Kamis, 14 Maret 2013

PERDAMAIAN MENURUT AGAMA KRISTEN DAN ISLAM DALAM UPAYA MELIHAT PELUANG DAN MENCIPTAKAN KERUKUNAN ANTAR-UMAT BERAGAMA


PERDAMAIAN MENURUT AGAMA KRISTEN DAN ISLAM DALAM
UPAYA MELIHAT PELUANG DAN MENCIPTAKAN KERUKUNAN ANTAR-UMAT BERAGAMA
Oleh : Chrisnov M. Tarigan

I.                   Pembahasan
1.1. Pengertian Perdamaian Secara Umum
Dalam KBBI, kata damai diartikan suatu keadaan yang tidak bermusuhan, tidak ada perang, tidak ada perselisihan, berbaik kembali, adanya suasana tentram. Juga bahwa kata damai menyangkut berbagai aspek kehidupan, misalnya: dalam keluarga, masyarakat, berbangsa dan negara. Sedangkan kata perdamaian adalah merupakan bentuk kata benda yang berasal dari kata dasar “damai” ditambah dengan awalan “per” dan akhiran “an”. Dalam penambahan imbuhan ini tersebut, kata perdamaian menjadi suatu kata yang didalamnya terdapat unsur kesenjangan untuk berbuat dan melakukan sesuatu, yakni membuat supaya damai, tidak berseteru atau bermusuhan, dan lain-lain.[1]
Selain hal diatas, mengenai perdamaian juga dijelaskan oleh Johan Galtung yang mana memberikan dua pengertian tentang perdamaian, yaitu:
1.      Perdamaian adalah tidak adanya/ berkurangnya segala jenis kekerasan
2.      Perdamaian adalah transformasi konflik kreatif non-kekerasan.
Untuk kedua defines tersebut hal-hal berikut ini berlaku:
1.      Kerja perdamaian adalah kerja yang mengurangi kekerasan dengan cara-cara damai
2.      Studi perdamaian adalah studi tentang kondisi-kondisi kerja perdamaian.[2]
Dalam gambaran yang sebenarnya, damai itu tidak aka nada jika tidak ada keadilan “No Peace Without Justice”. Damai tidak dapat diukur dengan nilai nominal, terkadang damai dihubungkan dengan penataan kebebasan bagi orang-orang yang tertindas. Damai dan keadilan tidak dapat dipisahkan. Jika ada damai maka harus ada keadilan, jika tidak ada keadilan, maka damai itu juga tidak ada.[3]

1.2. Perdamaiam Dalam Agama Kristen
1.2.1.      Perdamaian Menurut Perjanjian Lama
Istilah perdamaian didalam PL digunakan dengan memakai kata “כפר(kpr) yang artinya: mengadakan perdamaian. Ada beberapa hal yang menyebabkan manusia untuk melakukan perdamaian yaitu karena dosa manusia yang bersifat universal (1 Raj. 8:46; Mzm. 14:3; Pkh. 7:200, dll) yang membuat manusia jauh dari Allah, yang membuat hubungan manusia dengan Allah menjadi terputus. Manusia tidak pernah mampu mengatasi dosanya (Bil. 32:23) atau membersihkan diri dari dosa itu (Ams. 20:9). Jika manusia tetap menggantungkan diri pada dirinya sendiri, maka dia tidak akan selamat. Meskipun hubungan manusia dengan Tuhan telah rusak, akan tetapi Allah masih menyediakan jalan bagi umatnya yang telah jatuh kedalam dosa. Jalan masuk pendamaian dalam PL diperoleh  dengan penyerahan kurban-kurban seperti penyerahan lembu tambun, inilah jalan yang ditentukan oleh Allah bagi manusia memperoleh pendamaian untuk memulihkan hubungan manusia dengan Allah.[4]
Oleh nabi Yesaya mengenai pergeseran visi perdamaian, dari pedang menjadi mata bajak, dan dari tombak-tombak menjadi pisau pemangkas (Yes. 2:4), tetap menjadi tantangan bagi umat Yahudi. Para nabi adalah orang-orang pertama dalam sejarah, yang menganggap ketergantungan umat Israel kepada kekuatan, merupakan kejahatan. Hosea mengutuk militerisme sebagai penyembahan berhala (Hos. 5:13; 8:9-10, 14: 10:13). Disamping gambaran prajurit ilahi dan pengaharapan untuk kemenangan Israel dalam peperangan. PL juga menyajikan pengharapan untuk terwujudnya suatu dunia, yang didalamnya serigala dapat hidup berdampingan dengan domba-domba, bangsa-bangsa hidup dalam perdamaian, dan orang-orang miskin dan tertindas memperoleh keadilan (Yes. 11:1-9).[5]
Sehingga melalui ini, dalam PL kita dapat melihat bahwa Allah tetap menyediakan dan memberi kesempatan kepada manusia untuk berupaya menciptakan perdamaian ditengah kehidupan manusia. Manusia diberi jalan untuk berdamai kepada Allah dan kemudian kepada sesama manusia. Praktik yang pada umum dilakukan adalah dalam upacara keagamaan, social dan juga dalam pengharapan akan dunia yang damai.

1.2.2.      Perdamaian Menurut Perjanjian Baru
Pendamaian dalam Perjanjian Baru itu adalah sebagai wujud dari kasih Allah kepada manusia. Allah tidak butuh pendamaian dari manusia, tetapi ia mengambil prakarsa bagi pendamaian tersebut.[6] Pendamaian mengungkapkan kasih Allah kepada manusia yang mana merupakan kerja kasih Allah.  Menunjukkan kasih Bapa kepada anak-Nya, sehingga Paulus menyatakan bahwa “Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa” (Rm.5:8). Selanjutnya juga mengungkapkan bahwa manusia telah diperdamaikan dengan Allah. Dalam bahasa Yunani dipakai istilah katallage, kallasso, dan apokatalasso. Gagasan pendamaian mencakup arti bahwa dua pihak yang sekarang telah didamaikan. Jalan pendamaian senantiasa bersifat menyingkirkan penyebab timbulnya permusuhan. Kasih Allah tidak berubah kepada manusia, kendati apa pun yang diperbuat manusia. Pekerjaan Kristus yang mendamaikan berakar dalam kasih Allah yang begitu besar kepada manusia.[7]
Dalam PB sendiri, Allah-lah yang memprakarsi adanya perdamaian antara Dia dan manusia, yang merupakan wujud kasih-Nya. Perdamaian yang didalamnya kasih,  kasih yang telah dinyatakan Allah kepada manusia menuntut agar manusia juga saling mengasihi terhadap sesamanya (Yoh. 13:34).

1.3.Perdamaian Dalam Agama Islam
Dalam keyakinan umat Islam bahwa sesungguhnya Islam merupakan agama sosial yang mana tidak sekedar menjelaskan tentang kewajiban-kewajiban individual, seperti membangun kepribadian, penyucian jiwa, dan bimbingan rohani.[8] Orang-orang Muslim percaya bahwa Islam adalah perdamaian yang berasal dari penyerahan diri kepada Allah.[9] Dikatakan bahwa, orang yang bertakwa bukan berarti hanya bertakwa secara vertical kepada Allah saja, tetapi juga secara horizontal, yaitu menebarkan perdamaian di muka bumi.[10]
Dalam Islam, dikenal beberapa macam perdamaian, diantaranya:
1.      Perdamaian dalam urusan muamalah, untuk kemasyarakatan dan usaha;
2.      Perdamaian antara Muslim dengan non-Muslim;
3.      Perdamaian antara suami dan istri; dan
4.      Perdamaian antara pemimpin dan pemberontak[11]
Dalam Islam sendiri memerintahkan agar umat memiliki sifat pemaaf, namun tetap memperhatikan agar kejahatan tetap diberikan hukuman yang setimpal agar tidak memunculkan kejahatan yang baru. Islam memerintahkan agar manusia selalu berbuat baik, sekalipun terhadap orang yang pernah berbuat jahat kepadanya. Islam mengajarkan manusia agar mereka banyak beribadah kepada Allah, tetapi jangan menjadi rahib yang melupakan hak diri dan orang lain. Islam memerintahkan manusia berendah hati, namun jangan melupakan harga diri. Allah tidak menjadikan perdamaian secara mutlak dalam semua keadaan. Islam juga menghormati akal dan mendorong manusia untuk berfikir jernih, serta menjadikan akal dan pikiran sebagai sarana untuk saling memahami dan mau menerima.
"Katakanlah: "Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, Yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu berfikir…." (Terj. Saba': 46)
Islam lebih mengedepankan penggunaan akal dan pikiran dalam mengajak orang lain ke dalamnya. Allah Ta’ala berfirman:
Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Dan tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan para yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman".(Terj. Yunus: 101)
Dia juga berfirman:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat." (Al Baqarah: 256)
Sedangkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tugasnya hanyalah menyampaikan, Allah Ta’ala berfirman –memerintahkan Rasul-Nya-:
“Dan agar aku membacakan Al Quran (kepada manusia). Maka barangsiapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya ia hanyalah mendapat petunjuk untuk (kebaikan) dirinya, dan barangsiapa yang sesat maka katakanlah, "Sesungguhnya aku (ini) tidak lain hanyalah salah seorang pemberi peringatan". (Terj. An Naml: 92).[12]
Dalam Islam juga ada beberapa hal mengenai perdamaian dalam kehidupan orang muslim yakni:
1.      Hubungan antara sesama manusia
Islam tidak hanya menjunjung tinggi prinsip perdamaian saja, lebih dari itu dalam hubungan antara sesama, antara golongan bahkan antara negara, Islam mendasari hubungan itu di atas perdamaian dan keamanan, baik hubungan antara sesama muslim maupun dengan non muslim sebagaimana yang akan dijelaskan setelah ini.

2.      Hubungan antara sesama muslim
Islam datang untuk menyatukan hati, merapatkan barisan dan mengarahkan kepada satu persatuan sambil menjauhi sebab-sebab perpecahan, yang menjadikannya lemah. Tujuan persatuan ini agar dapat mewujudkan nilai-nilai yang luhur dan tujuan yang mulia yang memang diharapkan oleh risalah yang agung ini, yaitu agar manusia beribadah kepada Allah Ta'ala Penciptanya, kalimat Islam menjadi tinggi, kebenaran tegak, perbuatan baik dapat diamalkan serta dapat berjihad agar prinsip-prinsip Islam menjadi tegak, karena hanya dengan prinsip tersebut manusia dapat berada di bawah keamanan dan kedamaian.
Ikatan yang digunakan Islam untuk menyatukan para pemeluknya merupakan ikatan yang paling kokoh, tidak sama dengan ikatan yang lain, tidak seperti ikatan materi yang akan habis jika memang sudah habis pendorongnya dan yang akan habis jika tidak dibutuhkan lagi. Ia adalah ikatan yang paling kuat; lebih kuat daripada ikatan darah, ikatan warna kulit, ikatan bahasa, ikatan tanah air dan ikatan maslahat materi dan ikatan lainnya. Ia adalah ikatan iman, di mana kaum mukminin berkumpul di bawahnya.
Dengan ikatan iman kaum mukmin dapat bersaudara, bahkan lebih kuat daripada persaudaraan senasab, Allah Ta’ala berfirman:
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara." (Terj. Al Hujurat: 10)
Di samping itu, tabi'at iman adalah selalu bersatu dan tidak berpecah belah, satu sama lain saling menguatkan,
“Orang mukmin bagi mukmin lainnya seperti satu bangunan, yang satu menguatkan yang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal rasa cinta dan sayang serta saling mengasihi seperti sebuah jasad, apabila anggota badan yang satu sakit, maka yang lain ikut merasakan sakit dengan demam dan tidak bisa tidur." (HR. Muslim)

3.      Hubungan antara muslim dengan non muslim
Hubungan kaum muslimin dengan non muslim adalah hubungan saling kenal-mengenal, berbuat baik dan bersikap adil. Allah Ta'ala berfirman:
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa- bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adaah orang yang paling taqwa. ..(Terj. Al Hujurat: 13)
Konsekwensi hubungan ini adalah dengan saling memberikan maslahat, memberikan manfaat dan bermu'amalah secara baik.
Makna di atas tidaklah termasuk ke dalam berwala’ kepada orang-orang kafir yang terlarang, karena larangan berwala’ kepada orang-orang kafir maksudnya adalah larangan menjadikan mereka sebagai sahabat setia, sebagai pemimpin dan membantu mereka melawan kaum muslimin serta sikap-sikap lain yang menunjukkan walaa'/cinta kepada mereka (seperti tasyabbuh dalam cirri khas mereka dan menjunjung tinggi mereka), demikian juga agar kita tidak meridhai kekafiran yang ada pada mereka. Hal itu, karena membantu mereka melawan kaum muslimin terdapat bahaya besar bagi eksistensi kaum muslimin, sebagaimana meridhai kekafiran mereka adalah sebuah kekufuran. Adapun jika berwala’ dalam arti bergaul yang baik, bermu’amalah dengan baik, saling tukar-menukar maslahat dan saling bahu-membahu dalam hal yang baik, maka hal ini tidaklah dilarang. Allah Ta'aala berfirman:
"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil." (Terj. Al Mumtahanah: 8)
Berdasarkan ayat ini, jika mereka, yakni non muslim tidak mengganggu keamanan dan ketenteraman, tidak menzhalimi dan melakukan penganiayaan, tidak mengacaukan keamanan dan tidak memaksa orang-orang meninggalkan agamanya dan mengamalkannya serta tidak mengusir kaum muslimin dari negeri mereka, maka kita boleh berbuat baik dan bersikap adil kepada mereka. Termasuk golongan kafir yang tidak boleh diganggu tersebut adalah:
a.  Kafir Musta’man, yaitu kaum kafir yang masuk ke negeri Islam dengan meminta keamanan, maka kita harus melindungi mereka sampai waktu yang telah ditentukan dan di tempat yang ditentukan (lih. At Taubah: 6)
b.  Kafir Mu’ahad, yaitu kaum kafir yang mengikat perjanjian dengan kita, maka kita wajib memenuhi perjanjian sampai selesai waktu perjanjian. Hal ini selama mereka konsisten dengan janjinya (lih. At Taubah: 4 dan 13)
c.  Kafir Dzimmiy, yaitu kaum kafir yang tinggal di bawah pemerintah Islam dengan membayar jizyah (pajak) setahun sekali kepada pemerintah Islam agar memperoleh perlindungan. Pemerintah Islam wajib melindungi mereka serta memberikan kebebasan kepada mereka menjalankan agama. Pemerintah berhak melarang mereka melakukan mu'amalah yang haram seperti riba dsb. Demikian juga berhak menegakkan hudud jika mereka melakukan perbuatan yang menghendaki diberi hukuman hudud. Bagi kafir dzimmiy tesebut wajib membedakan diri dengan kaum muslimin seperti dalam hal pakaian, juga tidak menampakkan sesuatu yang mungkar dalam Islam dan tidak menampakkan syi’ar-syi’ar mereka seperti lonceng, salib dsb.
Kepada tiga kelompok kaum kafir ini, kita dilarang menyakiti hartanya, darahnya dan kehormatannya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
« مَنْ قَتَلَ مُعَاهَداً لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَاماً »
“Barangsiapa yang membunuh kafir mu’ahad (yang mengikat perjanjian) maka ia tidak akan mencium wanginya surga, padahal wanginya dapat tercium dari kejauhan perjalanan empat puluh tahun." (HR. Bukhari)[13]

1.4. Perdamaian dalam Upaya Melihat Peluan dan Menciptakan Kerukunan Antar Umat Beragama
1.4.1.       Panggilan Orang Kristen sebagai Pembawa Damai[14]
Yesus menyatakan pengikut-Nya pembawa damai selaku yang diberkati Allah dan disebut Anak-Anak Allah (Mat. 5:9). Sebab membawa damai adalah kegiatan ilahi. Allah telah membawa damai antara Dia dan kita dan antara manusia dan sesamanya melalui Kristus. Kita mustahil dapat menyebut diri kita Anak-Anak Allah yang otentik jika kita tidak membawa damai juga. Ada beberapa prakarsa-prakarsa praktis yang mana dapat kita ambil dalam panggilan kita untuk membawa damai, yaitu:
1.      Semangat juang orang Kristen pembawa damai harus pulih. Ada kecenderungan yang merongrong semangat juang orang Kristen ialah ketidakpedulian dan pesimisme yang begitu parah atas masa depan, sehingga turut tenggelam dalam perasaan ketidakberdayaan yang umum merasuk orang dimana-mana. Namun, keduanya baik ketidakpedulian maupun pesisme adalah tidak pada tempatnya dalam diri pengikut Yesus.
2.      Orang Kristen pembawa damai harus berdoa. Yesus, Tuhan kita, menyuruh kita secara khusus untuk berdoa bagi orang-orang yang memusuhi kita. Rasul Paulus menegaskan bahwa kewajiban kita yang pertama jika berkumpul sebagai jemaat untuk ibadah, ialah berdoa agar kita hidup tenang dan tentram dalam segala kesalehan dan kehormatan (1 Tim. 2:2).
3.      Jemaat Kristen pembawa damai harus menjadi contoh suatu masyarakat yang damai. Allah memanggil kita untuk membawa damai, sebab tujuan Allah ialah menciptakan suatu masyarakat yang telah diperdamaikan. Kita diharapkan menjadi model dari suatu masyarakat yang hidup dibawah pemerintahan ilahi yang adil dan damai. Kedamaian yang membias dari persekutuan-persekutuan damai dampaknya tidak terhingga.
4.      Orang Kristen pembawa damai harus menyumbang dalam membangun rasa saling mempercayai.

1.4.2.      Panggilan Orang Islam sebagai Pembawa Damai
Islam juga ada beberapa hal mengenai perdamaian dalam kehidupan orang muslim, yakni dalam hubungan muslim dengan sesama manusia, hubungan muslim dengan sesama muslim dan hubungan muslim dengan non-muslim. Islam yang diartikan sebagai agama pembawa damai, damai yang dikarenakan penyerahan diri kepada Allah. Panggilan Islam yang untuk menghadirkan perdamaian merupakan bukti hakikat dari agama Islam itu sendiri. Islam adalah sumber perdamaian, sehingga harus menghadirkan perdamaian dalam segala aspek kehidupan.[15]

1.4.3.       Dialog Agama
Dialog umat beragama adalah dialog teologis yang berdasar pada imannya masing-masing. Dialog beranjak dari pemahaman religius masing-masing yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dialog yang dimaksudkan dengan menghilangkan keyakinannya, pada dasarnya bukanlah dialog agama karena akan ada ketimpangan dalam interaksi dengan umat yang lain yang mendasarkan pada keyakinannya. Dialog yang dimaksudkan disini bukan saja dialog agama, tetapi lebih kepada dialog antarumat beragama. Orang yang berdialog adalah orang yang mengetahui  apa yang ia dialogkan, sehingga dialog agama mensyaratkan adanya umat yang benar-benar beriman, yang bertemu dalam konteks riil, yakni dunia.[16]
Dalam hal ini ada beberapa bentuk dialog yang penting, yakni:[17]
1. Dialog Kehidupan
Dialog ini terjadi dalam pertemuan antara manusia dari berbagai latar belakang agama dan kepercayaan di taraf kehidupan sekarang. Memang dalam dialog seperti ini tidaklah terjadi pertukaran pengalaman keagamaan secara eksplisit. Namun patutlah diakui bahwa di mana terjadi suatu hubungan baik di berbagai kelompok dan kalangan, maka di situ terjadi pula saling membagi nilai-nilai dan kaidah-kaidah keagamaan yang dapat memperkaya hidup mereka yang terlibat didalamnya, dan turut memberikan sumbangan bagi tercapainya sikap saling mempercayai serta pembentukan hidup bersama yang harmonis.

2. Dialog Melalui Percakapan
Dialog agama melalui percakapan bila diarahkan secara baik dapat menciptakan sebuah temu pikir dan temu pendapat antara para pemikir sehingga dapat terbentuk suatu komunitas percakapan antara para pemikir dan para ahli agama dari berbagai corak. Dari Timur Tengah umpamanya, dialog seperti ini telah menciptakan adanya berbagai kelompok Muslim, orang-orang Kristen, dan orang-orang Yahudi yang mempunyai kesadaran yang lebih baik untuk merasakan dan menafsirkan serta menghayati permasalahan yang ada dalam agama lain. Mereka ini telah memainkan peranan penting dalam usaha untuk memberi pengertian tentang agama lain kepada para pemeluk agamanya sendiri.

3. Dialog Spiritualitas
Dengan melakukan dialog seperti itu maka terciptalah pula sikap toleransi dan saling menerima anatara para pemeluk agama yang berbeda-beda yang akan menjurus pada adanya hidup yang harmonis dan saling bekerja sama untuk mendatangkan kesejahteraan bagi semua.

4. Dialog Dalam Tindakan
Tekanan daripada dialog seperti ini adalah pada kerjasama, bertindak bersama dan hidup bersama sebagai jalan untuk membawa keharmonisan dan kesatuan di antara para pemeluk berbagai agama.
Didalam dialog ada peluang untuk menghadirkan perdamaian. Dimana dengan pemahaman yang jelas, dialog yang dihadirkan dapat membantu sesama umat beragama untuk saling memahami dan menghormati. Seperti pepatah yang mengatakan bahwa: “tak kenal maka tak sayang”, sehingga melalu dialog kita akan dibangun dengan pemahaman yang sama, yaitu pemahaman untuk saling mengenal. Namun, dialog yang dihadirkan harus betul-betul bukan dalam tujuan untuk berdebat, namun dalam tujuan untuk umat yang benar-benar beriman, yang bertemu dalam konteksnya, dan menghadirkan perdamaian yang nyata bagi semua umat beragama.

1.4.4.      Sikap Toleransi
Kata toleransi berasal dari kata latin “tolerantia” yang antara lain berarti, ketabahan, daya tahan; hal membiarkan, hal berusaha untuk tidak mengesampingkan atau membasmi sesuatu.[18]
Salah satu penampilan dari landasan etika, moral dan spiritual dalam kehidupan beragama yang harmonis ialah adanya toleransi positif dan saling menerima antara satu dengan yang lain. Sikap saling menerima dan toleransi seperti itu tidak akan mungkin terjadi kalau salah satu agama menganggap agama-agama lain sebagai sesuatu yang asing. Dampak toleransi itu sendiri banyak sekali peristiwa yang didalamnya orang Kristen mengalami transformasi iman setelah ia mengenal dan mengetahui bahwa seorang Muslim itu sebenarnya adalah orang yang selalu sembahyang, dan seorang Buddhi itu adalah seorang yang mempunyai watak cinta yang dalam terhadap segala sesuatu yang hidup.[19]
Sikap toleransi, menjadi titik awal yang berkelanjutan dalam upaya untuk menghadirkan perdamaian. Manusia hidup bukan dalam dunia asing, yang mana menganggap semua orang lain adalah asing, namun manusia hadir dalam kenyataan bahwa sampai kapanpun manusia akan hidup bersama-sama dengan sesamanya manusia. Sikap yang mulai kurang pada masa sekarang ini. Dengan memberi luang untuk orang lain meng-imani agamanya, kerukunan akan terbangun dengan sikap toleransi dan saling menerima.

1.4.5.      Kepedulian Sosial
Manusia yang tercipta sebagai makhluk sosial berarti juga berkaitan atau berhubungan dengan masyarakat dan lingkungan sekitar. Dengan demikian kepedulian social adalah perduli terhadap orang lain dan masyarakat serta lingkungan hidup. Dalam hal ini kita perlu lebih memahami sosiologi agama yaitu cabang ilmu sosiologi umum yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai keterangan-keterangan ilmiah dan pasti demi kepentingan masyarakat agama itu sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.[20]
Kepedulian sosial gereja dan kaum Muslim terlihat dalam berbagai medan, yang paling mencolok adalah tentang ajaran social. Ajaran adalah keterlibatan teoritis yang mengandalkan keterlibatan praktis atau mau mengerakkan aksi social. Pada semua ajaran social jelas bahwa gereja keyakinan imannya angkat bicara demi kepentingan semua orang untuk melibatkan semua orang yang berkehendak baik dalam perjuangan demi martabat manusia.[21]
Penekanan terhadap kepedulian sosial ini sendiri sangat diperlukan pada masa-masa sekarang ini. Dimana terdapat sebuah budaya yaitu : “siapa lo, siapa gue”, “urusanmu – bukan urusanku, dan urusanku – bukan urusanmu”, dll, semakin mengikis rasa kepedulian kita terhadap sesama manusia. Padahal sangat jelas dikatakan dalam agama Kristen, ada panggilan untuk mengasihi sama manusia (yang didalamnya ada kepedulian); dan dalam agama Islam sendiri ada panggilan untuk bertakwa secara horizontal (kepedulian sesama manusia); sehingga tidak ada alasan untuk kita, tidak melaksanakan kepedulian sosial.

1.4.6.      Menegakkan Humanisasi
Kata Humanisme diambil dari istilah studia Humanitatis atau humaniora yang artinya ilmu mengenai kemanusiaan[22]. Keseragaman manusia dengan Allah membedakan menusia tersebut dengan ciptaan yang lainnya. Manusia mempunyai derajat yang lebih tinggi dari seluruh ciptaan yang lain. Allah menciptakan binatang menurut jenisnya, sedangkan manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26).[23] Dan dalam agama Islam, manusia adalah ciptaan Allah SWT dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Allah SWT menciptakan manusia dari tanah dan menugaskan untuk memakmurkan bumi.[24]
Humanisme memberikan pesan baru terhadapa agama, untuk berdialog bukan lagi berdasarkan dogmatis belaka, tetapi berdialog secara etis. Agama bersama-sama memajukan kesejahteraan di dunia ini, dan melupakan sejenak segala latar belakang dogmatis historis, tetapi bersama-sama menuju masa depan yang indah. Karena tidak ada kebenaran yang universal dalam setiap agama, dan kita bukan hanya berbicara untuk memperkaya agama dengan pertukaran atau menerima pengaruh dari agama lain[25], sehingga dari sini menjadi titik awal untuk menciptakan kerukunan umat beragama dengan memperkaya agama melalui dialog.
Hakikat manusia adalah untuk me-manusia-kan sesamanya manusia. Me-manusia-kan manusia adalah dengan memberikan luang gerak untuk hak dan kewajiban sebagai manusia. Hak dan kewajiban manusia untuk menyatakan dirinya adalah manusia. Dengan ini manusia wajib memberi luang untuk sesamanya menyatakan hak dan kewajibannya. Haknya untuk beragama, haknya untuk menyatakan kepercayaannya, haknya untuk beriman dan kewajibannya menyatakan imannya, baik dalam kehidupan dalam keagamaan dan kehidupan dalam sosialnya.

1.4.7.      Sikap Inklusif
Inklusif dapat diartikan sebagai suatu sikap keterbukaan terhadap golongan atau agama lain diluar dirinya.[26] Dari segi teologis, Islam memberikan landasan agamawi bagi para pemeluknya untuk menerima keberadaan agama-agama lain dan untuk mengadakan hubungan baik dengan agama-agama lain. Sikap umat Islam terhadap agama lain dan pola hubungan mereka dengan umat agama-agama lain dijelaskan oleh Kitab Suci Al-quran dan sesuai dengan konteks zamannya diterjemahkan oleh Nabi Muhammad dalam kehidupan bermasyarakat sebagaimana terabadikan dalam sunnah nabawi atau tradisi kenabian.[27] . Sikap inklusif ini harus dikembangkan untuk membina kerukunan umat beragama. Yang mana dengan sikap terbuka terhadap agama lain, tingkat untuk pergesekan negatif dalam kehidupan bermasyarakat yang didalamnya terdapat banyak umat beragama akan ditekan. Semua agama tidak mengajarkannya umatnya untuk hidup terasing, namun untuk hidup bersama, dan salah satu jalan untuk itu adalah sikap terbuka (inklusif).

1.5. Hambatan Dalam Perdamaian dan Upaya Menciptakan Kerukunan Antar Umat Beragama
1.5.1.      Radikalisme Agama
Leo D. Lefebure mengatakan mengenai radikalisme merupakan tindak kekerasan yang dibungkus dengan pakaian religious berulangkali mempesona agama dan kebudayaan, memikat masyarakat sopan yang tidak terhitung jumlahnya dari petani buta huruf sampai imam-imam, para pengkotbah dan professor yang terpelajar masuk kedalam tarian yang menghancurkan.[28] Radikalisme agama[29] adalah juga sama dengan ciri dari fundamentalis yang ditandai sikap melawan kelompok yang mengancam identitas, dan taruhannya adalah hidup. Berjuang untuk menegakan cita-cita yang mencakup berbagai persoalan hidup, berjuang dengan nilai-nilai tertentu, melawan musuh yang dianggap menyimpang, dan mereka berjuang atas nama Tuhan dan ide-ide yang lain. Tidak heran jika radikalisme bisa menciptakan kekerasan[30]. Yang mana tindak kekerasan adalah suatu tindakan atau usaha individu atau kelompok untuk memaksakan kehendaknya terhadap orang lain untuk mencapai tujuannya melalui cara-cara yang dapat menimbulkan kerugian orang lain secara fisik, mental dan spiritual.[31]

1.5.2.      Eksklusifisme Agama
Dalam bahasa Indonesia, kata eksklusifisme terdiri dari dua kata yaitu “eksklusif” (kata kerja) yang artinya terpisah dari yang lain, khusus, dan “isme” yang artinya paham.[32] Th. Sumartana menyatakan bahwa eksklusifisme merupakan suatu sikap menutup diri dari pengaruh agama lain, ingin mempertahankan keaslian dan kemurnian pribadinya.[33] Dan menurut Th. Kobong, eksklusifisme merupakan suatu sikap yang arogan terhadap agama lain, yang membatasi kasih Allah yang tidak terbatas itu, mengurung Allah di dalam system nilai-nilai yang dibuat oleh manusia itu sendiri.[34]
Eksklusifisme agama akan menutup celah untuk manusia hidup dalam perdamaian dan rukun. Sikap yang tertutup dan menganggap agama lain salah tidak akan membangun perdamaian dan kerukunan antar umat beragama. Bagaikan hidup dibawah tempurung, manusia tidak dimampukan menghadirkan perdamaian dan kerukukan dengan sesamanya manusia beragama.

1.5.3.      Fundamentalisme
Fundamentalisme muncul sebagai reaksi terhadap keadaan di dalam gereja yang tidak lagi menunjukkan kekuatan iman Kristen dalam menghadapi dunia. Fundamentalis membangun benteng, namun bukan untuk bertemu dengan orang lain di luar benteng itu dan mengadakan percakapan. Maksudnya adalah untuk melawan musuh, yang mana konfrontasi yang menjadi semangatnya.[35] Dalam penampilan yang militan, fundamentalisme merumuskan segala sesuatu dalam terminologi yang serba mutlak. Kemutlakan itu dipaksakan kepada setiap orang. Dengan demikian fundamentalisme menuntut orang atas komitmen yang absolut, kalau perlu mempertaruhkan segala sesuatu.[36] Dalam Islam, menurut fundamentalisme[37], adalah agama, dunia dan negara (din, dunya, dawlah). Perspektif holistik ini mengimplikasikan keharusan tindakan kolektif untuk mewujudkan totalitas Islam ke dalam kenyataan.[38]
Benturan akan terjadi dengan adanya fundamentalis. Dalam masyarakat yang majemuk, bila fundamentalis A berjumpa dengan fundamentalis B, tidak bisa dibayangkan akan bahaya yang terjadi; Fundamentalis dalam lingkungan sendiri, bisa menghadirkan permasalahan. Bagaimana bila itu terjadi dalam kehidupan beragama yang majemuk ini. Dimungkin bahwa kerukunan antar umat beragama tidak tercipta.

II.                Analisa Penulis
Dalam kehidupan ini, kita perlu menyadari bahwa kita hidup dalam dunia yang penuh kemajemukan, termasuk dalam hal kepercayaan (agama). Dimana terdapat berbagai aliran-aliran kepercayaan yang mana sangat diperlukan adanya kerukunan antar umat beragama sehingga terjalin hubungan yang baik.
Semua kita umat beragama mempunyai dasar teologis (panggilan) untuk menciptakan perdamaian dalam kehidupan ini, yang melalui ini dapat menciptakan sebuah kerukunan. Di Negara kita ini, terkandung dalam Pancasila dan UUD’45, dengan sila “Ke-Tuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”, jelas mendukung untuk hadirnya sebuah kerukunan antar-umat beragama.
Bila kita mencoba menganalisa, persoalan/permasalahan mengenai kerukunan biasanya muncul ditingkat bawah (grass root), emosi cepat bangkit apabila di provokatori oleh orang tertentu. Dan memang dalam upaya menciptakan perdamaian/ kerukunan, pada saat ini, sebagian besar masih sampai tahap konsepsi, belum semua ditahap aplikasi dan refleksi. Masih sampai pada tahap teori, seremonial, ritual, belum menyentuh tahap praktikal dan kontekstual. Sehingga jelas, untuk terciptanya sebuah perdamaian/ kerukunan yang sesungguhnya, bukan hanya dalam teori dan kata-kata, tetapi juga dalam fakta sehari-hari.
Menurut Victor I. Tanja, relasi dan pertemuan dengan berbagai agama di Indonesia adalah sesuatu kenyataan objektif yang tidak bisa dipungkiri, oleh karena agama-agama telah hadir serta memiliki keabsahan untuk menghuni republik tercinta ini.[39] Sebuah agama tidak akan bisa menutup diri dengan keadaan yang ada ini, bahwa sebuah agama hidup berdampingan dengan agama lain. Raimundi Panikkar menyatakan hubungan antar semua agama melalui “cross fertilizing” (saling menyuburkan). Istilah yang digunakan adalah “theandric relationship” , yakni hubungan intim yang saling memperkaya antara dua kelompok yang kelihatan berbeda tetapi mempunyai pengalaman keagamaan. Hal ini mungkin sesuatu yang sulit, namun melalui pendapat Panikkar ini, dengan menciptakan sebuah hubungan yang dekat dengan tujuan saling memperkaya, maka bisa menjadi sebuah tindakan nyata dalam menciptakan perdamaian dan kerukunan antar umat beragama.
Dalam hal dialog, menarik pendapat W.C. Smith, bahwa dialog/ percakapan antar agama seharusnya dialog yang terjadi antara Kita dengan Kita. Bukan lagi dialog Saya- Itu, yang mana saya adalah subyek yang lebih tinggi dan itu merupakan objek yang lebih rendah kedudukannya. Bukan lagi dialog Saya – Mereka (Kamu), walau setara namun masih ada keterpisahan. Namun dialog yang sudah menjadi Kita dengan Kita, yang mana disini semua umat beragama bersama-sama membicarakan tentang hidup mereka bersama. Menurut penyeminar ini sendiri, dalam dialog-lah kita bisa mengupayakan jalinan yang baik antar-umat beragama. Karena dalam dialog, kita bisa duduk bersama dengan dengan agama lain.
Pada zaman penjajahan, agama dianggap menjadi sebuah bentuk yang mengupayakan pembebasan. Namun pada masa sekarang agama hanya menjadi sebuah bentuk yang menunjukkan sebuah identitas. Sehingga masing-masing umat beragama hanya melihat identitas dalam kehidupannya. Agama mulai kehilangan fungsi untuk menciptakan perdamaian dan kerukunan. Melalui ini, kita harus kembali menghidupkan fungsi dari agama dalam rangka menciptakan kerukunan.
Upaya lain yang perlu kita lakukan adalah sebuah promosi perdamaian dari masing-masing lembaga keagamaan. Pemimpin-pemimpin  dan pemuka-pemuka agama harus mempromosikan hal ini secara nasional (termasuk juga daerah pelosok/ tingkat desa). Promosi yang didalamnya berisikan ajakan, pembinaan yang berkesinambungan sehingga terlihat adanya upaya menghadirkan perdamaian dan kerukunan antar-umat beragama secara nasional.
Pemahaman akan agama sangatlah penting dalam menghadirkan kerukukan umat beragama, yakni pemahaman yang menyeluruh kepada seluruh umat beragama. Tidak hanya kepada umat yang berada di kota, namun juga pada umat yang berada di pelosok-pelosok. Sehingga dengan pemahaman  akan agama yang benar, yang mana setiap agama mempunyai panggilan untuk menhadirkan perdamaian dan kerukunan diantara setiap agama.
Dari pembahasan diatas, sudah ada beberapa hal yang bisa menjadi peluang dan upaya, yang mana bisa kita gunakan menghadirkan perdamaian dan kerukunan antar umat beragama. Melalui analisa juga, penulis juga mencoba menganalisa mengenai hal ini, namun penulis menyadari bahwa analisa ini pastilah tidak sempurna sehingga perlu masukan-masukan dari rekan-rekan.

III.             Kesimpulan
Dalam pembahasan ini, nyata bahwa kedua agama baik Kristen dan Islam, didalamnya merupakan sebuah agama yang dituntut untuk umatnya menghadirkan perdamaian dan kerukunan untuk sesama manusia. Hal yang perlu kita bangun diantaranya adalah panggilan kita membawa damai, dialog antar umat beragama, sikap toleransi, kepedulian sosial, menegakkan humanisasi, dan sikap inklusif. Dan yang menjadi kendala yang harus diatasi bersama, antara lainya adalah radikalisme agama, eksklusifisme agama dan fundamentalis agama.

IV.             Daftar Pustaka
Abdurrahman,  Irman (Penyunting), Etika Islam (Dari  Kesalehan  Individual Menuju Kesalehan Sosial), Jakarta: Al-Huda, 2003
Adiprasetyo, Joas, Mencari Dasar Bersama, Jakarta: BPK-GM, 2002
Arkinson, David J. & H. Field, New Dictionary Of Christian Ethics And Pastoral Theology, England: Intervarcity, 1995
Ayubi, Nazih, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World, New York: Routledge, 1991
Baker, F.L., Sejarah Kerajaan Allah Perjanjian Lama, Jakarta: BPK-GM, 1990
Boisard, Marcel A., Humanisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan-Bintang, 1980
Darmaputera, Eka, Strugglin in Hope, Jakarta: BPK-GM, 2004
Douglas, J., Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Jilid I (A-L), Jakarta: YKBK/OMF, 1997
Eliade, Mircea (ed), The Encyclopedia of Religion Vol. 5, New York: Macmillan Library Reference, 1993
Galtung, Johan, Studi Perdamaian, Surabaya: Pustaka Eureke, 2003
Guthrie, Donald, Teologi Perjanjian Baru 2, Jakarta: BPK-GM, 1996
Haroen, Nasrun, dalam Ensiklopedia Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2005
Hendropuspito, D., Sosiologi Agama, Jakarta: BPK-GM, 1990
Jabir El-Jazair, Abu Bakar, Pola Hidup Muslim, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990
Kieser, Bernard, Keterlibatan Sosial Gereja, dalam Eduard R. Dopo (Ed.), Keprihatinan Sosial Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1992
Kobong, Th., Pluralitas dan Pluralisme, dalam Tim Balitbang PGI (Ed.), Agama dan Dialog, Jakarta: BPK-GM, 2003
Lefebure, Leo D., Penyataan Allah, Agama dan Kekerasan, Jakarta: BPK-GM, 2003
Manurung, Kaleb, Suatu Tinjauan Etika Kristen Terhadap Radikalisme Agama dalam Jurnal Teologi TABERNAKEL STT Abdi Sabda Medan Edisi XXII Juli-Desember 2009
Mulyani, Dewi, Muamalah, Bandung: Mizan, 2010
Paassen, Yan Van, Beberapa Masalah Hidup Beragama Dewasa Ini, Jakarta: OBOR, 1996
Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994
Rahman, Fazlur, Islam (Second edition) ,Chicago: The University of Chicago Press,1979
Rahmat, M. Imdadun (Ed.), Islam Pribumi: Mendialogkan Agama Membaca Realitas, Jakarta: Erlangga, 2003
Saragih, Jhon Renis, Masa Depan Agama-Agama Dalam Dialog dalam Jurnal Teologi TABERNAKEL STT Abdi Sabda Medan Edisi XV Januari-Juni 2006
Shenk, David W., Ilah-Ilah Global, Jakarta: BPK-GM, 2001
Stott, John, Isu-Isu Global (Penilaian Atas Masalah Sosial dan Moral Kontemporer, Jakarta: YKBK/OMF, 2000
Sumartana, Th., Dialog Kritik dan Identitas Agama, Jakarta: BPK-GM, 1996
Tanja, Victor I., Spiritualitas, Pluralitas dan Pembangunan di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 1996
Tobing, Darwin Lumban, Teologi di Pasar Bebas, Pematang Siantar : L-SAPA, 2007
Yang, Liem Khiem, Fundamentalisme dalam Gereja, dalam Weinata Sairin (Ed.), Fundamentalisme, Agama-Agama dan Teknologi, Jakarta: BPK-GM, 1996
Yewangoe, A. A., Agama dan Kerukunan, Jakarta: BPK-GM, 2009
http://wawasankeislaman.blogspot.com/2012/01/islam-dan-perdamaian.html, diakses 3-5-2012


[1] Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1994, hlm. 224
[2] Johan Galtung, Studi Perdamaian, Surabaya: Pustaka Eureke, 2003, hlm. 21
[3] David J. Arkinson & H. Field, New Dictionary Of Christian Ethics And Pastoral Theology, England: Intervarcity, 1995, p. 655
[4] J. Douglas, Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Jilid I (A-L), Jakarta: YKBK/OMF, 1997, hlm. 226
[5] Leo D. Lefebure, Penyataan Allah, Agama dan Kekerasan, Jakarta: BPK-GM, 2003, hlm. 98-99
[6] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 2, Jakarta: BPK-GM, 1996, hlm. 109-115
[7] J. Douglas, Op.cit., hlm. 226-227
[8] Irman Abdurrahman (Penyunting), Etika Islam (Dari  Kesalehan  Individual Menuju Kesalehan Sosial), Jakarta: Al-Huda, 2003, hlm. 7
[9] David W. Shenk, Ilah-Ilah Global, Jakarta: BPK-GM, 2001, hlm. 377
[10] M. Imdadun Rahmat (Ed.), Islam Pribumi: Mendialogkan Agama Membaca Realitas, Jakarta: Erlangga, 2003, hlm. 72
[11] Dewi Mulyani, Muamalah, Bandung: Mizan, 2010, hlm. 65
[12]http://wawasankeislaman.blogspot.com/2012/01/islam-dan-perdamaian.html, diakses 3-5-2012
[13] Abu Bakar Jabir El-Jazair, Pola Hidup Muslim, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1990, hlm. 83-92
[14] John Stott, Isu-Isu Global (Penilaian Atas Masalah Sosial dan Moral Kontemporer, Jakarta: YKBK/OMF, 2000, hlm. 137-143
[15] Abu Bakar Jabir El-Jazair, Op.cit., hlm. 12
[16] Jhon Renis Saragih, Masa Depan Agama-Agama Dalam Dialog dalam Jurnal Teologi TABERNAKEL STT Abdi Sabda Medan Edisi XV Januari-Juni 2006, hlm. 38
[17] Victor I. Tanja, Spiritualitas, Pluralitas dan Pembangunan di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 1996, hlm. 4-6
[18] Yan Van Paassen, Beberapa Masalah Hidup Beragama Dewasa Ini, Jakarta: OBOR, 1996, hlm. 60
[19] Victor I. Tanja, Op.cit., hlm. 4
[20] D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, Jakarta: BPK-GM, 1990, hlm. 8
[21] Bernard Kieser, Keterlibatan Sosial Gereja, dalam Eduard R. Dopo (Ed.), Keprihatinan Sosial Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1992, hlm. 18-19
[22] Mircea Eliade (ed), The Encyclopedia of Religion Vol. 5, New York: Macmillan Library Reference, 1993, hlm. 511
[23] F.L. Baker, Sejarah Kerajaan Allah Perjanjian Lama, Jakarta: BPK-GM, 1990, hlm. 2
[24] Nasrun Haroen, dalam Ensiklopedia Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2005, hlm. 275
[25] Darwin Lumban Tobing, Teologi di Pasar Bebas, Pematang Siantar : L-SAPA, 2007, 276
[26] Joas Adiprasetyo, Mencari Dasar Bersama, Jakarta: BPK-GM, 2002, hlm. 647
[27] Eka Darmaputera, Strugglin in Hope, Jakarta: BPK-GM, 2004, hlm. 507
[28] Leo D. Lefebure, Op.cit., hlm. 20
[29] Dalam kaitan dengan hal itu, beberapa fakta dapat diangkat. Umat beragama sendiri menyelewengkan ajaran-ajaran agama demi tujuan mereka sendiri. Mereka menafsirkan keadilan dan perdamaian sedemikian rupa sehingga berorientasi pada tujuan mereka sendiri. Agama diselewengkan oleh pihak-pihak tertentu untuk tujuan tertentu yang tidak luhur, misalnya demi mencapai kekuasaan. Ajaran-ajaran agama yang luhur mengenai keadilan dan perdamaian dimanipulasi sedemikian rupa sehingga menjadi sempit dan picik. Watak ajaran agama yang bersifat memperbudak ditonjolkan sedemikian rupa sehingga agama sungguh-sungguh menampilkan wajah yang kejam. Allah ditampilkan sebagai Allah yang siap menghukum, padahal Dia adalah Allah yang mengasihi. A. A. Yewangoe, Agama dan Kerukunan, Jakarta: BPK-GM, 2009, hlm. 152
[30] Dalam dokrin sosiologi Islam melihat sebab-sebab pokok dari kekerasan dan permusuhan, ada yang terdapat dalam watak manusia sendiri seperti keinginan alamiah untuk melakukan agresi, cinta kekuasaan dan kekayaan, dengki dan persaingan mencari keuntungan; dan ada pula yang berasal dari susunan masyarakat, yaitu sikap membangkang kepada kekuatan pusat atau sikap mempertahankannya. Marcel A. Boisard, Humanisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan-Bintang, 1980, hlm. 270
[31] Kaleb Manurung, Suatu Tinjauan Etika Kristen Terhadap Radikalisme Agama dalam Jurnal Teologi TABERNAKEL STT Abdi Sabda Medan Edisi XXII Juli-Desember 2009, hlm. 22
[32] Poerwadarminta, Op.cit., hlm. 253
[33] Th. Sumartana, Dialog Kritik dan Identitas Agama, Jakarta: BPK-GM, 1996, hlm. 78
[34] Th. Kobong, Pluralitas dan Pluralisme, dalam Tim Balitbang PGI (Ed.), Agama dan Dialog, Jakarta: BPK-GM, 2003, hlm. 131
[35] Liem Khiem Yang, Fundamentalisme dalam Gereja, dalam Weinata Sairin (Ed.), Fundamentalisme, Agama-Agama dan Teknologi, Jakarta: BPK-GM, 1996, hlm. 19
[36] Jhon Renis Saragih, Op.cit., hlm. 37
[37] Dalam kasus Islam, fundamentalisme muncul sebagai reaksi terhadap akibat-akibat yang ditimbulkan oleh modernisme dan sekularisme dalam kehidupan politik dan keagamaan. Peradaban modern-sekular menjadi sasaran kritik fundamentalisme Islam, dan di sini fundamentalsime memiliki fungsi kritik. Seperti ditipologikan oleh Fazlur Rahman, fundamentalisme Islam (atau revivalisme Islam) merupakan reaksi terhadap kegagalan modernisme Islam (klasik), karena ternyata yang disebut terakhir ini tidak mampu membawa masyarakat dan dunia Islam kepada kehidupan yang lebih baik, sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai gantinya, fundamentalisme Islam mengajukan tawaran solusi dengan kembali kepada sumber-sumber Islam yang murni dan otentik, dan menolak segala sesuatu yang berasal dari warisan modernisme Barat. Fazlur Rahman, Islam (Second edition) ,Chicago: The University of Chicago Press,1979, p. 222-223
[38] Nazih Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World, New York: Routledge, 1991, p.68
[39] Victor I. Tanja, Op.cit., hlm. 47

Tidak ada komentar:

Posting Komentar