PERANG
(Suatu
Sikap Etis Teologi dalam Mengambil Keputusan Terhadap Perang)
Oleh : Chrisnov M
Tarigan Sibero, S.Th
I.
Pendahuluan
Perang merupakan
salah satu hal yang sudah dari awalnya terjadi dalam kehidupan, hingga sampai
saat ini pun masih berlangsung. Dari beberapa perang yang sangat berpengaruh
dalam kehidupan manusia yakni Perang Dunia ke-I dan ke-II. Dimana didalamnya,
setiap warga negara yang berperang wajib membela negara dan bangsanya. Selain
itu, dalam kehidupan bernegara dan berbangsa, kita sebagai warga negara
terpanggil untuk setia dan mengabdi kepada negara, sehingga ada yang terpanggil
menjadi aparatur negara seperti polisi dan tentara. Terkhusus dalam bidang
militer, mempunyai kewajiban untuk mempertahankan negara dan membela negara
dalam situasi yang menganggu keamanan negara. Sehingga muncul pertanyaan,
bagaimanakah seharusnya sikap orang Kristen terhadap perang? Apakah ada dasar
Alkitabiah ikut serta dalam peperangan? Apakah kita wajib mengambil bagian
dalam peperangan atas perintah pemerintahan?.
II.
Pembahasan
2.1. Pengertian Perang Secara Umum
Dalam
KBBI, perang adalah suatu permusuhan, pertempuran bersenjata antara negara
(bangsa), misalnya: kedua negara itu masih dalam keadaan perang,
pasukan-pasukan yang baru datang pun mulai terlibat dalam perang yang sengit
ataupun suatu perjuangan, melawan kejahatan, perkelahian, mengadu tenaga.[1]
Sedangkan dalam buku Anggoro Kusnanto dikatakan bahwa perang dikaitkan dengan
konflik atau tindak kekerasan seperti: kerusuhan, kudeta, terorisme, dan
revolusi yang tidak melihat objek yang dihancurkan dan yang mengancurkan, dari
tingkat rendah sampai tingkat tinggi semua dapat hancur akibat perang.[2]
2.2. Perang Dalam PL
Dalam bahasa Ibrani perang disebut dengan “Milkhama“ dan
kata ini muncul lebih dari 300 kali dalam kanon Ibrani[3] yang berasal dari akar
kata lakham, (berperang), bnd. Arab lahama, (merapatkan barisan atau tentara
dalam kesatuan tempur.[4]
Secara
eksplisit Tuhan pernah mengarahkan umat Israel untuk berperang tanpa belas
kasihan setelah tawaran damai ditolak (Ul. 20:10-18). Dalam hal ini dibedakan
ada bangsa yang dekat dan jauh. Bangsa yang jauh adalah mereka yang setelah
kalah seluruh penduduk lelakinya harus dibunuh dengan pedang, yang lain
ditawan, dan harta benda dirampas (ay.13-15). Bangsa yang dekat (Het, Amori,
Kanaan, Feris, Hewi, Yebus) ialah mereka yang kota-kotanya akan diberikan
kepada bangsa Israel sebagai milik. Mereka harus ditumpas dengan alasan supaya
praktik-praktik agama mereka tidak mempengaruhi orang Israel (ay. 16-18).
Selain itu, sebuah alasan bahwa dalam PL merestui perang adalah dengan satu dua
cara Allah digambarkan sebagai raja yang terlibat langsung dalam perang atau divine warrior.[5]
Dalam
zaman PL sejarah bangsa Israel, mulai dari penaklukan tanah Kanaan hingga masa
pembuangan Babel ditandai dengan peperangan. Banyak dari antara peperangan
tersebut dilakukan atas seizin Allah[6].
Sebagian perang terjadi sebagai hukuman Allah (Ul. 28:47-48), perang juga
terjadi sebagai kutuk atas dosa bangsa itu (Im. 26:21-25: 2 Samuel 12:9-10).[7]
Selain itu peperangan yang
dilakukan oleh umat Israel senantiasa dijiwai oleh semangat Holy War dan percaya bahwa peperangan
adalah peperangan antara yang baik dan yang jahat (good and evil).[8]
Banyak
pembaca ayat-ayat yang mengisahkan perang di PL merasa kesulitan dalam
mengartikan peranan perang dalam rangka
sejarah pemeliharaan Allah atas umatNya. Namun seseorang harus mengingat bahwa
kisah perang (mis. perang Yosua bersama bangsa Isreal melawan orang Amalek),
bukanlah untuk menjawab pertanyaan etis yang abstrak tentang perang sebagai
sebuah sarana untuk mencapai tujuan-tujuan umat manusia. Nats tersebut hanya
dapat dimengerti dalam konteks sejarah penebusan manusia oleh Allah yang
dibentangkan dalam kitab-kitab Pentateukh berikut pengaruh anugerah dan
penghakiman ilahi di dalamnya. Melalui ini menunjukkan sebuah tahap di dalam
sejarah keselamatan memenangkan sebuah porsi bumi ini dari kekuasaan dunia yang
mengklaim dirinya memiliki kuasa sendiri. Kemenangan Allah atas Kanaan
membuktikan kepada dunia bahwa Allah Yahweh adalah satu-satunya Allah yang
benar dan hidup, di mana kuasaNya atas dunia ini adalah mutlak.[9]
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, setiap perang yang
terjadi pada umat Israel mempunyai latarbelakang yang berbeda, ada juga
peperangan yang terjadi disebabkan karena kaum Israel selalu ditindas atau
berada di bawah penindasan bangsa-bangsa asing atau bangsa kafir di antara
suku-suku dan bangsa sekitarnya, terlebih lagi ketika mereka keluar dari tanah
Mesir.[10]
Menurut
John Wood ada lima perspektif tentang hubungan antara Allah dengan perang dalam
PL, yakni:
1.
Tradisi perang di dalam PL bersifat revelatory artinya bukan perang itu sendiri
yang menjadi berita utama para penulis PL melainkan kebesaran dan kemuliaan
Allah dibandingkan dengan kuasa-kuasa lainnya atau pun kesombongan manusia.
2.
Allah adalah Allah yang memelihara keteraturan alam semesta.
3.
Timbulnya “chaos” yaitu suatu kekacauan atau ketidak harmonisan di dalam
tatanan dunia ciptaan. Hanya Allah yang dapat menerangi dan mengalahkan kuasa
“chaos” tersebut.
4.
Perang dalam PL bersangkut paut dengan pembuktian iman bangsa Israel bahwa
Allah yang mereka sembah adalah Allah yang bertindak di dalam sejarah yang
membedakan Israel dari agama-agama lain pada masa itu.
5.
Sekalipun Allah adalah Allah yang mengijinkan perang sebagai salah satu sarana
untuk menyatakan kebesaran-Nya. Namun ini bukan sebua legitimasi bagi Israel
untuk memutuskan perang sesuai dengan kehendaknya sendiri.[11]
2.3. Perang Dalam PB
Dalam bahasa Yunani dikatakan polemos, namun sering juga digunakan dalam pengertian Furgative.[12] Kata Pelomos yang
terdapat sebanyak 18 kali dalam kitab PB. Dimana para penulis PB menafsirkan
ulang mengenai perang Tuhan dalam aspek spiritual (bnd. I Kor. 14:8; II Kor.
10:3; I Tim. 1: 18-19). Pemahaman perang
di dalam PB sudah jauh berbeda dari sudut pandang PL, yang mana itu terjadi
setelah kedatangan Yesus ke dunia sehingga perang yang di pahami bukan lagi
perang fisik namum perang itu dikaitkan kepada nilai dan arah misi Yesus
berjuang secara rohani. Perang yang dimaksud dalam PB adalah perang yang
berhubungan erat dengan memerangi kejahatan yang ada dalam diri manusia
sendiri.[13]
Pada saat bertobat orang Kristen memasuki pertentangan.
Kiasan militer sering dipakai. Orang Kristen adalah tentara (2 Tim. 2:3) yang
harus berperang dalam peperangan yang
baik (1 Tim. 1:18). Karena salib telah melucuti tuntas kekuasaan musuh
(Kol. 2:15), maka kemenangan akhir pada kedatangan mesias dalam kekuasaan yang
pasti (2 Tes. 2:8; Why. 17:14).[14]
Namun
walaupun demikian, pada zaman Perjanjian Baru masih terdapat banyak peperangan
yang dilakukan oleh manusia. Misalnya setelah Herodes mati pecahlah suatu
pembrontakan di Yerusalem. Pemberontakkan
ini terjadi akibat dari hukuman mati atas Yudas dan Matias menjelang matinya
Herodes. Para pemberontak menuntut hukuman atas penasehat-penasehat Herodes.
Arkhelaus, yang ditunjukkan Herodes sebagai penggantinya, mengirim
pasukan-pasukan untuk menindas pemberontak tersebut namun gagal sehingga
Arkhelaus mengirim tambahan pasukan dan terjadi pertumpahan darah. Kejadian ini
berlangsung secara bertahap di Yudea, Galilea dan di Perea. Dan akibat dari
pemberontakan itu, Varus dan Aretas IV Raja bangsa Nabatea berhasil mengalahkan
pemberontak dan 2000 pemberontak itu disalibkan.[15]
2.4.
Metode Perang
Mengenai tata cara perang, banyak terdapat didalam PL.
Dimana persiapan tidak saja meliputi persiapan agamawi tetapi juga meliputi hal
lain seperti pengiriman mata-mata (Yos. 2). Karena alasan tertentu, musim semi
adalah waktu yang paling baik untuk berperang (2 Sam. 11:1). Ditempulah
cara-cara perang yang lazim – apabila
perdamaian tidak dapat dicapai dengan perundingan (Hak. 11:12); seperti:
penggrebegan (1 Sam. 14), pengepungan (1 Raj. 20:1) dan penghadangan ( Yos. 8).
Kadang-kadang pertempuran dibebankan kepada pribadi-pribadi terpilih (1 Sam.
17).[16]
3.1.
Etika Kristen Terhadap Perang
3.1.1.
Pandangan Aktivisme
Aktivisme berpendapat bahwa orang Kristen terikat oleh
kewajiban menaati pemerintahnya dan berpartisipasi dalam setiap peperangan yang
dukungan mereka telah dicatat oleh pemerintah. Pandangan ini menawarkan dua
jenis pendapat berkaitan dengan pandangan mereka, yakni alkitabiah dan filsafat
(atau sosial).[17]
3.1.1.1.
Alkitabiah
Pemerintah, yang dalam Alkitab Allah dianggap sebagai
penguasa tertinggi atas dunia ini, dan dikatakan bahwa pelaksana-pelaksana
kuasaNya memperoleh kekuasaan itu karena dipercaya Allah (Mzm. 72:1-4; Rm.
13:1-2; Yoh. 19:11) untuk memastikan bahwa keadilan ditegakkan (1 Raj. 10:9).
Bangsa Israel lebih merupakan negara teokrasi daripada demokrasi, umat
tersebut, demikian pula rajanya, harus ambil bagian dalam hak dan tanggung
jawab terhadap perjanjian dengan Allah (2 Raj. 11:17).[18]
Pemerintah berasal dari Allah, melalui ini Allah
menetapkan pemerintah manusia. Sekalipun bentuk pemerintahan tertentu berubah
di sepanjang PL, ada pengulangan prinsip bahwa pemerintah berasal dari Allah.
Dapat dilihat pada masa teokrasi yang dipimpin Musa, bahkan ketika Israel
membentuk sistem monarkinya yang bertentangan dengan rencana Allah (1 Sam. 8:7),
Allah tetap mengurapi raja pilihan mereka (1 Sam. 8:22; 1 Sam. 10:24; 1 Sam.
23:1).[19]
Ketika umat Yahudi merupakan rakyat jajahan orang-orang
Saduki mengharapkan agar ketaatan terhadap pemerintah harus dilaksanakan. Dalam
PB umat Kristen diperingatkan agar tidak melakukan subversi atau pelanggaran (1
Ptr. 2:13-17).[20]
Dalam Perjanjian Baru, Yesus menyatakan bahwa kita harus’memberikan kepada Kaisar apa yang wajib
diberikan kepada Kaisar‘ (Mat. 22:21). Bahwa otoritas sipil adalah
pemberian Allah, selanjutnya diakui Yesus dihadapan Pilatus ketika Dia berkata,“Engkau tidak mempunyai kuasa apapun
terhadap Aku, jikalau kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas“ (Yoh.
19:11). Paulus mengingatkan Timotius untuk berdoa dan mengucap syukur,“untuk raja-raja dan semua pembesar“ (1
Tim. 2:2). Titus mengasihi untuk,“mengingatkan
orang-orang supaya tunduk pada pemerintah dan orang-orang yang berkuasa“
(Tit. 3:1). Surat Paulus dengan jelas,“Tunduklah,
karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang
kekuasaan yang tertinggi, maupun kepada wali-wali yang diutusnya“ (1 Ptr.
2:13-14). Bagian yang paling luas di dalam PB dalam kaitan orang Kristen dengan
pemerintah ada didalam Rom. 13:1-7.[21]
3.1.1.2.
Filsafat (Sosial)[22]
a.
Pemerintah adalah Pengawal Manusia
Pandangan Plato mengenai ini mengatakan bahwa kita harus
taat kepada negara, sekalipun pemerintah tidak bersikap adil. Ketika Socrates
dalam penjara yang mana saat-saat menanti hukuman mati terhadapnya, ia tetap
mengatakan kepada teman mudanya, Crito, bahwa ia tetap menaati pemerintah walau
tidak adil, bahkan sampai mati.
b.
Pemerintah adalah orang tua bagi manusia
Orang tidak boleh tidak taat kepada pemerintah, karena
dengan tidak menaatinya, kita tidak menaati orang tuanya. Melalui kalimat ini
Socrates bermaksud mengatakan bahwa dengan dukungan pemerintahlah setiap orang
dibawa masuk ke dalam dunia. Negaralah yang menjadikan kelahirannya beradab:
lahir ke dalam peradaban bukan anarki.
c.
Pemerintah adalah pendidik manusia
Implikasi disini adalah bahwa pendidikan yang menjadikan
mereka sebagaimana adanya (termasuk pengetahuannya tentang keadilan dan
ketidakadilan) diberikan kepada mereka oleh pemerintah. Mereka beradab dan
bukan manusia liar, bukan hanya melalui kelahiran, tetapi juga melalui
pelatihan.
d. Yang diperintah mempunyai kewajiban menaati pemerintah
Menurut Socrates, kenapa harus menaati pemerintah adalah
bahwa dia telah membuat kesepakatan
dengannya (negara) bahwa ia akan menaati perintah-perintahnya (negara) dengan
tepat. Yaitu, kesepakatan orang untuk diperintah, yang diberikan melalui
janji setia mereka kepada pemerintah, yang mengikat mereka kepada
hukum-hukumnya.
e. Tanpa pemerintah, akan terjadi kekacauan sosial.
Hukum yang tidak adil adalah buruk, tetapi ketiadaan hukum
bahkan lebih buruk. Bahkan kerajaan yang buruk sekali pun lebih disukai
ketimbang anarki. Adanya pemerintahan lebih baik daripada tidak ada
pemerintahan sama sekali; jika orang tidak menaati pemerintahan karena apa yang
mereka rasa tidak adil atau tidak menyenangkan, maka kekacauan sosial akan
muncul
Satu pandangan menyeluruh yang tidak secara gamblang
termasuk dalam pendapat-pendapat yang dikemukan Socrates adalah bahwa tidak
melawan penyerang yang jahat merupakan kejahatan yang lebih besar daripada melawannya.
Hal ini mengingatkan pada kalimat terkenal,“Yang
diperlukan agar kejahatan menang adalah jika orang baik tidak berbuat apa-apa“ (ungkapan
dari Edmund Burke). Jika orang baik tidak mau melawan orang jahat, maka pelaku
kejahatan akan menang atas dunia.
3.2.2.
Pandangan Pasifisme
Pasifisme pada
hakikatnya adalah pandangan yang berpendapat bahwa berdasarkan prinsip iman
Kristen, tidak ada satu pun perang atau penggunaan kekerasan yang dapat
dibenarkan, sekalipun dengan alasan kemanusiaan. Setiap orang Kristen harus
(secara mutlak) menolak isu tentang perang, bahkan sebagian pendukung kelompok
ini menegaskan bahwa penolakan tersebut termasuk dalam profesi sebagai
prajurit. Sebaliknya, setiap orang yang sudah ditebus oleh Kristus harus
sanggup memancarkan kasih Kristus di dalam situasi dan kondisi apa pun.[23]
Pendapat lain mengatakan juga bahwa orang Kristen tidak boleh berpartisipasi
dalam perang jika sampai harus membunuh orang lain karena Allah telah melarang
manusia mencabut nyawa orang lain.[24]
Pasifisme
menolak peranan orang Kristen dalam menjadi aparatur negara yakni tentara
sehingga mereka menolak tindakan dari tentara karena tugas mereka di dalam
arena peperangan tersebut bertolak belakang dengan perintah kasih yang
diajarkan Yesus, dimana menurut ajaran Yesus memerintahkan murid-murid-Nya
untuk tidak melawan orang-orang yang berbuat jahat kepada mereka (Mat 5:39),
tetapi Yesus memberitakan kasihilah musuhmu dan berdoa bagi mereka yang
menganiaya kamu (Mat 5:44). Itulah sebabnya mengapa orang Kristen menurut
pandangan pasifisme tidak boleh membunuh dengan alasan apapun.[25]
Menurut
pasifisme bahwa di dalam PL sebetulnya tidak menganjurkan perang, dimana telah
dikatakan “mereka akan menempah pedang-pedangnya menjadi mata bajak dan
tombak-tombaknya menjadi pisau pemungkas, bangsa tidak akan lagi mengangkat
pedang terhadap bangsa lain, dan mereka tidak akan lagi belaja perang” (Yes
2:4) sehingga tampak bahwa ayat diatas sesuai dengan perintah Yesus yang
menekankan kasih. Jadi menurut pasifisme kembali bahwa orang Kristen tidak
boleh berpartisipasi dalam setiap jenis dan bentuk perang.[26]
Pandangan-pandangan
pasifisme terdiri dari dua macam dasar, yakni Alkitabiah dan sosial.
3.2.2.1.
Alkitabiah[27]
Salah satu
terdapat perintah Alkitab, “Jangan
Membunuh” (Kel. 20:13) dan yang lain dalam perkataan Yesus, “Janganlah kamu melawan orang yang berbuat
jahat kepadamu” (Mat. 5:39).
Menurut
pasifisme membunuh selalu salah. Menurut pasifisme ada keyakinan bahwa sengaja
mencabut nyawa orang lain selalu salah. Sengaja menghabisi nyawa, khususnya
dalam perang pada dasarnya dan secara radikal salah. Larangan kitab suci
“Jangan membunuh”, termasuk perang, karena perang adalah pembunuhan
besar-besaran.
Kaum pasifisme
lain berpendapat bahwa peperangan dalam PL bukanlah kehendak Allah yang
sempurna melainkan hanyalah kehendak-Nya yang mengizinkan. Allah digambarkan
sebagai yang memerintah perang dalam pengertian sekunder. Perang diperintahkan
oleh Allah dalam pengertian yang sama seperti peristiwa Musa memerintahkan
perceraian karena ketegaran hati manusia (Mat. 19:8). Ini bukan berarti bahwa
Allah benar-benar lebih menginginkan dan memerintahkan perang ketimbang
menyukai ketidaktaatan atau perceraian. Allah mempunyai cara yang lebih baik
dari itu, dan caranya adalah ketaatan dan kasih. Allah bisa mencapai tujuan-Nya
di Israel dan Kanaan tanpa perang, jika
mereka lebih taat kepada-Nya.
Melawan
kejahatan dengan kekuatan adalah kesalahan. Jangan pernah melawan kejahatan
dengan kekuatan fisik, tetapi dengan kekuatan rohani yaitu kasih. Yesus
berkata: “Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan
siapapun yang menampar pipi kananmu berilah juga kepadanya pipi kirimu” (Mat.
5:39). Kristus juga mengajarkan dalam bagian ini bahwa “siapapun yang memaksa
engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil” (Mat.
5:41). Orang Kristen tidak boleh membalas dendam atau membalas kejahatan dengan
kejahatan, karena pembalasan adalah milik Allah (Ul. 32:35).
3.2.2.2.
Sosial[28]
Ada pendapat
sosial yang kuat yang menentang peperangan. Perang bukanlah cara terbaik untuk
menyelesaikan perselisihan manusia. Sepanjang sejarah, sungai darah manusia
mengalir akibat peperangan. Segala macam kejahatan berasal dari perang,
kelaparan, kekejaman, wabah penyakit, dan kematian. Alasan-alasan sosial
adalah:
1. Perang berdasarkan kejahatan
ketamakan.
2. Perang mengakibatkan banyak
kejahatan.
3. Perang menghasilkan perang
3.2.3.
Selektifisme
Menurut kaum
selektifisme bahwa, orang Kristen boleh mengambil bagian dalam perang, yaitu
perang yang adil. Orang Kristen harus memperlihatkan bahwa setidaknya sejumlah
perang pada prinsipnya adil, yang memperlihatkan pasifisme total itu salah, dan
bahwa beberapa peperangan pada prinsipnya tidak adil, dengan demikian
memperlihatkan aktivisme itu salah.
Dasar Alkitabiah
dari selektifisme adalah:
1. Adanya pembunuhan untuk membela diri
yang disetujui (Kel. 22:2)
2. Ada perang yang disetujui oleh Allah
seperti yang dilakukan Abraham melawan raja-raja di lembah Sidim (Kej. 14)
3. Ada perang yang mendapat dukungan
dari Allah yang merupakan kasus khusus yang penting dimana Allah memerintahkan
Yosua untuk memusnahkan penduduk Kanaan yang jahat (Yos. 10)
4. Perang untuk keadilan (Rom.13:4)
Dasar Moral dari
Selektifisme adalah:
1. Didalam dunia yang jahat kekuatan
selalu diperlukan untuk mengendalikan orang-orang jahat, seperti yang dilakukan
polisi dan tentara.
2. Merupakan kejahatan jika tidak
melawan kejahatan, secara moral kita bersalah jika kita tidak membela orang
yang tidak bersalah.
3. Mengizinkan suatu pembunuhan ketika
orang bisa menghindarinya, secara moral bersalah.[29]
Menurut John
Stott mengatakan bahwa suatu perang dianggap benar jika:
1. Alasannya dapat dibenarkan
Perang
dianggap benar apabila alasannya dapat dibenarkan dan sifatnya harus membela
diri bukan untuk menyerang, dimana tujuannya adalah untuk menegakkan keadilan,
mengoreksi ketidakadilan, melindungi yang bersalah dan memperjuangkan hak-hak
azasi manusia. Keputusan untuk perang hanya boleh diambil kalau semua usaha untuk
berunding dan mencari penyelesaian secara damai mengalami kegagalan, didalam
mengambil keputusan ini pun tidak boleh ada motivasi jahat seperti kebencian,
rasa permusuhan atau balas dendam karena dibalik motivasi-motivasi ini membuat
perang itu mengerikan, karena itu perang dibenarkan apabila memiliki tujuan
atau alasan yang jelas serta mempunyai motivasi yang baik seperti untuk
mencapai atau mendatangkan perdamaian bagi umat manusia. Apabila motivasi
perang itu baik seperti untuk melindungi rakyat yang terancam jiwanya, hak-hak
azasinya telah dirampas, masyarakat yang diperlakukan dengan tidak adil dan
semena-mena, maka perang bisa dibenarkan.
2. Caranya harus terkontrol
Perang yang
terjadi tidak boleh ada tindak kekerasan yang sembarangan atau sewenang-wenang
sehingga dapat merugikan pihak lain. Perang itu dirasakan sebagai pilihan yang
terbaik untuk melawan ketidakmanusiaan, karena itu perang yang terjadi tidak
boleh melewati batas-batas alasan perang yang dibenarkan dan tidak melupakan
sasaran yang ditujukan yakni kepada pihak militer bukan kepada masyarakat
sipil, misalnya untuk membebaskan Kuwait dari Irak, maka tujuan perang yang
terjadi adalah benar-benar untuk Kuwait dari Irak, sebaliknya jangan sampai
terjadi setelah Kuwait dibebaskan maka negara Irak dan rakyatnya kembali
diserang.
3. Hasilnya dapat diperkirakan
Maksudnya adalah
bahwa harus ada perhitungan yang matang mengenai harapan akan menang sehingga
sasaran serang itu benar-benar tercapai sesuai dengan yang ditargetkan seperti
seorang raja dalam perumpamaan Yesus yang mempertimbangkan untung-rugi yang
didapatkan setelah perang dan sebelum ia pergi berperang (Luk. 14:31-32).
Demikian juga bagi pihak-pihak yang berperang harus ada perhitungan yang matang
mengenai harapan akan menang, sehingga sasaran untuk perang dapat tercapai.
Walaupun kita mengetahui bahwa konsekuensi yang ditimbulkan oleh perang tidak
hanya sebatas materi, tetapi meliputi korban jiwa. Oleh karena itu sebelum
berperang kita harus mengetahui dan menghitung perbandingan antara kerugiaan
yang akan timbul dan keuntungan yang akan diraih bukan dihasilkan oleh pihak
kita tetapi juga mencakup pihak lawan, kerena tidak gampang memprediksikan dan
menghitung konsekuensi yang ditimbulkan oleh perang.[30]
Ada beberapa
dasar untuk menjadikan perang yang adil:
1. Berperang demi membela yang tidak
bersalah merupakan perang yang adil.
2. Berperang demi menjalankan keadilan
adalah adil.
3. Perang yang adil harus dilakukan oleh
pemerintah.
4. Perang yang adil harus dilakukan
dengan adil
5. Prospek kemenangan yang rasional.
6. Berperang hanya sesudah gagalnya
upaya damai non-militer.
III.
Analisa
Dalam
analisa ini, kami terlebih mengkritis dari masing-masing pandangan dalam etika
Kristen. Pertama, kami mencoba mengkaji beberapa hal dalam pandangan aktivisme
terhadap perang. Dalam pandangan aktivisme berpendapat bahwa orang Kristen terikat oleh kewajiban
menaati pemerintahnya dan berpartisipasi dalam setiap peperangan yang dukungan
mereka telah dicatat oleh pemerintah. Kami memahaminya dengan kaitan dalam
perang, bahwa pemerintah mempunyai peran yang sentral dalam menentukan perang
itu sendiri. Kita sepakat bahwa pemerintah berasal dari Allah, namun
oknum-oknum yang berada dalam pemerintahan adalah manusia, yang mana mempunyai
kelemahan-kelamahan karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang berdosa.
Dalam point diatas, kami sepakat akan perang yang adil, dan dalam kaitan ini,
bukan dalam arti anti-pemerintah, pemerintah pasti bisa saja mengalami
kecacatan dalam mengambil sikap akan perang yang adil (bisanya pemerintah dalam
keputusannya melakukan perang yang tidak adil).
Pemerintah berasal dari Allah, melalui ini Allah
menetapkan pemerintah manusia. Perlunya kesadaran yang tinggi dari pemerintah
bahwa berasal dari Allah, bagaimanapun bentuknya pemerintahannya. Namun, dalam
kaitan ini, pemerintahan yang ada tidak tertutup kemungkinan melanggar
kehendak-kehendak Allah, sehingga kita perlu mengawasinya dan mengkajinya
berdasarkan firman Allah.
Selanjutnya kami mencoba mengkritisi sikap etika Kristen yaitu
pasifisme. Pasifisme pada hakikatnya adalah pandangan
yang berpendapat bahwa berdasarkan prinsip iman Kristen, tidak ada satu pun
perang atau penggunaan kekerasan yang dapat dibenarkan, sekalipun dengan alasan
kemanusiaan. Hal ini bila kita lihat dari satu sisi, merupakan hal yang baik
dan mungkin harus kita lakukan bersama-sama. Namun bila terjadi hal-hal yang
merusak nilai-nilai kemanusiaan, dan kita sudah mengusahakan jalan lain untuk
memperbaikinya, namun hal ini pun tidak tercapai, perang sebagai solusi
terakhir bisa kita lakukan. Karena kami sepakat bahwa membiarkan kejahatan
merupakan kejahatan. Harapan kami bahwa
bahwa dalam peperangan itu pun kita menerapkan kasih, karena kami sepakat
dengan paham pasifisme yang menekankan kasih.
Pasifisme
menolak peranan orang Kristen dalam menjadi aparatur negara. Hal ini pun perlu
kita pertimbangan kembali. Menurut kami, dimana ada kejahatan, pasti kita
memerlukan penegak kebenaran. Kita tahu bahwa fungsi utama aparatur negara
adalah menegak keadilan dan kebenaran. Artinya tidak salah orang Kristen mengambil
peran menjadi aparatur negara, yang salah bila orang Kristen sebagai aparatur
negara tidak menjalankan fungsinya dengan benar.
Dari
pasifisme ini, ada hal penting yang perlu kembali kita tekankan yaitu kasih (mengupayakan
kasih). Bila semua orang, baik bangsa dan negara, menekankan kasih dalam
menjalankan roda pemerintahan, pasti perang tidak akan terjadi.
Dari
etika Kristen selektifisme, penulis pun mencoba mengkajinya. Dalam
selektifisme diterima bahwa “adanya pembunuhan untuk membela diri yang
disetujui”. Kami berharap bahwa pembunuhan adalah upaya terakhir
dalam membela diri. Kita harus mengupayakan dalam pembelaan diri, tidak harus
menghilangkan nyawa.
Dalam
selektifisme juga ada pemahaman akan perang yang benar, dan salah satu hal
penting didalamnya adalah perang yang benar adalah jika “hasilnya dapat
diperkirakan”. Dalam hal ini, pasti kita manusia dan pemerintahan tidak
memiliki kepastian yang pasti dalam memprediksikan hasilnya. Sehingga dalam hal
ini, kami penyeminar ingin menekankan bahwa dalam hal ini, kita harus
betul-betul, sehingga hasilnya yang sudah kita perkirakan, betul-betul tepat.
Perang
yang adil harus dilakukan oleh pemerintah, hal ini merupakan poin penting dalam
perang yang adil di selektifisme. Sama dengan kritik penyeminar terhadap
aktivisme, bahwa: kita sepakat
bahwa pemerintah berasal dari Allah, namun oknum-oknum yang berada dalam
pemerintahan adalah manusia, yang mana mempunyai kelemahan-kelamahan karena
pada dasarnya manusia adalah makhluk yang berdosa.
Dari beberapa pandangan etika Kristen dalam sikap
terhadap perang, dengan melihat kelemahan dan kelebihan yang ada dalam masing-masing
sikap, kami mengambil sikap bahwa sikap selektifisme merupakan sikap yang harus
diambil dalam menanggapi masalah perang. Dengan melihat konteks pada masa
sekarang, yang mana perang juga sudah menjadi bagian dalam kehidupan kita,
sikap selektifisme ini bisa kita gunakan dengan baik, yang mana melalui kita
dimampukan untuk lebih selektif akan permasalahan ini.
Dengan sikap ini, kita mengupayakan bahwa perang
merupakan langkah terakhir yang akan diambil, yang mana langkah awalnya harus
mengupayakan jalan damai. Selanjutnya, bila perang yang menjadi jalan terakhir,
hendaklah perang itu dilakukan dengan benar dan adil seperti penjelasan diatas.
IV.
Kesimpulan
Dari
pemaparan diatas, kita bisa melihat tiga sikap etika Kristen mengenai perang,
yaitu sikap aktivisme, pasivisme, dan selektivisme. Dalam hal ini ketiga
pandangan ini mempunyai kelemahan dan kelebihan didalamnya. Dengan kelebihan
dan kelemahan yang ada, sepakat untuk memilih sikap selektivisme terhadap
perang. Namun, kita juga harus lebih sepakat lagi kepada “perang harus dihindari”.
Sebab, apapun jenis perang tersebut, seluruh umat manusia pasti akan dirugikan.
V.
Daftar
Pustaka
Bauernfeind,
Otto, Polemos, Polemo, in Gerhard
Kittel, et Theological Dictionary Of The
New Testaments, Grands Rapids Michigan:WMB, Eerdmans Publishing Company,
1981
Benne,
Robert, The Moral Vision of the New Testament, New York: HarperCollins,
1996
Browning,
W.R. F., Kamus Alkitab (Panduan Dasar ke
dalam Kitab-kitab, Tema, Tempat, Tokoh, dan Istilah Alkitab), Jakarta:
BPK-GM, 2010
Cragie,
Peter C., The Book Of Deutronomy,
Grands Rapids Michigan:WMB, Eerdmans Publishing Company, 1981
Geisler,
Norman L., Etika Kristen (Pilihan dan Isu
Kontemporer), Malang: SAAT, 2010
Intan,
Benyamin F., Sikap Kekristenan Terhadap
War And Peace. Dalam Bambang Subandrijo (ed), Agama Dalam Praksis, Jakarta:
BPK-GM & Yayasan Widya Bhakti, 2003
Jagersma, H., Dari
Aleksander Agung Sampai Bar Kokhba, Jakarta: BPK-GM, 2003
Karman,
Yonky, Bunga Rampai Teologi Perjanjian
Lama (Dari Kanon Sampai Doa), Jakarta: BPK-GM, 2005
Kusnanto,
Anggoro, Hubungan Sipil dan Militer, Yogyakarta:
PSKP-UGM, 2002
Motyer,
J.A., Perang dalam Ensiklopedia Alkitab
Masa Kini Jilid II (M-L), Jakarta: YKBK/OMF, 2007
Nainggolan,
Binsar, Pengantar Etika Terapan (Petunjuk
Hidup Sehari-hari bagi Warga Gereja), Pematang Siantar: L-SAPA, 2007
Poerwardarminta,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976
Simon
& Christoper Danes, Masalah-Masalah
Moral Sosial dan Aktual, Yogyakarta: Kanisius, 2004
Sitompul
, A.A.dan Baker, Kamus Ibrani-Indonesia, Jakarta:
BPK-GM, 2001
Sproul,
R. C., Etika dan Sikap Orang Kristen, Malang:
Gandum Mas, 1996
Stott,
John, Isu-Isu Global, Jakarta:
YKBK-OMF, 2000
Wood,
John, Perspective On War Intensifikasi
The Bible, Macon: Mercer University Press, 1998
[1]
Poerwardarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976,
hlm. 735
[2]
Anggoro Kusnanto, Hubungan Sipil dan
Militer, Yogyakarta: PSKP-UGM, 2002, hlm. 7
[3] A.A. Sitompul dan Baker, Kamus Ibrani-Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2001,
hlm.38
[4] J.A. Motyer, Perang dalam Ensiklopedia Alkitab Masa Kini
Jilid II (M-L), Jakarta: YKBK/OMF, 2007,
hlm. 237
[5] Yonky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama (Dari
Kanon Sampai Doa), Jakarta: BPK-GM, 2005, hlm. 153
[6] Salah satu contohnya adalah
perang yang dipimpim Yosua melawan orang Amalek dari Rifidim, dimana Yosua
disuruh Musa memilih orang-orang dari kalangan bangsa Israel bertempur dalam
perang tersebut. Selama perang itu Musa berdiri di puncak sebuah bukit dengan
memegang tongkat Allah, dengan demikian Israel dapat mengalahkan orang Amalek
(Kel. 17:8-16)
[7] Binsar Nainggolan, Pengantar Etika Terapan (Petunjuk Hidup
Sehari-hari bagi Warga Gereja), Pematang Siantar: L-SAPA, 2007, hlm. 112
[8] Benyamin F. Intan, Sikap Kekristenan Terhadap War And Peace.
Dalam Bambang Subandrijo (ed), Agama Dalam Praksis, Jakarta: BPK-GM & Yayasan Widya Bhakti,
2003, hlm. 164
[9] Binsar Nainggolan, Op.cit., hlm. 113
[10] Simon & Christoper Danes, Masalah-Masalah Moral Sosial dan Aktual, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hlm. 171
[11] John
Wood, Perspective On War Intensifikasi
The Bible, Macon: Mercer University Press, 1998, p. 170-171
[12] Peter C. Cragie, The Book Of Deutronomy, Grands Rapids
Michigan:WMB, Eerdmans Publishing Company, 1981, p. 272
[13] Otto Bauernfeind, Polemos, Polemo, in Gerhard Kittel, et Theological Dictionary Of The New Testaments,
Grands Rapids Michigan:WMB,
Eerdmans Publishing Company, 1981, p. 176
[14] J.A. Motyer, Op.cit, hlm. 239
[15] H.
Jagersma, Dari Aleksander Agung Sampai
Bar Kokhba, Jakarta: BPK-GM, 2003, hlm. 162
[16] J.A. Motyer, Op.cit, hlm. 239
[17]
Norman L. Geisler, Etika Kristen (Pilihan
dan Isu Kontemporer), Malang: SAAT, 2010, hlm. 258
[18]
W.R. F. Browning, Kamus Alkitab (Panduan
Dasar ke dalam Kitab-kitab, Tema, Tempat, Tokoh, dan Istilah Alkitab), Jakarta:
BPK-GM, 2010, hlm. 318
[19]
Norman L. Geisler, Op.cit, hlm. 259
[20]
W.R. F. Browning, Op.cit, hlm. 318
[21]
Norman L. Geisler, Op.cit, hlm. 260
[22] Ibid, hlm. 261-263
[24]
Norman L. Geisler, Op.cit, hlm. 258
[25]
Benyamin F. Intan, Sikap Kekristenan
Terhadap War and Peace: Suatu Tinjauan Theologis Etis, dalam Bambang
Subandrijo (ed). Agama Dalam Praksis, Jakarta:
BPK-GM & Yayasan Widya Bhakti, 2003, hlm. 99
[26]
R. C. Sproul, Etika dan Sikap Orang
Kristen, Malang: Gandum Mas, 1996, hlm. 26
[27]
Norman L. Geisler, Op.cit., hlm.
265-266
[28] Ibid, hlm. 267-268
[29] Ibid, hlm. 278
[30]
John Stott, Isu-Isu Global, Jakarta:
YKBK-OMF, 2000, hlm. 113-114
suatu artikel yang luar biasa
BalasHapussaya mau mengajak bapak untuk berdiskusi seputar perang dalam PL ini, karena ini berkaitan dengan bahan skripsi saya
smga bapak berkenan untuk membalasnya :). God Bless