Sabtu, 21 Februari 2015

PERANG


PERANG
(Suatu Sikap Etis Teologi dalam Mengambil Keputusan Terhadap Perang)
Oleh : Chrisnov M Tarigan Sibero, S.Th

       I.            Pendahuluan
Perang merupakan salah satu hal yang sudah dari awalnya terjadi dalam kehidupan, hingga sampai saat ini pun masih berlangsung. Dari beberapa perang yang sangat berpengaruh dalam kehidupan manusia yakni Perang Dunia ke-I dan ke-II. Dimana didalamnya, setiap warga negara yang berperang wajib membela negara dan bangsanya. Selain itu, dalam kehidupan bernegara dan berbangsa, kita sebagai warga negara terpanggil untuk setia dan mengabdi kepada negara, sehingga ada yang terpanggil menjadi aparatur negara seperti polisi dan tentara. Terkhusus dalam bidang militer, mempunyai kewajiban untuk mempertahankan negara dan membela negara dalam situasi yang menganggu keamanan negara. Sehingga muncul pertanyaan, bagaimanakah seharusnya sikap orang Kristen terhadap perang? Apakah ada dasar Alkitabiah ikut serta dalam peperangan? Apakah kita wajib mengambil bagian dalam peperangan atas perintah pemerintahan?.

    II.            Pembahasan
2.1. Pengertian Perang Secara Umum
Dalam KBBI, perang adalah suatu permusuhan, pertempuran bersenjata antara negara (bangsa), misalnya: kedua negara itu masih dalam keadaan perang, pasukan-pasukan yang baru datang pun mulai terlibat dalam perang yang sengit ataupun suatu perjuangan, melawan kejahatan, perkelahian, mengadu tenaga.[1] Sedangkan dalam buku Anggoro Kusnanto dikatakan bahwa perang dikaitkan dengan konflik atau tindak kekerasan seperti: kerusuhan, kudeta, terorisme, dan revolusi yang tidak melihat objek yang dihancurkan dan yang mengancurkan, dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi semua dapat hancur akibat perang.[2]

2.2. Perang Dalam PL
Dalam bahasa Ibrani perang disebut dengan “Milkhama“ dan kata ini muncul lebih dari 300 kali dalam kanon Ibrani[3] yang berasal dari akar kata lakham, (berperang), bnd. Arab lahama, (merapatkan barisan atau tentara dalam kesatuan tempur.[4]
Secara eksplisit Tuhan pernah mengarahkan umat Israel untuk berperang tanpa belas kasihan setelah tawaran damai ditolak (Ul. 20:10-18). Dalam hal ini dibedakan ada bangsa yang dekat dan jauh. Bangsa yang jauh adalah mereka yang setelah kalah seluruh penduduk lelakinya harus dibunuh dengan pedang, yang lain ditawan, dan harta benda dirampas (ay.13-15). Bangsa yang dekat (Het, Amori, Kanaan, Feris, Hewi, Yebus) ialah mereka yang kota-kotanya akan diberikan kepada bangsa Israel sebagai milik. Mereka harus ditumpas dengan alasan supaya praktik-praktik agama mereka tidak mempengaruhi orang Israel (ay. 16-18). Selain itu, sebuah alasan bahwa dalam PL merestui perang adalah dengan satu dua cara Allah digambarkan sebagai raja yang terlibat langsung dalam perang atau divine warrior.[5]
Dalam zaman PL sejarah bangsa Israel, mulai dari penaklukan tanah Kanaan hingga masa pembuangan Babel ditandai dengan peperangan. Banyak dari antara peperangan tersebut dilakukan atas seizin Allah[6]. Sebagian perang terjadi sebagai hukuman Allah (Ul. 28:47-48), perang juga terjadi sebagai kutuk atas dosa bangsa itu (Im. 26:21-25: 2 Samuel 12:9-10).[7] Selain itu peperangan yang dilakukan oleh umat Israel senantiasa dijiwai oleh semangat Holy War dan percaya bahwa peperangan adalah peperangan antara yang baik dan yang jahat (good and evil).[8]
Banyak pembaca ayat-ayat yang mengisahkan perang di PL merasa kesulitan dalam mengartikan  peranan perang dalam rangka sejarah pemeliharaan Allah atas umatNya. Namun seseorang harus mengingat bahwa kisah perang (mis. perang Yosua bersama bangsa Isreal melawan orang Amalek), bukanlah untuk menjawab pertanyaan etis yang abstrak tentang perang sebagai sebuah sarana untuk mencapai tujuan-tujuan umat manusia. Nats tersebut hanya dapat dimengerti dalam konteks sejarah penebusan manusia oleh Allah yang dibentangkan dalam kitab-kitab Pentateukh berikut pengaruh anugerah dan penghakiman ilahi di dalamnya. Melalui ini menunjukkan sebuah tahap di dalam sejarah keselamatan memenangkan sebuah porsi bumi ini dari kekuasaan dunia yang mengklaim dirinya memiliki kuasa sendiri. Kemenangan Allah atas Kanaan membuktikan kepada dunia bahwa Allah Yahweh adalah satu-satunya Allah yang benar dan hidup, di mana kuasaNya atas dunia ini adalah mutlak.[9]
Seperti yang sudah dijelaskan diatas, setiap perang yang terjadi pada umat Israel mempunyai latarbelakang yang berbeda, ada juga peperangan yang terjadi disebabkan karena kaum Israel selalu ditindas atau berada di bawah penindasan bangsa-bangsa asing atau bangsa kafir di antara suku-suku dan bangsa sekitarnya, terlebih lagi ketika mereka keluar dari tanah Mesir.[10]
Menurut John Wood ada lima perspektif tentang hubungan antara Allah dengan perang dalam PL, yakni:
1. Tradisi perang di dalam PL bersifat revelatory artinya bukan perang itu sendiri yang menjadi berita utama para penulis PL melainkan kebesaran dan kemuliaan Allah dibandingkan dengan kuasa-kuasa lainnya atau pun kesombongan manusia.
2. Allah adalah Allah yang memelihara keteraturan alam semesta.
3. Timbulnya “chaos” yaitu suatu kekacauan atau ketidak harmonisan di dalam tatanan dunia ciptaan. Hanya Allah yang dapat menerangi dan mengalahkan kuasa “chaos” tersebut.
4. Perang dalam PL bersangkut paut dengan pembuktian iman bangsa Israel bahwa Allah yang mereka sembah adalah Allah yang bertindak di dalam sejarah yang membedakan Israel dari agama-agama lain pada masa itu.
5. Sekalipun Allah adalah Allah yang mengijinkan perang sebagai salah satu sarana untuk menyatakan kebesaran-Nya. Namun ini bukan sebua legitimasi bagi Israel untuk memutuskan perang sesuai dengan kehendaknya sendiri.[11] 

2.3. Perang Dalam PB
Dalam bahasa Yunani dikatakan polemos, namun sering juga digunakan dalam pengertian Furgative.[12] Kata Pelomos yang terdapat sebanyak 18 kali dalam kitab PB. Dimana para penulis PB menafsirkan ulang mengenai perang Tuhan dalam aspek spiritual (bnd. I Kor. 14:8; II Kor. 10:3; I Tim. 1: 18-19).  Pemahaman perang di dalam PB sudah jauh berbeda dari sudut pandang PL, yang mana itu terjadi setelah kedatangan Yesus ke dunia sehingga perang yang di pahami bukan lagi perang fisik namum perang itu dikaitkan kepada nilai dan arah misi Yesus berjuang secara rohani. Perang yang dimaksud dalam PB adalah perang yang berhubungan erat dengan memerangi kejahatan yang ada dalam diri manusia sendiri.[13]
Pada saat bertobat orang Kristen memasuki pertentangan. Kiasan militer sering dipakai. Orang Kristen adalah tentara (2 Tim. 2:3) yang harus berperang dalam peperangan yang baik (1 Tim. 1:18). Karena salib telah melucuti tuntas kekuasaan musuh (Kol. 2:15), maka kemenangan akhir pada kedatangan mesias dalam kekuasaan yang pasti (2 Tes. 2:8; Why. 17:14).[14]
Namun walaupun demikian, pada zaman Perjanjian Baru masih terdapat banyak peperangan yang dilakukan oleh manusia. Misalnya setelah Herodes mati pecahlah suatu pembrontakan di Yerusalem. Pemberontakkan ini terjadi akibat dari hukuman mati atas Yudas dan Matias menjelang matinya Herodes. Para pemberontak menuntut hukuman atas penasehat-penasehat Herodes. Arkhelaus, yang ditunjukkan Herodes sebagai penggantinya, mengirim pasukan-pasukan untuk menindas pemberontak tersebut namun gagal sehingga Arkhelaus mengirim tambahan pasukan dan terjadi pertumpahan darah. Kejadian ini berlangsung secara bertahap di Yudea, Galilea dan di Perea. Dan akibat dari pemberontakan itu, Varus dan Aretas IV Raja bangsa Nabatea berhasil mengalahkan pemberontak dan 2000 pemberontak itu disalibkan.[15]

2.4. Metode Perang
Mengenai tata cara perang, banyak terdapat didalam PL. Dimana persiapan tidak saja meliputi persiapan agamawi tetapi juga meliputi hal lain seperti pengiriman mata-mata (Yos. 2). Karena alasan tertentu, musim semi adalah waktu yang paling baik untuk berperang (2 Sam. 11:1). Ditempulah cara-cara  perang yang lazim – apabila perdamaian tidak dapat dicapai dengan perundingan (Hak. 11:12); seperti: penggrebegan (1 Sam. 14), pengepungan (1 Raj. 20:1) dan penghadangan ( Yos. 8). Kadang-kadang pertempuran dibebankan kepada pribadi-pribadi terpilih (1 Sam. 17).[16]

3.1. Etika Kristen Terhadap Perang
3.1.1. Pandangan Aktivisme
Aktivisme berpendapat bahwa orang Kristen terikat oleh kewajiban menaati pemerintahnya dan berpartisipasi dalam setiap peperangan yang dukungan mereka telah dicatat oleh pemerintah. Pandangan ini menawarkan dua jenis pendapat berkaitan dengan pandangan mereka, yakni alkitabiah dan filsafat (atau sosial).[17]

3.1.1.1. Alkitabiah
Pemerintah, yang dalam Alkitab Allah dianggap sebagai penguasa tertinggi atas dunia ini, dan dikatakan bahwa pelaksana-pelaksana kuasaNya memperoleh kekuasaan itu karena dipercaya Allah (Mzm. 72:1-4; Rm. 13:1-2; Yoh. 19:11) untuk memastikan bahwa keadilan ditegakkan (1 Raj. 10:9). Bangsa Israel lebih merupakan negara teokrasi daripada demokrasi, umat tersebut, demikian pula rajanya, harus ambil bagian dalam hak dan tanggung jawab terhadap perjanjian dengan Allah (2 Raj. 11:17).[18]
Pemerintah berasal dari Allah, melalui ini Allah menetapkan pemerintah manusia. Sekalipun bentuk pemerintahan tertentu berubah di sepanjang PL, ada pengulangan prinsip bahwa pemerintah berasal dari Allah. Dapat dilihat pada masa teokrasi yang dipimpin Musa, bahkan ketika Israel membentuk sistem monarkinya yang bertentangan dengan rencana Allah (1 Sam. 8:7), Allah tetap mengurapi raja pilihan mereka (1 Sam. 8:22; 1 Sam. 10:24; 1 Sam. 23:1).[19]
Ketika umat Yahudi merupakan rakyat jajahan orang-orang Saduki mengharapkan agar ketaatan terhadap pemerintah harus dilaksanakan. Dalam PB umat Kristen diperingatkan agar tidak melakukan subversi atau pelanggaran (1 Ptr. 2:13-17).[20]
Dalam Perjanjian Baru, Yesus menyatakan bahwa kita harus’memberikan kepada Kaisar apa yang wajib diberikan kepada Kaisar‘ (Mat. 22:21). Bahwa otoritas sipil adalah pemberian Allah, selanjutnya diakui Yesus dihadapan Pilatus ketika Dia berkata,“Engkau tidak mempunyai kuasa apapun terhadap Aku, jikalau kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas“ (Yoh. 19:11). Paulus mengingatkan Timotius untuk berdoa dan mengucap syukur,“untuk raja-raja dan semua pembesar“ (1 Tim. 2:2). Titus mengasihi untuk,“mengingatkan orang-orang supaya tunduk pada pemerintah dan orang-orang yang berkuasa“ (Tit. 3:1). Surat Paulus dengan jelas,“Tunduklah, karena Allah, kepada semua lembaga manusia, baik kepada raja sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi, maupun kepada wali-wali yang diutusnya“ (1 Ptr. 2:13-14). Bagian yang paling luas di dalam PB dalam kaitan orang Kristen dengan pemerintah ada didalam Rom. 13:1-7.[21]

3.1.1.2. Filsafat (Sosial)[22]
            a. Pemerintah adalah Pengawal Manusia
Pandangan Plato mengenai ini mengatakan bahwa kita harus taat kepada negara, sekalipun pemerintah tidak bersikap adil. Ketika Socrates dalam penjara yang mana saat-saat menanti hukuman mati terhadapnya, ia tetap mengatakan kepada teman mudanya, Crito, bahwa ia tetap menaati pemerintah walau tidak adil, bahkan sampai mati.
            b. Pemerintah adalah orang tua bagi manusia
Orang tidak boleh tidak taat kepada pemerintah, karena dengan tidak menaatinya, kita tidak menaati orang tuanya. Melalui kalimat ini Socrates bermaksud mengatakan bahwa dengan dukungan pemerintahlah setiap orang dibawa masuk ke dalam dunia. Negaralah yang menjadikan kelahirannya beradab: lahir ke dalam peradaban bukan anarki.
            c. Pemerintah adalah pendidik manusia
Implikasi disini adalah bahwa pendidikan yang menjadikan mereka sebagaimana adanya (termasuk pengetahuannya tentang keadilan dan ketidakadilan) diberikan kepada mereka oleh pemerintah. Mereka beradab dan bukan manusia liar, bukan hanya melalui kelahiran, tetapi juga melalui pelatihan.
d. Yang diperintah mempunyai kewajiban menaati pemerintah
Menurut Socrates, kenapa harus menaati pemerintah adalah bahwa dia telah membuat kesepakatan dengannya (negara) bahwa ia akan menaati perintah-perintahnya (negara) dengan tepat. Yaitu, kesepakatan orang untuk diperintah, yang diberikan melalui janji setia mereka kepada pemerintah, yang mengikat mereka kepada hukum-hukumnya.

e. Tanpa pemerintah, akan terjadi kekacauan sosial.
Hukum yang tidak adil adalah buruk, tetapi ketiadaan hukum bahkan lebih buruk. Bahkan kerajaan yang buruk sekali pun lebih disukai ketimbang anarki. Adanya pemerintahan lebih baik daripada tidak ada pemerintahan sama sekali; jika orang tidak menaati pemerintahan karena apa yang mereka rasa tidak adil atau tidak menyenangkan, maka kekacauan sosial akan muncul
Satu pandangan menyeluruh yang tidak secara gamblang termasuk dalam pendapat-pendapat yang dikemukan Socrates adalah bahwa tidak melawan penyerang yang jahat merupakan kejahatan yang lebih besar daripada melawannya. Hal ini mengingatkan pada kalimat terkenal,“Yang diperlukan agar kejahatan menang adalah jika orang baik tidak berbuat apa-apa“ (ungkapan dari Edmund Burke). Jika orang baik tidak mau melawan orang jahat, maka pelaku kejahatan akan menang atas dunia.

3.2.2. Pandangan Pasifisme
Pasifisme pada hakikatnya adalah pandangan yang berpendapat bahwa berdasarkan prinsip iman Kristen, tidak ada satu pun perang atau penggunaan kekerasan yang dapat dibenarkan, sekalipun dengan alasan kemanusiaan. Setiap orang Kristen harus (secara mutlak) menolak isu tentang perang, bahkan sebagian pendukung kelompok ini menegaskan bahwa penolakan tersebut termasuk dalam profesi sebagai prajurit. Sebaliknya, setiap orang yang sudah ditebus oleh Kristus harus sanggup memancarkan kasih Kristus di dalam situasi dan kondisi apa pun.[23] Pendapat lain mengatakan juga bahwa orang Kristen tidak boleh berpartisipasi dalam perang jika sampai harus membunuh orang lain karena Allah telah melarang manusia mencabut nyawa orang lain.[24]
Pasifisme menolak peranan orang Kristen dalam menjadi aparatur negara yakni tentara sehingga mereka menolak tindakan dari tentara karena tugas mereka di dalam arena peperangan tersebut bertolak belakang dengan perintah kasih yang diajarkan Yesus, dimana menurut ajaran Yesus memerintahkan murid-murid-Nya untuk tidak melawan orang-orang yang berbuat jahat kepada mereka (Mat 5:39), tetapi Yesus memberitakan kasihilah musuhmu dan berdoa bagi mereka yang menganiaya kamu (Mat 5:44). Itulah sebabnya mengapa orang Kristen menurut pandangan pasifisme tidak boleh membunuh dengan alasan apapun.[25]
Menurut pasifisme bahwa di dalam PL sebetulnya tidak menganjurkan perang, dimana telah dikatakan “mereka akan menempah pedang-pedangnya menjadi mata bajak dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemungkas, bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa lain, dan mereka tidak akan lagi belaja perang” (Yes 2:4) sehingga tampak bahwa ayat diatas sesuai dengan perintah Yesus yang menekankan kasih. Jadi menurut pasifisme kembali bahwa orang Kristen tidak boleh berpartisipasi dalam setiap jenis dan bentuk perang.[26]
Pandangan-pandangan pasifisme terdiri dari dua macam dasar, yakni Alkitabiah dan sosial.

3.2.2.1. Alkitabiah[27]
Salah satu terdapat perintah Alkitab, “Jangan Membunuh” (Kel. 20:13) dan yang lain dalam perkataan Yesus, “Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu” (Mat. 5:39).
Menurut pasifisme membunuh selalu salah. Menurut pasifisme ada keyakinan bahwa sengaja mencabut nyawa orang lain selalu salah. Sengaja menghabisi nyawa, khususnya dalam perang pada dasarnya dan secara radikal salah. Larangan kitab suci “Jangan membunuh”, termasuk perang, karena perang adalah pembunuhan besar-besaran.
Kaum pasifisme lain berpendapat bahwa peperangan dalam PL bukanlah kehendak Allah yang sempurna melainkan hanyalah kehendak-Nya yang mengizinkan. Allah digambarkan sebagai yang memerintah perang dalam pengertian sekunder. Perang diperintahkan oleh Allah dalam pengertian yang sama seperti peristiwa Musa memerintahkan perceraian karena ketegaran hati manusia (Mat. 19:8). Ini bukan berarti bahwa Allah benar-benar lebih menginginkan dan memerintahkan perang ketimbang menyukai ketidaktaatan atau perceraian. Allah mempunyai cara yang lebih baik dari itu, dan caranya adalah ketaatan dan kasih. Allah bisa mencapai tujuan-Nya di Israel dan Kanaan tanpa perang,  jika mereka lebih taat kepada-Nya.
Melawan kejahatan dengan kekuatan adalah kesalahan. Jangan pernah melawan kejahatan dengan kekuatan fisik, tetapi dengan kekuatan rohani yaitu kasih. Yesus berkata: “Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu berilah juga kepadanya pipi kirimu” (Mat. 5:39). Kristus juga mengajarkan dalam bagian ini bahwa “siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil” (Mat. 5:41). Orang Kristen tidak boleh membalas dendam atau membalas kejahatan dengan kejahatan, karena pembalasan adalah milik Allah (Ul. 32:35).

3.2.2.2. Sosial[28]
Ada pendapat sosial yang kuat yang menentang peperangan. Perang bukanlah cara terbaik untuk menyelesaikan perselisihan manusia. Sepanjang sejarah, sungai darah manusia mengalir akibat peperangan. Segala macam kejahatan berasal dari perang, kelaparan, kekejaman, wabah penyakit, dan kematian. Alasan-alasan sosial adalah:
1. Perang berdasarkan kejahatan ketamakan.
2. Perang mengakibatkan banyak kejahatan.
3. Perang menghasilkan perang

3.2.3. Selektifisme
Menurut kaum selektifisme bahwa, orang Kristen boleh mengambil bagian dalam perang, yaitu perang yang adil. Orang Kristen harus memperlihatkan bahwa setidaknya sejumlah perang pada prinsipnya adil, yang memperlihatkan pasifisme total itu salah, dan bahwa beberapa peperangan pada prinsipnya tidak adil, dengan demikian memperlihatkan aktivisme itu salah.
Dasar Alkitabiah dari selektifisme adalah:
1. Adanya pembunuhan untuk membela diri yang disetujui (Kel. 22:2)
2. Ada perang yang disetujui oleh Allah seperti yang dilakukan Abraham melawan raja-raja di lembah Sidim (Kej. 14)
3. Ada perang yang mendapat dukungan dari Allah yang merupakan kasus khusus yang penting dimana Allah memerintahkan Yosua untuk memusnahkan penduduk Kanaan yang jahat (Yos. 10)
4. Perang untuk keadilan (Rom.13:4)
Dasar Moral dari Selektifisme adalah:
1. Didalam dunia yang jahat kekuatan selalu diperlukan untuk mengendalikan orang-orang jahat, seperti yang dilakukan polisi dan tentara.
2. Merupakan kejahatan jika tidak melawan kejahatan, secara moral kita bersalah jika kita tidak membela orang yang tidak bersalah.
3. Mengizinkan suatu pembunuhan ketika orang bisa menghindarinya, secara moral bersalah.[29]
Menurut John Stott mengatakan bahwa suatu perang dianggap benar jika:
1. Alasannya dapat dibenarkan
            Perang dianggap benar apabila alasannya dapat dibenarkan dan sifatnya harus membela diri bukan untuk menyerang, dimana tujuannya adalah untuk menegakkan keadilan, mengoreksi ketidakadilan, melindungi yang bersalah dan memperjuangkan hak-hak azasi manusia. Keputusan untuk perang hanya boleh diambil kalau semua usaha untuk berunding dan mencari penyelesaian secara damai mengalami kegagalan, didalam mengambil keputusan ini pun tidak boleh ada motivasi jahat seperti kebencian, rasa permusuhan atau balas dendam karena dibalik motivasi-motivasi ini membuat perang itu mengerikan, karena itu perang dibenarkan apabila memiliki tujuan atau alasan yang jelas serta mempunyai motivasi yang baik seperti untuk mencapai atau mendatangkan perdamaian bagi umat manusia. Apabila motivasi perang itu baik seperti untuk melindungi rakyat yang terancam jiwanya, hak-hak azasinya telah dirampas, masyarakat yang diperlakukan dengan tidak adil dan semena-mena, maka perang bisa dibenarkan.

2. Caranya harus terkontrol
Perang yang terjadi tidak boleh ada tindak kekerasan yang sembarangan atau sewenang-wenang sehingga dapat merugikan pihak lain. Perang itu dirasakan sebagai pilihan yang terbaik untuk melawan ketidakmanusiaan, karena itu perang yang terjadi tidak boleh melewati batas-batas alasan perang yang dibenarkan dan tidak melupakan sasaran yang ditujukan yakni kepada pihak militer bukan kepada masyarakat sipil, misalnya untuk membebaskan Kuwait dari Irak, maka tujuan perang yang terjadi adalah benar-benar untuk Kuwait dari Irak, sebaliknya jangan sampai terjadi setelah Kuwait dibebaskan maka negara Irak dan rakyatnya kembali diserang.

3. Hasilnya dapat diperkirakan
Maksudnya adalah bahwa harus ada perhitungan yang matang mengenai harapan akan menang sehingga sasaran serang itu benar-benar tercapai sesuai dengan yang ditargetkan seperti seorang raja dalam perumpamaan Yesus yang mempertimbangkan untung-rugi yang didapatkan setelah perang dan sebelum ia pergi berperang (Luk. 14:31-32). Demikian juga bagi pihak-pihak yang berperang harus ada perhitungan yang matang mengenai harapan akan menang, sehingga sasaran untuk perang dapat tercapai. Walaupun kita mengetahui bahwa konsekuensi yang ditimbulkan oleh perang tidak hanya sebatas materi, tetapi meliputi korban jiwa. Oleh karena itu sebelum berperang kita harus mengetahui dan menghitung perbandingan antara kerugiaan yang akan timbul dan keuntungan yang akan diraih bukan dihasilkan oleh pihak kita tetapi juga mencakup pihak lawan, kerena tidak gampang memprediksikan dan menghitung konsekuensi yang ditimbulkan oleh perang.[30]
Ada beberapa dasar untuk menjadikan perang yang adil:
1. Berperang demi membela yang tidak bersalah merupakan perang yang adil.
2. Berperang demi menjalankan keadilan adalah adil.
3. Perang yang adil harus dilakukan oleh pemerintah.
4. Perang yang adil harus dilakukan dengan adil
5. Prospek kemenangan yang rasional.
6. Berperang hanya sesudah gagalnya upaya damai non-militer.

 III.            Analisa
Dalam analisa ini, kami terlebih mengkritis dari masing-masing pandangan dalam etika Kristen. Pertama, kami mencoba mengkaji beberapa hal dalam pandangan aktivisme terhadap perang. Dalam pandangan aktivisme berpendapat bahwa orang Kristen terikat oleh kewajiban menaati pemerintahnya dan berpartisipasi dalam setiap peperangan yang dukungan mereka telah dicatat oleh pemerintah. Kami memahaminya dengan kaitan dalam perang, bahwa pemerintah mempunyai peran yang sentral dalam menentukan perang itu sendiri. Kita sepakat bahwa pemerintah berasal dari Allah, namun oknum-oknum yang berada dalam pemerintahan adalah manusia, yang mana mempunyai kelemahan-kelamahan karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang berdosa. Dalam point diatas, kami sepakat akan perang yang adil, dan dalam kaitan ini, bukan dalam arti anti-pemerintah, pemerintah pasti bisa saja mengalami kecacatan dalam mengambil sikap akan perang yang adil (bisanya pemerintah dalam keputusannya melakukan perang yang tidak adil).
Pemerintah berasal dari Allah, melalui ini Allah menetapkan pemerintah manusia. Perlunya kesadaran yang tinggi dari pemerintah bahwa berasal dari Allah, bagaimanapun bentuknya pemerintahannya. Namun, dalam kaitan ini, pemerintahan yang ada tidak tertutup kemungkinan melanggar kehendak-kehendak Allah, sehingga kita perlu mengawasinya dan mengkajinya berdasarkan firman Allah.
Selanjutnya kami  mencoba mengkritisi sikap etika Kristen yaitu pasifisme. Pasifisme pada hakikatnya adalah pandangan yang berpendapat bahwa berdasarkan prinsip iman Kristen, tidak ada satu pun perang atau penggunaan kekerasan yang dapat dibenarkan, sekalipun dengan alasan kemanusiaan. Hal ini bila kita lihat dari satu sisi, merupakan hal yang baik dan mungkin harus kita lakukan bersama-sama. Namun bila terjadi hal-hal yang merusak nilai-nilai kemanusiaan, dan kita sudah mengusahakan jalan lain untuk memperbaikinya, namun hal ini pun tidak tercapai, perang sebagai solusi terakhir bisa kita lakukan. Karena kami sepakat bahwa membiarkan kejahatan merupakan kejahatan. Harapan kami  bahwa bahwa dalam peperangan itu pun kita menerapkan kasih, karena kami sepakat dengan paham pasifisme yang menekankan kasih.
Pasifisme menolak peranan orang Kristen dalam menjadi aparatur negara. Hal ini pun perlu kita pertimbangan kembali. Menurut kami, dimana ada kejahatan, pasti kita memerlukan penegak kebenaran. Kita tahu bahwa fungsi utama aparatur negara adalah menegak keadilan dan kebenaran. Artinya tidak salah orang Kristen mengambil peran menjadi aparatur negara, yang salah bila orang Kristen sebagai aparatur negara tidak menjalankan fungsinya dengan benar.
Dari pasifisme ini, ada hal penting yang perlu kembali kita tekankan yaitu kasih (mengupayakan kasih). Bila semua orang, baik bangsa dan negara, menekankan kasih dalam menjalankan roda pemerintahan, pasti perang tidak akan terjadi.
Dari etika Kristen selektifisme, penulis pun mencoba mengkajinya. Dalam selektifisme diterima bahwa “adanya pembunuhan untuk membela diri yang disetujui”. Kami berharap bahwa pembunuhan adalah upaya terakhir dalam membela diri. Kita harus mengupayakan dalam pembelaan diri, tidak harus menghilangkan nyawa.
Dalam selektifisme juga ada pemahaman akan perang yang benar, dan salah satu hal penting didalamnya adalah perang yang benar adalah jika “hasilnya dapat diperkirakan”. Dalam hal ini, pasti kita manusia dan pemerintahan tidak memiliki kepastian yang pasti dalam memprediksikan hasilnya. Sehingga dalam hal ini, kami penyeminar ingin menekankan bahwa dalam hal ini, kita harus betul-betul, sehingga hasilnya yang sudah kita perkirakan, betul-betul tepat.
Perang yang adil harus dilakukan oleh pemerintah, hal ini merupakan poin penting dalam perang yang adil di selektifisme. Sama dengan kritik penyeminar terhadap aktivisme, bahwa: kita sepakat bahwa pemerintah berasal dari Allah, namun oknum-oknum yang berada dalam pemerintahan adalah manusia, yang mana mempunyai kelemahan-kelamahan karena pada dasarnya manusia adalah makhluk yang berdosa.
Dari beberapa pandangan etika Kristen dalam sikap terhadap perang, dengan melihat kelemahan dan kelebihan yang ada dalam masing-masing sikap, kami mengambil sikap bahwa sikap selektifisme merupakan sikap yang harus diambil dalam menanggapi masalah perang. Dengan melihat konteks pada masa sekarang, yang mana perang juga sudah menjadi bagian dalam kehidupan kita, sikap selektifisme ini bisa kita gunakan dengan baik, yang mana melalui kita dimampukan untuk lebih selektif akan permasalahan ini.
Dengan sikap ini, kita mengupayakan bahwa perang merupakan langkah terakhir yang akan diambil, yang mana langkah awalnya harus mengupayakan jalan damai. Selanjutnya, bila perang yang menjadi jalan terakhir, hendaklah perang itu dilakukan dengan benar dan adil seperti penjelasan diatas.

 IV.            Kesimpulan
Dari pemaparan diatas, kita bisa melihat tiga sikap etika Kristen mengenai perang, yaitu sikap aktivisme, pasivisme, dan selektivisme. Dalam hal ini ketiga pandangan ini mempunyai kelemahan dan kelebihan didalamnya. Dengan kelebihan dan kelemahan yang ada, sepakat untuk memilih sikap selektivisme terhadap perang. Namun, kita juga harus lebih sepakat lagi kepada “perang harus dihindari”. Sebab, apapun jenis perang tersebut, seluruh umat manusia pasti akan dirugikan.

    V.            Daftar Pustaka
Bauernfeind, Otto, Polemos, Polemo, in Gerhard Kittel, et Theological Dictionary Of The New Testaments, Grands Rapids Michigan:WMB, Eerdmans Publishing Company, 1981
Benne, Robert, The Moral Vision of the New Testament, New York: HarperCollins, 1996
Browning, W.R. F., Kamus Alkitab (Panduan Dasar ke dalam Kitab-kitab, Tema, Tempat, Tokoh, dan Istilah Alkitab), Jakarta: BPK-GM, 2010
Cragie, Peter C., The Book Of Deutronomy, Grands Rapids Michigan:WMB, Eerdmans Publishing Company, 1981
Geisler, Norman L., Etika Kristen (Pilihan dan Isu Kontemporer), Malang: SAAT, 2010
Intan, Benyamin F., Sikap Kekristenan Terhadap War And Peace. Dalam Bambang Subandrijo (ed), Agama Dalam Praksis, Jakarta: BPK-GM & Yayasan Widya Bhakti, 2003
Jagersma, H., Dari Aleksander Agung Sampai Bar Kokhba, Jakarta: BPK-GM, 2003
Karman, Yonky, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama (Dari Kanon Sampai Doa), Jakarta: BPK-GM, 2005
Kusnanto, Anggoro, Hubungan Sipil dan Militer, Yogyakarta: PSKP-UGM, 2002
Motyer, J.A., Perang dalam Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Jilid II (M-L), Jakarta: YKBK/OMF, 2007
Nainggolan, Binsar, Pengantar Etika Terapan (Petunjuk Hidup Sehari-hari bagi Warga Gereja), Pematang Siantar: L-SAPA, 2007
Poerwardarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976
Simon & Christoper Danes, Masalah-Masalah Moral Sosial dan Aktual, Yogyakarta: Kanisius, 2004
Sitompul , A.A.dan Baker, Kamus Ibrani-Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2001
Sproul, R. C., Etika dan Sikap Orang Kristen, Malang: Gandum Mas, 1996
Stott, John, Isu-Isu Global, Jakarta: YKBK-OMF, 2000
Wood, John, Perspective On War Intensifikasi The Bible, Macon: Mercer University Press, 1998



[1] Poerwardarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976, hlm. 735
[2] Anggoro Kusnanto, Hubungan Sipil dan Militer, Yogyakarta: PSKP-UGM, 2002, hlm. 7
[3] A.A. Sitompul dan Baker, Kamus Ibrani-Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2001, hlm.38
[4] J.A. Motyer, Perang dalam Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Jilid II (M-L), Jakarta: YKBK/OMF, 2007, hlm. 237
[5] Yonky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama (Dari Kanon Sampai Doa), Jakarta: BPK-GM, 2005, hlm. 153
[6] Salah satu contohnya adalah perang yang dipimpim Yosua melawan orang Amalek dari Rifidim, dimana Yosua disuruh Musa memilih orang-orang dari kalangan bangsa Israel bertempur dalam perang tersebut. Selama perang itu Musa berdiri di puncak sebuah bukit dengan memegang tongkat Allah, dengan demikian Israel dapat mengalahkan orang Amalek (Kel. 17:8-16)
[7] Binsar Nainggolan, Pengantar Etika Terapan (Petunjuk Hidup Sehari-hari bagi Warga Gereja), Pematang Siantar: L-SAPA, 2007, hlm. 112
[8] Benyamin F. Intan, Sikap Kekristenan Terhadap War And Peace. Dalam Bambang Subandrijo (ed), Agama Dalam Praksis, Jakarta: BPK-GM & Yayasan Widya Bhakti, 2003, hlm. 164
[9] Binsar Nainggolan, Op.cit., hlm. 113
[10] Simon & Christoper Danes, Masalah-Masalah Moral Sosial dan Aktual, Yogyakarta: Kanisius, 2004, hlm. 171
[11] John Wood, Perspective On War Intensifikasi The Bible, Macon: Mercer University Press, 1998, p. 170-171
[12] Peter C. Cragie, The Book Of Deutronomy, Grands Rapids Michigan:WMB, Eerdmans Publishing Company, 1981, p. 272
[13] Otto Bauernfeind, Polemos, Polemo, in Gerhard Kittel, et Theological Dictionary Of The New Testaments, Grands Rapids Michigan:WMB, Eerdmans Publishing Company, 1981, p. 176
[14] J.A. Motyer, Op.cit, hlm. 239
[15] H. Jagersma, Dari Aleksander Agung Sampai Bar Kokhba, Jakarta: BPK-GM, 2003, hlm. 162
[16] J.A. Motyer, Op.cit, hlm. 239
[17] Norman L. Geisler, Etika Kristen (Pilihan dan Isu Kontemporer), Malang: SAAT, 2010, hlm. 258
[18] W.R. F. Browning, Kamus Alkitab (Panduan Dasar ke dalam Kitab-kitab, Tema, Tempat, Tokoh, dan Istilah Alkitab), Jakarta: BPK-GM, 2010, hlm. 318
[19] Norman L. Geisler, Op.cit, hlm. 259
[20] W.R. F. Browning, Op.cit, hlm. 318
[21] Norman L. Geisler, Op.cit, hlm. 260
[22] Ibid, hlm. 261-263
[23] Robert Benne, The Moral Vision of the New Testament, New York: HarperCollins, 1996, p. 336-337
[24] Norman L. Geisler, Op.cit, hlm. 258
[25] Benyamin F. Intan, Sikap Kekristenan Terhadap War and Peace: Suatu Tinjauan Theologis Etis, dalam Bambang Subandrijo (ed). Agama Dalam Praksis, Jakarta: BPK-GM & Yayasan Widya Bhakti, 2003, hlm. 99
[26] R. C. Sproul, Etika dan Sikap Orang Kristen, Malang: Gandum Mas, 1996, hlm. 26
[27] Norman L. Geisler, Op.cit., hlm. 265-266
[28] Ibid, hlm. 267-268
[29] Ibid, hlm. 278
[30] John Stott, Isu-Isu Global, Jakarta: YKBK-OMF, 2000, hlm. 113-114

1 komentar:

  1. suatu artikel yang luar biasa
    saya mau mengajak bapak untuk berdiskusi seputar perang dalam PL ini, karena ini berkaitan dengan bahan skripsi saya
    smga bapak berkenan untuk membalasnya :). God Bless

    BalasHapus