Gereja Sebagai Tubuh Kristus
I.
Pembahasan
Pengertian Gereja
Kata “Gereja” berasal dari
kata Portugis igreya, yang
jika mengingat akan cara pemakaiannya sekarang ini, adalah terjemahan dari kata
Yunani kyriake[1], yang
berarti yang menjadi milik Tuhan. Adapun yang dimaksud dengan “milik Tuhan”
adalah: orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yesus sebagai Juru Selamatnya.
Jadi yang dimaksud dengan “Gereja adalah persekutuan para orang beriman”.[2] Menurut
Alkitab, keselamatan yang dikaruniakan oleh Tuhan Allah dengan perantaraan
karya Tuhan Yesus Kristus itu pertama-tama bukan ditujukan kepada perorangan,
melainkan kepada umat Allah sebagai keseluruhan, atau kepada umat Allah yang
mewujudkan suatu kesatuan. Yang disebut anak Allah pertama-tama adalah seluruh
persekutuan orang beriman. Akan tetapi oleh karena tiap orang beriman menjadi
anggota umat Allah sebagai keseluruhan, maka dengan sendirinya tiap orang
beriman juga mendapat bagian dari keselamatan tadi.[3]
Istilah Yunani ekklesia berarti pertemuan atau sidang.
Kata ini umumnya dipakai bagi sidang umum dari penduduk kota yang dikumpulkan
secara resmi. Tidaklah jelas apakah pemakaian ekklesia secara Kristiani pada mulanya diambil dari pemakian
non-Yahudi atau dari pemakaian Yahudi, tapi adalah pasti bahwa kata ini lebih
mengandung arti “pertemuan” daripada “organisasi” atau “masyarakat”. Sifat asas
ekklesia ialah setempat. Ekklesia setempat janganlah dipandang
sebagai bagian dari ekklesia seantero
dunia. Sekalipun adalah mungkin banyaknya gereja seperti banyaknya kota bahkan
banyaknya rumah tangga, namun PB hanya mengacu pada satu ekklesia, tanpa menganggap perlu menjelaskan hubungan antara gereja
yang satu dengan yang banyak itu. Gereja yang satu itu bukanlah gabungan atau
federasi dari sekian banyak gereja. Gereja mewujudkan realitas “sorgawi” yang
tidak tergolong bentuk dunia ini, tapi
termasuk wawasan kemuliaan kebangkitan, tempat Kristus ditinggikan di sebelah
kanan Allah (Ef 1:20-23; Ibr 2:12; 12:23). Namun, karena ekklesia setempat dikumpulkan bersama dalam nama Kristus dan
memiliki Kristus di tengah-tengahnya (Mat 18:20), maka ekklesia itu merasakan kuasa zaman yang akan datang dan merupakan
buah-buah sulung dari ekklesia yang
eskatologis. Demikianlah gereja setempat disebut “jemaat Allah”, yang telah
dibeli dengan darah-Nya sendiri (Kis 20:28; 1 Kor 1:2; 1 Ptr 5:2; 1 Kor 12:27).[4]
Pemahaman Gereja Sebagai Tubuh Kristus
Prinsip hidup ”di dalam
Kristus[5]/tubuh
Kristus” bukan hanya dimaksudkan dalam konteks sempit yaitu menyangkut masalah pribadi
dan berkaitan dengan rohani pribadi seseorang, tetapi menyangkut juga dengan
kehidupan sosial bersama, khususnya gereja. Bagi Paulus gereja itu saja,
sebagai tubuh Kristus, dan satu Israel yang baru. Oleh karena ancaman serta
perpecahan yang terjadi merupakan hal yang sangat menyedihkan hati Paulus. Konsepsi
Paulus mengenai kesatuan meliputi kesatuan spiritual dalam Kristus/tubuh
Kristus di mana tidak terdapat perbedaan dalam hubungan dengan Allah, tetapi
bukan kesatuan yang menghilangkan semua perbedaan historis. Konsepsinya
mengenai kesatuan memerlukan keutuhan yang terus menerus antara bangsa-bangsa
bukan Yahudi dan bangsa Yahudi. Iman kepada Yahwe sebagai Allah yang esa yang
universal dengan demikian memerlukan pengakuan bersama antara orang-orang
yahudi dan orang-orang bukan yahudi bahwa mereka adalah milik Allah yang sama. Boleh
dikatakan lebih lanjut bahwa setiap usaha oleh salah satu pihak untuk
menghapuskan keadaan etnik dan budaya pihak yang lainnya akan berarti menghancurkan
konsepsi khusus Paulus mengenai kesatuan antara orang-orang Yahudi dan
orang-orang bukan Yahudi.[6]
Ungkapan tubuh Kristus dalam
PB digunakan dengan trimakna:[7]
1. Tubuh
manusiawi dari Yesus Kristus. Ini ditekankan dalam PB oleh para penulisnya sebagai benar-benar riil
menghadapi doketisme (menyangkal bahwa Yesus Kristus datang dalam daging adalah
’dari antikristus’ 1 Yoh 4:2-3). Realitas tubuh Kristus adalah bukti bahwa Ia
benar-benar manusia sejati. Bahwa Sang Anak harus mengenakan tubuh manusiawi
memang maha penting bagi keselamatan (Ibr 2:14) dan teristimewa bagi pendamaian
(Ibr 10:20). Bahwa tubuh itu menjadi lain (bukan dilepaskan) pada
kebangkitan-Nya adalah jaminan dan contoh dari kebangkitan tubuh orang percaya
(1 Kor 15; Flp 3:2).
2. Roti
perjamuan terakhir. Tentang
ini Kristus berfirman, ”Inilah tubuh-Ku” (Mat 26; Mrk 14; Luk 22; 1 Kor 11; 1
Kor 10:16). Kata-kata ini dalam sejarah ditafsirkan dalam dua arti: ”Itu
melambangkan korban-Ku”, dan ”Inilah Aku Sendiri”.
3. Ungkapan yang persis dipakai Paulus dalam
1 Kor 10:16; 12:27 dan mengacu kepada sekelompok orang percaya (bnd Rm 12:5
’satu tubuh dalam Kristus’) dan ’tubuh’ dalam ayat-ayat tentang suatu gereja
atau Gereja, yaitu 1 Kor 10:17; 12:12; Ef 1:23; 2:16; 4:4,12,16,23; Kol
1:18,24; 2:19; 3:15. Perhatikanlah bahwa ungkapannya adalah ”tubuh Kristus”,
bukan ”dari orang-orang Kristen”, dan mengandung ari dapat kelihatan, berjemaat
dan eskatologis.
Asal dari lukisan Paulus
tentang ”Tubuh Kristus” ini telah dicari di pengambilan bagian secara kelompok
dalam roti perjamuan, menyatakan tubuh yang telah dipecah-pecahkan,
konsepsi-konsepsi Stoa, Kristus dianggap satu dengan orang Kristen (Kis 9:4-5;
Kol 1:24).
PB menamai gereja itu dengan
beberapa istilah, yaitu gereja adalah bait Allah, bangsa Allah, Israel baru.
Tetapi istilah yang paling tepat adalah gereja sebagai tubuh Kristus. Istilah
ini sangat banyak dalam surat-surat Paulus (Ef 1:22; 5:29; Kol 1:18; 1 Kor
10:6). Dari ayat-ayat ini dinyatakan walaupun anggota tubuh dalam satu badan
yang berbeda, tapi mempunyai tugas masing-masing dan tidak dapat dipisahkan
satu dengan yang lain. Tubuh dan kepala ialah perumpamaan yang tepat untuk
menggambarkan wujud gereja. Karl Barth menguraikan arti istilah ini melalui 4
point:[8]
1. Tubuh Kristus berarti bahwa di dalam
gereja ada hubungan dengan Kristus. Gereja bukan lanjutan inkarnasi Allah. Tapi tanda itu nampak di dunia ini.
Kristus telah pernah datang berupa badan manusia, sekarang berada dalam
tubuh-Nya yakni gereja. Jadi
gereja adalah tubuh duniawi dari Tuhan surgawi.
2. Gereja dikumpulkan dan diperintahkan oleh
Kristus sang kepala gereja. Gereja
tidak boleh bertindak seolah-olah ia berdiri sendiri dan tidak boleh memerintah
diri sendiri. Dari awal, gereja adalah milik Kristus dan Dia-lah yang
memerintah (Kristokrasi). Jadi
gereja bukan perkumpulan orang-orang yang saleh. Gereja dijadikan oleh Kristus
dan milik Kristus.
3. Perkataan tubuh Kristus berarti anggota
gereja bukan membntuk kesatuan oleh dorongan hati sendiri. Mereka adalah satu
kesatuan. Gereja bukan gabungan oknum-oknum yang mengakibatkan berdirinya
gereja. Gereja melebihi oknum, melebihi jumlah anggota jemaat, gereja adalah
ibu orang percaya.
4. Istilah tubuh ada kaitannya dengan suatu
badan yang tampak. Jika kita lihat gereja, kita melihat anggota jemaat, pendeta
dll. Tapi masih ada yang tidak kelihatan, yaitu iman, persekutuan. Kita percaya
bahwa kita adalah anggota jemaat yang telah dipanggil dan dibenarkan juga
dihimpunkan oleh Tuhan. Kita tidak boleh membedakan gereja yang tampak dan
tidak tampak. Keduanya adalah dua segi dari satu badan.
Gereja adalah tempat
persekutuan orang-orang yang telah dipanggil dan disucikan oleh Allah melalui
karya penebusan Yesus di kayu salib dan diutus ke dalam dunia untuk
mempersaksikan Yesus Kristus.[9]
Gereja sebagai ”tubuh Kristus” berarti di dalam ada hubungan yang serasi antara
Kristus sebagai kepala, gereja sebagai tubuh dan sesama anggota tubuh. Gereja
sebagai tubuh Kristus terdiri dari berbagai macam bentuk anggota akan tetapi
semua macam-macam anggota tersebut telah dipersatukan dalam tubuh Kristus dan
harapan gereja sebagai tubuh Kristus adalah untuk saling mengasihi, saling
membantu dan saling menghormati dan saling merendahkan diri di hadapan Tuhan. Gereja
sebagai tubuh Kristus dan Kristus sebagai kepala tentu ada yang menghubungkan
dan mempersatukan yaitu Roh Kudus. Hubungan kepala dan tubuh harus selalu
terkordinir agar pertumbuhan tubuh itu sehat dan baik. Gereja hanya dapat
menjadi sehat dan berguna apabila hanya Kristus benar-benar menjadi kepala
setiap warga dan segala perilaku kehidupannya, membiarkan diri diatur oleh-Nya
sebagaimana setiap bagian tubuh yang sehat patuh kepada Yesus Kristus sebagai
kepala adalah pemegang kendali pemerintahan sekaligus menjadi tujuan, sehingga
apapun yang dilakukan oleh tubuh (gereja), semata-mata untuk kepala gereja
sebagai tubuh Kristus tersangkut dengan persekutuan sesama.[10]
Jemaat Sebagai Satu Tubuh
Dari semua kiasan yang dipakai
Paulus, kiasan mengenai tubuh adalah yang paling hidup dan penuh arti. Dalam
Surat Roma ia menggunakan kiasan ini untuk mengajarkan bahwa karunia-karunia
yang berbeda bisa dipakai di dalam satu jemaat (Rm 12:4-8). Ia membuat
pembedaan yang jelas antara kesatuan dan keseragaman: tubuh menggambarkan
kesatuan jemaat. Dalam Surat 1 Korintus, Jemaat digambarkan sebagai tubuh,
tubuh manusia memberikan gambaran mengenai hubungan Kristus dengan orang-orang
percaya. Gagasan mengenai tubuh Kristus ini menunjukkan betapa eratnya ikatan
yang mempersatukan semua orang percaya. Tentunya yang dimaksudkan dengan tubuh
dalam konteks ini ialah Jemaat setempat, tetapi hal ini penting mengingat
adanya karunia-karunia rohani yang berbeda-beda yang sedang dinyatakan.[11]
Penggunaan yang lebih
berkembang dari kiasan itu dapat terlihat dalam Surat Efesus dan Kolose.[12]
Di sini ekklesia disamakan dengan
tubuh Kristus (Ef 1:22-23; 4:12,15-16; 5:23; Kol 1:18-24), suatu konsep
kristologis yang lebih khusus diperkenalkan. Jelas bahwa Kristus sebagai Kepala
mengendalikan Jemaat, Ia dipandang sebagai sumber kehidupan dan kepenuhan
Jemaat. Dialah yang paling utama (Kol 1:18). Kristus sebagai Kepala ditekankan
secara khusus sebagai unsur yang mempersatukan (Ef 1:22-23; 4:15). Lagi pula,
proses menjadikan satu di dalam satu
tubuh, dikatakan telah dilakukan melalui salib (Ef 2:16) yang mengatasi
permusuhan orang-orang Yahudi dengan orang-orang bukan Yahudi, dengan
merobohkan tembok pemisah yaitu perseteruan (Ef 2:14). Kiasan tentang tubuh
menjadi tidak sesuai bila terjadi perseteruan antara orang-orang Kristen Yahudi
dengan orang-orang Kristen bukan Yahudi: tubuh tidak dapat berfungsi bila salah
satu bagiannya mempunyai sikap bermusuhan terhadap bagian yang lain. Pengembangan
kiasan tentang tubuh ini diterapkan pada Jemaat, khususnya menekankan segi
universalnya.[13]
Paham ”Tubuh Kristus” dapat
diperjelas dengan dua gagasan Paulus lagi, yakni pertama, gagasan ”kita dalam
Kristus” ataupun ”Kristus dalam kita”, dan kedua, paham ”kepala tubuh”.[14]
- Paulus sering berkata bahwa orang beriman hidup ”dalam Kristus”. Ungkapan ini menunjuk kepada kesatuan yang erat antara Kristus dan orang Kristen. Kesatuan itu sedemikian erat sehingga dapat disebut inklusi yang bersifat inkorporasi dan simbiosis, persenyawaan. Persatuan yang vital ini kadang-kadang diungkapkan juga dengan rumusan ”Kristus di dalam aku” (Gal 2:20). Orang-orang yang secara begitu diinkorporasi ke dalam Kristus betul-betul merupakan tubuh Kristus.
- Kepada gereja paham ”tubuh” hanya boleh dikenakan kalau kepada Kristus dikenakan paham ”kepala” (kephale). Ada dua alam pikiran yang melatarbelakangi paham ”kepala” untuk memperlihatkan peranan dan arti Kristus bagi gereja. Di satu sisi ada latar belakang budaya Hellenis, khususnya ilmu kedokteran waktu itu, yang memandang kepala tubuh sebagai sumber kehidupan bagi tubuh seluruhnya. Maka, dengan latar belakang ini paham ”kepala” mau menyatakan bahwa Kristus merupakan sumber hidup bagi gereja (Ef 4:16; Kol 2:19). Akan tetapi, ”sumber hidup” tidak dimaksudkan dalam arti fisik-biologis, tetapi dalam arti rohani. Kristus menghidupkan dan menggerakkan gereja dengan cara rohani, yakni dengan mengasihinya bagaikan seorang suami mengasihi istrinya (Ef 5:23-30). Di sisi yang lain ada latar belakang alam pikiran Yahudi, dan dengan demikian kata ”kepala” berarti ”pemimpin”. Kristus memimpin gereja, seperti YHWH memimpin umat-Nya. Di sini paham ”kepala” mau mengungkapkan keunggulan serta kekuasaan Kristus (Ef 1:23; Kol 1:18) terhadap “pemerintah-pemerintah dunia yang gelap ini” (Ef 6:12). Yang pokok dalam pikiran Rasul Paulus ini bukanlah tubuh, melainkan kepala. Kristus dilihatnya bukan sebagai bagian tubuh, melainkan sebagai prinsip kehidupan seluruh tubuh. “Tubuh” bukan saja dalam arti “badan sosial” atau “lembaga”, melainkan terutama dalam arti “organisme hidup”. Gereja disebut “tubuh Kristus” karena mengambil bagian dalam hidup Kristus.
Untuk menunjukkan sifat jemaat sebagai tubuh
secara lebih mendalam lagi, Paulus mengutarakan suatu perumpamaan (1 Kor
12:21-26). Setiap anggota
tubuh berguna dan penting, tidak ada satu anggota pun yang boleh dibuang.
Beberapa anggota boleh disebut lemah tetapi sangat dibutuhkan, dan ada anggota
lain yang dianggap kurang elok, tetapi dihargai dengan cara mengenakan pakaian
adanya. Kegunaan salah satu anggota tidak dapat dinilai dari kekuatan atau
penampilannya, karena anggota yang tidak memenuhi penilaian seperti itu
sebenarnya justru sangat vital untuk
kesehatan seluruh tubuh.[15]
Michael Giffit mengungkapkan
ada beberapa hal yang menjelaskan tentang gambaran tubuh untuk melukiskan
keberadaan jemaat yakni: solidaritas, keanekaragaman fungsi, kerja sama,
mengoreksi, bukan untuk dirinya sendiri.[16]
Tubuh merupakan suatu kiasan yang digambarkan pada kesatuan jemaat. Kesatuan
yang dimaksud ialah kesatuan orang percaya di dalam Kristus. Dasar kesatuan
jemaat kita temukan dalam doa Yesus Kristus untuk jemaat-Nya. Yesus mengungkapkan
”supaya mereka menjadi satu, sama seperti Engkau, Bapa di dalam Aku dan Aku di
dalam Engkau, supaya dunia percaya, bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku,
Yohanes 17:21”. Sebagaimana Yesus sendiri menyatu dengan BapaNya di Surga
demikian juga jemaat harus bersatu, seorang dengan yang lain. Bahkan lebih dari
itu Yesus mendoakan pengikut-pengikutNya agar mereka menjadi satu dengan Tuhan.
Hal ini sangat penting bahwa kita hanya dapat bersatu dalam jemaat kalau memang
kita telah bersatu dengan Kristus yakni: jikalau kita hidup di dalam Dia dan
Dia hidup di dalam kita. Jelaslah bahwa kesatuan jemaat yang dimaksudkan Yesus
bersifat rohani, yaitu berasal dari kesatuan Allah Bapa dengan AnakNya dan dari
kesatuan kita dengan Tuhan. Dasar kesatuan ini bukan organisasi dan
administrasi tetapi kesatuan dalam iman dan kasih.[17]
Di dalam surat Roma Paulus
menggunakan kiasan tubuh Kristus untuk mengajarkan bahwa karunia-karunia yang
berbeda bisa dipakai dalam satu jemaat (Rm 12:4-8). Dalam hal ini Paulus mau
mengingatkan jemaat walaupun jemaat itu mempunyai keberagaman baik latar
belakang, status, jenis kelamin, kedudukan,
dan lain-lain tetap menggambarkan kesatuan yang utuh yaitu tubuh
Kristus. Karena sama seperti tubuh itu satu dan anggota-anggotanya banyak dan segala
anggota itu sekalipun banyak merupakan satu tubuh dan kita semua diberi minum
dalam satu Roh (1 Kor 12:12-13). Paulus mengumpamakan jemaat sebagai tubuh yang
masing-masing anggotanya mempunyai peranan yang khas.[18]
Dalam tubuh manusia ada banyak anggota bahwa anggota-anggotanya itu bersatu
karena menjadi bagian dari tubuh yang satu itu. Sangat jelas bahwa
anggota-anggota tubuh itu berbeda tetapi tidak satupun anggota tubuh itu
dianggap paling penting atau tidak dibutuhkan tetapi semuanya penting dan dibutuhkan.
Karena setiap anggota saling mempengaruhi dengan anggota tubuh yang lain. Hal
ini Paulus menggambarkan bahwa dalam satu tubuh terdapat beberapa anggota yang
kesemuanya mempunyai fungsi masing-masing namun tetap mempunyai keterkaitan
antara satu dengan yang lain. Demikian jugalah dengan jemaat mempunyai fungsi
sesuai dengan talenta yang diimilikinya untuk menyatakan dan menyaksikan
Kristus dan setiap anggota jemaat mempunyai tugas masing-masing dalam pelayanan
Kristus.[19]
Jemaat Sebagai Pengantin Perempuan
Penggunaan kiasan tentang
pernikahan mendapat dukungan dari pengajaran Yesus. Kiasan tersebut ditemukan
dalam perumpamaan tentang gadis-gadis, tetapi arti dari perumpamaan itu tidak
bergantung pada identifikasi dari pengantin itu (Mat 25:1-13). Perumpamaan
tentang perjamuan kawin juga menggunakan gagasan yang sama untuk menggambarkan
sifat-sifat Kerajaan Surga, tetapi tidak memberikan petunjuk apa-apa mengenai
siapa yang dimaksudkan dengan pengantin itu (Mat 22:1-14). Yohanes Pembaptis
menggunakan gambaran tentang mempelai perempuan dan mempelai laki-laki dengan
maksud untuk membedakan dirinya dari keduanya. Ia menyatakan dirinya sebagai
sahabat mempelai laki-laki, tetapi ia tidak menjelaskan siapa mempelai
perempuan itu (Yoh 3:29-30). Baru pada saat Paulus memikirkan Jemaat, kiasan
itu diterapkan pada perhimpunan umat Kristen (Ef 5:25). Tetapi di sini pun
Jemaat tidak disebut secara khusus sebagai mempelai perempuan, hanya disebutkan
bahwa hubungan suami dengan istri
dipakai sebagai analogi (kiasan) pada hubungan Kristus dengan JemaatNya.[20]
Jemaat Sebagai Bangunan
Kiasan ini terdapat dalam dua
surat. Walaupun sifatnya benda mati namun artinya tidak berkurang. Ada
kesejajaran kiasan yang dipakai dalam Matius 16:18. Gagasan ini dikembangkan
oleh Paulus dalam Surat 1 Korintus. Ia menyatakan bahwa jemaat Korintus adalah bangunan Allah (1 Kor
3:9), dan kemudian ia menyamakan dirinya sebagai seorang ahli bangunan (1 Kor
3:10), yang menarik perhatian pada satu-satunya dasar yang diperbolehkan, yaitu
Kristus sendiri. Hal ini membawa Paulus untuk memikirkan gagasan mengenai rumah
Allah (1 Kor 3:16). Keseluruhan orang-orang percaya pada suatu daerah dipandang
sebagai tempat kediaman Allah, tetapi hal ini juga berarti bahwa setiap orang
Kristen adalah rumah Allah. Sebagaimana Allah telah tinggal di tempat yang maha
kudus, dengan demikian Roh Kudus tinggal di dalam ekklesia. Kiasan yang sama terdapat dalam 1 Korintus 6:19, yang
menganggap tubuh masing-masing orang percaya sebagai rumah Allah.[21]
Dalam surat Efesus, keseluruhan
Jemaat dipandang sebagai rumah Allah (Ef 2:19-22). Paulus berbicara mengenai
“seluruh bangunan” yang dipersatukan bersama-sama sehingga rapi tersusun dan
tumbuh “menjadi bait Allah yang kudus; di dalam Dia kamu juga turut dibangunkan
menjadi tempat kediaman Allah di dalam Roh”. Beberapa hal yang penting muncul
dari perikop ini. Di situ, yang dimaksudkan dengan rumah Allah adalah
keseluruhan perhimpunan orang Kristen, karena itu masing-masing bagian dari
bangunan itu merupakan jemaat-jemaat atau orang-orang secara pribadi. Masing-masing
bagian itu penting selama diikatkan pada keseluruhan. Di sini terdapat gabungan
kiasan-kiasan yang dapat dimengerti, karena bangunan-bangunan itu tidak bertumbuh menjadi rumah Allah, tetapi
artinya cukup jelas. Peranan jemaat-jemaat Kristen masing-masing adalah
membentuk bagian yang dapat kelihatan dari keseluruhan jemaat. Penting untuk
diperhatikan bahwa yang dimaksudkan dengan “bangunan” di situ bukanlah sebuah
gedung ataupun suatu organisasi, melainkan tempat kediaman Allah.[22]
Jemaat Sebagai Umat Allah Yang Sejati
Paulus menggunakan sejumlah
kiasan untuk mengungkapkan gagasan tentang jemaat sebagai umat Allah. Kata
”umat” dalam PB tidak hanya berarti suatu kumpulan orang-orang secara pribadi.
Umat Allah dalam PB adalah perhimpunan orang-orang yang diketahui khusus
sebagai orang yang percaya kepada Tuhan yang bangkit. Pengertian tentang ”umat
Tuhan” bukanlah tidak jelas, mereka yang bukan ”umat Allah” telah menjadi umat
Allah (Rm 9:25-26 bnd 1 Ptr 2:9-10). Paulus kadang-kadang menyebut orang-orang
percaya secara pribadi atau sebagai perhimpunan sebagai ”rumah Allah”, tetapi
selain itu tidak memakai kiasan-kiasan yang diambil dari agama Yahudi untuk
menjelaskan pengertiannya tentang Jemaat. Namun, ia memandang dirinya sebagai
”pelayan Kristus Yesus” (leitourgos)
dan orang-orang bukan Yahudi yang percaya sebagai persembahan yang berkenan
kepada Allah (prosfora, Rm 15:16).
Bagi Paulus umat Allah ialah perhimpunan orang-orang yang telah ditebus yang
tidak lagi terhalangi dalam hubungan mereka dengan Allah. Sebenarnya mereka
adalah umat yang didamaikan dengan Allah: mereka yang telah menjadi Israel yang
sejati.[23]
Gereja adalah umat (laos)
Allah yang baru. Istilah “umat” dalam pemikiran Alkitab sering mengandung makna
teknis yang menunjukkan mereka yang berada dalam hubungan khusus dengan Allah. Penggunaan ini sama sekali tidak unik bagi
Paulus, melainkan sering muncul dalam PB. Dalam takdir yang lama, Israel adalah
umat Allah. Penolakan Israel terhadap Mesiasnya menyebabkan Paulus mengemukakan
pertanyaan, ”Adakah Allah mungkin telah menolak umat-Nya” (Rm 11:1).
Selanjutnya tak ada persyaratan yang perlu untuk menunjukkan Israel sebagai
umat Allah.[24]
Hal ini membuka pertanyaan menyeluruh tentang hubungan antara gereja dengan
Israel. Paulus jelas membedakan antara Israel empiris dan Israel rohani, antara
umat secara keseluruhan dan umat tersisa yang setia. ”Sebab tidak semua orang
yang berasal dari Israel adalah orang Israel” (Rm 9:6). Di sini Paulus
menyodorkan Israel sejati yang setia kepada Allah ke hadapan Israel secara
keturunan jasmani. Meskipun, namun atas anugerah-Nya ada umat tersisa yang
dipilih (Rm 11:5) yang telah percaya. Orang Yahudi yang benar bukanlah orang
Yahudi lahiriah, melainkan orang Yahudi di dalam batin, dan sunat bukanlah
perkara kedagingan, melainkan menyangkut hati (Rm 2:28). Mungkin ini tidak
menunjukkan semua orang percaya, melainkan hanya orang-orang Yahudi yang telah
dengan sungguh menaati Taurat. Jadi, meskipun Allah akhirnya tidak membuang
umat-Nya Israel, namun gereja yang terdiri dari orang Yahudi dan bukan Yahudi
telah menjadi cabang-cabang dari pohon Zaitun, umat Allah, Israel yang benar.[25]
Gereja (jemaat) sebagai tubuh
Kristus menunjukkan bahwa Kristus adalah sama dengan tubuhnya, sama seperti
halnya tubuh manusia adalah manusia itu sendiri. Jikalau jemaat disebut sebagai
tubuh Kristus, hal ini berarti bahwa hidup jemaat mewujudkan perubahan atau
penjelmaan hidup Kristus. Jemaat yang disebut tubuh Kristus harus dipandang
dalam fungsinya yang sejati di dalam Kristus. Dalam cara hidupnya yang
menampakkan hidup Kristus yang harus diterangi oleh terang Kristus dan di bawah
kuasa Kristus yang mendatangkan berkat. Pandangan tentang gereja sebagai tubuh
Kristus menurut Bultmann yang dikutip Pdt. Th. J. Nanulaitta, gereja adalah
ciptaan Roh Kudus. Gerejalah bukti yang nampak di bumi yang tidak dibiarkan
Allah hidup untuk dirinya sendiri, tetapi menghubungkan dirinya dengan tubuhnya
(gereja), maka tubuhnya diharapkan berhubungan antara yang satu dengan yang lain
secara benar. Gereja sebagai tubuh Kristus adalah merupakan tujuan akhir yang
diharapkan Allah dari tubuhnya yang diwujudkan di dalam kesatuan iman. Di dalam
kesatuan Kristus ada Roh yang merupakan suatu realitas masa kini dan kesatuan
iman haruslah dilihat sebagai sarana masa depan.[26]
Manusia sebagai Ciptaan Baru
Paulus berbicara mengenai
ciptaan baru yang berlangsung pada orang percaya di dalam Kristus (2 Kor.
5:17). Dengan menggunakan waktu sekarang “ia adalah ciptaan baru”, Paulus
menunjuk kepada sesuatu yang benar pada saat ini yang berada “di dalam
Kristus”. Ungkapan itu dimaksudkan untuk suatu perubahan radikal yang terjadi
pada saat seseorang menjadi Kristen. Tetapi di dalam Kristus jauh lebih berarti
dari sekedar ungkapan “Kristen”. Secara hidup ungkapan ini mengungkapkan
pikiran bahwa apa yang terjadi pada Kristus ada dampaknya pada setiap orang
yang percaya kepadaNya. Ciptaan baru itu terjadi pada orang percaya berkat apa yang terjadi pada
Kristus.
Ada yang
menyamakan ciptaan baru itu dengan jemaat, yang merupakan suatu contoh atau prototype dari dunia yang diciptakan
kembali. Dengan demikian pengetian jemaat berubah menjadi bukan lagi suatu
lembaga gerejani, melainkan suatu kelompok orang percaya yang ikut ambil bagian
dalam kehidupan umum yang berpusat pada Kristus. Ia melihat tatanan lama
sebagai yang benar-benar mati sejauh menyangkut dengan orang-orang Kristen,
tapi ini tidak berarti bahwa perubahan yang dapat dilihat mata telah terjadi
atas tatanan yang ada ini. Dalam benak Paulus setiap kelompok orang-orang
Kristen secara berturut-turut dapat memandang kepada salib dan tahu bahwa
tatanan lama, yang asing bagi Allah telah dihancurkan. Ciptaan baru hanya
terjadi di dalam Kristus.[27]
Umat Allah[28]
Paulus menggunakan sejumlah
kiasan untuk mengungkapkan gagasan tentang jemaat sebagai umat Allah.[29] Kata “umat” dalam PB tidak hanya berarti
suatu kumpulan orang-orang secara pribadi. Umat Allah dalam PB adalah
perhimpunan orang-orang yang diketahui khusus sebagai orang yang percaya kepada
Tuhan yang bangkit. Pengertian tentang “umat Allah” bukanlah tidak jelas.mereka
yang bukan “umat Allah” telah menjadi umat Allah (Rm 9:25-26 bnd I Ptr 2:9-10).
Sering
terdapat persamaan antara pengalaman umat Allah dalam PB dan pengalaman Israel
dalam PL. Paulus menjelaskan mengenai pengalaman Israel di padang gurun dalam 1
Korintus 10:1 dst., dan ia langsung menghubungkan Kristus dengan batu karang
yang dipukul oleh Musa. Dalam pembahasannya lebih rinci mengenai hubungan
orang-orang dengan bukan Yahudi dalam Roma 9-11, Paulus memakai gagasan tentang
sisa bangsa Israel,
dan menerapkan hal ini secara rohani. Memang diakui bahwa belum tentu Paulus
dalam pasal-pasal ini menyamakan sisa Israel itu dengan jemaat secara
keseluruhan, mungkin ia hanya memikirkan tentang kelompok orang-orang Kristen
Yahudi; tetapi tentunya ia memikirkan suatu umat yang terdiri dari orang-orang
yang percarya kepada Allah. Dalam hubungan ini kita dapat melihat cara yang
dipakai oleh Paulus yang menerapkan gagasan pemilihan kepada orang-orang yang
sudah masuk menjadi umat Allah (Rm 11:5; 8:33;
Ef 1:4 dst). Umat Allah adalah orang-orang yang dipilihNya untuk menggenapi
maksudnya dan pengertian bersama bahwa
merekalah orang-orang yang terpanggil dan terpilih inilah yang memberikan rasa
solidaritas yang kuat kepada mereka.[30]
Israel
Milik Allah
Kata ini hanya muncul satu
kali dalam PB, yakni dalam Galatia 6:16. Pada saat Paulus menulis kepada
orang-orang Kristen bukan Yahudi dalam Roma 4:16 dan Galatia 2:29, ia menyebut
mereka sebagai anak-anak Abraham. Keturunan ini bukan lagi hanya mengenai soal
bangsa atau sunat, tetapi soal iman. Pengertian tentang umat Allah telah
bergeser dari bangsa yang disuruh Tuhan menuju perhimpunan orang-orang yang
beriman, dan demikian ruang lingkupnya diperluas (bersifat universal) dan
keanggotaannya lebih jelas (yaitu berdasarkan iman kepada Kristus). Dalam
kaitan inilah maka orang Kristen (gereja) selanjutnya disebut sebagai Israel
yang Baru.[31] Sekalipun umat Kristen berbeda dari umat
PL, melanjutkan rencana keselamatan Allah dalam sejarah bersama-sama dengan
mereka. Gereja dan umat Israel bersama-sama memainkan peranan penting dalam
menggenapi rencana keselamatan Allah untuk dunia.[32]
Anak-anak Allah
Dalam bahasa Ibrani kata
“anak” diterjemahkan dengan בֵּן (ben) yang dapat berarti anak, cucu atau anggota dari suatu
kelompok.[33] Istilah Anak Allah
secara khusus dalam PB merujuk pada Yesus Kristus yang memiliki latar belakang
dari pemahaman di PL.[34]
Istilah
anak Allah secara khusus dalam PB merujuk kepada Yesus Kristus. Anak Allah adalah
gelar yang diberikan kepada Yesus yang menjelaskan kedudukan dan hubunganNya
dengan Allah. Barangkali menjelang zaman PB penggunaan Anak Allah bagi Mesias
dan bahwa orang-orang saleh adalah tujuan khusus pemeliharaan dan perhatian
Allah sebagai Bapa, sudah berkembang. Yesus sendiri sangat memahami hubunganNya
yang khas dengan Allah, yang dalam doanya disapanya Abba (Mrk.14:36; bnd.
Mat.11:27; Luk.10:22). Makna ke-anakan yang khas ini mengungguli makna keanakan
seorang Yahudi yang saleh terhadap Allah. Hal ini tampak dalam cara Allah
menyapa Yesus sebagai anakNya pada peristiwa baptisan dan pemuliaan (Mrk.1:11;
9:7), juga dalam cara Iblis dan setan-setan menyapa Dia (Mat.4:3,6; Mrk.3:11;
5:7).[35] Paulus menggunakan istilah ini mengutip
dari tradisi yang memang telah ada dalam jemaat Kristen pada waktu itu. Konfesi
ini menghormati Yesus sebagai anak Allah, sebagai pemberian Allah dalam rangka
penebusan umat manusia (Rm. 8:3).[36] Manusia yang mengakukan bahwa Yesus
adalah penebus mereka, berdasarkan konsep Paulus, menjadi satu di dalam Kristus
dan mendapat bagian menjadi anak-anak Allah. Dan ini hanya dapat terjadi bila
berada di dalam Allah.
Gereja Sebagai Gambaran Kerajaan Sorga
Ketika Yohanes Pembaptis dan
Tuhan Yesus mulai memberitakan Injil, mereka berkata: ”Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” (Mat 3:2;
4:17). Akan tetapi Mrk 1:15 Tuhan Yesus berkata: ”Waktunya telah genap; Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah
dan percayalah kepada Injil!”. Kedua ayat ini menunjukkan bahwa ungkapan
”Kerajaan Sorga” adalah sama dengan ungkapan ”Kerajaan Sorga”. Isi harapan akan
kedatangan kerajaan Allah dalam kesempurnaannya itu biasanya diungkapkan dalam
bentuk kebangsaan Israel, sebagai umpamanya, bahwa Israel akan dibangun kembali sebagai bangsa, TUHAN akan
bertakhta di Yerusalem, para musuh Israel akan dibinasakan, dan lain
sebagainya. Selain daripada itu kedatangan kerajaan Allah yang secara sempurna
itu dihubungkan dengan kedatangan Mesias. Kemuliaan kerajaan Allah tadi
bertindih tepat dengan kemuliaan kerajaan perdamaian Mesias.
Seperti yang telah dikemukakan
di atas, ketika Yohanes Pembaptis dan Tuhan Yesus memulai pekerjaan mereka,
mereka memberitakan, bahwa kerajaan sorga telah dekat. Di dalam pemberitaan
tadi kerajaan Allah disebut kerajaan sorga, untuk menunjukkan bahwa kerajaan
itu berasal dari sorga, dari atas, diperintah dari atas. Kerajaan sorga juga
dapat disebut kerajaan Kristus, atau kerajaan Mesias, yaitu selama Kristus
masih harus menyelesaikan karya penyelamatanNya. Kelak, jikalau karya penyelamatan
Kristus itu telah selesai, kerajaan ini akan diserahkan kepada Allah Bapa (1
Kor 15:24).[37]
Hubungan Gereja Dengan Kerajaan Sorga
Sekarang harus diteliti
hubungan khusus antara kerajaan itu dan gereja, dengan menerima bahwa kumpulan
murid-murid Yesus sebagai cikal bakal gereja, atau gereja itu sendiri. Dalam
idiom alkitabiah, kerajaan itu tidak diidentifikasikan dengan subyeknya. Mereka
adalah umat pemerintahan Allah yang memasukinya, hidup di dalamnya, dan
diperintah olehnya. Gereja adalah masyarakat kerajaan itu, tetapi bukan
kerajaan itu sendiri. Murid-murid Yesus adalah milik kerajaan itu sebagaimana
kerajaan itu adalah milik mereka, tetapi mereka bukan kerajaan itu. Kerajaan
adalah pemerintahan Allah, sedangkan gereja adalah masyarakat manusia.[38]
Tiap orang yang mengakui Tuhan
Allah sebagai Rajanya, ia adalah rakyat kerajaan sorga. Oleh karena itu maka
gereja atau jemaat Allah dapat dirumuskan sebagai umat Allah atau persekutuan
rakyat kerajaan sorga, yang dengan perantaraan Injil dan sakramen kudus, telah
dikumpulkan oleh Kristus dari segala bangsa, untuk dijadikan tubuhNya yang
dikepalaiNya sendiri. Perbedaan antara kerajaan Sorga dan gereja dapat
dikatakan demikian: kerajaan sorga adalah karya Allah yang besar dan mulia
untuk memenuhi dan menyelesaikan janjiNya tentang keselamatan di dalam Kristus,
sedang gereja adalah umat yang telah dipilih dan dipanggil oleh Tuhan Allah
untuk mendapat bagian dari keselamatan yang terkandung di dalam kerajaan sorga.
Berhubung dengan itu maka yang direalisasikan terlebih dahulu adalah kerajaan
sorga, setelah itu gereja. Kerajaan sorga menjadi tujuan terakhir dari seluruh
sejarah dunia ini. Kerajaan sorga tadi mendatangkan karunia sera hukuman,
mencakup segala zaman. Sebaliknya gereja adalah umat, yang karena pilihan serta
janji-janji Tuhan Allah di dalam Kristus dihubungkan dengan kejadian-kejadian
yang besar serta mulia. Jadi dapat dikatakan, bahwa kerajaan sorga memang
diungkapkan di dalam gereja. Sebab di dalam gereja itu diungkapkan bahwa
kerajaan sorga memberi kelepasan serta keselamatan. Sekalipun demikian gereja
tidak boleh diidentikkan dengan kerajaan sorga. Gereja adalah buah penyataan
kerajaan sorga. Gereja adalah persekutuan para orang yang menanti-nantikan
keselamatan yang terkandung di dalam kerajaan sorga, serta tempat para orang
menerima karunia serta daya kuasa kerajaan sorga itu. Selain daripada itu
gereja adalah juga persekutuan para orang yang terpanggil untuk menjadi sarana
berkembangnya kerajaan sorga dengan perantaraan pengakuan mengenai Kristus, serta
dengan perantaraan ketaatan mereka terhadap peraturan-peraturan dan
undang-undang kerajaan, apalagi dengan perantaraan pemasyhuran Injil kerajaan
itu kepada seluruh dunia. Demikianlah hubungan antara kerajaan sorga dan
gereja.[39]
Sifat-Sifat Gereja Sebagai Tubuh Kristus
1) Gereja
itu tidak kelihatan. Karena
iman, yang melaluinya orang menjadi warga gereja, tidak kasat mata, maka gereja
tidak dapat dilihat oleh mata manusia. Tetapi meskipun gereja itu tidak dapat
dilihat manusia, ia pasti diketahui oleh Allah, karena Allah mengenal semua
warga gereja. Allah mengenal mereka sebagai milik-Nya (2 Tim 2:19). Orang-orang
Kristen sebagai pribadi mengetahui dirinya sebagai orang yang percaya (2 Kor
13:5; 2 Tim 1:12), karena itu ia juga mengetahui dirinya adalah bagian dari
persekutuan orang beriman, yang disebut Gereja Tuhan.[40]
2) Gereja
adalah kudus. PB jelas
menunjukkan, bahwa gereja adalah kudus. Menurut PB kekudusan jemaat bukanlah
suatu hal yang abstrak, melainkan suatu kenyataan yang dihubungkan dengan apa
yang telah terjadi dalam suatu perubahan yang radikal, yaitu perubahan dari
hidup yang lama kepada hidup yang baru. Berdasarkan hal itu semua dapat
dikatakan, bahwa keadaan gereja Tuhan adalah sebagai berikut (1) Gereja berdiri
di atas dasar kenyataan kuasa kasih karunia Allah, (2) Gereja dipimpin pada
suatu jalan di bawah pemerintahan Kristus yang membebaskannya, (3) jalan itu
dengan jelas ditandai sebagai jalan hidup di dunia yang tanpa noda dan tanpa
cacat.
3) Gereja
yang kelihatan. Iman,
yang menjadikan seseorang sebagai warga gereja, pada hakekatnya tidak kelihatan
(Luk 17:20-21), namun memiliki berbagai wujud. Semua orang percaya mengakui
iman mereka: ”dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang
mengaku dan diselamatkan” (Rm 10:10; Mat 10:32). Mereka juga akan membuktikan
imannya dengan hidup saleh, membiarkan terangnya bercahaya kepada orang lain,
sehingga orang-orang melihat perbuatannya yang baik dan memuliakan Bapanya yang
di sorga (Mat 5:16). Jadi, melalui kesaksian iman, kehidupan yang saleh, dan
kehadiran dalam ibadah, orang-orang yang percaya tersebut dapat dikenal orang
lain; hal ini menjadi bukti lahiriah dari iman mereka yang tidak kelihatan.
Gereja yang tidak kelihatan adalah jumlah keseluruhan orang yang mempunyai iman
yang benar di hatinya; gereja yang kelihatan adalah jumlah keseluruhan orang
yang mengaku iman. Gereja yang tidak kelihatan tersembunyi di dalam gereja yang
kelihatan.[41]
4)
Gereja adalah am. Pengakuan iman rasuli menyebutkan, bahwa gereja
yang kudus itu adalah juga gereja yang am. Kata yang diterjemahkan dengan ”am”
adalah katholikos, yang artinya:
umum. Di dalam Alkitab kata ini tidak pernah
dihubungkan dengan gereja. Di luar Alkitab kata ini berarti: umum, sebagai lawan dari yang tersendiri,
setempat, dsb. Dalam kata katholikos ini terkandung suatu gagasan
tentang keluasan tertentu dan ruang. Semua gereja menganggap dirinya bersifat
am. Oleh karena itu pada masa kini ada anggapan tentang perlunya mempunyai
suatu penafsiran yang lebih kongkrit tentang arti ”am” itu. Sifat katholikos atau am itu adalah suatu
panggilan. Bahwa gereja bersifat katholikos,
hal itu bukan berarti, bahwa gereja menguasai dan mempengaruhi seluruh dunia
dan segala bidang hidup. Gereja yang am bukan gereja yang kuasa dan pengaruhnya
diakui oleh seluruh dunia di segala bidang kehidupan. Sifat am gereja
mengandung pernyataan, bahwa keselamatan Allah bukanlah hanya diperuntukkan
bagi gereja saja, akan tetapi diperuntukkan bagi seluruh dunia (Yoh 3:16), dan
bahwa yang didamaikan dengan Allah oleh Kristus bukan hanya gereja saja
melainkan dunia (2 Kor 5:19), dan bahwa Allah di dalam Kristus adalah
Juruselamat dunia (1 Tim 4:10), dan bahwa yang didamaikan adalah segala
sesuatu, baik yang ada di di bumi, maupun yang ada di sorga (Kol 1:20).[42]
Berdasarkan uraian di atas sifat gereja yang am itu ada kaitannya dengan tugas
gereja untuk memasyhurkan Injil. Gereja tidak terikat kepada suatu zaman saja,
tetapi meliputi zaman yang lalu, sekarang dan zaman yang akan datang.
5)
Gereja adalah persekutuan orang kudus. Kata yang diterjamahkan dengan
”persekutuan orang kudus” adalah communio
sanctorum. Dalam keterangan yang lebih kemudian biasanya ungkapan ini
dipandang mempunyai arti pribadi, dan dianggap sebagai keterangan lebih lanjut
tentang gereja. Gereja bukan terdiri dari orang-orang yang telah sempurna,
melainkan masih terdiri dari orang-orang berdosa, sekalipun telah dikuduskan. Maka
ungkapan ”persekutuan orang kudus” harus dipandang sebagai suatu tugas
panggilan yang masih harus diperjuangkan. (Ingat kepada arti ungkapan am).[43]
II.
Refleksi
Teologis
Orang percaya dipanggil Allah
secara pribadi bukan untuk
hidup secara individual. Seperti Abraham yang dipanggil untuk kemudian
dijadikan suatu bangsa, menjadi Umat Allah, demikianlah orang percaya dipanggil
dan dipersatukan untuk membentuk suatu komunitas. Kata gereja berasal dari
bahasa Yunani ekklesia..[44] Oleh jemaat Kristen mula-mula kata ini
dipakai untuk menyebut setiap perkumpulan (persekutuan) mereka. Ekklesia yang dari akar katanya dapat
diartikan sebagai dipanggil keluar dari ikatan-ikatan lama, dikhususkan untuk
menjadi berkat bagi semua orang.[45] Orang percaya sebagai ekklesia adalah
orang-orang yang sama seperti Abraham yang dipanggil keluar dari duianya yang
lana dan dikuduskan lalu kemudian menjadi berkat bagi bangsa-bangsa. Dalam PB
jelas dikatakan bahwa alas dari gereja adalah Yesus Kristus, Tuhan ‘memanggil’
orang-orang dan mengumpulkan mereka menjadi satu persekutuan dan membentuk
gereja.
Gereja adalah penguyuban umat
beriman (PUBER), yaitu menguyubnya orang-orang yang menerima wahyu Allah dalam
Yesus Kristus oleh ikatan Roh Kudus. Dalam penguyuban itu orang percaya
menghayati imannya dengan akal budi (aspek intelektual/kognitif), dengan
perasaan (afektif) dan dengan perbuatan (konatif).[46] Hal ini dapat menjelaskan bagaimana bisa
terjadi banykanya denominasi gereja, bahwa setiap orang memiliki cara yang
berbeda dalam penghayatannya tentang imannya. Sehingga tidak boleh begitu saja
menghakimi keberadaan gereja lain, setiap gereja yang menerima dan mewartakan
Allah dan karyaNya dalam Kristus itulah gereja. Gereja memiliki sifat esa,
apostolik, kudus dan am. Gereja yang esa (satu) menunjuk hakekat gereja sebagai
satu-satunya penguyuban umat beriman, dan pada kesatuan yang terungkap dalam
satu iman, satu sakramen dan hidup bersama, satu dalam pelayanan dan satu dalam
perumusan pewartaan iman. Walaupun begitu kesatuan gereja adalah kesatuan yang
dinamis, yaitu kesatuan yang tetap memberikan tempat positif bagi kepelbagaian.
Maka perpecahan dan keragaman denominasi ini kiranya jangan hanya dipandang
sebelah mata, sebab melalui banyaknya denominasi ini Allah pakaikan juga
sebagai alatNya untuk menjangkau seluruh umat manusia untuk mewartakan kehendak
Allah dan menyatakan kasih Kristus. Karena pada hakekatnya gereja yang beraneka
ragam itu juga adalan bagian dari kesatuan di dalam Kristus, satu sebagai
anak-anak Allah yang memiliki peran, tanggung jawab dan hak yang sama dalam
melayani Allah.
Dalam
kaitan keesaan gereja sebagaimana rumusan tujuan PGI sebagai wadah Persekutuan
Gereja-gereja di Indonesia yakni Pewujudan Gereja Yang Esa di Indonesia, maka
seharusnya gereja-gereja di Indonesia bersatu padu, secara bersama-sama
mewartakan Kristus di tengah-tengah dunia, sebab pada dasarnya gereja sudah
esa, tetapi belum diwujudnyatakan.[47] Ada beberapa bentuk (model) keesaan
gereja yang selama ini telah diupayakan dalam gerakan kesatuan gereja,[48] yang paling anyar adalah unity as a solidarity (kesatuan sebagai
solidaritas). Model ini menekankan pada aspek penyelesaian jurang-jurang
pemisah kaya dan miskin, kaum bebas dan tertindas, termasuk juga jurang-jurang
lain yang menyebabkan perpecahan gereja. Dalam hal ini penyeminar menyepakati
bahwa di dalam Kristus keadaan yang baru, di mana segala perbedaan telah
ditransformasi, maka dengan demikian kesatuan di dalam Kristus mengindikasikan
bahwa keesaan gereja terletak pada solidaritas orang percaya terhadap kaum
miskin dan tertindas. Karena pewujudan keesaan gereja haruslah tampak dalam
hal-hal konkrit yang berdampak bagi kehidupan orang lain. Sidang Raya PGI 2009
berthemakan “Allah itu Baik Bagi Semua Orang”, tentunya hal ini
mengimplikasikan peranan dan tanggungjawab orang percaya dalam
mengimplementasikan kebaikan Allah bagi semua orang. Itu sebabnya pentingnya
kesadaran akan kesatuan di dalam Kristus antara orang percaya, supaya dengan
kesadaran itu mendorong orang percaya dan gereja bersatu padu dalam menyatakan
solidaritas kepada kaum miskin dan tertindas yang menjadi realita kehidupan di
Indonesia.
Melihat begitu banyaknya
gereja dan persekutuan Kristen pada saat ini di Indonesia dan bahwa di antara
mereka ada yang merasa gerejanya adalah “gereja Allah” sejati, “tubuh Kristus”
sebenarnya, maka tidak berlebihan bila dikatakan bahwa ada konsep yang keliru
mengenai pemahaman tentang gereja. Dalam penguraian mengenai makna “di dalam
Kristus”, ada pandangan yang menekankan bahwa arti di dalam Kristus itu
memiliki gagasan kolektif dan menyeluruh. Paulus menyebut-nyebut jemaat
(gereja) di Yudea berada di dalam Kristus (Gal.1:22). Mereka yang memimpin
jemaat sebagai pelayan-pelayan melakukannya di dalam Kristus (1 Kor.4:15). Ada
satu tubuh dalam Kristus (Rm.12:5). Semua orang percaya telah menjadi satu
dalam Kristus (Gal.3:26, 28). Orang Yahudi dan non Yahudi turut mengambil
bagian dalam perjanjian yang sama dengan Yesus Kristus (Ef.3:6). Orang-orang
kudus dan saudara-saudara seiman di Kolose bersama-sama berada di dalam Kristus
(Kol.1:2).[49] Dari berbagai ungkapan ini tampak bahwa
semua orang percaya pada saat yang sama disebut juga berada dalam Kristus.
Semua orang percaya adalah gereja, ini berrarti semua orang percaya memiliki
peran dan tanggungjawab yang sama sebagai gereja. Makna di dalam Kristus
memiliki gambaran suatu masyarakat baru yang hidup di bawah kepemimpinan Yesus
Kristus. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa gereja, sebagai
kumpulan orang percaya bersatu di dalam Kristus dan menjadi masyarakat baru
yang mana Kristus adalah kepalaNya. Dengan pemahaman yang demikian dapat
dimengerti oleh gereja-gereja di Indonesia bahwa kesatuan orang percaya di
dalam Kristus tampak dari keyakinan bersama bahwa Kristus adalah sebagai kepala
gereja.
III.
Daftar
Pustaka
……….., Himpunan
Bahan Study Tentang Ekklesiologi Tanggal 4-26 Juli 1988 di Kampus STT INTIM
Ujung Pandang, Persetia, 1988
Aritonang, Jan S., Belajar Memahami Sejarah di Tengah-tengah Realitas, Jakarta: Jurnal Info
Media, 2007
Baker, David L., Kesatuan Dan Keanekaragaman Jemaat Kristus: Menuju Gereja Yang Ekumenikal
Dan Evangelikal, dalam Membangun
Tubuh Kristus: Duapuluh Lima Tahun dan Limapuluh Tahun Pdt. Dr. R. Radjagukguk,
MST, ThM, Pematangsiantar: Yayasan STT HKBP, 1996
Caragounis,
Chrys C., “בֵּן” in The
New International Dictionary of Old Testament Theology and Exegesis Vol. 1, Willem
A. Van Gemeren (gen.ed), Carlisle, Cumbria: Paternos Publishing, 1984
de Jonge, Christiaan, Menuju Keesaan Gereja, Jakarta: BPK-GM, 2003
Dister, Nico Syukur, Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan, Yogyakarta: Kanisius,
2004
Feinberg, John S. (ed), Masih Relevankah Perjanjian Lama di Era Perjanjian Baru, Malang:
Gandum Mas, 1996
Fulkos, Prancis,
Ephession Commentary, Interversity
Press Leicester, England: 1983
Gintings, E.P., Apakah Hukum Gereja, Bandung: Jurnal Info Media, 2009
Griffit,
Michael, Gereja dalam Panggilannya Dewasa
Ini, Jakarta: BPK-GM, 1995
Guthrie, Donald,
Teologi Perjanjian Baru 2: Misi Kristen,
Roh Kudus, Kehidupan Kristen, Jakarta:
BPK-GM, 2009
Guthrie, Donald,
Teologi Perjanjian Baru 3: Ekklesiologi,
Eskatologi, Etika, Jakarta:
BPK-GM, 2009
Hadiwijono, Harun, Iman Kristen,
Jakarta: BPK-GM, 2009
Hort, F.J.A, “Gereja”,
dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid
I: A-L, J.D. Douglas (ed.), Jakarta: YKBK/OMF, 2008
Kaiser Jr, Walter C.., Teologi Perjanjian Lama, Malang: Gandum Mas, 2004
Karman, Yonky, Bunga
Rampai Teologi Perjanjian Lama, Jakarta: BPK-GM, 2004
Kobong, Th., “Gereja Bukanlah Gedungnya, Gereja
adalah Orangnya” dalam Kepemimpinan dan
Pembinaan Warga Gereja, Sularso Sopater, Jakarta: BKP-GM, 1998
Kohler, Edward W.A., Intisari Ajaran Kristen, Pematangsiantar: Kolportase Pusat GKPI,
2010
Ladd, George Eldon, Teologi Perjanjian Baru: Jilid 1, Bandung: Yayasan Kalam Hidup,
2002
Ladd, George Eldon, Teologi Perjanjian Baru: Jilid 2, Bandung: Yayasan Kalam Hidup,
2002
Myers, Allen C.
(ed), The Eerdmans Bible Dictionary, Grand Rapids, Michigan:
Wm B. Eerdmans Publishing Company, 1987
Nanulaitta, Th. J., Suara Abdi Sabda, Medan: Abdi Sabda, 1996
Robinson, J.A.T, “Tubuh Kristus”, dalam Ensiklopedi
Alkitab Masa Kini Jilid II: M-Z, J.D. Douglas (ed), Jakara: YKBK/OMF, 2008
Strarhmann, λαος
dalam Theological Dictionary of New
Testament Vol.7, Gerhard Kittel (gen.ed), Grand Rapids, Michigan: Wm B.
Eerdmans Publishing Company, 1967
Strathmann, H., Theological Dictionary Of The New Testament
Volume IV, Michigan:
WM. B. Eerdmans Publishing Company, 1993
Urban, Linwood, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen,
Jakarta: BPK-GM, 2003
van Niftrik,
G.C. & B.J. Boland, Dogmatika Masa
Kini, Jakarta:
BPK-GM, 2008
von Rad,
Gerhard, Old Testament Theology Vol. 2,
New York:
Harper and Row Publisher, 1965
Wongso, Peter, Soteriologi, Malang:
SAAT, 1992
Wright, J.
Stafford, “Son” dalam The New International Dictionary of New
Testament Theology Vol. 3, Colin Brown, Grand Rapids, Michigan: Wm.
Eerdmans Publishing Company, 1969
[1]
Kata kyriake sebagai sebutan bagi
persekutuan para orang yang menjadi milik Tuhan, belum terdapat di dalam PB.
Istilah ini baru dipakai pada zaman sesudah zaman para rasul, yaitu sebagai
sebutan Gereja sebagai suatu lembaga dengan segala peraturannya. Di dalam PB
kata yang dipakai untuk menyebutkan persekutuan para orang beriman adalah ekklesia, yang berarti rapat atau
perkumpulan yang terdiri dari orang-orang yang dipanggil untuk berkumpul.
Mereka berkumpul karena dipanggil atau dikumpulkan.
[2]
Harun Hadiwijono, Iman Kristen, Jakarta: BPK-GM, 2009,
hlm. 362
[3] Ibid, hlm. 362-363. Ingat kepada tubuh
dengan segala anggota-anggotanya: tubuh bukan terdiri dari tangan yang hidup,
kaki yang hidup, dada yang hidup, dan sebagainya, yang kemudian dikaitkan yang
satu dengan yang lain, tetapi seluruh tubuh mendapat hidup, dan oleh karena itu
segala bagiannya hidup juga.
[4]
F.J.A Hort, “Gereja”, dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid I: A-L,
J.D. Douglas (ed.), Jakarta:
YKBK/OMF, 2008, hlm. 334
[5]
Paulus melihat pemahaman en-Kristo
ditunjukkan dalam keseluruhan gereja, di mana itu adalah keseluruhan di dalam
Kristus. Bukan hanya gereja tetapi
semua anggota di dalam gereja itu adalah di dalam Kristus. Dan itu menunjuk
kepada Kristus. Sebab di dalam, dijelaskan bahwa di dalam Kristus kita tidak ada
perbedaan, semua orang adalah satu tubuh yang disebut sebagai tubuh Kristus
(Gal 2:28). Ungkapan “di dalam Kristus” dimaksudkan untuk suatu perubahan
radikal yang terjadi pada saat ketika seseorang menjadi Kristen. Akan tetapi “di dalam Kristus” jauh lebih
berarti dari sekedar ungkapan lain bagi “Kristen”. Secara hidup ungkapan ini
mengungkapkan pemikiran bahwa apa yang terjadi pada Kristus ada dampaknya bagi
setiap orang yang percaya kepada-Nya. Paulus juga menghubungkan di dalam
Kristus adalah ciptaan baru (2 Kor 5:17). Ciptaan baru itu terjadi pada orang
percaya berkat apa yang telah terjadi pada Kristus. Paulus juga tanpa ragu
menghubungkan ciptaan baru ini dengan suatu peristiwa masa lalu, yaitu kematian
dan kebangkitan Yesus yang sungguh-sungguh terjadi (2 Kor 5:15). Dalam kematian
Kristus ia melihat lebih dari kematian Yesus yang manusiawi. Ia juga melihat di
situ kematian ciptaan lama yang dikuasai kekuatan-kekuatan jahat, dan
kedatangan suatu ciptaan baru yang di dalamnya segalanya mencakup asas-asas
hidup yang baru, gagasan-gagasan moral yang baru, metode berpikir yang baru. Ia membawa
dampak kepada pribadi-pribadi, tetapi juga ada segi kebersamaan. Latar
belakang “ciptaan baru di dalam Kristus” ini mempengaruhi makna ungkapan “di
dalam Kristus”, sebab ciptaan baru ini menjadi terwujud hanya dalam mereka yang
berada “di dalam Kristus”. Donald Guthrie, Teologi
Perjanjian Baru 2: Misi Kristen, Roh Kudus, Kehidupan Kristen, Jakarta:
BPK-GM, 2009, hlm. 303-304
[6] George Howard, Paul: Crisist in Galatia dikutip dalam John S. Feinberg (ed), Masih Relevankah Perjanjian Lama di Era
Perjanjian Baru, Malang: Gandum Mas, 1996, hlm. 400
[7]
J.A.T Robinson, “Tubuh Kristus”,
dalam Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid
II: M-Z, J.D. Douglas (ed), Jakara: YKBK/OMF, 2008, 494
[8]
E.P. Gintings, Apakah Hukum Gereja, Bandung: Jurnal Info
Media, 2009, hlm. 15-16
[9]
G.C. van Niftrik & B.J. Boland, Dogmatika
Masa Kini, Jakarta:
BPK-GM, 2008, hlm. 358
[10]
Prancis Fulkos, Ephession Commentary,
Interversity Press Leicester,
England: 1983,
p. 108
[11]
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 3:
Ekklesiologi, Eskatologi, Etika, Jakarta:
BPK-GM, 2009, hlm. 71. Penekanan yang kuat lainnya pada kesatuan Jemaat
terdapat dalam catatan tentang Perjamuan Kudus dalam 1 Korintus 10:17 “Karena
roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita
semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu”. Gagasan mengenai pengambilan
bagian bersama-sama dalam Perjamuan Kudus menekankan kesatuan dasar dari
anggota-anggota Jemaat.
[12]
Paulus mengembangkan ekklesiologi khusus, tanpa meninggalkan paham umat Allah. Paham
khusus kristiani untuk mengungkapkan misteri gereja sebagaimana dikembangkan
Paulus dalam Surat Efesus dan Kolose, yaitu “tubuh Kristus”. Paham tubuh (soma) ini dipakai Paulua bukan hanya
dalam arti metaforis dan juga bukan hanya untuk menekankan kesatuan para anggota satu sama lain. Dalam surat Efesus dan Kolose,
Paulus memakai gagasan “tubuh” dalam arti yang sebenarnya dan dengan maksud
untuk menggarisbawahi kesatuan kita dengan Kristus, dan bukan Cuma satu sama
lain. Dalam Efesus dan Kolose, gereja disebut “tubuh Kristus” karena gereja hidup dari pada Kristus (Ef 4:15;
5:29-30; Kol 1:18-24; 2:19; 3:15).
[13] Ibid, hlm.71-72. Paulus menerapkan gambaran
yang sama kepada gereja universal (Ef 2:19-22). Orang-orang bukan Yahudi yang
telah percaya tak lagi dianggap terasing dari umat Allah, mereka telah
tergabung menjadi anggota-anggota rumah tangga Allah yang benar, pada
hakikatnya mereka telah menjadi bait yang dibangun di atas dasar Kristus, para
rasul, dan nabi-nabi, yang bertumbuh menjadi bait suci dalam Tuhan. Di sini
tampak bahwa tempat kediaman Allah itu ditemukan dalam gereja, bukan dalam
Yudaisme. Kehadiran Allah telah beralih dari bait Yerusalem ke bait yang baru,
gereja Kristen.
[14] Nico Syukur Dister, Teologi Sistematika 2: Ekonomi Keselamatan,
Yogyakarta: Kanisius, 2004, hlm. 221-222
[15] David L. Baker, Kesatuan Dan Keanekaragaman Jemaat Kristus: Menuju Gereja Yang
Ekumenikal Dan Evangelikal, dalam Membangun
Tubuh Kristus: Duapuluh Lima Tahun dan Limapuluh Tahun Pdt. Dr. R. Radjagukguk, MST, ThM,
Pematangsiantar: Yayasan STT HKBP, 1996, hlm. 271
[16]
Michael Griffit, Gereja dalam
Panggilannya Dewasa Ini, Jakarta:
BPK-GM, 1995, hlm. 6-7
[17] David L. Baker, Op. Cit., hlm. 272
[18] Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, Jakarta: BPK-GM, 2003, hlm.
413-414
[19]
Peter Wongso, Soteriologi, Malang: SAAT, 1992, hlm.
46
[20]
Donald Guthrie, Op. Cit, Teologi Perjanjian Baru, hlm. 73
[21]
Gagasan ini diambil dari gambaran yang diberikan dalam PL mengenai tempat
kediaman Allah di dalam ruang Rumah Allah yang paling dalam. Pada zaman dahulu
Allah tinggal di antara umat-Nya pada posisi yang berjauhan karena
kekudusan-Nya. Paulus tidak ingin para pembaca suratnya mempunyai sikap
penghormatan yang lebih terhadap Rumah-Nya sekarang, walaupun ini telah
dipindahkan dari bangunan yang kudus kepada hati manusia. Hal ini bukan hanya
memperlihatkan adanya perkembangan dalam pemikiran, yaitu menggantikan hal yang
bersifat lahiriah dengan sifat yang batiniah, tetapi juga memperlihatkan bahwa
suatu bangunan yang khusus bagi kediaman Allah tidak dibutuhkan lagi. Jika
orang percaya (dan sebagai akibatnya keseluruhan tubuh orang-orang percaya)
adalah tempat kediaman Allah, maka lokasinya secara fisik tidak penting lagi.
Betapapun bernilainya tempat kediaman Allah bagi Israel, namun Jemaat Kristen tidak
memerlukan suatu tempat seperti itu. Gagasan tentang bangunan betul-betul
menjadi kiasan dan karena itu bersifat rohani.
[22]
Donald Guthrie, Op. Cit, Teologi Perjanjian Baru 3, hlm. 74-75
[23] Ibid, hlm. 78
[24]
H. Strathmann, Theological Dictionary Of
The New Testaement Volume IV, Michigan:
WM. B. Eerdmans Publishing Company, 1993, p. 52
[25]
George Eldon Ladd, Teologi Perjanjian
Baru: Jilid 2, Bandung:
Yayasan Kalam Hidup, 2002, hlm. 327-328
[26] Th. J. Nanulaitta, Suara Abdi Sabda, Medan: Abdi Sabda, 1996, hlm. 34-36
[28] Dalam bahasa Ibrani umat Allah disebut עַם (‘am), kecuali dalam Kej.26:11, Kel.9:15,
‘am tidak digunakan diluar bangsa Israel sebagai bangsa pilihan, sehingga ‘am
dan Israel hampir sama artinya. Secara eksklusif ‘am hanya digunakan untuk
bangsa Israel. Allah menyebut Israel sebagai umatNya, karena bangsa Israel
adalah suatu kelompok sosial, etnik yang memiliki kesatuan dalam kelompok, dan
secara khusus memiliki hubungan yang bagitu erat dengan Yahwe, sehingga disebut
sebagai umatNya. Umat Allah dalam PL dipanggil berkumpul untuk menyembah Allah
dan diberi perintah, dimulai dengan pemanggilan Abraham, Ishak dan Yakub disertai
dengan janji berkat, perlindungan, keturunan dan tanah kepada mereka.Walter C.
Kaiser Jr., Teologi Perjanjian Lama, Malang:
Gandum Mas, 2004, hlm. 149 bnd. Gerhard von Rad, Old Testament Theology Vol. 2, New York: Harper and Row Publisher, 1965, p.
507. Dalam bahasa Yunani umat disebut dengan λαος yang artinya rakyat, massa, bangsa, suku-suku,
umat (Mat.1:21; Luk. 1:28; Kis. 13:17). Istilah ini terdapat 142 kali dalam PB
dan penekanannya adalah bangsa Israel.
Penekanan kata laos
dengan hubungannya dengan bangsa yang kudus menunjuk kepada persekutuan orang
Kristen (Kis.15:14; Rm.9:25). Strarhmann, λαος dalam Theological Dictionary of New Testament Vol.7, Gerhard Kittel
(gen.ed), Grand Rapids, Michigan: Wm B. Eerdmans Publishing Company, 1967, p.
51
[29] Gagasan
bahwa ada suatu umat Allah yang dikhususkan sering digunakan dalam PL mengenai
bangsa Israel.
Namun gagasan ini mempunyai sifat tersendiri yang membedakannya dari gagasan
yang semata-mata bersifat politis atau rasial. Bangsa Israel harus dipandang dari sudut
Teokrasi, dan merupakan suatu umat yang dipilih Allah dan yang dipelihara oleh
Allah. Identitasnya senatiasa dipertahankan oleh asal mulanya dalam pilihan
Ilahi, tidak pernah atas usahanya sendiri. Paulus juga memandang orang percaya
sebagai umat Allah berdasarkan pemahamannya mengenai universalitas karya
Kristus.
[31] Perlu dicatat bahwa peristilahan ini
tidak serta merta mengartikan bahwa bangsa Israel yang asli bukan lagi umat
Allah. Gereja tidaklah menggantikan Israel sebagai bangsa pilihan Allah, namun
gereja sebagai Israel yang baru disini dipahami sebagai suatu komunitas orang
yang percaya kepada bapa melalui Yesus Kristus yang memiliki peran yang sama
ditengah-tengah dunia, namun tetap tidak boleh disamakan.
[32] Yonky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, Jakarta: BPK-GM, 2004, hlm.
115
[33]
Chrys C. Caragounis, “בֵּן” in The
New International Dictionary of Old Testament Theology and Exegesis Vol. 1, Willem
A. Van Gemeren (gen.ed), Carlisle, Cumbria: Paternos Publishing, 1984, pp.
676-677
[34]
Guthrie memaparkan latar belakang yang jelas untuk hal ini, bahwa ada gagasan
tentang Anak Allah yang dipakai secara berbeda-beda.
1. Malaikat-malaikat disebut anak-anak Allah
(Kej.6:1-4; Ayb.1:6; 2:1). Penggunaan ini sering disebut mitos, karena makhluk
malaikat sering disebut mitos, tetapi tidak ada alasan untuk menolak keberadaan
malaikat, dan penggambaran mereka sebagai anak-anak Allah menunjukkan sifat
rohani mereka.
2. Adam sebagai anak Allah karena ia manusia
pertama yang dicipta Allah (Luk.3:38)
3. Bangsa Israel sebagai anak-anak Allah
(Ul.14:1-2; Yer.3:19-20; Hos.1:10). Hal ini memberi kesan yang lebih intim
yakni bangsa Israel sebagai bangsa pilihan Allah dan karena itu dibedakan
dengan bangsa-bangsa lain di sekelilingnya. Dalam hal ini anak-anak Allah
memiliki pengertian yang kolektif.
4. Istilah anak-anak Allah yang berlaku untuk
orang-orang secara individual kemudian dipakai untuk bangsa secara keseluruhan
(Hos.11:1), “Dari Mesir Kupanggil anakKu
itu”. Dalam hal ini bangsa Israel memiliki hubungan, yang kemudian dalam
pemikiran orang-orang Kristen diwujudkan dalam diri pribadi Yesus Kristus
(Mat.2:15).
5. Anak Allah adalah seseorang yang dihunjuk
dan diberi tugas secara khusus bagi raja yang teokratis. Dalam 2 Samuel 7:14
merupakan janji langsung bagi anak Daud bahwa Allah akan menjadi Bapanya dan
dia akan menjadi anak Allah. Setelah Daud mati janji itu diperluas kepada
keturunan-keturunannya (Bnd. Mzm.2:7).
Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 1, Op.cit., hlm.
339-340 Bnd. J. Stafford Wright, “Son”
dalam The New International Dictionary of
New Testament Theology Vol. 3, Colin Brown, Grand Rapids, Michigan: Wm.
Eerdmans Publishing Company, 1969, p. 636
[35]
J.D. Douglas (ed), Ensiklopedia Alkitab
Masa Kini Jilid 2, Jakarta:
YKBK-OMF, 2000, hlm. 591-592
[37]
Harun Hadiwijono, Op. Cit, hlm. 366
[38]
R.N. Flew, Jesus His Church (1943)
dikutip dalam George Eldon Ladd, Teologi
Perjanjian Baru: Jilid 1, Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2002, hlm. 145
[39]
Harun Hadiwijono, Op. Cit, hlm.
369-370
[40]
Edward W.A. Kohler, Intisari Ajaran
Kristen, Pematangsiantar: Kolportase Pusat GKPI, 2010, hlm. 261
[41] Ibid., hlm. 266-268
[42]
Harun Hadiwijono, Op. Cit, hlm.
378-380
[43] Ibid., hlm. 380-381
[44]
Kata ini pada penggunaan umum bahasa Yunani sebelum Kristen dipakai untuk
menyebut setiap pertemuan atau perkumpulan-perkumpulan yang lazim terjadi pada
masaitu. Setiap ada pertemuan yang dilakukan oleh beberapa orang maka hal itu
disebut ekklesia.
[45]
Th. Kobong, “Gereja Bukanlah Gedungnya, Gereja adalah Orangnya” dalam Kepemimpinan dan Pembinaan Warga Gereja, Sularso
Sopater, Jakarta:
BKP-GM, 1998, hlm.60-61
[46] ………..,
Himpunan Bahan Study Tentang Ekklesiologi
Tanggal 4-26 Juli 1988 di Kampus STT INTIM Ujung Pandang, Persetia, 1988, hlm. 24
[47]
Jan S. Aritonang, Belajar Memahami
Sejarah di Tengah-tengah Realitas, Jakarta:
Jurnal Info Media, 2007, hlm. 174
[48]
1. Organic or corporate unity (Edinburg, 1937), cita-cita
model ini adalah kesatuan gereja sebagai suatu organisme, penekanan pada tugas
panggilan yang harus dikerjakan bersama. 2. Concilliar
Fellowship, penekanan terletak pada keesaan gereja yang tampak dalam keputusan-keputusan
yang diambil bersama. 3. Reconciled Diversity, model ini
berbicara mengenai keesaan gereja yang tampak. 4. Communion of communions, dicita-citakan suatu gereja yang esa dalam
hal ajaran dan tindakan bersama yang tetap memperlihatkan keanekaragaman
tipe-tipe gereja. 5. Unity as a
solidarity, upaya mengatasi perbedaan-perbedaan jurang antara kaya dan
miskin, kaum tertindas dan yang menindas. Christiaan de Jonge, Menuju Keesaan Gereja, Jakarta: BPK-GM, 2003, hlm. 139-140
[49]
George Eldon Ladd, Op.Cit, Teologi Perjanjian Baru Jilid:2, hlm.
409
Tidak ada komentar:
Posting Komentar