Jumat, 27 Februari 2015

KEKRISTENAN DI VIETNAM

KEKRISTENAN DI VIETNAM

I.     Pendahuluan
Vietnam merupakan sebuah negara resmi yang berbentuk republik dan merupakan sebuah Negara yang masuk ke dalam lingkup indo-Cina. Di Negara Vietnam ada beberapa kepercayaan yang dianut oleh penduduk pribumi, salah satu dari kepercayaan itu adalah Kristen, baik itu Khatolik maupun Protestan. Pada pemaparan kali ini kita akan mencoba melihat bagaimana kekristenan itu masuk dan bertumbuh di Negara Vietnam, apa hasil faktor-faktopr yang menghambat dan mendukungnya.  Semoga tulisan ini berguna bagi kita semua.

II.  Pembahasan
2.1.    Gambaran Umum situasi sosial, politik, Budaya, Agama sebelum kekristenan
2.1.1.                     Letak Geografis
Luas Negara Vietnam kurang lebih 331.668 km2. Bagian Vietnam yang berbatasan dengan batas-batas internasional seluas 4.693 km2. Vietnam memiliki iklim hujan tropis dengan kelembaban rata-rata 48% sepanjang tahun.[1] Karena perbedaan pada garis lintang dan keanekaragaman topografi maka Vietnam mempunyai dua musim yaitu musim hujan dan kemarau, musim kemarau berlangsung dari November-April sedangkan musim hujan berlagsung dari bulan April-Oktober. Suhu disebelah Selatan lebih sedang sepanjang tahun dengan rata-rata 280C, sedangkan suhu rata-rata di Utara 300C. Wilayah ini kemungkinan mengalami suhu naik di atas 380c di musim hujan.[2]
2.1.2.                     Kehidupan masyarakat tradisional penduduk
Bangsa Vietnam adalah bangsa yang suka bekerja keras dan panjang akal, di mana lebih dari 85% penduduk negeri itu jumlahnya kedua terbesar di Asia Tenggara minoritas tunggal terbesar bangsa itu adalah kelompok Cina, yang merupakan 4% penduduk Vietnam dan mayoritas tinggal di kota perdagangan Cholon. Namun tepat seperti pemerintahan Prancis yang melenyapkan gaya hidup tradisional bangsa Vietnam, maka perang berkesinambungan berlangsung selama 30 tahun (1946-1975) mempunyai akibat yang membinasakan dengan mengalami zona ekonomi yang baru. Namun beberapa perkembangan pada tahun 1980-an menunjukkan bahwa pemerintah bersedia mengendorkan kendali atas ekonomi pedesaan di mana petani diizinkan menjual kelebuhan padi, buah, dan sayuran secara pribadi dan tanah yang mereka kerjakan yaitu di kebun mereka tinggal sendiri.[3]
2.1.3.                     Kebudayaan penduduk
Kebudayaan yang berkembang di Vietnam dipengaruhi oleh Negara-negara tetangga yaitu India dan Cina. Banyak aspek cara hidup bangsa Vietnam tidak berubah sepanjang tahun ke tahun yaitu perselisihan dan pemulihan. Menu utama makanan mereka adalah nasi dan ikan. Rumah bamboo dan lumpur adalah tempat mereka untuk bermukim di pedusunan sambil memanfaatkan pendayungan tenaga kerbau. Pakaian gaya barat yang lebih santai Nampak di sebelah Selatan. Masyarakat Vietnam juga kaya akan bahasa yang terdiri dari kata-kata silabel tunggal yang tidak biasa, Vietnam memiliki 200 bahasa, misalnya bahasa Inggris, Perancis, Cina dan lain-lain. Kebudayaan Vietnam tetap kuat berpegang teguh pada Konfusianisme yang menekankan pada tugas-tugas yang bercorak kepada kekeluargaaan. Pendidikan sangat dihargai dan mereka menolak serta menghindari kebudayaan asing seperti kebudayaan bangsa komunis.[4]
2.1.4.                     System kepercayaan penduduk
Agama yang dipeluk secara luas adalah Buddha Mahayana, yang memasuki negeri itu melalui Cina dan merupakan tandingan Buddha Hinayana di Campuchea, Laos, Muangthai, dan Myanmar.[5] Juga didapati Kongfucuisme, Taoisme, dan sekte pribumi yang menggabungkan berbagai unsur agama yang lebih besar. Banyak penduduk negeri itu, terutama minorits dataran tinggi memeluk animisme (penyembah roh).[6]
2.1.5.                     Sistem pemerintahan
Pemerintahan Vietnam merupakan pemerintahan republic sosialis yang mengikuti pemerintahan Uni Soviet. Perdana menteri adalah kepala pemerintahan sekaligus mengepalai cabinet yang terdiri atas tiga deputi perdana menteri dan kepala 26 menteri-menteri dan perwira-perwira. Sedangkan perang ketua dewan Negara dalam teorinya serupa dengan lambang kepresidenan di negeri yang mempunyai perdana menteri dan presiden misalnya India dan Italia.[7]

2.2.    Awal masuk penginjilan dan kekristenan di Vietnam
2.2.1.                     Misi Katolik
Yang pertama-tama menyiarkan Injil di Vietnam adalah Misionaris-misionaris Roma Katolik, walaupun ada orang-orang Portugis yang datang dari Malaka, namun orang-orang Spanyollah yang pertama mengirimkan misionaris-misionaris ketempat ini. Masa permulaannya adalah sulit, dan para misionaris seringkali dihambat, diusir dan juga dibunuh. Namun pada tahun 1596 dan sekali lagi pada pada 1603 Raja Kamboja meminta bantuan orang-orang Spanyol dalam peperangannya melawan Muangthai dan ini mengakibatkan beberapa orang dapat di Kristenkan.[8]
Misionaris yang datang ke Vietnam adalah seorang katolik dari ordo Fransiskan yang dikirim dari Filipina pada tahun 1580 dan diikuti oleh ordoYesuit tahun 1615. Dua orang Yesuit yang bernama Fransesco Busomi dan Alexandre de Rhodes.[9] Mereka banyak melakukan penginjilan dan Alexandre de Rhodes adalah seorang penginjil yang luar biasa dimana dalam waktu tiga tahun ia membaptis enam ribu tujuh ratus orang  termasuk anggota-anggota rumah tangga raja dan penyembah berhala. Namun hal itu malah membangkitkan kecurigaan penguasa-penguasa sekuler hingga para missionaries yang mengajar dan membuat orang bertobat harus mengadakan pekerjaan mereka secara sembunyi-sembunyi. Dan pada tahun 1645, Rhodes akhirnya dilarang kembali ke Vietnam dengan ancaman hukum mati.[10]

2.2.2.                     Zending Protestan
Dalam hal ini, zending Protestan belumlah lama hadir di Vietnam, ini disebabkan politik dari Perancis. Dimana dalam perjanjian yang diadakan Perancis dengan raja-raja Annam, Kamboja dan Laos ditetapkan bahwa misi Roma Khatolik bebas masuk kemana-mana, tetapi utusan Injil lainnya tidak. Pemerintah anti kaum agama dari Perancis yang kemudian juga tidak mau memberi ijin masuk kepada utusan-utusan Injil Protestan. Kemudian dari pada Chirtian and Missionary Alliance yang merupakan zending Amerika berhasil memasuki Vietnam pada tahun 1991.[11]
Dekade pertama dari CMA (1911-1921) dapat disebut periode menyelidiki. Para utusan Injil pertama mengadakan percobaan dengan sejumlah pendekatan. Mereka menderita kemunduran mula-mula ketika penguasa-penguasa colonial Perancis dengan keras melarang kegiatan-kegiatan mereka selama Perang Dunia I. Karena itu pada akhir decade pertama, para utusan Injil itu mengoperasikan sebuah kantor percetakan yang produktif di Hanoi dan telah membuka sekolah Alkitab di Tourane. Merasa ada kesempatan yang besar, CAMA mengutus 22 penginjil ke lading baru mereka. Tiga pusat utama di Vietnam- Hanoi, Tourane dan Saigon dan telah diduduki oleh para utusan Injil yang telah membaptis sejumlah orang percaya di setiap tempat.
Periode besar kedua dari misi CMA (1922-1940) disebut sebagai tahun luar biasa. Dimana di dalam tahun ini hampir dua puluh ribu orang Vietnam dibaptis. Pada tahun 1928, jemaat-jemaat Vietnam diatur dalam satu badan gereja, sekarang disebut Evangelical Church of Vietnam (ECVN). Sampai tahun 1940 ada 123 gereja, yang mana 86 diantaranya bisa mencukupi diri sendiri. Tahun 1941, dimana mulainya serangkaian perang yang berlangsung terus hampir tidak pernah berhenti selama tiga decade. Ketiga perang ini telah mempengaruhi pekerjaan penyebaran Injil di Vietnam. Gereja Vietnam yang masih muda bangkit menghadapi tantangan yang muncul sampai pada tahun 1945 gereja menjadi lebih besar dan lebih kuat.[12]

2.3.                       Karya Zending
2.3.1.                Bidang Penginjilan
Banyak para penginjil utusan CMA bekerja keras terkususnya pakar-pakar bahasa telah menyelesaikan Perjanjian Baru ke dalam bahasa suku. Sehingga gereja-gereja suku juga telah membentuk sebuah misi, untuk membawa Injil kepada suku-suku serumpun yang belum terjangkau.[13]

2.3.2.                Bidang Pendidikan
Dalam bidang pendidikan, para utusan Injil CMA mengoperasikan sebuah kantor percetakan di Hanoi dan membuka sebuah sekolah Alkitab di Tourane. Selain itu juga para misionaris megajarkan cara perawatan anak kecil, latihan kejuruan, dan pengembangan masyarakat.[14]

2.3.3.                Bidang Ekonomi
Terbentuknya kerjasama dengan agen-agen Protestan asing dalam memenuhi barbagai keperluan utama manusia yang diakibatkan oleh perang. Pertolongan mereka disambut gembira karena misi-misi penginjilan yang ada tidak memiliki cukup sumber dan walaupun mereka juga menyumbang untuk pertolongan darurat.

2.3.4.                Bidang Kesehatan
Para utusan Injil tidak hanya  menginjili, melainkan melayani keperluan manusia dengan cara yang patut dikagumi. Mereka melakukan perawatan terhadap bayi-bayi yang terlantar, pemberian makanan kepada para pengungsi  dan penyediaan obat-obatan dan peralatan protese untuk orang yang sakit dan terluka.[15]

2.4.                       Dampak Karya Zending
Melalui penyelesaian terjemahan Perjanjian Baru oleh Wycliffe Bible Translators, telah menghasilkan materi-materi pemberantasan buta huruf dan terjemahan Alkitab ke dalam dua puluh bahasa. Hal ini memudahkan para misionaris dalam mengabarkan Injil. Salah satu hasil yang paling nyata adalah kebangunan rohani diantara anggota-anggota suku dengan adanya pengakuan dosa tentang ketergantungan kepada jimat-jimat. Sehingga memicu pertobatan dari banyak anggota-anggota suku yang terus berlanjut. Selain itu juga, di masa perang, para misionaris menyumbangkan dana atas orang-orang Kristen sepuluh Negara yang berbeda melalui organisai-organisasi, tetapi bagian terbesar bantuan keuangan datang dari Amerika. Sumbangan-sumbangan dalam bidang social dari organisasi-organisasi ini memberi pengaruh terhadap agama Kristen. Misalnya keterlibatan Protestan yang berskala besar dalam kesejahteraan sosial juga membuat minoritas Protestan mendapat pengakuan baru dan rasa hormat.[16]

2.5.                       Faktor penghambat dan pendorong kekristenan
2.5.1.                Faktor Penghambat Kekristenan
1.                  Pemerintah Vietnam melihat kekristenan sebagai penghuni langsung dengan imperialisme, kapitalisme dan pemikiran Barat.
2.                  Kebutuhan tenaga awam yang terdidik dan pemimpin yang kompoten sangat besar, tetapi pelatihan para gembala nyaris mustahil sejak pemerintah menutup sebagian besar seminari teologia di Selatan pada tahun 1975.
3.                  Kebutuhan dan kendala di Vietnam adalah kondisi kehidupan yang miskin. Banyak gedung gereja yang sangat membutuhkan perbaikan, tetapi kekurangan suplai.
4.                  Selama perang Vietnam, misi mengalami kemunduran, dan banyak misionaris yang ditangkap dan dibunuh oleh Viet Kong, dan banyak pula orang Kristen yang dianiaya secara brutal.[17]

2.5.2.                Faktor pendorong Kekristenan
Adanya dukungan dana yang diberikan sebagian besar dari orang-orang Kristen di Amerika pada masa perang di Vietnam.

2.6.                      Refleksi Teologis
Dari pemaparan diatas dapat kita lihat bahwa perjuangan para misionaris untuk menyebarkan injil sangat begitu luar biasa sulitnya. Mereka sering kali dihambat, diusir, dan bahkan dibunuh. Terutama Zending dari Protestan yang sangat sulit dalam menyebarkan injil dibandingkan Misi Katolik karena disebabkan politik dari Perancis, dimana dalam perjanjian yang diadakan Perancis dengan raja-raja Annam, Kamboja dan Laos ditetapkan bahwa misi Roma Khatolik bebas masuk kemana-mana, tetapi utusan Injil lainnya tidak. Ditambah lagi pemerintah anti kaum agama dari Perancis yang kemudian juga tidak mau memberi ijin masuk kepada utusan-utusan Injil Protestan. Tapi kemudian dari pada Chirtian and Missionary Alliance yang merupakan zending Amerika berhasil memasuki Vietnam pada tahun 1991 dan mulai dari situlah zending Protestan mulai melakukan misinya.
Bagaimana dengan kita, apakah kita bisa seperti para misionaris diatas? Dari pemaparan tersebut kita bisa mencontoh mereka dan mengikuti perjungan mereka dalam menyebarkan injil dimana pun kita berada meskipun itu dengan tantangan yang sulit sekali pun kita harus yakin bahwa ada penyertaan Tuhan yang selalu menyertai kita kemana pun kita pergi, karena itu adalah tugas panggilan kita dalam memberitakan injil Kerajaan Allah ditengah-tengah dunia ini sehingga semakin banyaklah orang yang percaya dan mengukut Tuhan.

III.              Kesimpulan   
Dapat disimpulkan bahwa kekristenan yang pertama kali masuk ke Vietnam adalah dari Misi katolik Roma kemudian disusul Zending Protestan. Kemudian dalam menyebarkan injil para misionaris sangat sulit dalam melaksanakan tugas mereka, karena banyak hal yang harus dihadapi mereka seperti faktor penghambat yang sudah dipaparkan diatas, begitu juga faktor pendukungnya.

IV.              Daftar Pustaka
Butwell, Richard, Negara dan Bangsa, Jakarta: PT. Ikrar Mandiri Abadi, 2002
Barrett, David B. World Christian Ensiklopedia, New York: Oxford University Press, 1982
Hoke, Donald. E. Sejarah Gereja Asia Volume 1, Malang: Gandum Mas, 2000
Wolterbeek, J. D. Geredja-geredja di Negeri Tetangga Indonesia, Djakarta: BPK-GM, 1959
http://id. Wikipedia.org/wiki/berkas, diakses: 25 April 2012

chrisnov mulyanta tarigan sibero
GBKP Kuta Galuh - Klasis Sinabun




[1] http://id. Wikipedia.org/wiki/berkas, diakses: 25 April 2012
[2] Richard Butwell, Negara dan Bangsa, Jakarta: PT. Ikrar Mandiri Abadi, 2002, hlm. 198
[3] Ibid, hlm.199
[4] Ibid, hlm. 199-200
[5] J. D. wolterbeek, Geredja-geredja di Negeri Tetangga Indonesia, Djakarta: BPK-GM, 1959, hlm. 93-94
[6] Richards Butwell, Op. Cit, hlm. 199
[7] Ibid., hlm. 203-204
[8] J. D. Wolterbeek, Op.Cit.,  hlm. 94
[9] David B. Barrett, World Christian Ensiklopedia, New York: Oxford University Press, 1982, hlm. 744
[10] Donald. E. Hoke, Sejarah Gereja Asia Volume 1, Malang: Gandum Mas, 2000, hlm. 307-308
[11] J. D. Wolterbeek, Op. Cit, hlm. 98
[12] Donald. E. Hoke, Op. Cit, hlm.308-309
[13] Ibid., hlm. 286
[14] David B. Barrett, Op. Cit, hlm 745
[15] Donald. E. Hoke, Op. Cit, hlm. 289
[16] Ibid., hlm 290
[17] Paulus Daun, Sejarah Gereja Asia, Manado: Yayasan Daun Family, 2009, 113 

TEOLOGI SOSIAL DALAM ABAD MULA-MULA

TEOLOGI SOSIAL DALAM ABAD MULA-MULA
Oleh : Chrisnov Mulyanta Tarigan Sibero, S.Th

I.                   Pendahuluan
Manusia merupakan makhluk sosial, yang tidak dapat hidup sendiri. Sehingga memang sangat penting adanya hubungan sosial dalam kehidupan ini. Pada saat ini kita akan mencoba melihat bagaimana Teologi Sosial dalam Abad Mula-mula ini. Semoga ini menambah wawasan kita semua.

II.                Pembahasan
2.1.Konteks Kehidupan Kekristenan pada Abad Mula-Mula
2.1.1.      Konteks Politik
Dimasa hidup Yesus bangsa Israel takluk kepada Kerajaan Romawi. Yang termasuk dalam Kerajaan Romawi pada zaman itu bukan saja sebagian besar dari Eropa, tetapi juga bagian-bagian dari Afrika dan Asia. Bala tentara Romawi telah bergerak ke timur dan barat dan berturut-turut menaklukkan bangsa-bangsa lain. Semua negeri disekitar Laut Tengah dikuasainya.[1] Secara politis, dunia tempat gereja lahir dan berkembang dibagi atas 2 negara besar, yaitu Kekaisaran Romawi dan Kerajaan Partia (sesudah tahun 225 menjadi Persia). Kekaisaran Romawi meliputi daerah-daerah disekitar Laut Tengah, Kerajaan Partia meliputi wilayah India dan Irak yang sekarang.[2]
Sejak semula hubungan Yahudi-Kristen memang tidak berjalan dengan mulus, keadaan ini makin memburuk hampir selama abad pertama masehi. Banyak peraturan agama Yahudi yang diabaikan demikian saja didalam kehidupan persekutuan Kristen; padahal banyak orang-orang Kristen yang semula beragama Yahudi. Diperparah semenjak kekalahan Yahudi melakukan pemberontakan, Kristen menjadi sasaran  kemarahan dan frustrasi orang Yahudi. [3]
Hubungan Romawi-Kristen tidak bisa dipisahkan dari hubungan Yahudi-Kristen dan hubungan Romawi-Yahudi. Yahudi memang mendapat tempat yang sah didalam kekaisaran Romawi. Kedudukan inilah yang diperjuangkan oleh persekutuan Kristen. Salah seorang tokoh Romawi yang bernama Tasitus pernah menuduh orang-orang Kristen dengan tuduhan odium generis humani, artinya mereka dipersalahkan karena menggalang kebencian rasial. Orang-orang Kristen dituduh tidak patriotic dan anti sosial. Dan karena tidak mengikuti upacara-upacara agama resmi Romawi-Yunani, serta tidak menunjukkan upacara keagamaanya secara terbuka, maka mereka segera dituduh juga sebagai ateis.[4]

2.2.Konteks Ekonomi
Orang-orang Yunani, Romawi dan Ibrani semua menoleh kebelakang ke suatu masa ketika kekayaan dan status diukur dari luas tanah atau ternak dan kekuasaan diukur dengan kesetiaan keluarga. Pada masa PB, uang dan harta bergerak menjadi semakin penting. Kekayaan materi dari dunia Yunani/ Romawi dibagikan secara tidak merata. Sebagian kecil populasi memiliki bagian terbesar dari tanah dan sumber-sumbernya, kebanyakan orang harus bertahan dengan sarana yang sangat minim atau menghemat dengan jumlah yang sedikit. Kehidupan dengan konsumsi yang berlebihan sudah tentu menuntut banyak barang untuk dikonsumsi. Uang untuk dihabiskan dan sumber-sumber untuk dimanfaatkan. Karena tanah menghasilkan makanan, yang merupakan salah satu komoditi yang harus ada dimasa kuno, tanah selalu merupakan investasi yang menguntungkan khususnya bagi seseorang yang cukup kaya untuk mengatasi beberapa tahun paceklik. Karena itu kekayaan golongan elit didasarkan pada tanah, apakah sebagai warisan atau didapat dari tetangga yang bangkrut atau para debitur atau sebagai jarahan perang.[5]
Pentingnya kekayaan yang didasarkan mencerminkan kenyataan bahwa masyarakat kuno, seperti masyarakat mana pun tergantung pada makanan. Kebanyakan angkatan kerja kekaisaran Romawi terlibat pada pertanian dan perternakan dengan lembaran-lembaran PB memperlihatkan lebih banyak kessadaran daripada kebanyakan sastra Yunani-Romawi tentang realitas yang sering kali kejam tentang ekonomi subsistensi. Tanah pertanian diolah dengan beberapa cara, beberapa tanah pertanian pribadi yang kecil diolah oleh pemiliknya sendiri dengan pertolongan dari anggota keluarga mereka dan barang kali beberapa orang budak. Dibeberapa tempat tanah kepunyaan seorang tuan tanah kaya akan dibagi menjadi lahan-lahan individual kecil untuk disewakan kepada para petani penggarap berdasarkan suatu peraturan sewa (Mat.21:33-41, Mark. 12:1-9, Luk.20:9-16). Ditempat-tempat lain, tanah yang luas diolah langsung oleh sekumpulan budak, dibawah pengawas seorang atau lebih penatalayan. Para penatalayan aini sendiri sering kali adalah budak-budak yang teelah membuktikan kesetiaan dan kecakapan berorganisasi.[6]
Orang-orang yang mempunyai sumber-sumber untuk diinvestasikan dan naluri unyuk mengambil resiko dan dapat mengambil keuntungan besar dalam perdagangan, contohnya: perkapalan mengandung banyak bahaya karena karam dan pembajakan. Tetapi keuntungannya besar. Yang jauh lebih umum adalah orang terlibat dalam pekerjaan produksi, distribusi dan jasa pada tingkat kecil untuk memenuhi kebutuhan setempat. Bidang ekonomi dalam kekristenan mula-mula juga berkaitan dengan peminjaman uang dan pengumpulan pajak. Mereka yang meminjamkan yang uang baik secara formal maupun non-formal dilindungi dengan baik dari ketidakmampuan membayar. Dibawah hukum Yunani, Romawi dan Timur para kreditur tampaknya dapat memperbudak secara permanen atau penahanan sementara para debitur bila tidak dapat membayar pinjamannya. Perumpamaan tentang hamba yang tidak berbelas kasih (Mat.18:23-35) melukiskan pilihan-pilihannya. Pemimjaman uang adalah sebuah profesi yang didalamnya terlibat para ksatria dan pedagang kecil. Mereka berfungsi sebagai bank, yang menerima uang pada tingkat yang tetap dan meminjamkannya kepada para peminjam lain (Mat.25:27, Luk.19:23). Pribadi-pribadi juga meminjamkan uang dan melakukan investasi dalam usaha-usaha bisnis dengan harapan mendapatkan keuntungan (Mat.25:14-30, Luk.19:12-27). Disisi lain, kaum Kristen mula-mula menyadari bahwa manusia diperintahkan pada mulanya supaya menaklukkan dan menguasi bumi dalam artian menggali flora, fauna dan mineralnya serta memanfaatkannya guna kepentingannya. Keadaan yang ada disekitar jemaat mula-mula pada masa ini tentunya sangat berpengaruh dalam persekutuan itu.[7]
Mata uang besar berupa perak dan emas dicetak oleh percetakan uang logam Kekaisaran Romawi, mata uang ini mempunyai gambar kaisar pada satu sisi, dan berbagai gambar lain pada sisi yang lain. Mata uang perak yang standar disebut Dinari yang dikenal di Timur oleh ekuivalennya dalam bahasa Yunani drachma (dirham) (Mat.20:1-6).[8]

2.2.1.      Konteks Sosial
Dalam masyarakat Yunani Kuno, mereka memiliki suatu hubungan antara kaum bangsawan yang tentunya saling menguntungkan. Tradisi Romawi, kaum-kaum bangsawan sangat senang melakukan hubungan timbal-balik. Sementara hubungan yang dibina kepada orang-orang atau sanak-saudaranya yang miskin hanya untuk kepentingan diri sendiri saja. Mengharapkan dukungan dalam hal politik untuk bersaing pada para lawan, mengharapkan bantuan jika panen tiba dan dalam permusuhan dengan kaum bangsawan lainnya. Sebaliknya, orang-orang atau sanak saudara yang miskin, mengharap perlindungan fisik dan pinjaman dan pemberian pada waktu kesusahan.[9]
Situasi sosial pada abad mula-mula dipengaruhi oleh derajat kebajikan. Segala dosa masyarakat Roma disebut Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat Roma, pasal 1:24-32. Kebajikan kaum Kristen yang suci dan murni, jujur, berbeda jauh dengan segala kejahatan itu. Berbuat zinah terlarang keras begitupun halnya menggugurkan buah kandungan, membuang anak dan sebagainya. Dalam perdagangan dan pergaulan umum dan orang kafir, kaum Kristen tidak menipu atau berdusta, suatu hal yang luar-biasa pada zaman itu. Hal nikah dan rumah-tangga dijunjung tinggi didalam jemaat Kristen meskipun hidup lajang (tidak kawin) dianggap lebih suci oleh banyak orang kaum wanita dihormati; juga dalam hidup jemaat, kecakapan dan tenaga mereka dipergunakan untuk pelbagai tugas.
Situasi sosial pada abad mula-mula juga berkaitan dengan kepemilikan (milik). Milik itu adalah pinjaman dari Allah. Sebab itu, milik perseorangan diakui baik asalkan anggota jemaat sadar dan ingat bahwa ia bertanggungjawab selaku hamba Tuhan atas miliknya itu. Segala kelebihan baiklah diserahkan kepada yang berkekurangan. Jemaat merasa malu kalau seorang anggotanya miskin atau lapar, tetapi sekalipun demikian gereja zaman itu belum insaf, bahwa jurang perbedaan yang mendalam antara kemiskinan dan kekayaan didalam masyarakatnya harus dianggap sebagai suatu keadaan sosial yang salah atau buruk, benar dihadapan Tuhan dan sesame manusia. Gereja belum mengerti panggilan dan tugasnya untuk memberantas dan membasmi segala keadaan yang kurang adil itu demi Injil pengasihan Tuhan.[10]

2.2.2.      Konteks Kebudayaan
Bidang budaya yang paling berpengaruh pada masa itu adalah budaya Yunani. Budaya ini juga sangat berpengaruh terhadap segi-segi keagamaan dan juga termasuk juga dalam ibadah-ibadahnya. Bahkan juga hal ini tampak tidak hanya dari segi keagamaan, kebudayaan helenisme ini juga berpengaruh kepada penataan kota. Dari segi arsitekturnya untuk membangun kuil-kuil, teater, gymnasia dengan gang-gang beratap (ascade)¸ stoa, saluran air, pemandian air mancur dan deretan tiang (colonnade), dan bahkan juga Bait Suci di Yerusalem dibangun dengan gaya Yunani.[11]
Kebudayaan dimana gereja lahir dan berkembang adalah kebudayaan Helenisme. Helenisme menjadi kebudayaan yang menentukan cara berpikir dan cara percaya semua orang yang berpendidikan di Kekaisaran Romawi, termasuk orang Kristen.[12] Budaya Yunani berpengaruh di Palestina dalam beberapa hal, mungkin yang paling luas adalah dalam ibadah keagamaan. Ibadah-ibadah kafir asli diubah oleh unsur-unsur Yunani. Herodes Agung membangun beberapa caesarea (tempat-tempat suci yang dipersembahkan kepada Agustus). Di Samaria, Panias, dan Kaisarea dan tempat-tempat suci itu berisikan patung-patung sebuah patung Agustus yang mengikuti contoh Zeus dan yang lainnya, Roma mengkitu yang contoh Hera.[13]

2.2.3.      Konteks Keagamaan
Dalam wilayah tempat dimana gereja lahir, terdapat aneka ragam agama. Di wilayah Kekaisaran Romawi dan Mesopotamia (daerah Irak) terdapat sejumlah besar agama suku. Namun banyak juga orang sudah tidak puas lagi dengan agama-agama yang lama dan mencari jalan keselamatan dalam bermacam-macam aliran kepercayaan. Diseluruh daerah itu terdapat pula banyak penganut agama Yahudi. Di Mesopotamia, agama Babylonia dengan kepercayaannya pada pengaruh takdir atas kehidupan manusia masih hidup terus. Didaerah Iran terdapat agama Zoroaster yang oleh raja-raja Persia sesudah tahun 225 M dijadikan sebagai agama negara.[14]
Kekristenan pada zaman ini juga akan dan harus bergesekan dengan agama Yahudi. Lebih lanjut, orang-orang Kristen jarang melupakan asal-usul mereka sebagai aliran Yahudi.[15] Namun karena ternyata Yahudi dan Kristen itu berbeda, sering Kristen harus menerima tekanan dari Yahudi. Kristus yang merupakan sosok pribadi yang mesianis bagi orang-orang Kristen ditolak sama sekali oleh Yahudi.[16]

2.3.Teologi Sosial pada Abad Mula-Mula
Jemaat Kristen pada abad mula-mula mengetahui dan menyadari bahwa Kristuslah satu-satunya pusat dan sumber dari seluruh kekuatan jemaat (Kis. 20:28). Pekerjaan pelayanan berarti melayani dengan rendah hati dan bukan memerintah dari kantor yang enak (bnd. Mat. 20:26-28). Jemaat Kristen mengundang orang-orang yang belum percaya memasuki persekutuan mereka, yaitu tubuh Kristus.[17]
Mula-mula pimpinan jemaat diamanatkan kepada rasul-rasul (yaitu bukan saja saksi-saksi kebangkitan Yesus, tetapi juga utusan-utusan Injil yang mengedari semua negeri), pengajar-pengajar (guru-guru agama, yang menafsirkan Alkitab, seperti ahli-ahli Taurat dalam agama Yahudi) dan nabi-nabi (yang menerima karunia Roh yang istimewa). Saudara-saudara ini bukan dipilih, melainkan dengan sendirinya mereka di hormati dan diakui kuasanya dalam jemaat karena karunianya yang luar biasa itu. Mereka tidak terikat pada satu jemaat saja. Disamping pangkat-pangkat itu ada penatua-penatua (presbiter) dalam tiap-tiap jemaat; dari antaranya dipilih orang yang diberi tugas mengamat-amati jemaat, juga mengurus keuangan, organisasi dan sebagainya. Mereka ini dibantu oleh syamas (atau diakonos, artinya pelayan); tugasnya ialah melayani orang miskin, janda-janda, memungut uang, dan menjaga kebaktian.[18]
Bukti nyata dari teologi sosial pada abad mula-mula dapat kita lihat dalam perjalanan dan perkembangan  jemaat mula-mula (gereja) yang terlihat dalam kegiatan-kegiatannya. Dalam Kis. 2:44 dyb dan 4:32-37 (bnd. 5:1-11) diceritakan, bahwa rasa kesatuan dalam jemaat tersebut selama dalam jangka waktu tertentu diwujudkan dalam pemilikan bersama atas harta benda.[19] Jemaat Kristen di Yerusalem berbagi seluruh harta benda materiel mereka. Banyak dari mereka yang menjual tanah miliknya dan memberikan hasilnya kepada gereja, yang kemudian membagikan hasil ini diantara jemaat. Jemaat Kristen di Yerusalem tetap pergi ke Bait Suci untuk berdoa (Kis.2:46), tetapi mereka mulai mengadakan Perjamuan Kudus Tuhan di rumah mereka masing-masing (Kis.2:42-46). Perjamuan simbolis ini mengingatkan mereka pada perjanjian baru yang mereka miliki dengan Allah, yang telah diadakan oleh Yesus Kristus dengan mengorbankan darah dan tubuhNya sendiri.[20] Hal ini juga nantinya dipraktekkan juga oleh gereja-gereja yang didirikan Paulus: perjamuan dalam bentuk persekutuan bersama atau agape, dengan yang biasanya dihubungkan dengan Perjamuan Tuhan (1 Kor.11:20 dan 34). Perjamuan bersama memainkan peran yang penting didalam pelayanan Yesus dan terus menjadi factor penting didalam kehidupan gereja pertama. Rumah-rumah pribadi dipersiapkan sebagai tempat pelaksanaan kebaktian dan kegiatan-kegiatan Kristen lainnya.[21]
Pada perkembangan selanjutnya gereja mengalami pembaharuan-pembaharuan didalam tubuhnya. Banyak hal-hal yang dihasilkan dan dilakukan dari pembaharuan-pembaharuan tersebut. Dalam hal ini juga berhubungan dengan pola-pola ibadah (persekutuan). Pada kebiasaan jemaat mula-mula dalam ibadah ada kebiasaan selalu diadakan perjamuan bersama dalam perkumpulan itu (Kis.2:46). Jemaat berdoa, menyanyi, mendengarkan pembacaan dan penjelasaan firman.[22] Mereka sehati dalam persekutuan. Merasa terikat oleh kasih yang erat. Supaya persatuan yang telah ada jangan hilang, dibiasakanlah makan bersama (memecah-mecahkan roti) dan berdoa bersama. Orang-orang kaya memanggil orang-orang miskin makan bersama sambil bersama bertekun berdoa. Hal ini juga terterap dalam kehidupan sehari-hari yang mana tidak mementingkan diri sendiri dan mereka saling rendah hati (Kis.2:41-47).[23]
Mula-mula belum ada tatacara kebaktian yang tetap, sehingga timbul kekacauan (1 Kor.14). Lambat-laun kebaktian dilangsungkan dengan memakai tatacara atau liturgia yang lengkap. Bagian pertama terdiri atas doa, nyanyian, pembacaan Firman Tuhan dan kotbah; sesudah itu makan bersama (Perjamuan Tuhan). Gereja lama menyebut perjamuan ini dengan “eukharistia” (pengucapan syukur).[24] Perjamuan Tuhan yang merupakan makanan yang dimakan bersama dirumah-rumah jemaat. Setiap tamu membawa masing-masing hidangannya dan dikumpulkan diatas meja perjamuan. Dimulai dengan doa, lalu membagi-bagikan sebuah roti dan masing-masing memakan sepotong yang melambangkan tubuh Kristus. Jamuan ditutup dengan doa dan saling berbagi minuman dari secawan anggur, yang melambangkan darah Kristus.[25]
Dengan bertumbuhnya jemaat, berlipat ganda pula kesukaran-kesukaran yang harus dihadapi. Dalam suatu kumpulan kecil, masih dapat dipelihara persaudaraan erat dan rasa sehati, tetapi dalam kelompok besar, hal itu makin lama semakin sukar. Setelah jumlah jemaat melebihi 5000 orang (lht. Kis.4:4), mulailah timbul kesukaran-kesukaran, termasuk pelayanan kepada orang miskin dan janda. Sehingga dipilihlah dan diteguhkan tujuh orang yang terkenal baik, penuh roh dan hikmat untuk melayani orang miskin dan janda. Pemilihan yang dilakukan itu tidak dicampuri rasul-rasul. Sedapat mungkin mereka mau menghormati hak-hak jemaat. Sesudah terpilih dibawalah mereka kepada rasul-rasul. Rasul-rasul menyetujuinya, sebab mereka dipilih oleh Kristus untuk memimpin jemaat. Rasul-rasul menyerahkan mereka kepada Allah dengan berdoa dan meletakkan tangan ke atas kepala mereka. Kewajiban mereka yang terutama adalah melakukan tugas diakonia.[26] Terlihat bahwa pelayanan (diakonia) yang bersifat sosial sudah diterapkan.
Ketika Stefanus ditangkap dan diadili dengan tuduhan penghujatan. Ia memberikan pembelaan iman dan akhirnya dilempari batu hingga mati (Kis.7:52-60). Peristiwa ini mengawali penganiayaan yang membuat banyak orang Kristen lari dari Yerusalem (Kis.8:1). Sebagian dari jemaat Kristen ini tinggal diantara orang-orang bukan Yahudi di Samaria, yang kemudian banyak yang bertobat oleh pemberitaan mereka (Kis.8:5-8). Mereka mendirikan jemaat di berbagai kota non-Yahudi, seperti di Antiokhia di Siria.[27]
Selanjutnya perempunan pun mempunyai kedudukan penting dalam pelayanan diakonia. Sumbangsih perempuan dalam jemaat melalui fungsi diaconal sendiri tidak hanya terbatas pada Rom. 16:1. Kita juga menyatakan dalam 1 Tim.3:11. Juga tugas para janda yang menurut 1 Tim.5:9-10 terdapat dalam jemaat. Bersama para diaken, para janda ini melakukan tugas-tugas diakoni dan pastoral. Jadi, mereka juga ditetapkan secara resmi.[28]
Pada abad ke-2 dan ke-3, gereja adalah kelompok minoritas yang dikejar-kejar, dilain pihak gereja terus berkembang sekalipun dianiaya. Pada masa itu, perbedaan antara lapisan orang kaya dan miskin semakin menjadi-jadi, kekacauan politik terjadi dan malapetaka pada abad ke-3 mengakibatkan kemiskinan massal yang juga melanda jemaat-jemaat muda. Disamping itu, pengejaran terhadap orang-orang Kristen mengakibatkan berbagai kesulitan sosial kemasyarakatan. Di abad-abad ini gereja Kristen dengan berbagai cara telah membuktikan rasa tanggung-jawab diakonianya. Bukti-bukti bantuan antar sesama ini pasti merupakan factor-faktor paling penting yang menjelaskan daya tarik perkembangan jemaat-jemaat. Pertama-tama, para janda dan anak piatu mendapat bantuan (bnd. Yak. 1:27). Uskup Cornelius (abad ke-3) menyebutkan bahwa di Roma saja terdapat 1500 janda dan orang miskin. Orang sakit, yang lemah, orang miskin dan orang yang tidak dapat bekerja dibantu dengan berbagai cara. Pemeliharaan jemaat menjangkau orang-orang yang dipenjarakan  dan yang dihukum untuk bekerja di pertambangan. Ketika terjadi bencana-bencana pun jemaat Kristen menunjukkan kesediannya untuk berkorban, umpamanya ketika terjadi epidemic saat Kaisar Valerianus memerintah. Tanpa memikirkan bahaya menular, orang-orang Kristen memelihara yang sakit dan mengguburkan yang meninggal. Liturgy dan diakonia diabad-abad pertama berkaitan sangat erat. Pelayanan meja dan sosial saling berhubungan. Disamping tugas-tugas liturgi, seperti membantu layanan pada saat Perjamuan dan Baptisan, para diaken juga melakukan berbagai pekerjaan pastoral dan diakoni, seperti mengunjungi orang sakit, mengurus pemakaman orang meninggal, menerima orang asing, mengurus makanan dan tempat tinggal, melakukan penagihan dan pengelolaan sumbangan-sumbangan dalam jemaat.[29]
Salah satu daya tarik kekristenan waktu itu, sebagaimana yang disaksikan oleh Tertulianus, adalah bahwa orang-orang Kristen itu benar-benar saling mengasihi; mereka memberlakukan kasih satu terhadap yang lain, terlebih terhadap mereka yang miskin, rendah dan hina. Dengan kekuatan kasih itu mereka berhasil melakukan kesamaan derajat antara sesama manusia.  Hal ini sangat menarik perhatian dan minat banyak orang yang selama ini merasa tidak mempunyai hak yang sama dengan orang-orang lain.[30]

III.             Refleksi
Teologi tanpa ada penerapan akan terasa kurang bila tidak ada penerapan dalam kehidupan nyata sehingga memang alangkah baiknya bila teologi dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Salah satunya adalah teologi sosial, yang harus dapat dipakai secara nyata. Demikian juga teologi sosial yang terjadi dalam abad mula-mula yang terbukti nyata telah diterapkan dengan adanya upaya-upaya yang dilakukan dalam hal pelayanan (diakonia) sosial ditengah kehidupan jemaat dan gereja.
Sehingga memang, kita pun harus mampu menyadari betapa pentingnya sosial dalam kehidupan pelayanan kita, dan harus mampu kita terapkan secara nyata ketika kita melakukan sebuah pelayanan di tengah jemaat dan masyarakat.
Di abad mula-mula, terlihat jelas adanya hubungan liturgi (ibadah) dengan sosial dan sangat jelas hubungan yang erat antara persekutuan dangan pelayanan. Dengan melihat kembali bukti sejarah ini, kita pada masa sekarang secara jujur melihat situasi itu yang terjadi dahulu dan lebih peka melihat situasi sosial pada masa sekarang, dan semakin berusaha menghasilkan teologi-teologi sosial yang kontekstual.

IV.             Kesimpulan
Jemaat Kristen pada abad mula-mula mengetahui dan menyadari bahwa Kristuslah satu-satunya pusat dan sumber dari seluruh kekuatan jemaat (Kis. 20:28). Pekerjaan pelayanan berarti melayani dengan rendah hati. Teologi sosial yang terlihat dalam kehidupan jemaat yang mengalami hambatan dan rintangan dari berbagai pihak, walaupun begita jemaat tetap menunjukkan imannya yang teguh kepada Yesus Kristus dan terlihat dalam kehidupan sosial jemaat ditengah-tengah dunia. Pelayanan sosial (diakonia) yang sangat terlihat mempunyai peran penting menjadi tugas utama gereja pada masa ini.
Dalam masa ini pun kita dapat melihat bagaimana kuatnya hubungan liturgi yang ada dengan diakonia, dan juga persekutuan yang berlandaskan kasih Kristus yang terlihat dalam kegiatan sosialnya, semakin membuat jemaat ini bertumbuh dan berkembang.

V.                Daftar Pustaka
Bavinck, J.H., Sejarah Kerajaan Allah 2, Jakarta: BPK-GM, 1990
Berkhof , H. & I.H. Enklaar, Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM, 2005
de Jonge, C., Pembimbing Kedalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM, 1986
Jagersma, H., Dari Aleksander Agung sampai Bar Kokhba (Sejarah Israel dari ± 330 SM- 135 SM), Jakarta: BPK-GM, 1994
Ladd, George Eldon, Teologi Perjanjian Baru, Jilid II, Bandung: Yayasana Kalam Hidup, 1999
Noordegraaf, A., Orientasi Diakonia Gereja, Jakarta: BPK-GM, 2004
Packer, J.I., Dunia Perjanjian Baru, Jakarta: BPK-GM, 1999
Stambaugh, John & David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula, Jakarta: BPK-GM, 2004
Stott, Jhon, Isu-isu Global, Jakata: YKBK/OMF, 1984
Van Den End, Th., Harta Dalam Bejana, Jakarta: BPK-GM, 1986
Wahono, Wismoady, Di Sini Kutemukan, Jakarta: BPK-GM, 2000




[1] J.H. Bavinck, Sejarah Kerajaan Allah 2, Jakarta: BPK-GM, 1990, hlm. 3
[2] Th. Van Den End, Harta Dalam Bejana, Jakarta: BPK-GM, 1986, hlm. 9
[3] Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan, Jakarta: BPK-GM, 2000, hlm. 466
[4] Ibid, hlm.466-467
[5] John Stambaugh & David Balch, Dunia Sosial Kekristenan Mula-mula, Jakarta: BPK-GM, 2004, hlm.68-69
[6] Ibid, hlm. 73
[7] Jhon Stott, Isu-isu Global, Jakata: YKBK/OMF, 1984, hlm. 324
[8] John Stambaugh & David Balch, Op.cit., hlm. 87
[9] Ibid, hlm. 67
[10] H. Berkhof & I.H. Enklaar, Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM, 2005, hlm. 45
[11] Ibid, hlm. 100
[12] C. de Jonge, Pembimbing Kedalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM, 1986, hlm. 52
[13] John Stambaugh & David Balch, Op.cit., hlm. 99
[14] Th. Van Den End, Op.cit., hlm. 3
[15] John Stambaugh & David Balch, Op.cit., hlm. 173
[16] Th. Van Den End, Op.cit., hlm. 6
[17]J.I. Packer, Dunia Perjanjian Baru, Jakarta: BPK-GM, 1999, hlm.175
[18] H. Berkhof & I.H. Enklaar, Op.cit., hlm. 10-11
[19] H. Jagersma, Dari Aleksander Agung sampai Bar Kokhba (Sejarah Israel dari ± 330 SM- 135 SM), Jakarta: BPK-GM, 1994, hlm. 193
[20] J.I. Packer,Op.cit., hlm 171-172
[21] George Eldon Ladd, Teologi Perjanjian Baru, Jilid II, Bandung: Yayasana Kalam Hidup, 1999, hlm. 65-66
[22] H. Berkhof & I.H. Enklaar, Op.cit., hlm. 11
[23] J.H. Bavinck, Op.cit., hlm. 687
[24] H. Berkhof & I.H. Enklaar, Op.cit., hlm. 11-12
[25] J.I. Packer, Op.cit., hlm 177
[26] J.H. Bavinck, Op.cit., hlm. 703-706
[27] J.I. Packer, Op.cit.,hlm 172-173
[28] A. Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja, Jakarta: BPK-GM, 2004, hlm. 72
[29] Ibid, hlm. 75
[30] Wismoady Wahono, Op.cit. hlm. 469