Dialog Antar Umat
Beragama:
AGAMA
ISLAM MEMANDANG AGAMA LAIN
Oleh
: Chrisnov M. Tarigan Sibero
II. Pembahasan
2.1. Sekilas Mengenai Agama Islam
Kata
Islam berasal dari kata ‘as la ma – yus li mu – Is la man’ artinya, tunduk,
patuh, menyerahkan diri. Kata Islam terambil dari kata dasar “sa la ma” atau
“sa li ma” yang artinya selamat, sejahtera, tidak cacat, tidak tercela. Dari
akar kata “sa la ma” itu juga terbentuk kata “salmon”, “silmun” artinya damai
patuh dan menyerahkan diri. Sedangkan kata agama, menurut bahasa Al-Qur’an
banyak digunakan kata din, istilah
yang lain juga digunakan oleh Al-Qur’an misalnya millah, shalat. Orang-orang Muslim sepakat bahwa ada lima pilar
kepercayaan:
·
Percaya hanya kepada satu Allah
·
Percaya kepada nabi-nabi Allah
·
Percaya kepada kitab-kitab Allah
·
Percaya kepada malaikat-malaikat
·
Percaya kepada hari penghakiman[1]
2.2. Agama Islam Memandang Agama
Lain
Alquran mengariskan bahwa perbedaan adalah
kehendak Ilahi yang berlaku dalam kehidupan ini, demi kelangsungan hidup
manusia. Karena itu, seorang Muslim memahami, bahwa perbedaan agama adalah
kenyataan yang dikehendaki Allah. Dalam Alquran ada tertulis:
Untuk tiap-tiap umat di antara kamu Kami berikan aturan dan jalan.
Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat, tetapi
Allah hendak menguji kamu menyangkut anugerah-Nya kepadamu, maka berlomba-lomba
berbuat kebajikan (Q.s.5:
48).
Ayat di atas menegaskan bahwa seorang muslim
akan memahami bahwa perbedaan agama dan karenanya pula perbedaan pendapat
adalah kehendak Allah. Untuk menjamin terwujudnya persaudaraan di antara sesama
umat manusia, Allah memberikan beberapa petunjuk sesuai dengan jenis setiap
persaudaraan. Al-Qur’an menganjurkan kita (umat Islam) untuk mencari titik
singgung dan titik temu antar-agama.[2]
Menurut Nurcholish, agama Islam memandang agama lain
adalah: Pertama, Islam mengajarkan bahwa agama Tuhan adalah universal, karena
Tuhan telah mengutus Rasul-Nya kepada setiap umat manusia. Kedua, Islam mengajarkan pandangan tentang kesatuan nubuwwah
(kenabian) dan umat yang percaya kepada Tuhan. Ketiga, agama yang dibawa Nabi Muhammad adalah kelanjutan langsung
agama-agama sebelumnya, khususnya yang secara “genealogis” paling dekat ialah agama-agama
Semitik-Abrahamik. Keempat, umat
Islam diperintahkan untuk menjaga hubungan yang baik dengan orang-orang
beragama lain, khususnya para penganut kitab suci (Ahl al-Kitab). Semua prinsip itu mengarah pada ajaran “tidak boleh
ada paksaan dalam agama”.
[3]
Dalam
ayat lain juga dikemukan bahwa “Jikalau
Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka
senantiasa berselisih pendapat” (Q. 11:118). Dari ayat ini dapat dipahami
bahwa kalau Tuhan mau, dengan sangat mudah akan menciptakan manusia dalam satu
group, monolitik, dan satu agama, tetapi Allah tidak menghendaki hal-hal
tersebut. Tuhan malah menunjukkan kepada realita, bahwa pada hakikatnya manusia
itu berbeda-beda dan atas dasar inilah orang berbicara tentu keberagaman agama.
Dalam Q. 2:213, disebutkan “Manusia itu
adalah satu umat (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi
sebagai pembawa kabar berita dan pemberi peringatan, dan beserta mereka Dia
turunkan kitab-kitab dengan benar, supaya Dia bisa memberi keputusan antara
manusia tentang pekara yang mereka perselisihkan”. Dalam ayat ini muncul 3
fakta yaitu kesatuan umat dibawah satu Tuhan; kekhususan agama-agama yang
dibawa oleh para nabi; dan peranan wahyu (kitab suci) dalam mendamaikan
perbedaan diantara berbagai umat beragama. Ketiganya adalah konsepsi
fundamental Al-Qur’an tentang keberagaman agama. Disatu sisi, konsepsi itu
tidak mengingkari kekhususan berbagai agama, disisi lain konsepsi itu juga
menekankan kebutuhan untuk mengakui titik temu atau kesatuan manusia dan
kebutuhan untuk menumbuhkan pemahaman yang lebih baik antar umat beragama.
Kemajemukan sangat dihargai dalam ajaran Islam, karena Islam sebagai Al-din
merupakan agama Allah yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan. Salah satu fitrah
itu adalah kemajemukan yang hakikatnya bersumber dari ajaran agama.[4]
2.2.1. Sikap Ekslusif Islam
terhadap Agama Lain
Dalam
Surah Ali Imran 3:85 berbunyi: Barang
siapa yang mencari agama selain agama Islam maka sekali-kali tidak akan
diterima, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi. Dan surah
Ali Imran 3:19 berbunyi: Sesungguhnya
agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.[5]
Ciri
sikap ekslusif dalam Islam -- yang menganggap bahwa kebenaran dan keselamatan
(truth and salvation) suatu agama, menjadi monopoli agama tertentu. Sementara
agama lain, diberlakukan bahkan ditetapkan standar lain yang sama sekali
berbeda; “salah dan karenanya tersesat
ditengah jalan”. Hal ini sudah masuk ke wilayah state of mind kita. Cara pandang suatu komunitas agama (religious community) terhadap agama
lain, dengan menggunakan cara pandang agamanya sendiri. Teologi Ekslusif; tanpa
menyisakan ruang toleransi untuk berempati, apalagi simpati; “bagaimana orang lain memandang agamanya
sendiri”.[6]
Yang
utama dalam agama Islam adalah beriman kepada Allah Yang Mahakuasa, yang dengan
kuat ditegakkan oleh Nabi Muhammad saw. Keselamatan dicapai oleh semua orang
yang tunduk kepada Allah, yaitu hidup menurut aturanNya sebagaimana dicontohkan
oleh Nabi Muhammad saw. Alquran diterima sebagai wahyu yang langsung dari Allah
hingga Nabi Muhammad saw (melalui Malaikat Jibril) dan karenanya hal itu
menjadi dasar bagi semua ajaran Islam.[7]
S
Sikap
ini ekslusif sudah dimulai dari masa Khalifah Umar Ibnul-Khatthab pada masa
awal pemerintahannya. Ia mengutus Ya’laa bin Umayyah ke Najran untuk
memindahkan kaum Nasrani dari negeri itu. Alasannya ialah karena Rasulullah saw
telah bersabda: “Di Jazirah Arabia jangan
sampai ada dua agama berkumpul (di satu tempat). Karena itu tidak
dikhendaki adanya percampuran mereka dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani.[8]
2.2.2. Sikap Inklusif Islam
terhadap Agama Lain
Dari
segi teologis, Islam memberikan landasan agamawi bagi para pemeluknya untuk
menerima keberadaan agama-agama lain dan untuk mengadakan hubungan baik dengan
agama-agama lain. Sikap umat Islam terhadap agama lain dan pola hubungan mereka
dengan umat agama-agama lain dijelaskan oleh Kitab Suci Al-quran dan sesuai
dengan konteks zamannya diterjemahkan oleh Nabi Muhammad dalam kehidupan
bermasyarakat sebagaimana terabadikan dalam sunnah nabawi atau tradisi
kenabian.[9]
Ide utama dari teologi inklusif
adalah pemahamannya untuk memahami pesan Tuhan. Semua kitab suci (Injil, Zabur,
Taurat dan Al-Quran) itu pesan Tuhan, diantaranya pesan Taqwa (QS, 4:131).
Taqwa disini bukan sekedar tafsiran klasik, seperti sikap patuh kehadirat
Tuhan. Sebagaimana Cak Nur paparkan bahwa :
“Pesan
Tuhan itu bersifat universal dan merupakan kesatuan esensial semua agama
samawi, yang mewarisi Abrahamic Religion, yakni Yahudi (Nabi Musa), Kristen
(Nabi Isa), dan Islam (Nabi Muhammad). Lewat firman-Nya Tuhan menekankan agar
kita berpegang teguh kepada agama Itu, karena hakikat dasar agama-agama itu
(sebagai pesan Tuhan) adalah satu dan sama . Agama Tuhan, pada esensinya sama,
baik yang diberikan kepada Nabi Nuh, Musa, Isa atau kepada Nabi Muhammad.”[10]
Penafsir-penafsir
modern juga menunjukkan keragaman pandangan dalam sikapnya yang inklusif.
Muhammad Abduh berpendapat bahwa syarat pertama, yakni beriman kepada Allah,
tidak harus dibatasi dengan keimanan menurut cara Islam. Selanjutnya, Rasyid
Ridha, murid Abduh, ikut memperkuat pendapat gurunya. Ia mengakui bahwa
keimanan sejati kepada Allah dapat juga ditemukan diluar Islam. Lain halnya
dengan Al-Thabathabai, yang mengatakan bahwa Allah tidak memandang pada agama
tertentu, tapi yang penting adalah substansi dan esensi yang terkandung dalam
agama itu. Selama tiga syarat (beriman, percaya akan hari kemudian dan
perbuatan baik) terpenuhi janji Tuhan akan terlaksana.[11]
2.2.3. Sikap Pluralis Menurut Agama
Islam
Secara
etimologi, pluralisme agama, berasal dari dua kata, yaitu "pluralisme"
dan "agama". Dalam bahasa Arab diterjemahkan "al-ta'addudiyyah
al-diniyyah"6 dan dalam bahasa Inggris "religious pluralism".
Oleh karena istilah pluralisme agama berasal dari bahasa Inggris, maka untuk
mendefinisikannya secara akurat harus merujuk kepada kamus bahasa tersebut.
Pluralism berarti "jama'" atau lebih dari satu.[12]
Al-Qur'an (Q.S.
al-Baqarah [2]: 148), mengakui masyarakat terdiri berbagai macam komunitas yang
memiliki orientasi kehidupan sendiri-sendiri. Manusia harus menerima kenyataan
keragaman budaya dan agama serta memberikan toleransi kepada masing-masing
komunitas dalam menjalankan ibadahnya. Pada dasarnya setiap manusia mempunyai
kebebasan untuk meyakini agama yang dipilihnya dan beribadat menurut keyakinan
tersebut. Dalam Al-Qur'an banyak ayat yang berbicara tentang penerimaan petunjuk
atau agama Allah. Penerimaan terhadap sebuah keyakinan agama adalah pilihan
bebas yang bersifat personal. Barang siapa yang sesat berarti ia menyesatkan
dirinya sendiri (QS. al-Isra’[17]:15). Orang yang mendapat petunjuk yang benar
tidak akan ada yang menyesatkannya (QS. al-Zumar [39]: 37) dan orang yang sesat
dari jalan yang benar tidak akan ada yang dapat menunjukinya selain Allah (Qs.
al-Zumar [39]: 9). Selain prinsip tidak ada paksaan dalam agama (QS al-Baqarah
[2]: 256), juga dikenal prinsif "untuk kalian agama kalian, dan untukku
agamaku". (QS al- Kafirun [109]: 6).[13]
Secara normatif,
dalam Al-Qur’an teradapat bebeapa ayat yang isinya mengarah pada nilai-nilai
pluralisme. Misalnya ayat 13 dari surat Al-Hujarat : “Hai manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu sekalian dari
laki-laki dan perempuan serta menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suka
supaya kamu saling mengenal. Sesunguhnya orang yang paling mulia di antar kamu
di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. 49 : 13). Ayat ini dapat
dipahami sebagai konsep kemajemukan umat manusia secara univeral dalam Islam.
Selanjutnya dalam hal kehidupan keberagamaan manusia, Al-Qur’an juga telah
menerapkan beberapa prinsip kebebasan, dan toleransi beragama, antara lain
dapat digali dari ayat-atat berikut : “Tidak
ada paksaan untuk(memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar dari jalan yang salah” (QS. 2 : 256) “Dan jika Tuhanmu menghendaki tentulah beriman semua orang di muka bumi
seluruhnya, maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi
orang-orang yang beriman semuanya?” (QS. 10 : 99). “ Dan katakanlah :”Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, maka barang siapa
yang ingin beriman silakan beriman, dan barang siapa yang ingin ingkar silahkan
ingkar” (QS. 109 : 6). Juga firman
Allah yang artinya “Bagimu agamamu, dan bagiku agama ku” (QS :109 : 6). [14]
Pluralisme tidak
dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita mejemuk, beraneka
ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan
kesan fragmentasi, bukan pluralism. Pluralism juga tidak boleh dipahami sekedar
sebagai “kebaikan negative”, hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan
fanatisme. Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebhinekaan
dalam ikatan-ikatan keadaban”. Bahkan pluralism adalah juga suatu keharusan
bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan
pengimbangan yang dihasilkannya. Dalam Kitab Suci justru disebutkan bahwa Allah
menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesame manusia guna
memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang
melimpah kepada umat manusia (lih. Al-quran, QS Al-Baqarah 2:251).[15]
2.2.4. Etika Islam Terhadap Agama
Lain (Kafir)[16]
Orang
Islam berkeyakinan bahwa selain agama Islam, seluruh agama itu batil, para
penganutnya adalah kafir. Islam adalah agama yang hak, begitu juga kebenaran
mengikutinya karena sesungguhnya yang benar-benar mengikutinya termasuk
orang-orang beriman dan berserah diri. (Al-Dzariyat: 56; Ali Imran: 85;
Al-Maidah: 3). Dengan adanya berita-berita yang benar dari Allah, maka orang
Islam berkeyakinan bahwa agama-agama yang datang sebelum Islam terhapus oleh
Islam. Islam itu sendiri merupakan agama bagi seluruh manusia yang bersifat
universal. Allah tidak akan menerima agama seseorang selain agama Islam, dan
tidak meridai selain syariatNya. Dari sini orang Islam berkeyakinan bahwa orang
yang tidak beragama dengan agama Allah adalah kafr, kepada mereka diperlakukan
etika bersama orang-orang kafir:
1. Tidak
menyokong kekafiran, tidak meridai karena jika meridainya, berarti dia sendiri
telah kafir.
2. Membencinya
dan mencintainya karena Allah.
3. Tidak
boleh mengangkatnya sebagai pemimpin (Al-Imran:28; Al-Mujadilah:22).
4. Diperlakukan
dengan adil dan baik-baik (Al-Mumthahanah: 8)
5. Mengasihinya
dengan bentuk kasih sayang yang bersifat umum.
6. Tidak
diperkenankan menyakitinya baik menyangkut harta, darah, atau kehormatannya.
7. Jika
orang kafir seperti orang Yahudi dan Nasrani, boleh diberi hadiah.
8. Tidak
menyerupai orang kafir dalam hal yang tidak penting.
2.2.5. Dialog Antar Umat Beragama
Dalam Agama Islam
2.2.4.1.
Landasan Historis Dialog Antar Agama
Persoalan dialog
agama[17],
bukanlah sesuatu yang baru bagi umat Islam. Pada masa awal Islam telah banyak
berbagai peristiwa yang memberikan petunjuk kepada kita bahwa praktek-praktek
persentuhan umat Islam dengan umat non-Islam telah dipraktekkan secara
riil dalam kehidupan bermasyarakat dan bemegara. Peristiwa penting yang dapat
dijadikan landasan kesejarahan adalah Perjanjian Kaum Muslimin dengan kaurn
Yahudi di Madinah.
Masyarakat Madinah
pada awal berdirinya Negara Islam adalah masyarakat yang plural. Disamping
orang-orang Islam yang secara politis adalah elit politik terdapat pula
masyarakat Yahudi dan penganut-penganut agama nenek moyang. Karena pluralisme
masyarakat inilah maka
untuk mewujudkan stabilitas yang tentram
dan aman, maka Nabi Muhammad SAW mengadakan suatu perjanjian dengan masyarakat
non-muslim yaitu Piagam Madinah. Suatu piagam yang menjamin hak
dan kebebasan beragama bagi orang-orang Yahudi dan kelompok-kelompok non muslim
lainnya. Kemerdekan dan kebebasan beragama dijamin, dan seluruh masyarakat baik
muslim ataupun non-muslim berkewajiban untuk mempertahankan keamanan Negara
dari serangan luar.[18]
2.2.4.2.
Pandangan Islam terhadap Dialog Antar Agama
Disamping
redaksi Al-Qur’an yang pluralis, kandungan ayat Al-Qur’an sendiri
menginsyaratkan nilai-nilai keberagaman, bahkan Al-Qur’an telah menanamkan
kaidah-kaidah mendasar bagi keberagaman agama, diantaranya:
1. Kebebasan
beragama. Setiap manusia oleh Islam diberikan kebebasan untuk menentukan agama
apa yang dianut. Disamping memberikan kebebasan, Islam juga melarang adanya
pemaksaan dalam agama. Prinsip ini merupakan dalil paling jelas bagi dialog
antar umat beragama, dan dalam banyak ayat Al-Qur’an menjelaskan prinsip ini
dengan tegas (Q. 22:256; 10:108; 17:15; 18:29).
2. Al-Qur’an
menegaskan sikap penerimaannya terhadap agama-agama selain Islam untuk hidup
berdampingan. Yahudi, Kristen, agama-agama lain diakui sepenuhnya eksistensinya
oleh Al-Qur’an (Q. 2:62).
Al-Qur’an
mendorong kaum Muslim untuk bekerjasama dengan orang lain demi menengakkan
keadilan dan kebenaran. Al-Qur’an dan teladan nabi mendukung kerja sama dan
solidaritas antar iman untuk keadilan dan kebenaran. Solidaritas ini dilandasi
oleh kehendak yang sama untuk perdamaian dan ketentraman, dan perjuangan
menentang ketidakadilan demi menciptakan dunia yang aman, bagi umat manusia.
Sikap Islam terhadap keberadaan agama lain berdiri diatas prinsip kesejajaran,
toleransi dan saling melengkapi. Inilah pilihan yang paling baik karena keberagaman
agama yang lebih baik dari pada satu agama. Dengan satu agama kondisi saling
berlomba dalam berbagai kebajikan tidak akan tercipta. Satu agama tidak akan
mampu merespon dinamika kemanusian. Sikap toleran dan melengkapi jelas lebih
baik daripada sikap saling berseberangan dari puluhan agama.[19]
III. Daftar Pustaka
Amin,
Ahmad, Islam dari Masa Ke Masa, Bandung:
Remaja Rosdakarya: 1993.
Anwar, Syafi’I, Agama dan Pluralitas
Masyarakat Bangsa, Jakarata : P3M, 1994
Darmaputera,
Eka, Strugglin in Hope, Jakarta:
BPK-GM, 2004.
Esack, Farid, Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme: Membebaskan Yang Tertindas, Bandung:
Mizan, 2000
Hilikal, Husain, Sejarah Hidup
Muhammad, Jakarta: Utera Antamusa, 1990
Jabir El-Jazair, Abu Bakar, Pola Hidup Muslim (Etika), Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1990
Ka'bah,
Riyal, Nilai-Nilai Pluralisme Dalam Islam, Bingkai gagasan yang berserak,
(Ed.) Suruin, Bandung : Penerbit Nuansa, 2005
Madjid, Nurcholis, Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Tealaah Kritis Tentang Masalah
Keimanan Kemanusiaan dan Kemodernan, Jakarta: Paramadina, 1992.
Madjid, Nurcholis, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Jakarta: Mizan, 1987.
Mahmudunnasir, Syed, Islam: Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1981.
Munawar, Budhy, Argumen Islam Untuk Pluralisme “Islam
Progresif dan Perkembangan Diskursusnya”, Jakarta: Gransindo, 2008
Munawar,Budhy, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta:
Srigunting, 2004.
Shenk, David W., Ilah-Ilah Global (Menggali Peran Agama-Agama dalam Masyarakat Modern),
Jakarta: BPK-GM, 2006
Shibab,
Alwi, Islam Inklusif, Jakarta: Mizan,
1998.
Stokhof , W.A.L., Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia
(Beberapa Permasalahan), Jakarta
: INIS, 1990
Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-Agama Di Indonesia, Jakarta: BPK-GM,
2007
[1] David W. Shenk, Ilah-Ilah Global (Menggali Peran Agama-Agama
dalam Masyarakat Modern), Jakarta: BPK-GM, 2006, hlm. 341
[2] Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-Agama Di
Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2007,hlm. 9
[3]W.A.L. Stokhof, Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia
(Beberapa Permasalahan), Jakarta
: INIS, 1990, hlm. 108-109
[4] Budhy Munawar, Argumen Islam Untuk Pluralisme “Islam
Progresif dan Perkembangan Diskursusnya”, Jakarta: Gransindo, 2008, hlm.
92-93
[5] Alwi Shibab, Islam Inklusif, Jakarta: Mizan, 1998,
hlm. 78
[6] Norcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan,
Jakarta: Mizan, 1987, hlm. 70
[7] Syed Mahmudunnasir, Islam: Konsepsi dan Sejarahnya, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1981, hlm. 3
[8] Ahmad Amin, Islam dari Masa Ke Masa, Bandung: Remaja Rosdakarya: 1993, hlm. 169
[9] Eka Darmaputera, Strugglin in Hope, Jakarta: BPK-GM,
2004, hlm. 507
[10] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Tealaah
Kritis Tentang Masalah Keimanan Kemanusiaan dan Kemodernan, Jakarta:
Paramadina, 1992, hlm. 226
[11] Alwi Shibab, Op.cit., hlm. 79-80
[12] Riyal Ka'bah, Nilai-Nilai
Pluralisme Dalam Islam, Bingkai gagasan yang berserak, (Ed.) Suruin,
Bandung : Penerbit Nuansa, 2005, hlm. 68.
[13] Ibid, hlm. 69-70
[14] Syafi’i Anwar, Agama
dan Pluralitas Masyarakat Bangsa, Jakarata : P3M, 1994, hlm. 223
[15] Budhy Munawar, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum
Beriman, Jakarta: Srigunting, 2004, hlm. 39
[16] Abu Bakar Jabir El-Jazair, Pola Hidup Muslim (Etika), Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1990, hlm.
[17] Dialog antar umat beragama
bermanfaat dalam memberikan pemahaman yang lebih baik mengenai
perspektif-prespektif yang berbeda. David W. Shenk, Op.cit, hlm. 346
[18] Husain Hilikal,
Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta: Utera Antamusa, 1990, hlm. 205.
[19] Farid Esack, Al-Quran, Liberalisme, Pluralisme:
Membebaskan Yang Tertindas, Bandung: Mizan, 2000, hlm. 232
Tidak ada komentar:
Posting Komentar