PERDAMAIAN MENURUT
AGAMA KRISTEN DAN ISLAM DALAM
UPAYA MELIHAT PELUANG
DAN MENCIPTAKAN KERUKUNAN ANTAR-UMAT BERAGAMA
Oleh : Chrisnov M.
Tarigan
I.
Pembahasan
1.1. Pengertian Perdamaian Secara Umum
Dalam KBBI, kata
damai diartikan suatu keadaan yang tidak bermusuhan, tidak ada perang, tidak
ada perselisihan, berbaik kembali, adanya suasana tentram. Juga bahwa kata
damai menyangkut berbagai aspek kehidupan, misalnya: dalam keluarga,
masyarakat, berbangsa dan negara. Sedangkan kata perdamaian adalah merupakan
bentuk kata benda yang berasal dari kata dasar “damai” ditambah dengan awalan
“per” dan akhiran “an”. Dalam penambahan imbuhan ini tersebut, kata perdamaian
menjadi suatu kata yang didalamnya terdapat unsur kesenjangan untuk berbuat dan
melakukan sesuatu, yakni membuat supaya damai, tidak berseteru atau bermusuhan,
dan lain-lain.[1]
Selain hal
diatas, mengenai perdamaian juga dijelaskan oleh Johan Galtung yang mana
memberikan dua pengertian tentang perdamaian, yaitu:
1. Perdamaian
adalah tidak adanya/ berkurangnya segala jenis kekerasan
2. Perdamaian
adalah transformasi konflik kreatif non-kekerasan.
Untuk
kedua defines tersebut hal-hal berikut ini berlaku:
1. Kerja
perdamaian adalah kerja yang mengurangi kekerasan dengan cara-cara damai
2. Studi
perdamaian adalah studi tentang kondisi-kondisi kerja perdamaian.[2]
Dalam gambaran
yang sebenarnya, damai itu tidak aka nada jika tidak ada keadilan “No Peace
Without Justice”. Damai tidak dapat diukur dengan nilai nominal, terkadang
damai dihubungkan dengan penataan kebebasan bagi orang-orang yang tertindas.
Damai dan keadilan tidak dapat dipisahkan. Jika ada damai maka harus ada
keadilan, jika tidak ada keadilan, maka damai itu juga tidak ada.[3]
1.2.
Perdamaiam Dalam Agama Kristen
1.2.1.
Perdamaian
Menurut Perjanjian Lama
Istilah
perdamaian didalam PL digunakan dengan memakai kata “כפר”
(kpr) yang artinya: mengadakan
perdamaian. Ada beberapa hal yang menyebabkan manusia untuk melakukan
perdamaian yaitu karena dosa manusia yang bersifat universal (1 Raj. 8:46; Mzm.
14:3; Pkh. 7:200, dll) yang membuat manusia jauh dari Allah, yang membuat hubungan
manusia dengan Allah menjadi terputus. Manusia tidak pernah mampu mengatasi
dosanya (Bil. 32:23) atau membersihkan diri dari dosa itu (Ams. 20:9). Jika
manusia tetap menggantungkan diri pada dirinya sendiri, maka dia tidak akan
selamat. Meskipun hubungan manusia dengan Tuhan telah rusak, akan tetapi Allah
masih menyediakan jalan bagi umatnya yang telah jatuh kedalam dosa. Jalan masuk
pendamaian dalam PL diperoleh dengan
penyerahan kurban-kurban seperti penyerahan lembu tambun, inilah jalan yang
ditentukan oleh Allah bagi manusia memperoleh pendamaian untuk memulihkan
hubungan manusia dengan Allah.[4]
Oleh nabi Yesaya
mengenai pergeseran visi perdamaian, dari pedang
menjadi mata bajak, dan dari tombak-tombak menjadi pisau pemangkas (Yes.
2:4), tetap menjadi tantangan bagi umat Yahudi. Para nabi adalah orang-orang
pertama dalam sejarah, yang menganggap ketergantungan umat Israel kepada
kekuatan, merupakan kejahatan. Hosea mengutuk militerisme sebagai penyembahan
berhala (Hos. 5:13; 8:9-10, 14: 10:13). Disamping gambaran prajurit ilahi dan
pengaharapan untuk kemenangan Israel dalam peperangan. PL juga menyajikan
pengharapan untuk terwujudnya suatu dunia, yang didalamnya serigala dapat hidup
berdampingan dengan domba-domba, bangsa-bangsa hidup dalam perdamaian, dan
orang-orang miskin dan tertindas memperoleh keadilan (Yes. 11:1-9).[5]
Sehingga melalui
ini, dalam PL kita dapat melihat bahwa Allah tetap menyediakan dan memberi
kesempatan kepada manusia untuk berupaya menciptakan perdamaian ditengah
kehidupan manusia. Manusia diberi jalan untuk berdamai kepada Allah dan
kemudian kepada sesama manusia. Praktik yang pada umum dilakukan adalah dalam
upacara keagamaan, social dan juga dalam pengharapan akan dunia yang damai.
1.2.2.
Perdamaian
Menurut Perjanjian Baru
Pendamaian dalam
Perjanjian Baru itu adalah sebagai wujud dari kasih Allah kepada manusia. Allah tidak butuh pendamaian dari
manusia, tetapi ia mengambil prakarsa bagi pendamaian tersebut.[6]
Pendamaian mengungkapkan kasih Allah kepada manusia yang mana merupakan kerja kasih
Allah. Menunjukkan kasih Bapa kepada
anak-Nya, sehingga Paulus menyatakan bahwa “Allah menunjukkan kasih-Nya kepada
kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa”
(Rm.5:8). Selanjutnya juga mengungkapkan bahwa manusia telah diperdamaikan
dengan Allah. Dalam bahasa Yunani dipakai istilah katallage, kallasso, dan apokatalasso.
Gagasan pendamaian mencakup arti bahwa dua pihak yang sekarang telah
didamaikan. Jalan pendamaian senantiasa bersifat menyingkirkan penyebab
timbulnya permusuhan. Kasih Allah tidak berubah kepada manusia, kendati apa pun
yang diperbuat manusia. Pekerjaan Kristus yang mendamaikan berakar dalam kasih
Allah yang begitu besar kepada manusia.[7]
Dalam PB
sendiri, Allah-lah yang memprakarsi adanya perdamaian antara Dia dan manusia,
yang merupakan wujud kasih-Nya. Perdamaian yang didalamnya kasih, kasih yang telah dinyatakan Allah kepada
manusia menuntut agar manusia juga saling mengasihi terhadap sesamanya (Yoh.
13:34).
1.3.Perdamaian
Dalam Agama Islam
Dalam keyakinan umat Islam bahwa sesungguhnya Islam
merupakan agama sosial
yang mana tidak sekedar menjelaskan tentang kewajiban-kewajiban individual,
seperti membangun kepribadian, penyucian jiwa, dan bimbingan rohani.[8]
Orang-orang Muslim percaya bahwa Islam adalah perdamaian yang berasal dari
penyerahan diri kepada Allah.[9]
Dikatakan bahwa, orang yang bertakwa bukan berarti hanya bertakwa secara
vertical kepada Allah saja, tetapi juga secara horizontal, yaitu menebarkan
perdamaian di muka bumi.[10]
Dalam Islam, dikenal beberapa macam perdamaian,
diantaranya:
1. Perdamaian
dalam urusan muamalah, untuk kemasyarakatan dan usaha;
2. Perdamaian
antara Muslim dengan non-Muslim;
3. Perdamaian
antara suami dan istri; dan
4. Perdamaian
antara pemimpin dan pemberontak[11]
Dalam Islam sendiri memerintahkan agar umat memiliki sifat pemaaf, namun tetap
memperhatikan agar kejahatan tetap diberikan hukuman yang setimpal agar tidak
memunculkan kejahatan yang baru. Islam memerintahkan agar manusia selalu
berbuat baik, sekalipun terhadap orang yang pernah berbuat jahat kepadanya.
Islam mengajarkan manusia agar mereka banyak beribadah kepada Allah, tetapi
jangan menjadi rahib yang melupakan hak diri dan orang lain. Islam
memerintahkan manusia berendah hati, namun jangan melupakan harga diri. Allah tidak
menjadikan perdamaian secara mutlak dalam semua keadaan. Islam juga menghormati akal dan
mendorong manusia untuk berfikir jernih, serta menjadikan akal dan pikiran
sebagai sarana untuk saling memahami dan mau menerima.
"Katakanlah: "Sesungguhnya
aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, Yaitu supaya kamu menghadap
Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu
berfikir…." (Terj. Saba': 46)
Islam lebih mengedepankan penggunaan
akal dan pikiran dalam mengajak orang lain ke dalamnya. Allah Ta’ala berfirman:
Katakanlah: "Perhatikanlah apa yang ada di langit dan
di bumi. Dan tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan para yang memberi
peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman".(Terj. Yunus: 101)
Dia juga berfirman:
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki)
agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang
sesat." (Al Baqarah: 256)
Sedangkan Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam tugasnya hanyalah menyampaikan, Allah Ta’ala berfirman
–memerintahkan Rasul-Nya-:
“Dan agar aku membacakan Al Quran
(kepada manusia). Maka barangsiapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya ia
hanyalah mendapat petunjuk untuk (kebaikan) dirinya, dan barangsiapa yang sesat
maka katakanlah, "Sesungguhnya aku (ini) tidak lain hanyalah salah seorang
pemberi peringatan". (Terj. An Naml: 92).[12]
Dalam Islam juga ada beberapa
hal mengenai perdamaian dalam kehidupan orang muslim yakni:
1. Hubungan antara sesama manusia
Islam
tidak hanya menjunjung tinggi prinsip perdamaian saja, lebih dari itu dalam
hubungan antara sesama, antara golongan bahkan antara negara, Islam mendasari
hubungan itu di atas perdamaian dan keamanan, baik hubungan antara sesama
muslim maupun dengan non muslim sebagaimana yang akan dijelaskan setelah ini.
2.
Hubungan
antara sesama muslim
Islam
datang untuk menyatukan hati, merapatkan barisan dan mengarahkan kepada satu
persatuan sambil menjauhi sebab-sebab perpecahan, yang menjadikannya lemah.
Tujuan persatuan ini agar dapat mewujudkan nilai-nilai yang luhur dan tujuan
yang mulia yang memang diharapkan oleh risalah yang agung ini, yaitu agar
manusia beribadah kepada Allah Ta'ala Penciptanya, kalimat Islam menjadi
tinggi, kebenaran tegak, perbuatan baik dapat diamalkan serta dapat berjihad
agar prinsip-prinsip Islam menjadi tegak, karena hanya dengan prinsip tersebut
manusia dapat berada di bawah keamanan dan kedamaian.
Ikatan
yang digunakan Islam untuk menyatukan para pemeluknya merupakan ikatan yang
paling kokoh, tidak sama dengan ikatan yang lain, tidak seperti ikatan materi
yang akan habis jika memang sudah habis pendorongnya dan yang akan habis jika
tidak dibutuhkan lagi. Ia adalah ikatan yang paling kuat; lebih kuat daripada
ikatan darah, ikatan warna kulit, ikatan bahasa, ikatan tanah air dan ikatan
maslahat materi dan ikatan lainnya. Ia adalah ikatan iman, di
mana kaum mukminin berkumpul di bawahnya.
Dengan
ikatan iman kaum mukmin dapat bersaudara, bahkan lebih kuat daripada
persaudaraan senasab, Allah Ta’ala berfirman:
“Orang-orang beriman itu
sesungguhnya bersaudara." (Terj. Al Hujurat: 10)
Di samping
itu, tabi'at iman adalah selalu bersatu dan tidak berpecah belah, satu sama
lain saling menguatkan,
“Orang mukmin bagi mukmin lainnya
seperti satu bangunan, yang satu menguatkan yang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim)
“Perumpamaan orang-orang mukmin
dalam hal rasa cinta dan sayang serta saling mengasihi seperti sebuah jasad,
apabila anggota badan yang satu sakit, maka yang lain ikut merasakan sakit
dengan demam dan tidak bisa tidur." (HR. Muslim)
3.
Hubungan
antara muslim dengan non muslim
Hubungan
kaum muslimin dengan non muslim adalah hubungan saling kenal-mengenal, berbuat
baik dan bersikap adil. Allah Ta'ala berfirman:
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa- bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adaah orang
yang paling taqwa. ..(Terj. Al Hujurat: 13)
Konsekwensi
hubungan ini adalah dengan saling memberikan maslahat, memberikan manfaat dan
bermu'amalah secara baik.
Makna di
atas tidaklah termasuk ke dalam berwala’ kepada orang-orang kafir yang
terlarang, karena larangan berwala’ kepada orang-orang kafir maksudnya adalah
larangan menjadikan mereka sebagai sahabat setia, sebagai pemimpin dan membantu
mereka melawan kaum muslimin serta sikap-sikap lain yang menunjukkan
walaa'/cinta kepada mereka (seperti tasyabbuh dalam cirri khas mereka dan
menjunjung tinggi mereka), demikian juga agar kita tidak meridhai kekafiran
yang ada pada mereka. Hal itu, karena membantu mereka melawan kaum muslimin
terdapat bahaya besar bagi eksistensi kaum muslimin, sebagaimana meridhai
kekafiran mereka adalah sebuah kekufuran. Adapun jika berwala’ dalam arti
bergaul yang baik, bermu’amalah dengan baik, saling tukar-menukar maslahat dan
saling bahu-membahu dalam hal yang baik, maka hal ini tidaklah dilarang. Allah
Ta'aala berfirman:
"Allah tidak melarang kamu
untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu
karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang Berlaku adil." (Terj. Al Mumtahanah: 8)
Berdasarkan ayat ini, jika mereka,
yakni non muslim tidak mengganggu keamanan dan ketenteraman, tidak menzhalimi
dan melakukan penganiayaan, tidak mengacaukan keamanan dan tidak memaksa
orang-orang meninggalkan agamanya dan mengamalkannya serta tidak mengusir kaum
muslimin dari negeri mereka, maka kita boleh berbuat baik dan bersikap adil
kepada mereka. Termasuk golongan kafir yang tidak boleh diganggu tersebut
adalah:
a. Kafir
Musta’man, yaitu kaum kafir yang masuk ke negeri Islam dengan meminta
keamanan, maka kita harus melindungi mereka sampai waktu yang telah ditentukan
dan di tempat yang ditentukan (lih. At Taubah: 6)
b. Kafir
Mu’ahad, yaitu kaum kafir yang mengikat perjanjian dengan kita, maka kita
wajib memenuhi perjanjian sampai selesai waktu perjanjian. Hal ini selama
mereka konsisten dengan janjinya (lih. At Taubah: 4 dan 13)
c. Kafir
Dzimmiy, yaitu kaum kafir yang tinggal di bawah pemerintah Islam dengan
membayar jizyah (pajak) setahun sekali kepada pemerintah Islam agar memperoleh
perlindungan. Pemerintah Islam wajib melindungi mereka serta memberikan
kebebasan kepada mereka menjalankan agama. Pemerintah berhak melarang mereka
melakukan mu'amalah yang haram seperti riba dsb. Demikian juga berhak
menegakkan hudud jika mereka melakukan perbuatan yang menghendaki diberi
hukuman hudud. Bagi kafir dzimmiy tesebut wajib membedakan diri dengan kaum muslimin
seperti dalam hal pakaian, juga tidak menampakkan sesuatu yang mungkar dalam
Islam dan tidak menampakkan syi’ar-syi’ar mereka seperti lonceng, salib dsb.
Kepada
tiga kelompok kaum kafir ini, kita dilarang menyakiti hartanya, darahnya dan
kehormatannya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
« مَنْ قَتَلَ
مُعَاهَداً لَمْ يَرَحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ ، وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ
مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَاماً »
“Barangsiapa yang membunuh kafir
mu’ahad (yang mengikat perjanjian) maka ia tidak akan mencium wanginya surga,
padahal wanginya dapat tercium dari kejauhan perjalanan empat puluh
tahun." (HR. Bukhari)[13]
1.4.
Perdamaian dalam Upaya
Melihat Peluan dan Menciptakan Kerukunan Antar Umat Beragama
1.4.1.
Panggilan Orang Kristen sebagai Pembawa Damai[14]
Yesus menyatakan
pengikut-Nya pembawa damai selaku yang diberkati Allah dan disebut Anak-Anak
Allah (Mat. 5:9). Sebab membawa damai adalah kegiatan ilahi. Allah telah
membawa damai antara Dia dan kita dan antara manusia dan sesamanya melalui
Kristus. Kita mustahil dapat menyebut diri kita Anak-Anak Allah yang otentik
jika kita tidak membawa damai juga. Ada beberapa prakarsa-prakarsa praktis yang
mana dapat kita ambil dalam panggilan kita untuk membawa damai, yaitu:
1. Semangat
juang orang Kristen pembawa damai harus pulih. Ada kecenderungan yang
merongrong semangat juang orang Kristen ialah ketidakpedulian dan pesimisme
yang begitu parah atas masa depan, sehingga turut tenggelam dalam perasaan
ketidakberdayaan yang umum merasuk orang dimana-mana. Namun, keduanya baik
ketidakpedulian maupun pesisme adalah tidak pada tempatnya dalam diri pengikut
Yesus.
2. Orang
Kristen pembawa damai harus berdoa. Yesus, Tuhan kita, menyuruh kita secara
khusus untuk berdoa bagi orang-orang yang memusuhi kita. Rasul Paulus
menegaskan bahwa kewajiban kita yang pertama jika berkumpul sebagai jemaat
untuk ibadah, ialah berdoa agar kita hidup tenang dan tentram dalam segala
kesalehan dan kehormatan (1 Tim. 2:2).
3. Jemaat
Kristen pembawa damai harus menjadi contoh suatu masyarakat yang damai. Allah
memanggil kita untuk membawa damai, sebab tujuan Allah ialah menciptakan suatu
masyarakat yang telah diperdamaikan. Kita diharapkan menjadi model dari suatu
masyarakat yang hidup dibawah pemerintahan ilahi yang adil dan damai. Kedamaian
yang membias dari persekutuan-persekutuan damai dampaknya tidak terhingga.
4. Orang
Kristen pembawa damai harus menyumbang dalam membangun rasa saling mempercayai.
1.4.2. Panggilan Orang Islam sebagai
Pembawa Damai
Islam juga ada beberapa hal
mengenai perdamaian dalam kehidupan orang muslim, yakni dalam hubungan muslim
dengan sesama manusia, hubungan muslim dengan sesama muslim dan hubungan muslim
dengan non-muslim. Islam yang diartikan sebagai agama pembawa damai, damai yang
dikarenakan penyerahan diri kepada Allah. Panggilan Islam yang untuk
menghadirkan perdamaian merupakan bukti hakikat dari agama Islam itu sendiri.
Islam adalah sumber perdamaian, sehingga harus menghadirkan perdamaian dalam
segala aspek kehidupan.[15]
1.4.3.
Dialog Agama
Dialog umat beragama adalah dialog teologis yang
berdasar pada imannya masing-masing. Dialog beranjak dari pemahaman religius
masing-masing yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dialog yang dimaksudkan
dengan menghilangkan keyakinannya, pada dasarnya bukanlah dialog agama karena
akan ada ketimpangan dalam interaksi dengan umat yang lain yang mendasarkan
pada keyakinannya. Dialog yang dimaksudkan disini bukan saja dialog agama,
tetapi lebih kepada dialog antarumat beragama. Orang yang berdialog adalah
orang yang mengetahui apa yang ia dialogkan,
sehingga dialog agama mensyaratkan adanya umat yang benar-benar beriman, yang
bertemu dalam konteks riil, yakni dunia.[16]
Dalam hal ini ada
beberapa bentuk dialog yang penting, yakni:[17]
1.
Dialog Kehidupan
Dialog ini terjadi
dalam pertemuan antara manusia dari berbagai latar belakang agama dan
kepercayaan di taraf kehidupan sekarang. Memang dalam dialog seperti ini
tidaklah terjadi pertukaran pengalaman keagamaan secara eksplisit. Namun
patutlah diakui bahwa di mana terjadi suatu hubungan baik di berbagai kelompok
dan kalangan, maka di situ terjadi pula saling membagi nilai-nilai dan
kaidah-kaidah keagamaan yang dapat memperkaya hidup mereka yang terlibat
didalamnya, dan turut memberikan sumbangan bagi tercapainya sikap saling
mempercayai serta pembentukan hidup bersama yang harmonis.
2.
Dialog Melalui Percakapan
Dialog agama
melalui percakapan bila diarahkan secara baik dapat menciptakan sebuah temu
pikir dan temu pendapat antara para pemikir sehingga dapat terbentuk suatu
komunitas percakapan antara para pemikir dan para ahli agama dari berbagai
corak. Dari Timur Tengah umpamanya, dialog seperti ini telah menciptakan adanya
berbagai kelompok Muslim, orang-orang Kristen, dan orang-orang Yahudi yang
mempunyai kesadaran yang lebih baik untuk merasakan dan menafsirkan serta
menghayati permasalahan yang ada dalam agama lain. Mereka ini telah memainkan
peranan penting dalam usaha untuk memberi pengertian tentang agama lain kepada
para pemeluk agamanya sendiri.
3.
Dialog Spiritualitas
Dengan melakukan
dialog seperti itu maka terciptalah pula sikap toleransi dan saling menerima
anatara para pemeluk agama yang berbeda-beda yang akan menjurus pada adanya
hidup yang harmonis dan saling bekerja sama untuk mendatangkan kesejahteraan
bagi semua.
4.
Dialog Dalam Tindakan
Tekanan daripada
dialog seperti ini adalah pada kerjasama, bertindak bersama dan hidup bersama
sebagai jalan untuk membawa keharmonisan dan kesatuan di antara para pemeluk
berbagai agama.
Didalam dialog ada peluang untuk menghadirkan
perdamaian. Dimana dengan pemahaman yang jelas, dialog yang dihadirkan dapat
membantu sesama umat beragama untuk saling memahami dan menghormati. Seperti
pepatah yang mengatakan bahwa: “tak kenal maka tak sayang”, sehingga melalu
dialog kita akan dibangun dengan pemahaman yang sama, yaitu pemahaman untuk
saling mengenal. Namun, dialog yang dihadirkan harus betul-betul bukan dalam
tujuan untuk berdebat, namun dalam tujuan untuk umat yang benar-benar beriman,
yang bertemu dalam konteksnya, dan menghadirkan perdamaian yang nyata bagi
semua umat beragama.
1.4.4. Sikap
Toleransi
Kata toleransi
berasal dari kata latin “tolerantia” yang antara lain berarti, ketabahan, daya
tahan; hal membiarkan, hal berusaha untuk tidak mengesampingkan atau membasmi
sesuatu.[18]
Salah satu penampilan
dari landasan etika, moral dan spiritual dalam kehidupan beragama yang harmonis
ialah adanya toleransi positif dan saling menerima antara satu dengan yang
lain. Sikap saling menerima dan toleransi seperti itu tidak akan mungkin
terjadi kalau salah satu agama menganggap agama-agama lain sebagai sesuatu yang
asing. Dampak toleransi itu sendiri banyak sekali peristiwa yang didalamnya
orang Kristen mengalami transformasi iman setelah ia mengenal dan mengetahui
bahwa seorang Muslim itu sebenarnya adalah orang yang selalu sembahyang, dan
seorang Buddhi itu adalah seorang yang mempunyai watak cinta yang dalam
terhadap segala sesuatu yang hidup.[19]
Sikap toleransi, menjadi titik awal yang
berkelanjutan dalam upaya untuk menghadirkan perdamaian. Manusia hidup bukan
dalam dunia asing, yang mana menganggap semua orang lain adalah asing, namun
manusia hadir dalam kenyataan bahwa sampai kapanpun manusia akan hidup
bersama-sama dengan sesamanya manusia. Sikap yang mulai kurang pada masa
sekarang ini. Dengan memberi luang untuk orang lain meng-imani agamanya,
kerukunan akan terbangun dengan sikap toleransi dan saling menerima.
1.4.5.
Kepedulian
Sosial
Manusia yang
tercipta sebagai makhluk sosial berarti juga berkaitan atau berhubungan dengan
masyarakat dan lingkungan sekitar. Dengan demikian kepedulian social adalah
perduli terhadap orang lain dan masyarakat serta lingkungan hidup. Dalam hal
ini kita perlu lebih memahami sosiologi agama yaitu cabang ilmu sosiologi umum
yang mempelajari masyarakat agama secara sosiologis guna mencapai
keterangan-keterangan ilmiah dan pasti demi kepentingan masyarakat agama itu
sendiri dan masyarakat luas pada umumnya.[20]
Kepedulian sosial
gereja dan kaum Muslim terlihat dalam berbagai medan, yang paling mencolok
adalah tentang ajaran social. Ajaran adalah keterlibatan teoritis yang
mengandalkan keterlibatan praktis atau mau mengerakkan aksi social. Pada semua
ajaran social jelas bahwa gereja keyakinan imannya angkat bicara demi
kepentingan semua orang untuk melibatkan semua orang yang berkehendak baik
dalam perjuangan demi martabat manusia.[21]
Penekanan
terhadap kepedulian sosial ini sendiri sangat diperlukan pada masa-masa
sekarang ini. Dimana terdapat sebuah budaya yaitu : “siapa lo, siapa gue”,
“urusanmu – bukan urusanku, dan urusanku – bukan urusanmu”, dll, semakin
mengikis rasa kepedulian kita terhadap sesama manusia. Padahal sangat jelas
dikatakan dalam agama Kristen, ada panggilan untuk mengasihi sama manusia (yang
didalamnya ada kepedulian); dan dalam agama Islam sendiri ada panggilan untuk
bertakwa secara horizontal (kepedulian sesama manusia); sehingga tidak ada
alasan untuk kita, tidak melaksanakan kepedulian sosial.
1.4.6.
Menegakkan
Humanisasi
Kata Humanisme diambil dari istilah studia Humanitatis atau humaniora yang artinya ilmu mengenai
kemanusiaan[22]. Keseragaman
manusia dengan Allah membedakan menusia tersebut dengan ciptaan yang lainnya.
Manusia mempunyai derajat yang lebih tinggi dari seluruh ciptaan yang lain.
Allah menciptakan binatang menurut jenisnya, sedangkan manusia diciptakan
menurut gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26).[23]
Dan dalam agama Islam, manusia adalah ciptaan Allah SWT dalam bentuk yang
sebaik-baiknya. Allah SWT menciptakan manusia dari tanah dan menugaskan untuk
memakmurkan bumi.[24]
Humanisme memberikan pesan baru terhadapa
agama, untuk berdialog bukan lagi berdasarkan dogmatis belaka, tetapi berdialog
secara etis. Agama bersama-sama memajukan kesejahteraan di dunia ini, dan melupakan
sejenak segala latar belakang dogmatis historis, tetapi bersama-sama menuju
masa depan yang indah. Karena tidak ada kebenaran yang universal dalam setiap
agama, dan kita bukan hanya berbicara untuk memperkaya agama dengan pertukaran
atau menerima pengaruh dari agama lain[25],
sehingga dari sini menjadi titik awal untuk menciptakan kerukunan umat beragama
dengan memperkaya agama melalui dialog.
Hakikat
manusia adalah untuk me-manusia-kan sesamanya manusia. Me-manusia-kan manusia
adalah dengan memberikan luang gerak untuk hak dan kewajiban sebagai manusia.
Hak dan kewajiban manusia untuk menyatakan dirinya adalah manusia. Dengan ini
manusia wajib memberi luang untuk sesamanya menyatakan hak dan kewajibannya.
Haknya untuk beragama, haknya untuk menyatakan kepercayaannya, haknya untuk
beriman dan kewajibannya menyatakan imannya, baik dalam kehidupan dalam
keagamaan dan kehidupan dalam sosialnya.
1.4.7.
Sikap
Inklusif
Inklusif
dapat diartikan sebagai suatu sikap keterbukaan terhadap golongan atau agama
lain diluar dirinya.[26]
Dari segi teologis, Islam memberikan landasan agamawi bagi para pemeluknya
untuk menerima keberadaan agama-agama lain dan untuk mengadakan hubungan baik
dengan agama-agama lain. Sikap umat Islam terhadap agama lain dan pola hubungan
mereka dengan umat agama-agama lain dijelaskan oleh Kitab Suci Al-quran dan
sesuai dengan konteks zamannya diterjemahkan oleh Nabi Muhammad dalam kehidupan
bermasyarakat sebagaimana terabadikan dalam sunnah nabawi atau tradisi
kenabian.[27] .
Sikap inklusif ini harus dikembangkan untuk membina kerukunan umat beragama.
Yang mana dengan sikap terbuka terhadap agama lain, tingkat untuk pergesekan
negatif dalam kehidupan bermasyarakat yang didalamnya terdapat banyak umat
beragama akan ditekan. Semua agama tidak mengajarkannya umatnya untuk hidup
terasing, namun untuk hidup bersama, dan salah satu jalan untuk itu adalah
sikap terbuka (inklusif).
1.5.
Hambatan Dalam Perdamaian dan Upaya Menciptakan Kerukunan Antar Umat Beragama
1.5.1.
Radikalisme
Agama
Leo D. Lefebure
mengatakan mengenai radikalisme merupakan tindak kekerasan yang dibungkus
dengan pakaian religious berulangkali mempesona agama dan kebudayaan, memikat
masyarakat sopan yang tidak terhitung jumlahnya dari petani buta huruf sampai
imam-imam, para pengkotbah dan professor yang terpelajar masuk kedalam tarian
yang menghancurkan.[28]
Radikalisme agama[29]
adalah juga sama dengan ciri dari fundamentalis yang ditandai sikap melawan
kelompok yang mengancam identitas, dan taruhannya adalah hidup. Berjuang untuk
menegakan cita-cita yang mencakup berbagai persoalan hidup, berjuang dengan
nilai-nilai tertentu, melawan musuh yang dianggap menyimpang, dan mereka berjuang
atas nama Tuhan dan ide-ide yang lain. Tidak heran jika radikalisme bisa
menciptakan kekerasan[30].
Yang mana tindak kekerasan adalah suatu tindakan atau usaha individu atau
kelompok untuk memaksakan kehendaknya terhadap orang lain untuk mencapai tujuannya
melalui cara-cara yang dapat menimbulkan kerugian orang lain secara fisik,
mental dan spiritual.[31]
1.5.2.
Eksklusifisme
Agama
Dalam
bahasa Indonesia, kata eksklusifisme terdiri dari dua kata yaitu “eksklusif”
(kata kerja) yang artinya terpisah dari yang lain, khusus, dan “isme” yang
artinya paham.[32] Th.
Sumartana menyatakan bahwa eksklusifisme merupakan suatu sikap menutup diri
dari pengaruh agama lain, ingin mempertahankan keaslian dan kemurnian
pribadinya.[33]
Dan menurut Th. Kobong, eksklusifisme merupakan suatu sikap yang arogan
terhadap agama lain, yang membatasi kasih Allah yang tidak terbatas itu,
mengurung Allah di dalam system nilai-nilai yang dibuat oleh manusia itu
sendiri.[34]
Eksklusifisme
agama akan menutup celah untuk manusia hidup dalam perdamaian dan rukun. Sikap
yang tertutup dan menganggap agama lain salah tidak akan membangun perdamaian
dan kerukunan antar umat beragama. Bagaikan hidup dibawah tempurung, manusia
tidak dimampukan menghadirkan perdamaian dan kerukukan dengan sesamanya manusia
beragama.
1.5.3.
Fundamentalisme
Fundamentalisme
muncul sebagai reaksi terhadap keadaan di dalam gereja yang tidak lagi
menunjukkan kekuatan iman Kristen dalam menghadapi dunia. Fundamentalis
membangun benteng, namun bukan untuk bertemu dengan orang lain di luar benteng
itu dan mengadakan percakapan. Maksudnya adalah untuk melawan musuh, yang mana
konfrontasi yang menjadi semangatnya.[35]
Dalam penampilan yang militan, fundamentalisme merumuskan segala sesuatu dalam
terminologi yang serba mutlak. Kemutlakan itu dipaksakan kepada setiap orang.
Dengan demikian fundamentalisme menuntut orang atas komitmen yang absolut,
kalau perlu mempertaruhkan segala sesuatu.[36]
Dalam Islam, menurut fundamentalisme[37],
adalah agama, dunia dan negara (din, dunya, dawlah). Perspektif holistik
ini mengimplikasikan keharusan tindakan kolektif untuk mewujudkan totalitas
Islam ke dalam kenyataan.[38]
Benturan akan
terjadi dengan adanya fundamentalis. Dalam masyarakat yang majemuk, bila
fundamentalis A berjumpa dengan fundamentalis B, tidak bisa dibayangkan akan
bahaya yang terjadi; Fundamentalis dalam lingkungan sendiri, bisa menghadirkan
permasalahan. Bagaimana bila itu terjadi dalam kehidupan beragama yang majemuk
ini. Dimungkin bahwa kerukunan antar umat beragama tidak tercipta.
II.
Analisa
Penulis
Dalam
kehidupan ini, kita perlu menyadari bahwa kita hidup dalam dunia yang penuh
kemajemukan, termasuk dalam hal kepercayaan (agama). Dimana terdapat berbagai
aliran-aliran kepercayaan yang mana sangat diperlukan adanya kerukunan antar
umat beragama sehingga terjalin hubungan yang baik.
Semua
kita umat beragama mempunyai dasar teologis (panggilan) untuk menciptakan
perdamaian dalam kehidupan ini, yang melalui ini dapat menciptakan sebuah kerukunan.
Di Negara kita ini, terkandung dalam Pancasila dan UUD’45, dengan sila
“Ke-Tuhanan Yang Maha Esa” dan “Negara menjamin tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan
kepercayaannya itu”, jelas mendukung untuk hadirnya sebuah kerukunan antar-umat
beragama.
Bila
kita mencoba menganalisa, persoalan/permasalahan mengenai kerukunan biasanya
muncul ditingkat bawah (grass root), emosi cepat bangkit apabila di provokatori
oleh orang tertentu. Dan memang dalam upaya menciptakan perdamaian/ kerukunan,
pada saat ini, sebagian besar masih sampai tahap konsepsi, belum semua ditahap
aplikasi dan refleksi. Masih sampai pada tahap teori, seremonial, ritual, belum
menyentuh tahap praktikal dan kontekstual. Sehingga jelas, untuk terciptanya
sebuah perdamaian/ kerukunan yang sesungguhnya, bukan hanya dalam teori dan
kata-kata, tetapi juga dalam fakta sehari-hari.
Menurut
Victor I. Tanja, relasi dan pertemuan dengan berbagai agama di Indonesia adalah
sesuatu kenyataan objektif yang tidak bisa dipungkiri, oleh karena agama-agama telah
hadir serta memiliki keabsahan untuk menghuni republik tercinta ini.[39]
Sebuah agama tidak akan bisa menutup diri dengan keadaan yang ada ini, bahwa
sebuah agama hidup berdampingan dengan agama lain. Raimundi Panikkar menyatakan
hubungan antar semua agama melalui “cross
fertilizing” (saling menyuburkan). Istilah yang digunakan adalah “theandric relationship” , yakni
hubungan intim yang saling memperkaya antara dua kelompok yang kelihatan
berbeda tetapi mempunyai pengalaman keagamaan. Hal ini mungkin sesuatu yang
sulit, namun melalui pendapat Panikkar ini, dengan menciptakan sebuah hubungan
yang dekat dengan tujuan saling memperkaya, maka bisa menjadi sebuah tindakan
nyata dalam menciptakan perdamaian dan kerukunan antar umat beragama.
Dalam
hal dialog, menarik pendapat W.C. Smith, bahwa dialog/ percakapan antar agama
seharusnya dialog yang terjadi antara Kita
dengan Kita. Bukan lagi dialog Saya-
Itu, yang mana saya adalah subyek yang lebih tinggi dan itu merupakan objek
yang lebih rendah kedudukannya. Bukan lagi dialog Saya – Mereka (Kamu), walau setara namun masih ada keterpisahan.
Namun dialog yang sudah menjadi Kita
dengan Kita, yang mana disini semua umat beragama bersama-sama membicarakan
tentang hidup mereka bersama. Menurut penyeminar ini sendiri, dalam dialog-lah
kita bisa mengupayakan jalinan yang baik antar-umat beragama. Karena dalam
dialog, kita bisa duduk bersama dengan dengan agama lain.
Pada
zaman penjajahan, agama dianggap menjadi sebuah bentuk yang mengupayakan
pembebasan. Namun pada masa sekarang agama hanya menjadi sebuah bentuk yang
menunjukkan sebuah identitas. Sehingga masing-masing umat beragama hanya
melihat identitas dalam kehidupannya. Agama mulai kehilangan fungsi untuk
menciptakan perdamaian dan kerukunan. Melalui ini, kita harus kembali
menghidupkan fungsi dari agama dalam rangka menciptakan kerukunan.
Upaya
lain yang perlu kita lakukan adalah sebuah promosi perdamaian dari
masing-masing lembaga keagamaan. Pemimpin-pemimpin dan pemuka-pemuka agama harus mempromosikan
hal ini secara nasional (termasuk juga daerah pelosok/ tingkat desa). Promosi
yang didalamnya berisikan ajakan, pembinaan yang berkesinambungan sehingga
terlihat adanya upaya menghadirkan perdamaian dan kerukunan antar-umat beragama
secara nasional.
Pemahaman
akan agama sangatlah penting dalam menghadirkan kerukukan umat beragama, yakni
pemahaman yang menyeluruh kepada seluruh umat beragama. Tidak hanya kepada umat
yang berada di kota, namun juga pada umat yang berada di pelosok-pelosok.
Sehingga dengan pemahaman akan agama
yang benar, yang mana setiap agama mempunyai panggilan untuk menhadirkan
perdamaian dan kerukunan diantara setiap agama.
Dari
pembahasan diatas, sudah ada beberapa hal yang bisa menjadi peluang dan upaya,
yang mana bisa kita gunakan menghadirkan perdamaian dan kerukunan antar umat
beragama. Melalui analisa juga, penulis juga mencoba menganalisa mengenai
hal ini, namun penulis menyadari bahwa analisa ini pastilah tidak sempurna
sehingga perlu masukan-masukan dari rekan-rekan.
III.
Kesimpulan
Dalam
pembahasan ini, nyata bahwa kedua agama baik Kristen dan Islam, didalamnya
merupakan sebuah agama yang dituntut untuk umatnya menghadirkan perdamaian dan
kerukunan untuk sesama manusia. Hal yang perlu kita bangun diantaranya adalah
panggilan kita membawa damai, dialog antar umat beragama, sikap toleransi,
kepedulian sosial, menegakkan humanisasi, dan sikap inklusif. Dan yang menjadi
kendala yang harus diatasi bersama, antara lainya adalah radikalisme agama,
eksklusifisme agama dan fundamentalis agama.
IV.
Daftar
Pustaka
Abdurrahman, Irman (Penyunting), Etika Islam (Dari Kesalehan Individual Menuju Kesalehan Sosial), Jakarta:
Al-Huda, 2003
Adiprasetyo,
Joas, Mencari Dasar Bersama, Jakarta:
BPK-GM, 2002
Arkinson, David J. & H. Field, New Dictionary Of Christian Ethics And
Pastoral Theology, England: Intervarcity, 1995
Ayubi,
Nazih, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World, New York:
Routledge, 1991
Baker,
F.L., Sejarah Kerajaan Allah Perjanjian
Lama, Jakarta: BPK-GM, 1990
Boisard,
Marcel A., Humanisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan-Bintang, 1980
Darmaputera,
Eka, Strugglin in Hope, Jakarta:
BPK-GM, 2004
Douglas,
J., Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Jilid
I (A-L), Jakarta: YKBK/OMF, 1997
Eliade, Mircea (ed), The Encyclopedia of Religion Vol. 5, New York: Macmillan Library
Reference, 1993
Galtung,
Johan, Studi Perdamaian, Surabaya:
Pustaka Eureke, 2003
Guthrie,
Donald, Teologi Perjanjian Baru 2,
Jakarta: BPK-GM, 1996
Haroen,
Nasrun, dalam Ensiklopedia Islam, Jakarta:
PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 2005
Hendropuspito,
D., Sosiologi Agama, Jakarta: BPK-GM,
1990
Jabir
El-Jazair, Abu Bakar, Pola Hidup Muslim, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1990
Kieser, Bernard, Keterlibatan Sosial Gereja, dalam Eduard
R. Dopo (Ed.), Keprihatinan Sosial
Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1992
Kobong, Th., Pluralitas dan Pluralisme, dalam Tim Balitbang PGI (Ed.), Agama dan Dialog, Jakarta: BPK-GM, 2003
Lefebure,
Leo D., Penyataan Allah, Agama dan
Kekerasan, Jakarta: BPK-GM, 2003
Manurung, Kaleb, Suatu Tinjauan Etika Kristen Terhadap
Radikalisme Agama dalam Jurnal Teologi TABERNAKEL STT Abdi Sabda Medan
Edisi XXII Juli-Desember 2009
Mulyani,
Dewi, Muamalah, Bandung: Mizan, 2010
Paassen, Yan Van, Beberapa
Masalah Hidup Beragama Dewasa Ini, Jakarta: OBOR, 1996
Poerwadarminta,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1994
Rahman,
Fazlur, Islam (Second edition)
,Chicago: The University of Chicago Press,1979
Rahmat,
M. Imdadun (Ed.), Islam Pribumi:
Mendialogkan Agama Membaca Realitas, Jakarta: Erlangga, 2003
Saragih, Jhon Renis, Masa Depan Agama-Agama Dalam Dialog
dalam Jurnal Teologi TABERNAKEL STT Abdi Sabda Medan Edisi XV Januari-Juni 2006
Shenk,
David W., Ilah-Ilah Global, Jakarta:
BPK-GM, 2001
Stott,
John, Isu-Isu Global (Penilaian Atas
Masalah Sosial dan Moral Kontemporer, Jakarta: YKBK/OMF, 2000
Sumartana,
Th., Dialog Kritik dan Identitas Agama, Jakarta:
BPK-GM, 1996
Tanja, Victor I., Spiritualitas,
Pluralitas dan Pembangunan di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 1996
Tobing, Darwin Lumban, Teologi di Pasar Bebas, Pematang Siantar : L-SAPA, 2007
Yang, Liem Khiem, Fundamentalisme dalam Gereja, dalam
Weinata Sairin (Ed.), Fundamentalisme,
Agama-Agama dan Teknologi, Jakarta: BPK-GM, 1996
Yewangoe,
A. A., Agama dan Kerukunan, Jakarta:
BPK-GM, 2009
http://wawasankeislaman.blogspot.com/2012/01/islam-dan-perdamaian.html, diakses 3-5-2012
[1] Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:
Balai Pustaka, 1994, hlm. 224
[2] Johan Galtung, Studi Perdamaian, Surabaya: Pustaka
Eureke, 2003, hlm. 21
[3] David J. Arkinson & H.
Field, New Dictionary Of Christian Ethics
And Pastoral Theology, England: Intervarcity, 1995, p. 655
[4] J. Douglas, Ensiklopedia Alkitab Masa Kini Jilid I (A-L), Jakarta: YKBK/OMF,
1997, hlm. 226
[5] Leo D. Lefebure, Penyataan Allah, Agama dan Kekerasan, Jakarta:
BPK-GM, 2003, hlm. 98-99
[6] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 2, Jakarta:
BPK-GM, 1996, hlm. 109-115
[7] J. Douglas, Op.cit., hlm. 226-227
[8] Irman Abdurrahman (Penyunting), Etika Islam (Dari Kesalehan
Individual Menuju Kesalehan Sosial), Jakarta: Al-Huda, 2003, hlm. 7
[9] David W. Shenk, Ilah-Ilah Global, Jakarta: BPK-GM, 2001,
hlm. 377
[10] M. Imdadun Rahmat (Ed.), Islam Pribumi: Mendialogkan Agama Membaca
Realitas, Jakarta: Erlangga, 2003, hlm. 72
[11] Dewi Mulyani, Muamalah, Bandung: Mizan, 2010, hlm. 65
[13] Abu Bakar Jabir El-Jazair, Pola Hidup Muslim, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1990, hlm. 83-92
[14] John Stott, Isu-Isu Global (Penilaian Atas Masalah Sosial dan Moral Kontemporer, Jakarta:
YKBK/OMF, 2000, hlm. 137-143
[15] Abu Bakar Jabir El-Jazair, Op.cit., hlm. 12
[16] Jhon Renis Saragih, Masa Depan Agama-Agama Dalam Dialog
dalam Jurnal Teologi TABERNAKEL STT Abdi Sabda Medan Edisi XV Januari-Juni
2006, hlm. 38
[17] Victor I.
Tanja, Spiritualitas, Pluralitas dan
Pembangunan di Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 1996, hlm. 4-6
[20] D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, Jakarta: BPK-GM, 1990,
hlm. 8
[21] Bernard Kieser, Keterlibatan Sosial Gereja, dalam Eduard
R. Dopo (Ed.), Keprihatinan Sosial
Gereja, Yogyakarta: Kanisius, 1992, hlm. 18-19
[22]
Mircea Eliade (ed), The Encyclopedia of
Religion Vol. 5, New York: Macmillan Library Reference, 1993, hlm. 511
[23] F.L. Baker, Sejarah Kerajaan Allah Perjanjian Lama, Jakarta: BPK-GM, 1990, hlm.
2
[24] Nasrun Haroen, dalam Ensiklopedia Islam, Jakarta: PT. Ichtiar
Baru van Hoeve, 2005, hlm. 275
[25]
Darwin Lumban Tobing, Teologi di Pasar
Bebas, Pematang Siantar : L-SAPA, 2007, 276
[26] Joas Adiprasetyo, Mencari Dasar Bersama, Jakarta: BPK-GM,
2002, hlm. 647
[27] Eka Darmaputera, Strugglin in Hope, Jakarta: BPK-GM,
2004, hlm. 507
[28] Leo D. Lefebure, Op.cit., hlm. 20
[29] Dalam kaitan
dengan hal itu, beberapa fakta dapat diangkat. Umat beragama sendiri
menyelewengkan ajaran-ajaran agama demi tujuan mereka sendiri. Mereka
menafsirkan keadilan dan perdamaian sedemikian rupa sehingga berorientasi pada
tujuan mereka sendiri. Agama diselewengkan oleh pihak-pihak tertentu untuk
tujuan tertentu yang tidak luhur, misalnya demi mencapai kekuasaan.
Ajaran-ajaran agama yang luhur mengenai keadilan dan perdamaian dimanipulasi
sedemikian rupa sehingga menjadi sempit dan picik. Watak ajaran agama yang
bersifat memperbudak ditonjolkan sedemikian rupa sehingga agama sungguh-sungguh
menampilkan wajah yang kejam. Allah ditampilkan sebagai Allah yang siap
menghukum, padahal Dia adalah Allah yang mengasihi. A. A. Yewangoe, Agama dan Kerukunan, Jakarta: BPK-GM,
2009, hlm. 152
[30] Dalam dokrin sosiologi Islam melihat sebab-sebab pokok
dari kekerasan dan permusuhan, ada yang terdapat dalam watak manusia sendiri
seperti keinginan alamiah untuk melakukan agresi, cinta kekuasaan dan kekayaan,
dengki dan persaingan mencari keuntungan; dan ada pula yang berasal dari
susunan masyarakat, yaitu sikap membangkang kepada kekuatan pusat atau sikap
mempertahankannya.
Marcel A. Boisard, Humanisme Dalam Islam, Jakarta:
Bulan-Bintang, 1980, hlm. 270
[31] Kaleb Manurung, Suatu Tinjauan Etika Kristen Terhadap
Radikalisme Agama dalam Jurnal Teologi TABERNAKEL STT Abdi Sabda Medan
Edisi XXII Juli-Desember 2009, hlm. 22
[32] Poerwadarminta, Op.cit., hlm. 253
[33] Th. Sumartana, Dialog Kritik dan Identitas Agama, Jakarta:
BPK-GM, 1996, hlm. 78
[34] Th. Kobong, Pluralitas dan Pluralisme, dalam Tim Balitbang PGI (Ed.), Agama dan Dialog, Jakarta: BPK-GM, 2003,
hlm. 131
[35] Liem Khiem Yang, Fundamentalisme dalam Gereja, dalam
Weinata Sairin (Ed.), Fundamentalisme,
Agama-Agama dan Teknologi, Jakarta: BPK-GM, 1996, hlm. 19
[36] Jhon Renis Saragih, Op.cit., hlm. 37
[37] Dalam kasus Islam,
fundamentalisme muncul sebagai reaksi terhadap akibat-akibat yang ditimbulkan
oleh modernisme dan sekularisme dalam kehidupan politik dan keagamaan.
Peradaban modern-sekular menjadi sasaran kritik fundamentalisme Islam, dan di
sini fundamentalsime memiliki fungsi kritik. Seperti ditipologikan oleh Fazlur
Rahman, fundamentalisme Islam (atau revivalisme Islam) merupakan reaksi
terhadap kegagalan modernisme Islam (klasik), karena ternyata yang disebut
terakhir ini tidak mampu membawa masyarakat dan dunia Islam kepada kehidupan
yang lebih baik, sesuai dengan ajaran Islam. Sebagai gantinya, fundamentalisme
Islam mengajukan tawaran solusi dengan kembali kepada sumber-sumber Islam yang
murni dan otentik, dan menolak segala sesuatu yang berasal dari warisan
modernisme Barat. Fazlur Rahman, Islam (Second edition) ,Chicago: The University of Chicago Press,1979, p.
222-223
[38] Nazih Ayubi, Political Islam:
Religion and Politics in the Arab World, New York: Routledge, 1991, p.68
[39]
Victor I. Tanja, Op.cit., hlm. 47
Tidak ada komentar:
Posting Komentar