TEOLOGI SOSIAL DALAM ABAD MULA-MULA
Oleh : Chrisnov Mulyanta Tarigan Sibero, S.Th
Oleh : Chrisnov Mulyanta Tarigan Sibero, S.Th
I.
Pendahuluan
Manusia
merupakan makhluk sosial, yang tidak dapat hidup sendiri. Sehingga memang
sangat penting adanya hubungan sosial dalam kehidupan ini. Pada saat ini kita
akan mencoba melihat bagaimana Teologi Sosial dalam Abad Mula-mula ini. Semoga
ini menambah wawasan kita semua.
II.
Pembahasan
2.1.Konteks Kehidupan Kekristenan pada
Abad Mula-Mula
2.1.1.
Konteks
Politik
Dimasa
hidup Yesus bangsa Israel takluk kepada Kerajaan Romawi. Yang termasuk dalam
Kerajaan Romawi pada zaman itu bukan saja sebagian besar dari Eropa, tetapi
juga bagian-bagian dari Afrika dan Asia. Bala tentara Romawi telah bergerak ke
timur dan barat dan berturut-turut menaklukkan bangsa-bangsa lain. Semua negeri
disekitar Laut Tengah dikuasainya.[1]
Secara politis, dunia tempat gereja lahir dan berkembang dibagi atas 2 negara
besar, yaitu Kekaisaran Romawi dan Kerajaan Partia (sesudah tahun 225 menjadi Persia).
Kekaisaran Romawi meliputi daerah-daerah disekitar Laut Tengah, Kerajaan Partia
meliputi wilayah India dan Irak yang sekarang.[2]
Sejak
semula hubungan Yahudi-Kristen memang tidak berjalan dengan mulus, keadaan ini
makin memburuk hampir selama abad pertama masehi. Banyak peraturan agama Yahudi
yang diabaikan demikian saja didalam kehidupan persekutuan Kristen; padahal
banyak orang-orang Kristen yang semula beragama Yahudi. Diperparah semenjak
kekalahan Yahudi melakukan pemberontakan, Kristen menjadi sasaran kemarahan dan frustrasi orang Yahudi. [3]
Hubungan
Romawi-Kristen tidak bisa dipisahkan dari hubungan Yahudi-Kristen dan hubungan
Romawi-Yahudi. Yahudi memang mendapat tempat yang sah didalam kekaisaran
Romawi. Kedudukan inilah yang diperjuangkan oleh persekutuan Kristen. Salah
seorang tokoh Romawi yang bernama Tasitus pernah menuduh orang-orang Kristen
dengan tuduhan odium generis humani, artinya
mereka dipersalahkan karena menggalang kebencian rasial. Orang-orang Kristen
dituduh tidak patriotic dan anti sosial. Dan karena tidak mengikuti
upacara-upacara agama resmi Romawi-Yunani, serta tidak menunjukkan upacara
keagamaanya secara terbuka, maka mereka segera dituduh juga sebagai ateis.[4]
2.2.Konteks Ekonomi
Orang-orang
Yunani, Romawi dan Ibrani semua menoleh kebelakang ke suatu masa ketika
kekayaan dan status diukur dari luas tanah atau ternak dan kekuasaan diukur
dengan kesetiaan keluarga. Pada masa PB, uang dan harta bergerak menjadi
semakin penting. Kekayaan materi dari dunia Yunani/ Romawi dibagikan secara
tidak merata. Sebagian kecil populasi memiliki bagian terbesar dari tanah dan
sumber-sumbernya, kebanyakan orang harus bertahan dengan sarana yang sangat
minim atau menghemat dengan jumlah yang sedikit. Kehidupan dengan konsumsi yang
berlebihan sudah tentu menuntut banyak barang untuk dikonsumsi. Uang untuk
dihabiskan dan sumber-sumber untuk dimanfaatkan. Karena tanah menghasilkan
makanan, yang merupakan salah satu komoditi yang harus ada dimasa kuno, tanah
selalu merupakan investasi yang menguntungkan khususnya bagi seseorang yang
cukup kaya untuk mengatasi beberapa tahun paceklik. Karena itu kekayaan
golongan elit didasarkan pada tanah, apakah sebagai warisan atau didapat dari
tetangga yang bangkrut atau para debitur atau sebagai jarahan perang.[5]
Pentingnya
kekayaan yang didasarkan mencerminkan kenyataan bahwa masyarakat kuno, seperti
masyarakat mana pun tergantung pada makanan. Kebanyakan angkatan kerja
kekaisaran Romawi terlibat pada pertanian dan perternakan dengan
lembaran-lembaran PB memperlihatkan lebih banyak kessadaran daripada kebanyakan
sastra Yunani-Romawi tentang realitas yang sering kali kejam tentang ekonomi
subsistensi. Tanah pertanian diolah dengan beberapa cara, beberapa tanah
pertanian pribadi yang kecil diolah oleh pemiliknya sendiri dengan pertolongan
dari anggota keluarga mereka dan barang kali beberapa orang budak. Dibeberapa
tempat tanah kepunyaan seorang tuan tanah kaya akan dibagi menjadi lahan-lahan
individual kecil untuk disewakan kepada para petani penggarap berdasarkan suatu
peraturan sewa (Mat.21:33-41, Mark. 12:1-9, Luk.20:9-16). Ditempat-tempat lain,
tanah yang luas diolah langsung oleh sekumpulan budak, dibawah pengawas seorang
atau lebih penatalayan. Para penatalayan aini sendiri sering kali adalah
budak-budak yang teelah membuktikan kesetiaan dan kecakapan berorganisasi.[6]
Orang-orang
yang mempunyai sumber-sumber untuk diinvestasikan dan naluri unyuk mengambil
resiko dan dapat mengambil keuntungan besar dalam perdagangan, contohnya:
perkapalan mengandung banyak bahaya karena karam dan pembajakan. Tetapi
keuntungannya besar. Yang jauh lebih umum adalah orang terlibat dalam pekerjaan
produksi, distribusi dan jasa pada tingkat kecil untuk memenuhi kebutuhan
setempat. Bidang ekonomi dalam kekristenan mula-mula juga berkaitan dengan
peminjaman uang dan pengumpulan pajak. Mereka yang meminjamkan yang uang baik
secara formal maupun non-formal dilindungi dengan baik dari ketidakmampuan
membayar. Dibawah hukum Yunani, Romawi dan Timur para kreditur tampaknya dapat
memperbudak secara permanen atau penahanan sementara para debitur bila tidak
dapat membayar pinjamannya. Perumpamaan tentang hamba yang tidak berbelas kasih
(Mat.18:23-35) melukiskan pilihan-pilihannya. Pemimjaman uang adalah sebuah
profesi yang didalamnya terlibat para ksatria dan pedagang kecil. Mereka
berfungsi sebagai bank, yang menerima uang pada tingkat yang tetap dan
meminjamkannya kepada para peminjam lain (Mat.25:27, Luk.19:23).
Pribadi-pribadi juga meminjamkan uang dan melakukan investasi dalam usaha-usaha
bisnis dengan harapan mendapatkan keuntungan (Mat.25:14-30, Luk.19:12-27).
Disisi lain, kaum Kristen mula-mula menyadari bahwa manusia diperintahkan pada
mulanya supaya menaklukkan dan menguasi bumi dalam artian menggali flora, fauna
dan mineralnya serta memanfaatkannya guna kepentingannya. Keadaan yang ada
disekitar jemaat mula-mula pada masa ini tentunya sangat berpengaruh dalam
persekutuan itu.[7]
Mata
uang besar berupa perak dan emas dicetak oleh percetakan uang logam Kekaisaran
Romawi, mata uang ini mempunyai gambar kaisar pada satu sisi, dan berbagai
gambar lain pada sisi yang lain. Mata uang perak yang standar disebut Dinari yang dikenal di Timur oleh
ekuivalennya dalam bahasa Yunani drachma
(dirham) (Mat.20:1-6).[8]
2.2.1.
Konteks
Sosial
Dalam
masyarakat Yunani Kuno, mereka memiliki suatu hubungan antara kaum bangsawan
yang tentunya saling menguntungkan. Tradisi Romawi, kaum-kaum bangsawan sangat
senang melakukan hubungan timbal-balik. Sementara hubungan yang dibina kepada
orang-orang atau sanak-saudaranya yang miskin hanya untuk kepentingan diri
sendiri saja. Mengharapkan dukungan dalam hal politik untuk bersaing pada para
lawan, mengharapkan bantuan jika panen tiba dan dalam permusuhan dengan kaum
bangsawan lainnya. Sebaliknya, orang-orang atau sanak saudara yang miskin,
mengharap perlindungan fisik dan pinjaman dan pemberian pada waktu kesusahan.[9]
Situasi
sosial pada abad mula-mula dipengaruhi oleh derajat kebajikan. Segala dosa
masyarakat Roma disebut Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat Roma, pasal
1:24-32. Kebajikan kaum Kristen yang suci dan murni, jujur, berbeda jauh dengan
segala kejahatan itu. Berbuat zinah terlarang keras begitupun halnya
menggugurkan buah kandungan, membuang anak dan sebagainya. Dalam perdagangan
dan pergaulan umum dan orang kafir, kaum Kristen tidak menipu atau berdusta,
suatu hal yang luar-biasa pada zaman itu. Hal nikah dan rumah-tangga dijunjung
tinggi didalam jemaat Kristen meskipun hidup lajang (tidak kawin) dianggap
lebih suci oleh banyak orang kaum wanita dihormati; juga dalam hidup jemaat,
kecakapan dan tenaga mereka dipergunakan untuk pelbagai tugas.
Situasi
sosial pada abad mula-mula juga berkaitan dengan kepemilikan (milik). Milik itu
adalah pinjaman dari Allah. Sebab itu, milik perseorangan diakui baik asalkan
anggota jemaat sadar dan ingat bahwa ia bertanggungjawab selaku hamba Tuhan
atas miliknya itu. Segala kelebihan baiklah diserahkan kepada yang
berkekurangan. Jemaat merasa malu kalau seorang anggotanya miskin atau lapar,
tetapi sekalipun demikian gereja zaman itu belum insaf, bahwa jurang perbedaan
yang mendalam antara kemiskinan dan kekayaan didalam masyarakatnya harus
dianggap sebagai suatu keadaan sosial yang salah atau buruk, benar dihadapan
Tuhan dan sesame manusia. Gereja belum mengerti panggilan dan tugasnya untuk
memberantas dan membasmi segala keadaan yang kurang adil itu demi Injil
pengasihan Tuhan.[10]
2.2.2.
Konteks
Kebudayaan
Bidang budaya yang paling berpengaruh pada masa itu
adalah budaya Yunani. Budaya ini juga sangat berpengaruh terhadap segi-segi
keagamaan dan juga termasuk juga dalam ibadah-ibadahnya. Bahkan juga hal ini
tampak tidak hanya dari segi keagamaan, kebudayaan helenisme ini juga
berpengaruh kepada penataan kota. Dari segi arsitekturnya untuk membangun
kuil-kuil, teater, gymnasia dengan gang-gang beratap (ascade)¸ stoa, saluran air, pemandian air mancur dan deretan tiang
(colonnade), dan bahkan juga Bait
Suci di Yerusalem dibangun dengan gaya Yunani.[11]
Kebudayaan dimana gereja lahir dan berkembang adalah
kebudayaan Helenisme. Helenisme menjadi kebudayaan yang menentukan cara
berpikir dan cara percaya semua orang yang berpendidikan di Kekaisaran Romawi,
termasuk orang Kristen.[12]
Budaya Yunani berpengaruh di Palestina dalam beberapa hal, mungkin yang paling
luas adalah dalam ibadah keagamaan. Ibadah-ibadah kafir asli diubah oleh
unsur-unsur Yunani. Herodes Agung membangun beberapa caesarea (tempat-tempat suci yang dipersembahkan kepada Agustus).
Di Samaria, Panias, dan Kaisarea dan tempat-tempat suci itu berisikan
patung-patung sebuah patung Agustus yang mengikuti contoh Zeus dan yang
lainnya, Roma mengkitu yang contoh Hera.[13]
2.2.3.
Konteks
Keagamaan
Dalam
wilayah tempat dimana gereja lahir, terdapat aneka ragam agama. Di wilayah
Kekaisaran Romawi dan Mesopotamia (daerah Irak) terdapat sejumlah besar agama
suku. Namun banyak juga orang sudah tidak puas lagi dengan agama-agama yang
lama dan mencari jalan keselamatan dalam bermacam-macam aliran kepercayaan.
Diseluruh daerah itu terdapat pula banyak penganut agama Yahudi. Di
Mesopotamia, agama Babylonia dengan kepercayaannya pada pengaruh takdir atas
kehidupan manusia masih hidup terus. Didaerah Iran terdapat agama Zoroaster yang
oleh raja-raja Persia sesudah tahun 225 M dijadikan sebagai agama negara.[14]
Kekristenan
pada zaman ini juga akan dan harus bergesekan dengan agama Yahudi. Lebih
lanjut, orang-orang Kristen jarang melupakan asal-usul mereka sebagai aliran
Yahudi.[15]
Namun karena ternyata Yahudi dan Kristen itu berbeda, sering Kristen harus
menerima tekanan dari Yahudi. Kristus yang merupakan sosok pribadi yang
mesianis bagi orang-orang Kristen ditolak sama sekali oleh Yahudi.[16]
2.3.Teologi Sosial pada Abad Mula-Mula
Jemaat
Kristen pada abad mula-mula mengetahui dan menyadari bahwa Kristuslah
satu-satunya pusat dan sumber dari seluruh kekuatan jemaat (Kis. 20:28).
Pekerjaan pelayanan berarti melayani dengan rendah hati dan bukan memerintah
dari kantor yang enak (bnd. Mat. 20:26-28). Jemaat Kristen mengundang
orang-orang yang belum percaya memasuki persekutuan mereka, yaitu tubuh
Kristus.[17]
Mula-mula
pimpinan jemaat diamanatkan kepada rasul-rasul
(yaitu bukan saja saksi-saksi kebangkitan Yesus, tetapi juga utusan-utusan
Injil yang mengedari semua negeri), pengajar-pengajar
(guru-guru agama, yang menafsirkan Alkitab, seperti ahli-ahli Taurat dalam
agama Yahudi) dan nabi-nabi (yang
menerima karunia Roh yang istimewa). Saudara-saudara ini bukan dipilih,
melainkan dengan sendirinya mereka di hormati dan diakui kuasanya dalam jemaat
karena karunianya yang luar biasa itu. Mereka tidak terikat pada satu jemaat
saja. Disamping pangkat-pangkat itu ada penatua-penatua
(presbiter) dalam tiap-tiap jemaat; dari antaranya dipilih orang yang
diberi tugas mengamat-amati jemaat, juga mengurus keuangan, organisasi dan
sebagainya. Mereka ini dibantu oleh syamas
(atau diakonos, artinya pelayan);
tugasnya ialah melayani orang miskin, janda-janda, memungut uang, dan menjaga
kebaktian.[18]
Bukti
nyata dari teologi sosial pada abad mula-mula dapat kita lihat dalam perjalanan
dan perkembangan jemaat mula-mula
(gereja) yang terlihat dalam kegiatan-kegiatannya. Dalam Kis. 2:44 dyb dan
4:32-37 (bnd. 5:1-11) diceritakan, bahwa rasa kesatuan dalam jemaat tersebut
selama dalam jangka waktu tertentu diwujudkan dalam pemilikan bersama atas
harta benda.[19]
Jemaat Kristen di Yerusalem berbagi seluruh harta benda materiel mereka. Banyak
dari mereka yang menjual tanah miliknya dan memberikan hasilnya kepada gereja,
yang kemudian membagikan hasil ini diantara jemaat. Jemaat Kristen di Yerusalem
tetap pergi ke Bait Suci untuk berdoa (Kis.2:46), tetapi mereka mulai
mengadakan Perjamuan Kudus Tuhan di rumah mereka masing-masing (Kis.2:42-46).
Perjamuan simbolis ini mengingatkan mereka pada perjanjian baru yang mereka
miliki dengan Allah, yang telah diadakan oleh Yesus Kristus dengan mengorbankan
darah dan tubuhNya sendiri.[20] Hal
ini juga nantinya dipraktekkan juga oleh gereja-gereja yang didirikan Paulus:
perjamuan dalam bentuk persekutuan bersama atau agape, dengan yang biasanya dihubungkan dengan Perjamuan Tuhan (1
Kor.11:20 dan 34). Perjamuan bersama memainkan peran yang penting didalam
pelayanan Yesus dan terus menjadi factor penting didalam kehidupan gereja
pertama. Rumah-rumah pribadi dipersiapkan sebagai tempat pelaksanaan kebaktian
dan kegiatan-kegiatan Kristen lainnya.[21]
Pada
perkembangan selanjutnya gereja mengalami pembaharuan-pembaharuan didalam
tubuhnya. Banyak hal-hal yang dihasilkan dan dilakukan dari pembaharuan-pembaharuan
tersebut. Dalam hal ini juga berhubungan dengan pola-pola ibadah (persekutuan).
Pada kebiasaan jemaat mula-mula dalam ibadah ada kebiasaan selalu diadakan
perjamuan bersama dalam perkumpulan itu (Kis.2:46). Jemaat berdoa, menyanyi,
mendengarkan pembacaan dan penjelasaan firman.[22]
Mereka sehati dalam persekutuan. Merasa terikat oleh kasih yang erat. Supaya
persatuan yang telah ada jangan hilang, dibiasakanlah makan bersama
(memecah-mecahkan roti) dan berdoa bersama. Orang-orang kaya memanggil
orang-orang miskin makan bersama sambil bersama bertekun berdoa. Hal ini juga
terterap dalam kehidupan sehari-hari yang mana tidak mementingkan diri sendiri
dan mereka saling rendah hati (Kis.2:41-47).[23]
Mula-mula
belum ada tatacara kebaktian yang tetap, sehingga timbul kekacauan (1 Kor.14).
Lambat-laun kebaktian dilangsungkan dengan memakai tatacara atau liturgia yang lengkap. Bagian pertama
terdiri atas doa, nyanyian, pembacaan Firman Tuhan dan kotbah; sesudah itu
makan bersama (Perjamuan Tuhan). Gereja lama menyebut perjamuan ini dengan “eukharistia” (pengucapan syukur).[24]
Perjamuan Tuhan yang merupakan makanan yang dimakan bersama dirumah-rumah
jemaat. Setiap tamu membawa masing-masing hidangannya dan dikumpulkan diatas
meja perjamuan. Dimulai dengan doa, lalu membagi-bagikan sebuah roti dan
masing-masing memakan sepotong yang melambangkan tubuh Kristus. Jamuan ditutup
dengan doa dan saling berbagi minuman dari secawan anggur, yang melambangkan
darah Kristus.[25]
Dengan
bertumbuhnya jemaat, berlipat ganda pula kesukaran-kesukaran yang harus
dihadapi. Dalam suatu kumpulan kecil, masih dapat dipelihara persaudaraan erat
dan rasa sehati, tetapi dalam kelompok besar, hal itu makin lama semakin sukar.
Setelah jumlah jemaat melebihi 5000 orang (lht. Kis.4:4), mulailah timbul
kesukaran-kesukaran, termasuk pelayanan kepada orang miskin dan janda. Sehingga
dipilihlah dan diteguhkan tujuh orang yang terkenal baik, penuh roh dan hikmat
untuk melayani orang miskin dan janda. Pemilihan yang dilakukan itu tidak
dicampuri rasul-rasul. Sedapat mungkin mereka mau menghormati hak-hak jemaat.
Sesudah terpilih dibawalah mereka kepada rasul-rasul. Rasul-rasul
menyetujuinya, sebab mereka dipilih oleh Kristus untuk memimpin jemaat.
Rasul-rasul menyerahkan mereka kepada Allah dengan berdoa dan meletakkan tangan
ke atas kepala mereka. Kewajiban mereka yang terutama adalah melakukan tugas
diakonia.[26]
Terlihat bahwa pelayanan (diakonia) yang bersifat sosial sudah diterapkan.
Ketika
Stefanus ditangkap dan diadili dengan tuduhan penghujatan. Ia memberikan
pembelaan iman dan akhirnya dilempari batu hingga mati (Kis.7:52-60). Peristiwa
ini mengawali penganiayaan yang membuat banyak orang Kristen lari dari
Yerusalem (Kis.8:1). Sebagian dari jemaat Kristen ini tinggal diantara
orang-orang bukan Yahudi di Samaria, yang kemudian banyak yang bertobat oleh
pemberitaan mereka (Kis.8:5-8). Mereka mendirikan jemaat di berbagai kota
non-Yahudi, seperti di Antiokhia di Siria.[27]
Selanjutnya
perempunan pun mempunyai kedudukan penting dalam pelayanan diakonia. Sumbangsih
perempuan dalam jemaat melalui fungsi diaconal sendiri tidak hanya terbatas
pada Rom. 16:1. Kita juga menyatakan dalam 1 Tim.3:11. Juga tugas para janda
yang menurut 1 Tim.5:9-10 terdapat dalam jemaat. Bersama para diaken, para
janda ini melakukan tugas-tugas diakoni dan pastoral. Jadi, mereka juga
ditetapkan secara resmi.[28]
Pada
abad ke-2 dan ke-3, gereja adalah kelompok minoritas yang dikejar-kejar, dilain
pihak gereja terus berkembang sekalipun dianiaya. Pada masa itu, perbedaan
antara lapisan orang kaya dan miskin semakin menjadi-jadi, kekacauan politik
terjadi dan malapetaka pada abad ke-3 mengakibatkan kemiskinan massal yang juga
melanda jemaat-jemaat muda. Disamping itu, pengejaran terhadap orang-orang
Kristen mengakibatkan berbagai kesulitan sosial kemasyarakatan. Di abad-abad
ini gereja Kristen dengan berbagai cara telah membuktikan rasa tanggung-jawab
diakonianya. Bukti-bukti bantuan antar sesama ini pasti merupakan factor-faktor
paling penting yang menjelaskan daya tarik perkembangan jemaat-jemaat.
Pertama-tama, para janda dan anak piatu mendapat bantuan (bnd. Yak. 1:27).
Uskup Cornelius (abad ke-3) menyebutkan bahwa di Roma saja terdapat 1500 janda
dan orang miskin. Orang sakit, yang lemah, orang miskin dan orang yang tidak
dapat bekerja dibantu dengan berbagai cara. Pemeliharaan jemaat menjangkau
orang-orang yang dipenjarakan dan yang
dihukum untuk bekerja di pertambangan. Ketika terjadi bencana-bencana pun jemaat
Kristen menunjukkan kesediannya untuk berkorban, umpamanya ketika terjadi
epidemic saat Kaisar Valerianus memerintah. Tanpa memikirkan bahaya menular,
orang-orang Kristen memelihara yang sakit dan mengguburkan yang meninggal.
Liturgy dan diakonia diabad-abad pertama berkaitan sangat erat. Pelayanan meja
dan sosial saling berhubungan. Disamping tugas-tugas liturgi, seperti membantu
layanan pada saat Perjamuan dan Baptisan, para diaken juga melakukan berbagai
pekerjaan pastoral dan diakoni, seperti mengunjungi orang sakit, mengurus
pemakaman orang meninggal, menerima orang asing, mengurus makanan dan tempat
tinggal, melakukan penagihan dan pengelolaan sumbangan-sumbangan dalam jemaat.[29]
Salah
satu daya tarik kekristenan waktu itu, sebagaimana yang disaksikan oleh
Tertulianus, adalah bahwa orang-orang Kristen itu benar-benar saling mengasihi;
mereka memberlakukan kasih satu terhadap yang lain, terlebih terhadap mereka
yang miskin, rendah dan hina. Dengan kekuatan kasih itu mereka berhasil
melakukan kesamaan derajat antara sesama manusia. Hal ini sangat menarik perhatian dan minat
banyak orang yang selama ini merasa tidak mempunyai hak yang sama dengan
orang-orang lain.[30]
III.
Refleksi
Teologi
tanpa ada penerapan akan terasa kurang bila tidak ada penerapan dalam kehidupan
nyata sehingga memang alangkah baiknya bila teologi dapat diterapkan dalam
kehidupan nyata. Salah satunya adalah teologi sosial, yang harus dapat dipakai
secara nyata. Demikian juga teologi sosial yang terjadi dalam abad mula-mula
yang terbukti nyata telah diterapkan dengan adanya upaya-upaya yang dilakukan
dalam hal pelayanan (diakonia) sosial ditengah kehidupan jemaat dan gereja.
Sehingga
memang, kita pun harus mampu menyadari betapa pentingnya sosial dalam kehidupan
pelayanan kita, dan harus mampu kita terapkan secara nyata ketika kita
melakukan sebuah pelayanan di tengah jemaat dan masyarakat.
Di
abad mula-mula, terlihat jelas adanya hubungan liturgi (ibadah) dengan sosial
dan sangat jelas hubungan yang erat antara persekutuan dangan pelayanan. Dengan
melihat kembali bukti sejarah ini, kita pada masa sekarang secara jujur melihat
situasi itu yang terjadi dahulu dan lebih peka melihat situasi sosial pada masa
sekarang, dan semakin berusaha menghasilkan teologi-teologi sosial yang
kontekstual.
IV.
Kesimpulan
Jemaat
Kristen pada abad mula-mula mengetahui dan menyadari bahwa Kristuslah
satu-satunya pusat dan sumber dari seluruh kekuatan jemaat (Kis. 20:28).
Pekerjaan pelayanan berarti melayani dengan rendah hati. Teologi sosial yang
terlihat dalam kehidupan jemaat yang mengalami hambatan dan rintangan dari
berbagai pihak, walaupun begita jemaat tetap menunjukkan imannya yang teguh
kepada Yesus Kristus dan terlihat dalam kehidupan sosial jemaat ditengah-tengah
dunia. Pelayanan sosial (diakonia) yang sangat terlihat mempunyai peran penting
menjadi tugas utama gereja pada masa ini.
Dalam
masa ini pun kita dapat melihat bagaimana kuatnya hubungan liturgi yang ada
dengan diakonia, dan juga persekutuan yang berlandaskan kasih Kristus yang
terlihat dalam kegiatan sosialnya, semakin membuat jemaat ini bertumbuh dan
berkembang.
V.
Daftar
Pustaka
Bavinck, J.H., Sejarah Kerajaan Allah 2, Jakarta: BPK-GM, 1990
Berkhof , H. & I.H.
Enklaar, Sejarah Gereja, Jakarta:
BPK-GM, 2005
de Jonge, C., Pembimbing Kedalam Sejarah Gereja, Jakarta:
BPK-GM, 1986
Jagersma, H., Dari Aleksander Agung sampai Bar Kokhba
(Sejarah Israel dari ± 330 SM- 135 SM), Jakarta: BPK-GM, 1994
Ladd, George Eldon, Teologi Perjanjian Baru, Jilid II, Bandung:
Yayasana Kalam Hidup, 1999
Noordegraaf, A., Orientasi Diakonia Gereja, Jakarta:
BPK-GM, 2004
Packer, J.I., Dunia Perjanjian Baru, Jakarta: BPK-GM,
1999
Stambaugh, John &
David Balch, Dunia Sosial Kekristenan
Mula-mula, Jakarta: BPK-GM, 2004
Stott, Jhon, Isu-isu Global, Jakata: YKBK/OMF, 1984
Van Den End, Th., Harta Dalam Bejana, Jakarta: BPK-GM,
1986
Wahono, Wismoady, Di Sini Kutemukan, Jakarta: BPK-GM, 2000
[1] J.H. Bavinck, Sejarah Kerajaan Allah 2, Jakarta: BPK-GM,
1990, hlm. 3
[2] Th. Van Den End, Harta Dalam Bejana, Jakarta: BPK-GM,
1986, hlm. 9
[3] Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan, Jakarta: BPK-GM,
2000, hlm. 466
[4] Ibid, hlm.466-467
[5] John Stambaugh & David
Balch, Dunia Sosial Kekristenan
Mula-mula, Jakarta: BPK-GM, 2004, hlm.68-69
[6] Ibid, hlm. 73
[7] Jhon Stott, Isu-isu Global, Jakata: YKBK/OMF, 1984, hlm. 324
[8] John Stambaugh & David
Balch, Op.cit., hlm. 87
[9] Ibid, hlm. 67
[10] H. Berkhof & I.H. Enklaar, Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM, 2005,
hlm. 45
[11] Ibid, hlm. 100
[12] C. de Jonge, Pembimbing Kedalam Sejarah Gereja, Jakarta:
BPK-GM, 1986, hlm. 52
[13] John Stambaugh & David
Balch, Op.cit., hlm. 99
[14] Th. Van Den End, Op.cit., hlm. 3
[15] John Stambaugh & David
Balch, Op.cit., hlm. 173
[16] Th. Van Den End, Op.cit., hlm. 6
[17]J.I. Packer, Dunia Perjanjian Baru, Jakarta: BPK-GM, 1999, hlm.175
[18] H. Berkhof & I.H. Enklaar, Op.cit., hlm. 10-11
[19] H. Jagersma, Dari Aleksander Agung sampai Bar Kokhba
(Sejarah Israel dari ± 330 SM- 135 SM), Jakarta: BPK-GM, 1994, hlm. 193
[20] J.I. Packer,Op.cit., hlm 171-172
[21] George Eldon Ladd, Teologi Perjanjian Baru, Jilid II, Bandung:
Yayasana Kalam Hidup, 1999, hlm. 65-66
[22] H. Berkhof & I.H. Enklaar, Op.cit., hlm. 11
[23] J.H. Bavinck, Op.cit., hlm. 687
[24] H. Berkhof & I.H. Enklaar, Op.cit., hlm. 11-12
[25] J.I. Packer, Op.cit., hlm 177
[26] J.H. Bavinck, Op.cit., hlm. 703-706
[27] J.I. Packer, Op.cit.,hlm 172-173
[28] A. Noordegraaf, Orientasi Diakonia Gereja, Jakarta:
BPK-GM, 2004, hlm. 72
[29] Ibid, hlm. 75
[30] Wismoady Wahono, Op.cit. hlm. 469
Syalom Bang, Mejuah-juah... Terima kasih atas kirimannya bang, sangat membantu, semoga pelayanannya juga dapat dimudahkan oleh Nya sama seperti tugas saya dimudahkan oleh kiriman ini bang... hehehe Syalom Tuhan Yesus Memberkati :D
BalasHapus