Agama
dan Wahyu/ Penyataan Allah
Oleh : Chrisnov M.
Tarigan
I.
Pembahasan
1.1. Pengertian
Agama dan Wahyu/ Penyataan
Agama,
dalam bahasa Arab adalah Din, dalam
bahasa Inggris adalah Religion,dalam
bahasa Prancis La Religion, dalam
bahasa Belanda adalah de religie, dan
dalam bahasa Jerman adalah die religion.[1] Kata agama berasal dari bahasa
Sansekerta yang berarti antara lain peraturan tradisional, ajaran, kumpulan
peraturan dan suatu ajaran. Etimologi kata agama adalah “gama” yang berarti pergi, sedangkan awalan pada “a” berarti tidak, sehingga agama
berarti yang tetap atau tidak berubah.[2]
Wahyu
dalam agama Islam adalah yang dibisikkan di dalam sukma oleh Allah, dan lebih
jelas lagi adalah yang dibisikkan ke dalam sukma yang diilhamkan dan merupakan
isyarat yang cepat dari Allah kepada Nabi dan atau Rasul-Nya.[3]
Dalam agama Kristen, wahyu adalah penyikapan Allah mengenai sesuatu yang
sebelumnya tidak diketahui. Dalam bahasa Ibrani yakni gala, Yunani apokalupto,
Latin revelo, dan Inggris revelation, sehingga secara umum dalam
agama Kristen adalah bicara tentang penyataan, maka pemikiran yang dimaksudkan
ialah Allah Pencipta aktif membuka bagi manusia kuasa dan kemulianNya, hakikat
dan sifatNya, kehendak, jalan, dan rencanaNya, pendek kata supaya manusia dapat
mengenal Dia.[4]
1.2.
Hakikat Penyataan Allah (Wahyu)
Yang
dimaksud dengan penyataan Allah ialah tindakan Allah untuk menyatakan atau
memperkenalkan diriNya kepada manusia, yang menjadikan manusia dapat kenal
Allah-nya atau mempunyai pengetahuan tentang Allah-nya. Semua agama didasarkan
atas keyakinan bahwa Allah “yang diperTuhankan” memperkenalkan diri kepada
manusia, sehingga manusia kenal TuhanNya sekalipun pengenalan itu tidak
sempurna. Karena pengenalan itulah maka manusia dapat menyembah TuhanNya.
Sekalipun
demikian tiada kesamaan tentang soal bagaimana Tuhan memperkenalkan diriNya
kepada manusia. Pada umumnya agama-agama mengajarkan, bahwa Tuhan
memperkenalkan diriNya dan kehendakNya kepada manusia dengan perantaraan
bisikan ilahi, artinya: Tuhan
memperkenalkan diriNya dan kehendakNya didalam hari sanubari manusia, baik
orang itu berfungsi sebagai imam atau pendeta (agama suku murba), maupun
berfungsi sebagai rsi (Hindu) atau nabi (Islam), atau guru/kyai (kebatinan).[5]
1.3.
Wahyu dalam Agama-agama
semua
agama didasarkan atas keyakinan bahwa Allah atau “yang di pertuhankan”
memperkenalkan dirui kepada semua manusia, sehingga manusia kenal Tuhannya,
sekalipun pengenalan itu tidak sempurna. Karena pengetahuan itulah maka manusia
dapat menyembah Tuhannya. Sekalipun demikian tiada kesamaan tentang soal
bagaimana Tuhan memperkenalkan dirinya kepada manusia. Pada umumnya agama-agama
mengajarkan, bahwa Tuhan memperkenalkan diri-Nya dan kehendak-Nya kepada
manusia dengan perantaraan bisikan Ilahi, artinya: Tuhan memperkenalkan diriNya
dan kehendaknya dengan membisikkan kehendaknya di dalam hati sanubari manusia.[6]
Adapun penyataan Allah dalam agama-agama sebagai berikut:
Agama Suku
Di dalam agama suku
orang yakin, bahwa dewa-dewanya dengan perantaran imam atau pendetanya
memberitahukan kehendaknya kepada manusia. Pendeta atau imam itu dapat: lah
a. Mengosongkan
diri dengan mengeluarkan jiwa atau rohnya dari tubuhnya sehingga tubuh itu
dapat dimasuki oleh roh atau dewa yang diminta pertolongannya. Dalam keadaan
ini, roh atau dewa yang di minta pertolongannya berbicara langsung melalui imam
atau pendeta, sedang upacara-upacara yang di ucapkan oleh pendeta itu adalah
ucapan-ucapan Roh atau dewanya sendiri.
b. Mengutus
jiwa atau rohnya ketempat roh atau dewa untuk mendapatkan petunjuk-petunjuk
yang diperlukan. Dalam keadaan ini orang-orang tidak secara langsung berhadapan
dengan Roh atau dewanya sendiri. Kata-kata yang diucapkan para pendeta itu
adalah ucapan mereka sendiri pemilihan kata-katanya dan ungkapan-ungkapannya
adalah usahannya sendiri, sekalipun semuanya itu diucapkan berdasarkan petunjuk
Roh atau dewanya.
Pda kedua peristiwa ini
yang diterima adalah firman yang diperlukan, baik firman itu diucapkan secara
langsung oleh roh atau dewa melalui parapendeta, maupun tidak diucapkan secara
langsung malainkan melalui perantaraan terjemahan para pendeta. Kedua cara
perkenalan ilahi ini dapat disebut perkenalan yang dengan bisikan.[7]
Agama Hindu
Dalam agama hindu kitab
weda sebagai wahyu dewa tertinggi karena menurut tradisi hindu, kitab-kitab ini
adalah ciptaan dewa Brahman kepada para rsi atau para pendeta dengan
bentuk-bentuk mantera-mantera, yang kemudian disusun sebagai pujian-pujian oleh
para rsi tadi sebagai pernyataan rasa hatinya. Sebagai wahyu dewa yang
tertinggi, maka weda-weda itu disebut seruti, yang secara harafia berarti apa
yang didengar, yaitu di dengar dari dewa yang tertinggi. Orang hindu yakin,
bahwa kitab-kitab weda bukan hasil karya manusia. Weda-weda adalah kekal. Weda
adalah nafas Tuhan, kebenaran yang kekal, yang dinyatakan atau diwahyukan oleh
Tuhan kepada para resi. Para resi tadi melihat atu mendengar kebenaran itu.
Bentuk yang diwahyukan tadi adalah mantera-mantera.[8]
Agama hindu membedakan 2 macam kitab suci: shurti, yang di dengar, dan smrti,
yang diiingat. Teks religious yang paling suci, yaitu kitab-kitab peda,
merupakan shurti. Kitab-kitab itu meliputi himne-himne peda atas samhitas
(1400-1000sm), Brahmana (1000-700sm), Aranyaka (Kitab-kitab hutan, 800-600sm),
dan uphanisad (800-200sm). Ada empat mashab utama yang didasarkan pada
kedudukan berbagai tokoh dalam pengorbanan-pengorbanan ritual. Rig veda terdiri
dari himne-himne dan berasal dari mereka yang membawakan himne-himne tersebut.
Yajur veda berisi rumusan-rumusan pengorbanan berasal daripada imam yang
melaksanakan tindakan-tindakan ritual. Sama veda adalah kumpulan nyanyian,
banyak diantaranya diambil dari rig veda. Atharava veda berasal dari mereka
yang memusatkan perhastian pada kebutuhan konkrit manusia seperti kesehatan,
dan berisi mantera-mantera dan jampi-jampi magic sedangkan teks-teks suci
kategori kedua, smrti, pada prinsipnya memiliki otoritas yang lebih rendah,
meskipun dalam prakteknya sering kali memainkan peranan lebih besar dalam
kehidupan sebagian besar umat hindu. Smrti yang diingat, menunjukkan kepada
tradisi penafsiran shurti yang lebih kemudian. Teks-teks ini membantu
menyajikan kebenaran penyataan dalam bentuk yang lebih mudah dijangkau oleh
masyarakat luas, menafsirkan kebenaran moral abadi dengan istilah-istilah yang
sesuai pada zaman tertentu. Batas-batas smrti yang jelas toidak pernah
ditentukan diantara karya-karya itu terdapat sutra, kitab-kitab hukum dan
kurana. [9]
Agama Islam
Di dalam agama islam
kita mendengar bagaiman apada malam yang dikenal sebgai lailatul-Qadar, atau
malam kebesaran (17 Ramadhan) Allah dengan perantyaraan malikat-malaikat jibril
membisikkan perintahnya kepada nabi Muhammad SAW di bukit Hira. Suara hati itu
di dengar di dalam hatinya, yang kemudian dibukukan di dalam kitab Al-Quran.[10]
Al-Quran yang di ajarkan nabi Muhammad SAW adalah wahyu atau firman Allah SWT
yang disampaikan padanya melalui perantaraan malikat Jibril. Al-Quran ini
diturunkan Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW selama kurang lebih 23 tahun masa
kenabiannya. Ayat yang pertama diturunkan adalah lima ayat pertama dari surah
Al-Alaq (96) yang diturunkan ketika nabi Muhammad SAW sedang berkhalawat
(menyendiri) di gua hira, sebuah gua yang terletak dipegunungan sekitar kota
mekha pada malam 17 Ramadhan, yang mana pada saat itu usia nabi SAW sekitar 40
tahun.[11]
Agama Kristen
Menurut pemahaman iman
Kristen ada dua cara Allah menyatakan diri-Nya yaitu[12]:
1. Penyataan
Umum
Penyataan umum adalah
penyataan Allah kepada semua orang dimana-mana tanpa terkecuali. Penyataan itu
tidak dapat menyelamatkan manusia. Bentuk penyataan umum ini adalah :
·
Karya ciptaan
Tatanan ciptaan
merupakan penyataan Allah kepada manusia tentang kekuasaan dan keilahian-Nya
yang kekal yang mengharuskan mereka mengenal dan mengucap syukur kepada-Nya.
·
Pengalaman moral
Allah telah menyatakan
diri. Dibalik semua pengalaman moralnya manusia mempunyai semacam kesadaran
bahwa kewajiban berbuat baik dan menolak kejahatan mencerminkan kehendak Allah
yang tertinggi yang kepada-Nya manusia harus member pertanggungjawaban.
·
Sejarah
Allah juga menyatakan
diri-Nya melalui proses penghakiman sebagaimana tercermin dalam timbul
tenggelamnya bangsa-bangsa dan negara adikuasa.
·
Naluri religius yang universal
Pandangan ini didukung
oleh Yohanes 1 : 9 yang menyatakan bahwa terang yang sesungguhnya yang
menerangi setiap orang sedang datang kedalam dunia.
·
Factor dinamis
Penyataan Allah
bersifat dinamis dan berkesinambungan. Allah berulang kali menyatakan diri dan manusia
berulang kali menentang. Oleh sebab itu hanya melalui sikap tunduk dan patuh
manusia dapat bertemu dengan penyataan Allah.
2. Penyataan
Khusus
Penyataan khusus adalah
cara Allah menyatakan diri dengan lengkap dan jelas yang jauh melebihi
penyataan umum. Melalui penyataan ini manusia dapat diselamatkan. Bentuk
penyataan khusus yaitu:
·
Yesus Kristus
Yesus Kristus adalah
firman Allah yang menjadi manusia dan diam diantara kita. Allah menyatakan diri
didalam Yesus Kristus yang merupakan Allah yang kekal.
·
Kitab Suci
Firman yang menjadi
manusia dikenal melalui firman yang tertulis yaitu Alkitab.
1.4.Wahyu
Allah Sebagai Dasar Iman
Di
dalam Wahyu, Allah menyapa manusia, memperkenalkan diri-Nya kepada manusia dan
mengajak manusia ikut serta dalam kehidupan Allah sendiri. tanggapan manusia
yang diharapkan oleh Allah sebagai jawaban atas wahyu-Nya ialah iman
kepercayaan sebagai penyerahan diri manusia kepada Allah. Bila wahyu berarti
Allah menyapa manusia, iman berarti bahwa manusia menjawab Allah secara
positif. Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa wahyu dan iman merupakan paham
yang korelatif. Wahyu Allah mengharapkan, bahkan mengandaikan iman manusia,
sebab wahyu yang tidak ditanggapi dengan iman, tidak mencapai sasaranya. Allah
memeperkenalkan diri kepada manusia demi untuk dikenal oleh manusia. Justru
dengan menyerahkan diri kepada Allah, manusia mengenal Allah. Untuk tahu siapa
Allah itu, orang harus dapat bergaul dengan Allah dari hati. Pergaulan ini
berlangsung dalam iman kepercayaan yang merupakan anugerah Allah dan sekaligus
tindakan manusia.[13]
Wahyu
merupakan komunikasi antara Allah yang disurga dengan manusia yang dibumi. Ini
berarti Allah yang transenden itu melangkah keluar dari rahasia ada-Nya dan
masuk ketengah-tengah umat manusia untuk bergaul denganya dan berfirman
kepadanya dalam peristiwa-peristiwa sejarah. Dengan demikian dapat dibedakan
antara empat aspek yang terdapat pada peristiwa wahyu sebagai
penganugerahan-diri Allah kepada manusia; keempat aspek ini bersifat hakiki
semua, karena merupakan bagian integral dari hakekat wahyu.
a) Aspek
“misteri illahi”, yaitu tindakan Allah yang transenden
Wahyu itu misteri,
karena merupakan tindakan Allah sendiri, yaitu suatu aktivitas yang transenden
yang berisikan kehendak atau “rencana” Allah untuk menyelamatkan manusia.
“menyelamatkan” disini berarti menganugrahkan kepada manusia kebahagiaan yang
penuh(total dan kekal).
b) Aspek
Historis, yaitu peristiwa sejarah
Tindakan Allah yang
bebas, kekal dan transenden mempunyai efek temporal, artinya : wahyu juga
bersifat sejarah. Rencana Allah untuk menyelamatkan umat manusia diwujukan
dalam rupa “turun-tangan” Allah dalam sejarah. Melalui peristiwa-peristiwa
sejarah serta penafsiran peristiwa itu Allah mewahyukan diri dengan
melaksanakan rencana penyelamatan-Nya.
c) Aspek
pengetahuan, yaitu kesaksian, pewartaan dan ajaran
Supaya manusia dapat
menanggapi rencana penyelamatan Tuhan dan dapat menerimanya secara bebas dengan
tahu dan mau, ia harus mengenal rencana itu. Oleh karena itu terdapat juga segi
pengetahuan pada wahyu.
d) Aspek
personal, yaitu pertemuan pribadi antara Allah dan manusia
Wahyu berupa
pengetahuan tidak boleh dipisahkan dari pribadi Allah sebagai subjek yang
menyampaikan pengetahuan itu.
Berdasarkan keempat
segi ini dapat dikatakan bahwa wahyu juga bersifat lahir-batin. Wahyu bersifat
lahir sejauh pengalaman dan ajaran nabi. Dan wahyu juga bersifat batin sejauh
merupakan persekutuan personal antara kita dengan Tuhan, dan berupa pengaruh
langsung dari Allah dalam batin manusia.
Karya Roh kudus dalam jiwa manusia itu dapat berarti bahwa roh mendiami hati
manusia.
1.6.1.
Bentuk
Dalil (Ajaran)
Pada bagian ini
para teolog mengamati wahyu sebagai suatu dalil atau ajaran didalam melakukan
pendekatan simbolis. Hal ini terlihat adalah untuk menyatakan wahyu yang
sebenarnya. Dalam hal ini penyataan tertuju pada dalil-dalil yang harus memberi
suatu kebenaran yang pasti. Simbol-simbol yang menurut pengamatan mereka
mempunyai arti yang luar biasa didalam Alkitab hendaknya diartikan secara
harafiah. Namun sebaliknya itu justru akan dapat memberikan arti yang pasti
atau bukan sebenarnya.
Suatu symbol
mungkin saja dapat diperlihatkan pada suatu bahasa kiasan, dan suatu kiasan
dapat diterjemahkan ke dalam suatu persamaan, dan suatu persamaan akan dapat
membawa kepada pemahaman yang lebih luas terhadap suatu ajaran atau dalil.
Teologi Kristen mempunyai batas-batas penting dalam jenis-jenis pokok bahwa
suatu makna yang sebenarnya dapat ditemukan hanya pada memaknai suatu symbol
secara harafiah. Tanpa ajaran, kita akan merasa sangat kesulitan untuk
menemukan arti, makna, dan berkat yang sungguh luar biasa dari salib Kristus.
Tetapi ajaran Kristen juga tidak pernah menghilangkan makna sebenarnya dari
symbol-simbol itu, karena ajaran-ajaran Kristen itu hidup dalam tanda-tanda
atau symbol-simbol wahyu atau penyataan itu.
1.6.2.
Bentuk
Sejarah
Melakukan
pendekatan simbolis untuk melihat wahyu atau penyataan Allah juga sangat
berhubugan erat dengan kisah sejarah. Symbol-simbol itu dapat menjelaskan
sesuai dengan konteksnya dan aspek universal dari keagamaan. Hal ini akan
terlihat jelas di dalam kejadian-kejadian sejarah. Iman Kristen dibangun secara
spesifik melalui pengetahuan akan sejarah Israel. Dimana orang-orang akan
memahami tentang karya-karya Allah yang hebat didalam pengetahuan dan pemahaman
terhadap kisah sejarah Israel.
Memahami
symbol-simbol dalam bentuk sejarah ini adalah terlihat lebih tegas dimana wahyu
dapat dilihat melalui akan pikiran dari kejadian-kejadian yang mereka alami.
Pendekatan simbolis melalui sejarah dapat diperhitungkan sebagai symbol wahyu
atau penyataan Allah dalam kehadiranNya di tengah-tengah mereka.
1.6.3.
Bentuk
Pengalaman
Bagian ini
dimaksud dengan bentuk pengalaman ini adalah menyangkut kepada hal-hal atau
pengalaman-pengalaman yang mistis. Pemahaman tentang symbol atau tanda-tanda
wahyu dalam pengalaman mistis ini adalah terjadi karena pekerjaan Allah
sendiri. Allah yang transenden hadir dan menyatakan diri kepada seseorang dalam
rupa yang sangat dekat, dan ini bisa terjadi dalam persekutuan rohani yang
sangat dekat dengan Tuhan.
Tradisi mistis
disebutkan adalah perhatian kepada bagian inti dari pengalaman rohani,
bagian-bagian yang memperkaya pendekatan simbolis terhadap wahyu. Pengalaman
adalah suatu penyataan yang sangat penting dimana adanya suatu persekutuan yang
nyata antara iman manusia adalah Allah yang memperlihatkan keberadaanNya
sendiri melalui curahan rahmatNya. Penyataan kehadiranNya dalam sejarah adalah suatu
penyataan yang konkrit untuk memperkenalkan manusia kepada kerajaanNya dan
inkarnasiNya, sementara penyataan Allah dalam pengalaman mistis adalah membawa
orang-orang percaya kepada suatu berkat yang sangat luar biasa yang membawa
kepada ketenangan dan keheningan.
1.6.4.
Bentuk
Dialektika
Para teolog
dialektika, wahyu adalah diberikan tidak di dalam symbol tetapi dalam perkataan
Allah. Barth mengatakan bahwa wahyu Allah adalah perkataan-perkataan atau
firmanNya sendiri, dan kita tidak punya alasan untuk mengambil konsep sendiri
dari dasar perkataan Allah. Maksud firman Allah adalah perkataanNya sendiri,
dan firman itu bukanlah suatu symbol. Firman dalam arti sepenuhnya adalah Yesus
Kristus yang hadir dalam sejarah.
Firman yang
menandakan makna pada suatu bagian yang penting pada penyataan termasuk dalam
jenis symbol yang lain. Symbol-simbol atau tanda-tanda alam, perbuatan, atau
benda-benda lain dapat menjadi suatu pemikiran yang membingungkan sebagai
perantara dari penyataan agama. Suatu symbol atau tanda akan menjadi wahyu hanya ketika terlihat dan
terinterpretasi tidak pernah terjadi tanpa suatu komponen bahasa. Pada
penyataan umum, selain itu, harus menjadi bahasa eksternal yang mampu didengar
atau dilihat.
1.6.5.
Bentuk
Kesadaran Baru
Pada bagian ini
pendekatan simbolis terhadap wahyu adalah menekankan terhadap perubahan
perwujudan seseorang. Maksudnya adalah suatu pemahaman baru dari apa yang
selama ini dimengerti sebagai suatu kebenaran dari tradisi Kristen. Ajaran
dalam gereja dapat menambah kepadambah kepada dasar keagamaan dan symbol dasar
itu bukanlah untuk menghakimi tetapi memberikan pemahaman baru yang menimbulkan
kesadaran baru untuk direfleksikan dari doktrin gereja dan teologi. Kemudian
kesadaran yang baru itulah yng akan memberikan suatu dorongan yang baru yang
efeknya positif dalam perwujudan atau perbuatan di dalam kehidupannya didalam iman.
1.7.
Pandangan Berbagai Tokoh mengenai Wahyu/ Penyataan Allah dalam agama-agama
1.7.1.
Karl
Barth
Pemahaman Barth
mengenai agama-agama dalam kaitannya dengan penyataan dibagi dengan 2 prinsip
utama yang dibuktikan dalam kitab suci. Pertama, penyataan adalah pemberian
diri dan manifestasi diri Allah sendiri. melalui penyataanNya, Allah
menyingkapkan kepada manusia bahwa Ia adalah Allah dan Tuhan. Inisiatif muncul
dari Allah sendiri. Manusia dapat mengenal Allah bukan dengan kemampuannya diri
sendiri, melainkan karena Allah menyediakan diri untuk dikenal dan disapa.
Tanpa penyataan maka upaya manusia mengenal Allah dari sudut pandangnya sendiri
menjadi suatu upaya yang sama sekali sia-sia. Kedua, Barth juga menegaskan
bahwa sebagai pemberian diri dan manifestasi diri Allah, penyataan tersebut
merupakan tindakan dimana, didalam dan melalui anugerah, Ia mendamaikan diriNya
dengan manusia.
Barth
menyatakan, kekristenan menjadi benar sejauh berpusat pada penyataan Allah
dalam Yesus Kristus. Hanya dengan demikianlah kekristenan memiliki kemungkinan
menjadi agama yang benar. Yang membedakan kekristenan dengan agama lain bukan
karena kekristenan dapat mengerjakan “kebaikan batin” atau kekudusan serta
kebenaran imanen dan apapun melainkan berkat penyataan Allah kita mengetahui
semuanya ini. Kita melihat ada 2 klaim utama: pertama, penyataan bahwa hanya
ada satu agama yang muncul dari pemikiran bahwa penyataan dan keselamatan
diberikan hanya didalam Yesus Kristus. Kedua, agama yang benar ini dibenarkan
melalui satu cara yang tidak ditegaskan sama sekali dalam agama-agama dunia.[16]
1.7.2.
Karl
Rahner
Menurut Karl
Rahner, “agama-agama bukan Kristen” sebelum Kristen adalah “jalan keselamatan
yang sah”. Barulah ketika berita Kristus menghampiri seorang manusia sebagai
suatu alternative yang dapat diterima, maka baginya agama-agama lain terhapus
sebagai jalan keselamatan yang sah. Apabila manusia mendengar kabar Kristus
sebagai tawaran pilihan yang tidak terbandingkan dari agamanya yang terdahulu
dan tetap menolaknya, disitulah ia membiarkan dirinya dengan dosa yang besar.
Namun dibawah kondisi-kondisi tertentu penolakan akan kekristenan menurut
Rahner, dapat juga berarti tindakan kesetian terhadap hati nurani sendiri.
didalam hal ini, agama-agama bukan Kristen dapat juga dilihat sebagai jalan
keselamatan sesudah Kristus. Menurut Rahner, agama-agama diluar Kristen adalah
berupa jalan keselamatan yang sementara. Semua jalan ini mempunyai titik temu
dan titik akhir didalam Kristus yang diikuti gereja.[17]
1.7.3.
W.
Pannenberg
Menurutnya
penyataan diri Allah telah terjadi didalam perbuatan-perbuatan didalam sejarah.
Dalam pandangan Pannenberg, penyataan langsung tidak terjadi pada permulaan,
melainkan pada akhir dari sejarah penyataan itu. Dalam peristiwa Yesus, akhir
dari segala sejarah itu telah terjadi secara lebih dahulu. Penyataan sejarah
itu, menurut Pannenberg memiliki sifat universal dan dapat dimengerti oleh
setiap manusia yang tidak bebal. Bagi Pannenberg, penyataan sejarah merupakan
bentuk satu-satunya dari penyataan. Penyataan yang terjadi dalam sejarah yang
biasa dan ia beranggapan bahwa penyataan ini dapat dimengerti oleh semua orang
dan penerimanya adalah sesuatu yang alamiah.[18]
II.
Daftar
Pustaka
Adiprasetya, Jose, Mencari Dasar Bersama, Jakarta: BPK-GM,
2002
Dieter, Nico Syukur, Pengantar Teologi, Jakarta: BPK-GM, 1992
Dulles, Models Of Revelation, New York:
Doubleday and Company, 1983
Effendy, Mochtar, Ensiklopedia Agama dan Filsafat (A-B),
Universitas Sriwijaya: Palembang, 2000
Effendy, Mochtar, Ensiklopedia Agama dan Filsafat (S-Z),
Universitas Sriwijaya: Palembang, 2000
Hadiwijono, Harun, Agama
hindu Budha,Jakarta: BPK-GM, 2008
Hadiwijono, Harun, Iman Kristen, Jakarta: BPK-GM, 2009
Heuken , A., Ensiklopedi Gereja Jilid 2 (A-G),
Jakarta: Cipta Loka Cakan, 1991
Lefebure, Leo D., Penyataan Allah, Agama dan kekerasan,
Jakarta: BPK-GM,2003
Milne, Bruce, Mengenali kebenaran, Jakarta : BPK-GM,
1993
Packer, J.I., dalam Ensiklopedia Alkitab Masa Kini jilid II
(M-Z), YKBK/OMF: Jakarta, 1992
Tim Penyusun, Ensiklopedi Tematis dunia islam,
Jakarta: PT.Ictiar baru Van Hoeve,2005
[1]
Mochtar Effendy, Ensiklopedia Agama dan
Filsafat (A-B), Universitas Sriwijaya: Palembang, 2000, hlm. 86
[2] A.
Heuken, Ensiklopedi Gereja Jilid 2 (A-G),
Jakarta: Cipta Loka Cakan, 1991, hlm.30
[3]
Mochtar Effendy, Ensiklopedia Agama dan
Filsafat (S-Z), Universitas Sriwijaya: Palembang, 2000, hlm. 392
[4]
J.I. Packer, dalam Ensiklopedia Alkitab
Masa Kini jilid II (M-Z), YKBK/OMF: Jakarta, 1992, hlm. 175
[5]
Harun Hadiwijono, Iman Kristen, Jakarta:
BPK-GM, 2009, hlm. 29
[6]
Harun Hadiwijono, Op.Cit.,hlm.29
[7]
Ibid hlm.30
[8]
Harun Hadiwijono, Agama hindu Budha,Jakarta: BPK-GM, 2008, hlm.17
[9]
Leo D. Lefebure, Penyataan Allah, Agama dan kekerasan, Jakarta: BPK-GM,2003.
Hlm.221-222
[10]
Harun Hadiwijono, Iman Kristren, Op. Cit., hlm.30
[11]
….. Ensiklopedi, Tematis dunia islam, Jakarta: PT.Ictiar baru Van Hoeve,2005. Hlm.50.
[12]
Bruce Milne, Mengenali kebenaran, Jakarta : BPK-GM, 1993, hlm.37-42
[13]
Nico Syukur Dieter, Pengantar Teologi, Jakarta: BPK-GM, 1992, hlm.85-86
[14]
Ibid.,hlm.89-90
[15]
Dulles, Models Of Revelation, New
York: Doubleday and Company, 1983, hlm. 140-150
[16]
Jose Adiprasetya, Mencari Dasar Bersama, Jakarta:
BPK-GM, 2002, hlm. 50-53
[17]
Dieter Becker, Pedoman Dogmatika,
Jakarta: BPK-GM, 2009, hlm. 38
[18] Ibid, hlm. 38
Tidak ada komentar:
Posting Komentar