabadikan dalam sunnah nabawi atau tradisi kenabian.[9]
Ide utama dari teologi inklusif adalah pemahamannya untuk memahami pesan Tuhan. Semua kitab suci (Injil, Zabur, Taurat dan Al-Quran) itu pesan Tuhan, diantaranya pesan Taqwa (QS, 4:131). Taqwa disini bukan sekedar tafsiran klasik, seperti sikap patuh kehadirat Tuhan. Sebagaimana Cak Nur paparkan bahwa :
“Pesan Tuhan itu bersifat universal dan merupakan kesatuan esensial semua agama samawi, yang mewarisi Abrahamic Religion, yakni Yahudi (Nabi Musa), Kristen (Nabi Isa), dan Islam (Nabi Muhammad). Lewat firman-Nya Tuhan menekankan agar kita berpegang teguh kepada agama Itu, karena hakikat dasar agama-agama itu (sebagai pesan Tuhan) adalah satu dan sama . Agama Tuhan, pada esensinya sama, baik yang diberikan kepada Nabi Nuh, Musa, Isa atau kepada Nabi Muhammad.[10]
Penafsir-penafsir modern juga menunjukkan keragaman pandangan dalam sikapnya yang inklusif. Muhammad Abduh berpendapat bahwa syarat pertama, yakni beriman kepada Allah, tidak harus dibatasi dengan keimanan menurut cara Islam. Selanjutnya, Rasyid Ridha, murid Abduh, ikut memperkuat pendapat gurunya. Ia mengakui bahwa keimanan sejati kepada Allah dapat juga ditemukan diluar Islam. Lain halnya dengan Al-Thabathabai, yang mengatakan bahwa Allah tidak memandang pada agama tertentu, tapi yang penting adalah substansi dan esensi yang terkandung dalam agama itu. Selama tiga syarat (beriman, percaya akan hari kemudian dan perbuatan baik) terpenuhi janji Tuhan akan terlaksana.[11]

2.2.3. Sikap Pluralis Menurut Agama Islam
Secara etimologi, pluralisme agama, berasal dari dua kata, yaitu "pluralisme" dan "agama". Dalam bahasa Arab diterjemahkan "al-ta'addudiyyah al-diniyyah"6 dan dalam bahasa Inggris "religious pluralism". Oleh karena istilah pluralisme agama berasal dari bahasa Inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus merujuk kepada kamus bahasa tersebut. Pluralism berarti "jama'" atau lebih dari satu.[12]
Al-Qur'an (Q.S. al-Baqarah [2]: 148), mengakui masyarakat terdiri berbagai macam komunitas yang memiliki orientasi kehidupan sendiri-sendiri. Manusia harus menerima kenyataan keragaman budaya dan agama serta memberikan toleransi kepada masing-masing komunitas dalam menjalankan ibadahnya. Pada dasarnya setiap manusia mempunyai kebebasan untuk meyakini agama yang dipilihnya dan beribadat menurut keyakinan tersebut. Dalam Al-Qur'an banyak ayat yang berbicara tentang penerimaan petunjuk atau agama Allah. Penerimaan terhadap sebuah keyakinan agama adalah pilihan bebas yang bersifat personal. Barang siapa yang sesat berarti ia menyesatkan dirinya sendiri (QS. al-Isra’[17]:15). Orang yang mendapat petunjuk yang benar tidak akan ada yang menyesatkannya (QS. al-Zumar [39]: 37) dan orang yang sesat dari jalan yang benar tidak akan ada yang dapat menunjukinya selain Allah (Qs. al-Zumar [39]: 9). Selain prinsip tidak ada paksaan dalam agama (QS al-Baqarah [2]: 256), juga dikenal prinsif "untuk kalian agama kalian, dan untukku agamaku". (QS al- Kafirun [109]: 6).[13]
Secara normatif, dalam Al-Qur’an teradapat bebeapa ayat yang isinya mengarah pada nilai-nilai pluralisme. Misalnya ayat 13 dari surat Al-Hujarat : “Hai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu sekalian dari laki-laki dan perempuan serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suka supaya kamu saling mengenal. Sesunguhnya orang yang paling mulia di antar kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. 49 : 13). Ayat ini dapat dipahami sebagai konsep kemajemukan umat manusia secara univeral dalam Islam. Selanjutnya dalam hal kehidupan keberagamaan manusia, Al-Qur’an juga telah menerapkan beberapa prinsip kebebasan, dan toleransi beragama, antara lain dapat digali dari ayat-atat berikut : “Tidak ada paksaan untuk(memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah” (QS. 2 : 256) “Dan jika Tuhanmu menghendaki tentulah beriman semua orang di muka bumi seluruhnya, maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya?” (QS. 10 : 99). “ Dan katakanlah :”Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, maka barang siapa yang ingin beriman silakan beriman, dan barang siapa yang ingin ingkar silahkan ingkar” (QS. 109 : 6). Juga firman Allah yang artinya “Bagimu agamamu, dan bagiku agama ku” (QS :109 : 6). [14]
Pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita mejemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralism. Pluralism juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai “kebaikan negative”, hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme. Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban”. Bahkan pluralism adalah juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Dalam Kitab Suci justru disebutkan bahwa Allah menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesame manusia guna memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada umat manusia (lih. Al-quran, QS Al-Baqarah 2:251).[15]

2.2.4. Etika Islam Terhadap Agama Lain (Kafir)[16]
Orang Islam berkeyakinan bahwa selain agama Islam, seluruh agama itu batil, para penganutnya adalah kafir. Islam adalah agama yang hak, begitu juga kebenaran mengikutinya karena sesungguhnya yang benar-benar mengikutinya termasuk orang-orang beriman dan berserah diri. (Al-Dzariyat: 56; Ali Imran: 85; Al-Maidah: 3). Dengan adanya berita-berita yang benar dari Allah, maka orang Islam berkeyakinan bahwa agama-agama yang datang sebelum Islam terhapus oleh Islam. Islam itu sendiri merupakan agama bagi seluruh manusia yang bersifat universal. Allah tidak akan menerima agama seseorang selain agama Islam, dan tidak meridai selain syariatNya. Dari sini orang Islam berkeyakinan bahwa orang yang tidak beragama dengan agama Allah adalah kafr, kepada mereka diperlakukan etika bersama orang-orang kafir:
1.      Tidak menyokong kekafiran, tidak meridai karena jika meridainya, berarti dia sendiri telah kafir.
2.      Membencinya dan mencintainya karena Allah.
3.      Tidak boleh mengangkatnya sebagai pemimpin (Al-Imran:28; Al-Mujadilah:22).
4.      Diperlakukan dengan adil dan baik-baik (Al-Mumthahanah: 8)
5.      Mengasihinya dengan bentuk kasih sayang yang bersifat umum.
6.      Tidak diperkenankan menyakitinya baik menyangkut harta, darah, atau kehormatannya.
7.      Jika orang kafir seperti orang Yahudi dan Nasrani, boleh diberi hadiah.
8.      Tidak menyerupai orang kafir dalam hal yang tidak penting.

2.2.5. Dialog Antar Umat Beragama Dalam Agama Islam
2.2.4.1. Landasan Historis Dialog Antar Agama
Persoalan dialog agama[17], bukanlah sesuatu yang baru bagi umat Islam. Pada masa awal Islam telah banyak berbagai peristiwa yang memberikan petunjuk kepada kita bahwa praktek-praktek persentuhan umat Islam dengan umat non-Islam telah dipraktekkan secara riil dalam kehidupan bermasyarakat dan bemegara. Peristiwa penting yang dapat dijadikan landasan kesejarahan adalah Perjanjian Kaum Muslimin dengan kaurn Yahudi di Madinah.
Masyarakat Madinah pada awal berdirinya Negara Islam adalah masyarakat yang plural. Disamping orang-orang Islam yang secara politis adalah elit politik terdapat pula masyarakat Yahudi dan penganut-penganut agama nenek moyang. Karena pluralisme masyarakat inilah maka
untuk mewujudkan stabilitas yang tentram dan aman, maka Nabi Muhammad SAW mengadakan suatu perjanjian dengan masyarakat non-muslim yaitu Piagam Madinah. Suatu piagam yang menjamin hak dan kebebasan beragama bagi orang-orang Yahudi dan kelompok-kelompok non muslim lainnya. Kemerdekan dan kebebasan beragama dijamin, dan seluruh masyarakat baik muslim ataupun non-muslim berkewajiban untuk mempertahankan keamanan Negara dari serangan luar.[18]

2.2.4.2. Pandangan Islam terhadap Dialog Antar Agama
Disamping redaksi Al-Qur’an yang pluralis, kandungan ayat Al-Qur’an sendiri menginsyaratkan nilai-nilai keberagaman, bahkan Al-Qur’an telah menanamkan kaidah-kaidah mendasar bagi keberagaman agama, diantaranya:
1. Kebebasan beragama. Setiap manusia oleh Islam diberikan kebebasan untuk menentukan agama apa yang dianut. Disamping memberikan kebebasan, Islam juga melarang adanya pemaksaan dalam agama. Prinsip ini merupakan dalil paling jelas bagi dialog antar umat beragama, dan dalam banyak ayat Al-Qur’an menjelaskan prinsip ini dengan tegas (Q. 22:256; 10:108; 17:15; 18:29).
2. Al-Qur’an menegaskan sikap penerimaannya terhadap agama-agama selain Islam untuk hidup berdampingan. Yahudi, Kristen, agama-agama lain diakui sepenuhnya eksistensinya oleh Al-Qur’an (Q. 2:62).
Al-Qur’an mendorong kaum Muslim untuk bekerjasama dengan orang lain demi menengakkan keadilan dan kebenaran. Al-Qur’an dan teladan nabi mendukung kerja sama dan solidaritas antar iman untuk keadilan dan kebenaran. Solidaritas ini dilandasi oleh kehendak yang sama untuk perdamaian dan ketentraman, dan perjuangan menentang ketidakadilan demi menciptakan dunia yang aman, bagi umat manusia. Sikap Islam terhadap keberadaan agama lain berdiri diatas prinsip kesejajaran, toleransi dan saling melengkapi. Inilah pilihan yang paling baik karena keberagaman agama yang lebih baik dari pada satu agama. Dengan satu agama kondisi saling berlomba dalam berbagai kebajikan tidak akan tercipta. Satu agama tidak akan mampu merespon dinamika kemanusian. Sikap toleran dan melengkapi jelas lebih baik daripada sikap saling berseberangan dari puluhan agama.[19]

III.       Daftar Pustaka
Amin, Ahmad, Islam dari Masa Ke Masa, Bandung: Remaja Rosdakarya: 1993.
Anwar, Syafi’I, Agama dan Pluralitas Masyarakat Bangsa, Jakarata : P3M, 1994
Darmaputera, Eka, Strugglin in Hope, Jakarta: BPK-GM, 2004.
Esack, Farid, Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan Yang Tertindas, Bandung: Mizan, 2000
Hilikal, Husain, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta: Utera Antamusa, 1990
Jabir El-Jazair, Abu Bakar, Pola Hidup Muslim (Etika), Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990
Ka'bah, Riyal, Nilai-Nilai Pluralisme Dalam Islam, Bingkai gagasan yang berserak, (Ed.) Suruin, Bandung : Penerbit Nuansa, 2005
Madjid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Tealaah Kritis Tentang Masalah Keimanan Kemanusiaan dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina, 1992.
Madjid, Nurcholis, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Jakarta: Mizan, 1987.
Mahmudunnasir, Syed, Islam: Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1981.
Munawar, Budhy, Argumen Islam Untuk Pluralisme “Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya”, Jakarta: Gransindo, 2008
Munawar,Budhy, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta: Srigunting, 2004.
Shenk, David W., Ilah-Ilah Global (Menggali Peran Agama-Agama dalam Masyarakat Modern), Jakarta: BPK-GM, 2006
Shibab, Alwi, Islam Inklusif, Jakarta: Mizan, 1998.
Stokhof , W.A.L., Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia (Beberapa Permasalahan), Jakarta : INIS, 1990
Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-Agama Di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2007


[1] David W. Shenk, Ilah-Ilah Global (Menggali Peran Agama-Agama dalam Masyarakat Modern), Jakarta: BPK-GM, 2006, hlm. 341
[2] Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-Agama Di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2007,hlm. 9
[3]W.A.L. Stokhof, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia (Beberapa Permasalahan), Jakarta : INIS, 1990, hlm. 108-109 
[4] Budhy Munawar, Argumen Islam Untuk Pluralisme “Islam Progresif dan Perkembangan Diskursusnya”, Jakarta: Gransindo, 2008, hlm. 92-93
[5] Alwi Shibab, Islam Inklusif, Jakarta: Mizan, 1998, hlm. 78
[6] Norcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Jakarta: Mizan, 1987, hlm. 70
[7] Syed Mahmudunnasir, Islam: Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1981, hlm. 3
[8] Ahmad Amin, Islam dari Masa Ke Masa, Bandung: Remaja Rosdakarya: 1993, hlm. 169
[9] Eka Darmaputera, Strugglin in Hope, Jakarta: BPK-GM, 2004, hlm. 507
[10] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Tealaah Kritis Tentang Masalah Keimanan Kemanusiaan dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina, 1992, hlm. 226
[11] Alwi Shibab, Op.cit., hlm. 79-80
[12] Riyal Ka'bah, Nilai-Nilai Pluralisme Dalam Islam, Bingkai gagasan yang berserak, (Ed.) Suruin, Bandung : Penerbit Nuansa, 2005, hlm. 68.
[13] Ibid, hlm. 69-70
[14] Syafi’i Anwar, Agama dan Pluralitas Masyarakat Bangsa, Jakarata : P3M, 1994, hlm. 223
[15] Budhy Munawar, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta: Srigunting, 2004, hlm. 39
[16] Abu Bakar Jabir El-Jazair, Pola Hidup Muslim (Etika), Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990, hlm.
[17] Dialog antar umat beragama bermanfaat dalam memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai perspektif-prespektif yang berbeda. David W. Shenk, Op.cit, hlm. 346
[18] Husain Hilikal, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta: Utera Antamusa, 1990, hlm. 205.
[19] Farid Esack, Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan Yang Tertindas, Bandung: Mizan, 2000, hlm. 232

Tidak ada komentar:

Posting Komentar