Agama dan Gender
(Ketidakadilan terhadap
perempuan)
Oleh : Julia E. Ginting’s
Oleh : Julia E. Ginting’s
I.
Pendahuluan
Manusia
biasanya dibedakan secara sexual, sesuai jenis kelamin (sex) yakni laki-laki
dan perempuan. Berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan adalah sebuah
kodrat. Berbicara mengenai masalah perempuan tidak akan ada habis-habisnya dan
selalu menjadi hal yang menarik. Keberadaan perempuan yang selalu dijadikan
makhluk nomor dua adalah akibat hasil
dari sistem masyarakat. Perempuan memiliki hak untuk hidup dan mengatur
hidupnya sendiri walaupun pada kenyataan hidup seorang perempuan lebih banyak
didominasi oleh laki-laki. Keberadaan jenis kelamin dijadikan alasan untuk
berlaku tidak adil pada perempuan.
II.
Pembahasan
2.1.
Pengertian Gender
Gender berasal
dari kata genus (dari gener, latin) yang berarti jenis, tipe. Gender kemudian
berarti jenis kelamin. Tetapi kini gender lebih mengacu pada perbedaan antara
perempuan dan laki-laki yang dibuat melalui proses sosial dan budaya yang
panjang. Gender adalah perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan
oleh masyarakat, serta tanggung-jawab laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran
antara perempuan dan laki-laki dapat ditukarkan dan berubah dari waktu ke
waktu, serta berbeda dari satu tempat ke tempat lain.[1]
Gender dalam sosiologi
mengacu pada sekumpulan ciri-ciri khas yang dikaitkan dengan jenis kelamin
individu (seseorang) dan diarahkan pada peran sosial atau identitasnya dalam
masyarakat. WHO memberi batasan gender sebagai “seperangkat peran, perilaku,
kegiatan, dan atribut yang dianggap layak bagi laki-laki dan perempuan, yang
dikonstruksikan secara sosial dalam suatu masyarakat”.[2]
Istilah gender
lebih merujuk kepada kontruksi sosial dengan kata lain, gender adalah kategori
untuk menjelaskan perbedaan antara perempuan dan laki-laki akibat konstruksi
sosial (culture). Yang termasuk dalam kategori tersebut adalah ciri feminim/
maskulin, identitas feminim/ maskulin, dan aktor sosial perempuan/ laki-laki
berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Dengan kata lain, gender tidak dapat direduksikan
dengan ciri-ciri biologis, walaupun sering kali hal tersebut dianggap alamiah.
Pertentangan ciri ini sangat penting dalam konstruksi gender sebab jika sesuatu
dianggap feminim maka ia tidak maskulin.[3]
2.2.
Pengertian Perempuan
Kata perempuan adalah
kata yang berasal dari Sansekerta yakni “empu” merupakan gelar kehormatan yang
berarti tuan; orang ahli; atau jika dijadikan verbal: mengampu, menghormati,
memuliakan, mengasuh, membimbing.[4] Kata
perempuan lebih menunjuk kepada manusia yang mempunyai ciri-ciri yakni memiliki
rahim, mempunyai saluran untuk melahirkan, memproduksi sel telur, memiliki
vagina dan mempunyai alat menyusui.[5]
Kata lain yang
sering digunakan antara lain adalah wanita dan juga berasal dari bahasa
Sanskerta yakni “vanita” yang berarti “yang diinginkan laki-laki”. Demikian
juga dalam bahasa Jawa kata wanita diartikan yakni “berani diatur” atau “berani
ditata”.[6]
2.3.
Pandangan Alkitab Tentang Perempuan
Dalam cerita
penciptaan manusia, baik laki-laki maupun perempuan diciptakan berbeda dengan
makhluk lainnya. Menurut rencana Allah, manusia akan diciptakan menurut gambar
dan rupa Allah. Istilah itu tidak pernah dipakai untuk makhluk lain selain
manusia.[7]
Setelah laki-laki tercipta sebagai manusia pertama, segala kebutuhannya telah
tersedia. Kemudian Tuhan menjadikan seorang perempuan dan membawakannya kepada
laki-laki (adam) sebab Tuhan melihat bahwa tidak baik apabila manusia itu
seorang diri. Dan Adam berkata inilah tulang dari tulangku dan daging dari
dagingku: dia akan dipanggil perempuan karena dia berasal dari laki-laki.[8]
Dalam Kej.2 ,
perempuan diciptakan sebagai penolong yang sepadan bagi laki-laki. Kata ini
adalah sebuah kata yang menunjuk kedudukan yang lebih tinggi daripada yang
ditolong (laki-laki), namun demikian Allah tidak menginginkan hal tersebut
sehingga kata sepadan adalah kata yang cukup menjelaskan dan menunjukkan bahwa
perempuan adalah seorang yang posisinya setara dengan laki-laki.[9]
Jadi dengan demikian maka jelaslah bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara
dalam harkat dan martabat yang sama serta dalam tugas yang diembankan kepada
manusia dan sebagai mandataris Allah di bumi.
Dalam kitab PB,
hal yang paling penting adalah sikap dan ajaran dari Tuhan Yesus termasuk juga
bagaimana sikap dan ajarannya mengenai perempuan. Dalam kitab Injil banyak
tertulis mengenai perjumpaan Yesus dengan kaum perempuan dimana Yesus
mengampuni, menyembuhkan dan mengajar mereka bahkan selama perjalanannya hingga
Dia disalibkan, yang membersihkan kubur bahkan menjadi saksi mata akan
kebangkitanNya. Dengan fakta yang demikian Ia mau menyatakan bahwa perempuan
juga mempunyai hak yang sama dan kesempatan yang sama seperti halnya laki-laki.[10]
Walaupun Yesus tidak memiliki murid perempuan (12 murid Yesus) namun hal
tersebut tidak bisa menjadikan alasan sebab banyak dari perempuan yang terlibat
dalam peristiwa penting yang dialami Yesus, mulai dari kelahiran dan
kebangkitanNya.
Alkitab
mengemukakan status perempuan yang bersifat ambivalen, disatu pihak identitas
perempuan dibatasi dalam ruang lingkup sebagai istri dan ibu, dipihak lain
perempuan juga memiliki kesempatan yang terbuka untuk memimpin suatu masyarakat
(Hak. 4:4-16). Disisi lain dalam konteks budaya memang ada suatu ajaran yang
tidak dapat diganggu gugat, hal itu disebabkan oleh aturan yang mengkondisikan
perempuan untuk tidak memiliki kebebasan bagi dirinya sendiri. Dalam tradisi
budaya perempuan dapat menjadi korban kepentingan dan keselamatan laki-laki.
Contohnya: untuk menyelamatkan suami dari bahaya dan ancaman, perempuan boleh
diserahkan (Hak. 19:22-26). Perempuan boleh dihukum dengan brutal, diusir dari
rumah (Im. 21 dan Ul. 24:1-3). Dalam aturan undang-undang Keyahudian ditegaskan
bahwa seorang istri lebih lama kenajisannya ketika melahirkan seorang anak
perempuan (Im. 12:1-5).
2.4.
Peran Perempuan dalam Alkitab
2.4.1. Dalam Perjanjian-Lama
Sejak awal
manusia diciptakan laki-laki dan perempuan, dan keduanya adalah sama. Dalam
sejarah bangsa Israel, tidak dapat kita sangkal lagi bahwa umat Israel memiliki
pola tatanan patriakhat. Akan tetapi ditengah-tengah kebudayaan ini, Allah
dapat mempergunakan perempuan untuk berperan dalam kehidupannya dan dapat
menjadi teladan, antara lain:
a.
Kedua bidan Sifra dan
Pua (Kel. 1:15-21). Mereka adalah perempuan-perempuan yang pemberani untuk
menghadapi resiko yang sangat mengancam kehidupan mereka. menjadi teladan bagi
setiap orang yang melawan perintah yang merusak hidup yang diberikan Allah.
Mereka juga berperan dalam menentukan sejarah dengan menyelamatkan Musa.
b. Hulda,
yaitu nabiah yang dipanggil Allah dan diutus Allah untuk bertindak sebagai
pembawa firmanNya (2 Raj. 22:11 dst).
c. Miryam,
yaitu saudara perempuan Musa (Kel. 15:20). Ia dijadikan Allah sebagai pemimpin
umat Israel, ketika umat Israel sudah menyebrang laut Teberau. Ia memukul
rebana dan memimpin para perempuan menyambut pembebasan (Kel. 15:21)
d. Selanjutnya
Allah juga mengangkat perempuan sebagai nabiah sekaligus hakim yaitu Debora,
selain memimpin perang ia juga menjadi wakil Allah dalam menyelesaikan
perkara-perkara yang ada dalam bangsa Israel (Hak. 4&5). Ia adalah
perempuan yang berani mempertaruhkan nyawanya bagi janji Tuhan.[11]
e. Abigail
(I Sam. 25:2-44), yaitu seorang perempuan berhikmat yang berhasil menghindarkan
kekerasan yang akan menimpa keluarga besarnya dan yang membahayakan masa depan
Daud.
f. Ester,
dalam narasi Ester, kita melihat bagaimana ia menjadi mitra seorang laki-laki
yakni mordekhai dalam menyelamatkan bangsa Israel dari ancaman Haman, Ester
bukan hanya mengingatkan suaminya supaya bertindak adil dan memperhatikan
keselamatan orang banyak, tetapi juga bertindak langsung untuk menyelamatkan
Israel (Est. 5:1-14).[12]
g. Naomi
dan Rut, yang menjadi teladan bagi kita adalah iman Rut. Imannya kepada Allah
memberi dinamika dan kekuatan besar yang luar biasa. Baik dalam mengembangkan
kepribadiannya yang kokoh maupun dalam menyatakan keterlibatannya dan
peranannya. Karena imannya yang teguh Rut berani melakukan pekerjaan yang besar
dalam situasi dan kondisi yang menantang.[13]
2.4.2 Dalam Perjanjian Baru
Dalam perjanjian
baru perempuan dipilih dan mendapat peran yang sangat besar dalam hal karya
Allah untuk menyelamatkan dunia ini, yakni melalui maria yang melahirkan Yesus
Kristus. Kesempatan yang diterima Maria
tersebut merupakan proses pengembalian citra perempuan kepada bentuknya yang
semula.[14]
Peran perempuan didalam kitab PB dapat semakin kita lihat dengan jelas dari
sikap Yesus terhadap perempuan. Yesus hidup didalam budaya dimana perempuan
dipandang rendah, namun Yesus justru mengangkat harkat dan martabat perempuan
pada masanya. Beberapa sikap Yesus terhadap perempuan dapat kita lihat sebagai
berikut:
a.
Mat. 15:21-28. Ketika
seorang perempuan kanaan meminta kepada Yesus untuk menyembuhkan anaknya yang
kerasukan setan. Pada ayat 23 jelas tertulis bahwa murid-murid Yesus tersebut
terganggu dengan kedatangan perempuan itu akan tetapi yesus menunjukkan
sikapnya yang berbeda. Artinya Yesus tidak melihat kesempatan kesembuhan anak
dari perempuan yang datang itu. Melainkan siapapun memiliki kesempatan yang sama
untuk datang kepada Yesus.
b. Mat.
26:6-13. Ketika Yesus diurapi oleh seorang perempuan di Betania, tepatnya
dirumah Simon. Sangat jarang seorang perempuan berani mengurapi seorang
laki-laki. Hal yang menarik adalah perkataan Yesus yang mengatakan bahwa tindakan
perempuan itu akan diingat diseluruh dunia dimana injil diberitakan.[15]
c. Luk.
8:1. Ketika Yesus melayani dari kota ke kota. Dalam hal ini Yesus tidak hanya
ditemani oleh murid-muridnya yang laki-laki tetapi juga ditemani oleh
perempuan. Semua perempuan itu awalnya adalah lemah secara rohani dan jasmani
seperti halnya Maria magdalena yang kerasukan setan akan tetapi yesus
menyembuhkan dia. Bukan hanya menyembuhkannya tetapi juga menjadi kesaksian
bagi orang lain yakni melalui pelayanannya bersama-sama dengan Yesus.
d. Luk.
7:36. Dalam nats ini kita dapat melihat bagaimana Yesus memberi kesempatan
kepada seorang perempuan pelacur untuk melakukan hal yang menjadi kerinduannya.
e. Luk.
10:38. Yesus datang ke rumah Maria dan marta, dalam hal ini berarti Yesus tidak
hanya memberikan pengajaran kepada laki-laki saja tetapi kepada perempuan. Dalam
kisah ini yang menjadi perhatian adalah: Pertama,
tidak benar kalau perempuan harus bekerja dibagian dapur saja. Kedua, Perempuan juga memiliki hak untuk
menerima pengajaran.
f. Yoh.
4:7. Yesus yang berdialog dengan seorang perempuan samaria dan pada akhirnya
justru seorang perempuan samaria yang sama sekali tidak dianggap pada masa itu
justru menjadi saksi bagi seisi kota dan orang-orang yangmendengar kesaksiannya
menjadi percaya.
g. Yoh.
8:1-11. Sikap Yesus terhadap perempuan yang kedapatan berzinah. Ia tidak
menghukum perempuan itu tetapi juga tidak membenarkan tindakannya tetapi Yesus
memberikan kesempatan kepada perempuan itu untuk tidak berbuat dosa lagi.[16]
Alkitab
dalam perjanjian baru mencatat bahwa perempuan terlibat aktif didalam pelayanan
Yesus meskipun Yesus tidak pernah mengangkat perempuan menjadi rasul, akan
tetapi kepada perempuanlah Yesus menampakkan dirinya untuk pertama kalinya
setelah kebangkitannya.
2.5
Pengertian Ketidakadilan
Pada hakekatnya
keadilan adalah kata sifat yang artinya adalah sifat yang adil atau tidak berat
sebelah. Jon Sobrino mengatakan ketidakadilan adalah kekerasan dalam arti yang
sebenarnya, karena ia mengucilkan mayoritas secara tidak adil dan dengan
kekuatan dari dasar-dasar kehidupan dan kehidupanitu sendiri.[17]
Ketidakadilan sebenarnya adalah kekerasan yang paling nyata. Kata ketidakadilan
adalah lawan dari keadilan dimana kedua kata ini berasal dari satu kata dasar
yang sama yaitu adil.
2.6
Latar Belakang Terjadinya Praktek Ketidakadilan Terhadap Perempuan
Hal penting yang
menjadi latang belakang dari terjadinya ketidakadilan terhadap kaum perempuan
adalah dengan adanya sistem patriakhat. Pada mulanya kata “Patriakhat” memiliki
arti sempit, yaitu yang menunjukkan kepada sistem secara historis yang berasal
dari hukum Yunani dan Romawi, dimana kepala rumah tangga laki-laki memiliki
kekuasaan hukum dan ekonomi yang mutlak atas anggota keluarganya. Yang
mutakhir, istilah patriakhat mulai digunakan diseluruh dunia untuk
menggambarkan dominasi laki-laki terhadap perempuan dan anak-anak didalam
keluarga dan ini berlanjut kepada dominasi laki-laki dalam semua ruang lingkup
kemasyarakatan lainnya.[18]
Menurut studi
Antropologi dan sejarah terjadi pembagian kerja antar laki-laki dan perempuan
yang bersifat hierarkis. Masalah utama yang perlu diteliti adalah pembagian
kerja menurut jenis kelamin yang sederajat menjadi kurang sederajat.[19]
Segresi (pemisahan) pekerjaan menurut jenis kelamin adalah mekanisme utama
dalam masyarakat kapitalis yang mempertahankan siperioritas laki-laki terhadap
perempuan karena dengan adanya hal tersebut upah kerja bagi perempuan menjadi
lebih murah dalam pasar tenaga kerja. Proses inilah yang menjadi penyebab
berlanjutnya sistem patriakhat menjadi kekuasaan dibidang publik sedangkan
perempuan tetap berada di ranah domestik. Segresi dalam angkatan kerja menurut
jenis kelamin ini terbagi dua yaitu, segresi horizontal dan segresi vertikal.[20]
Dengan adanya pembedaan jenis pekerjaan menurut jenis kelamin, maka hal ini
membuat timbulnya masalah ketidakadilan terhadap perempuan.
2.7
Faktor-faktor penyebab ketidakadilan Perempuan
Beberapa faktor
pengdukung timbulnya ketidakadilan terhadap kaum perempuan dari budaya
Patriakhat, yaitu: Pertama, perbedaan
pandangan dan perlakuan antara laki-laki dan perempuan pada umumnya didasarkan
pada kodrat perempuan untuk mengandung atau pun mempunyai anak. Dengan sistem
reproduksinya, perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah dan patut untuk
dilindungi. Kodrat yang berbeda ini seakan-akan membuat bahwa seorang perempuan
harus berperan dirumah tangga yang berurusan dengan penyediaan makanan dan
menjaga kebersihan rumah.[21] Kedua, dalam sistem pendidikan. Sistem
pendidikan baik di keluarga maupun disekolah telah memisahkan laki-laki dan
perempuan. Didalam pendidikan rumah, secara sadar ataupun tidak orangtua
seringkali menempatkan anak perempuan untuk aktif didalam rumah, sangat jarang
memberikan pekerjaan itu kepada anak laki-laki karena kekhawatiran anaknya akan
menjadi banci.[22]
Ketiga,
dalam masyarakat ada pergaulan laki-laki dan perempuan tetapi memberikan
perbedaan-perbedaan, baik secara fisik maupun psikis. Berdasarkan perbedaan ini
laki-laki diidentikkan dengan sosok yang kasar, besar dan kuat. Keempat, pengaruh ideologi negara dan
budaya global. Konteks ini berbicara mengenai ideologi phallocentrisme, dimana
laki-laki menjadi pusat dan kriteria segala sesuatu. Berarti laki-lakilah yang
mendominasi model pemahaman, keyakinan-keyakina moral, dan kognitif tentang
manusia, masyarakat dan dunia serta hubungan antara ketiga hal ini.[23] Kelima,penafsiran yang salah atau
menyimpang dari nats-nats yang ada dalam kitab suci, yang mempertahankan sistem
patriakhat sebagai resistensi terhadap kekuasaan, dominasi laki-laki terhadap
perempuan. Misalnya, penafsiran kitab suci didalam agama Kristen, seperti dalam
surat Paulus tentang sikap perempuan dalam ibadah (I Tim. 2:1-15). Demikian juga
dengan penafsiran tentang perempuan yang diambil dari tulang rusuk laki-laki. [24]
Max weber
mengatakan bahwa budaya dan ideologi sangat mempengaruhi mobilitas kaum
perempuan. Bagaimana budaya dan ideologi itu dapat membangun suatu hubungan
sosial yang seimbang, egaliter, tergantung dari apa dan bagaimana sasaran dan
tujuan yang hendak mereka capai. Namun dalam hal ini budaya dan ideologi yang
patriakhis bukanlah suatu budaya yang memberi kesempatan kepada perempuan untuk
tumbuh, berkembang dan maju, malah sebaliknya berusaha untuk mendominasi kaum
perempuan didalam segala aspek kehidupan yang membuat matinya kreativitas
perempuan dan tidak memberi kesempatan bagi perempuan untuk mengaktualisasikan
dirinya.[25]
2.8
Bentuk-Bentuk Ketidakadilan terhadap Perempuan
2.8.1 Ketidakadilan menurut jenisnya
a.
Secara Fisik
Ketidakadilan
secara fisik yang dialami perempuan mengartikan adanya organ tubuh ataupun
bagian tubuh tertentu yang terluka baik itu karena dianiaya, ditampar, ataupun
dipukul bahkan tak jarang hingga terjadi pembunuhan. Hal ini sering kali
dikatakan sebagai kekerasan. Jika ditelusuti lebih dalam lagi maka sering kali
laki-laki menjadi pelaku dan perempuan menjadi korbannya. Dalam lingkungan
keluarga saja misalnya, yang jadi pelaku bisa saja pasangan, anak ataupun
orang-orang yang berhubungan dekat dengan si korban.
b. Secara
Seksual
Masalah
ini sering kali terjadi bagi kaum perempuan dan sangatlah memprihatinkan bahwa
korban dari tindakan ini semakin meningkat disetiap tahunnya.[26]
Ketidakadilan terhadap perempuan sudah menjadi bagian yang ibtegral dari
fenomena ketidakadilan secara umum. Serangan-serangan seksual terhadap
perempuan muncul sejalan dengan meningkatnya kekerasan dimasyarakat. Tindakan
ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
1.
Tindakan ini dilakukan dalam bentuk teror oleh laki-laki terhadap perempuan
yang biasanya menjadi bawahannya, atau barangkali masa depan si perempuan
berada padanya dengan tujuan supaya siperempuan mau melayani kebutuhan
seksualitasnya.
2.
tindakan ini muncul dikarenakan ketakutan laki-laki menghadapi resiko. Awalnya
hubungan seksual itu dilakukan atas dasar suka sama suka namun karena hasil
dari perbuatan tersebut dan laki-laki tidak mau bertanggung jawab sehingga
memicu kepada penganiayaan dan tak jarang perempuan itu dibunuh. [27]
c.
Secara Psikis
Ketidakadilan
yang dimaksudkan disini ialah yang berhubungan dengan psikis atau
mental/kejiwaan seseorang. Secara kasat mata perempuan yang mengalami hal ini
tidak kelihatan, namun akibat yang ditimbulkannya sangatlah menyiksa si korban,
mulai dari rasa takut, trauma, tertekan sampai pada tahap gangguan kejiwaan.
Dilain pihak sering kali perempuan memendam/ tidak menceritakan serta tidak
mencari pertolongan kepada orang lain. Sehingga apa yang dia alami akan terus
tersimpan dalam ingatannya yang menyebabkan beban hati ataupun tekanan yang
seakan-akan menghimpit hatinya yang tidak bisa dilepaskan.
Banyak
dari perempuan akan mengatakan bahwa sebenarnya luka yang paling menyakitkan
adalah luka yang tidak kelihatan. Dan kategori yang termasuk kedalam hal ini
adalah pedihnya pengkhianatan, perasaan tak berdaya kehilangan kebebasan,
menghancurkan martabat, caci maki, fitnah, dan lain sebagainya.[28]
2.8.2 Ketidakadilan menurut tempatnya
1.
Ketidakadilan dalam rumah tangga
Bentuk ketidakadilan
ini bervariasi, mulai dari sekedar tamparan sampai pada penganiayaan yang bisa
mengakibatkan kematian.masalah ini sering terjadi dalam kasus pemukulan suami
terhadap istrinya dan pada dewasa ini ditafsirkan secara luas sebagai
ketidakadilan terhadap kaum perempuan.[29]
2.
Ketidakadilan di Publik
Ketidakadilan
yang sering terjadi diluar rumah tangga adalah ditempat kerja atau
ditempat-tempat lain. Ketidakadilan disini tidaklah berbeda jauh dengan yang
terjadi di rumah tangga, karena pelakunya lebih sering adalah orang-orang
terdekat. Namun tidaklah tertutup kemungkinan bahwa antara korban dengan pelaku
tidak mempunyai hubungan apa-apa. Ketidakadilan yang terjadi disini bisa saja
dalam bentuk penganiayaan, ancaman kata-kata, sampai kepada tahap pembunuhan.
selain dari pada
hal diatas terdapat dua lagi jenis ketidakadilan lainnya, yaitu:
a.
Ketidakadilan ekonomi
Ketidakadilan
ekonomi merupakan tindkan yang mengakibatkan perempuan mengalami ketergantungan
secara ekonomi atau tereksploitasi, seperti kaum perempuan mendapat warisan
lebih kecil dari pada laki-laki, kemungkinan tidak diberi uang belanja oleh
suami. Dalam hubungan kerja juga, perempuan mendapat upah yang lebih rendah
daripada laki-laki. Menjual atau memaksa istri bekerja sebagai pelacur atau
menghambur-hamburkan penghasilan istri untuk bermain judi, minum alkohol, juga
merupakan ketidakadilan secara ekonomi.[30]
b. Ketidakadilan
sosial
Ketidakadilan
secara sosial berupa domestifikasi dimana perempuan dianggap bertanggung jawab
terhadap pengurusan rumah tangga. Mereka dituntut untuk mengurus rumah tangga
dan mengasuh anak walaupun mereka bekerja mencari nafkah sehingga membuat
perempuan tidak mau jauh dari rumahnya jika mereka bekerja.[31] Ketidakadilan
sosial berarti perampasan kemerdekaansecara sewenang-wenang, yang menyebabkan
terisolirnya seseorang dari lingkungan sosialnya.[32]tindakan
ketidakadilan ini merupakan konsekuensi dari sistem patriakkat yang sudah
mendarah daging dan yang beranggapan bahwa laki-lakilah yang menguasai
perempuan sehingga mereka dapat berlaku sesuka hati mereka karena mereka adalah
penguasa.
2.10
Perlakuan Gereja (Agama)
terhadap Perempuan
Periode akhir
abad pertengahan merupakan masa krisi kewibawaan gereja bersamaan atas
munculnya negara-negara baru. Pada masa ini kedudukan perempuan secara mental,
phisik dan moral, mulai berkurang. Dalam hubungan kekerabatan, perkawainan
mengalami perubahan. Jika seorang perempuan menikah maka pihaknyalah yang akan
memberikan mas kawin.[33]
Kehidupan perempuan dalam gereja juga memperihatinkan.pada abad ini, banyak
ordo keagamaan yang didirikan, sehingga jumlah perempuan dan laki-laki yang
memasuki biara makin bertambah. Biara menawarkan pendidikan yang tidak bisa
diperileh perempuan ditempat lain, mereka juga mendapat kepuasan melayani
Allah.[34]
Pada abad pertengahan tersebut potret perempuan terlihat juga dalam karya
Skolastik. Thomas Aquino mempersoalkan munculnya perempuan, dalam buku The Production Of The Woman.[35] Pada
saat itu ada asumsi mayarakat bahwa perempuan adalah manusia laki-laki (secara
biologis) yang cacat. Demikian juga ada anggapan bahwa perempuan dianggap sama
seperti tanah yang pasif saja menerima benih dari laki-laki. Perempuan tidak
mempunyai peran atau sumbangan apapun dalam terbentuknya manusia yang berada
dalam rahimnya.
Dengan adanya
persepsi yang salah mengenai perempuan seperti diatas maka thomas mengatakan
pendapatnya:
a.
Thomas Aquino
mengatakan pentingnya perempuan sebagai partner laki-laki dalam proses
prokreasi, disini belum tampak nilai kesetaraan perempuan dan laki-laki
b. Mengenai
ketaklukan perempuan, bagi Thomas perempuan harus tetap takluk pada laki-laki
dalam arti domestik (pekerjaan sehari-hari) bukan dalam arti perbudakan.
c. Mengenai
terjadinya perempuan dan laki-laki, Thomas menekankan betapa perlu dan
pentingnya perempuan dibuat dari laki-laki, sebab didalam diri laki-laki
terdapat prinsip dari seluruh kemanusiaan.
d. Mengenai
perempuan dari rusuk adam, Thomas memberi makna sakramental, dan secara
spesifik merupakan pencurahan berkat Allah. Dengan kata lain, Thomas menegaskan
bahwa perempuan tidak diambil dari kepala agar tidak berkuasa atas laki-laki
dan tidak diambil dari kaki agar tidak menjadi budak laki-laki.
e. Masalah
tentang perempuan diciptakan langsung oleh Allah, Thomas meyakini bahwa
perempuan dicipyakan langsung oleh Allah walaupun dengan cara yang berbeda
dengan penciptaan laki-laki.[36]
Gereja
dalam arti katanya, ternyata menurut komisi peremppuan dan anak[37],
gereja belumlah seperti apa yang sebenarnya. Sepanjang sejarah gereja-gereja di
Indonesia khusunya ditemukan bahwa perempuan mencintai Gereja, namun tidak bisa
dipungkiri realitas gereja tidak mencerminkan keadilan bagi kaum perempuan.
Kenyataannya,
disadari atau tidak disadari gereja sering melenceng dari tugasnya. Telah
berabad-abad gereja membangun teologinya dalam pandangan tentang peranan
perempuan yang tidak setara dengan laki-laki.[38]
Gereja sudah terbiaa terlalu lama dengan tradisi bahwa kaum laki-lakilah yang
menentukan hal ihwal yang berhubungan dengan gereja. Artinya dalam gereja juga
terdapat praktek-praktek yang mencerminkan sikap yang tidak teologis bahkan
bertentangan dengan prinsip-prinsip penciptaan.
Salah
satu contoh nyata yang kita lihat adalah mengenai dogma gereja tentang
penahbisan perempuan. Dalam gereja katolik, gereja ortodoks, dan gereja-gereja
timur, yang semua disusun secara episkopa-hierarkis tidak pernah mentahbiskan
perempuan menjadi imam.[39]
Sementara itu dalam gereja protestan dibeberapa gereja masih saja ada
kekhawatiran bahwa menahbiskan perempuan berlawanan dengan kitab suci.[40]
Secara
umum ada tiga alasan gereja yang tidak mengijinkan penahbisan perempuan menjadi
pelayan gerejawi:
a. Dalam
perjanjian baru secara khusus dlam ajaran Yesus mengenai penahbisan menjelaskan
Dia sebagai yang hanya memanggil kaum laki-laki. Perjanjian lama menyajikan
tidak ada perempuan sebagai pejabat yang berfungsi di bait suci, dan perjanjian
baru melarang perempuan untuk erbicara didalam gereja.
b. Kaum
rohaniawan melaksanakan fungsi perwakilan ganda, mereka mewakili umat kepada
Allah dan Allah kepada umat, demikian argumentasinya
c. Yesus
adalah laki-laki dan Allah disimbolkan sebagai laki-laki, seorang perempuan tidak
dapat menjadi simbol untuk Allah. Perempuan memiliki kekurangan dalam hal
keseruan alamiah yang diperlukan untuk memainkan peranan sebagai seorang imam.[41]
Perkembangan
selanjutnya yang cukup melegakan adalah melalui PGI, usaha-usaha yang dilakukan
departemen perempuan dan anak dalam Pra Sidang Raya PGI XIV PGI
merekomendasikan kepada gereja bahkan kepada pemerintah untuk menghapuskan
segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan melalui berbagai upaya.[42]
Semua
usaha yang dilakukan PGI dapat dikategorikan sebagai bentuk pemberdayaan
Perempuan yang dilakukan di Indonesia. Walaupun ada usaha dari PGI, namun perlu
diingat bhawa masih banyak gereja-gereja di Indonesia yang harus mengevaluasi
kembali program-programnya karena masih banyak gereja terkurung dalam paham patriakhat.
Potret
kaum perempuan yang sering digambarkan oleh kitab suci dan tradisi dalam semua
agama sebagai pribadi yg tidak memiliki subyektivitas manusia yang utuh tetapi
hanya memperolehnya dari orang lain, sebagai milik suami atau ayah.[43]
Pengaruh ajaran agama dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap perempuan
adalah sangat besar yang mana ajaran agama Kristen mengajarkan bahwa perempuan diciptakan
dari tulang rusuk adam, yaitu personifikasi dari kaum laki-laki. Perempuan yang
dianggap berasal dari laki-laki, maka perempuan dianggap lebih rendah dari
laki-laki. Selain itu perempuan juga yang jatuh pada bujuk rayu iblis
menambahkan suatu anggapan yang semakin kuat yang menyatakan bahwa perempuan
yang lemah dalam hal fisik dari pada laki-laki.[44]
Beberapa
kemungkinan yang menyebabkan perempuan dijadikan makhluk nomor dua setelah
laki-laki diantaranya:
a. Umat
beragama salah menafsirkan teks dalam kitab suci sehingga keliru dalam
memperlakukan perempuan
b. Umat
beragama salah menetapkan tafsir otentik teks suci, artinya tafsirnya sungguh
otentik dan benar namun umat tersebut salah dalam menerapkan perlakuan terhdap
perempuan
c. Umat
beragama tidak menafsirkan teks suci tetapi langsung menerapkan secara hurufiah
apa yang tertulis didalamnya.[45]
2.11
Upaya penanggulangan Ketidakadilan bagi Kaum Perempuan
Dalam kaitan ini
siapakah yang harus berjuang untuk mengupayakan penganggulangan ketidakadilan
yang dialami oleh perempuan? Tentunya jawaban kita adalah semua pihak yang
terkait yakni, pemerintah, kaum laki-laki, kaum perempuan, kaum ulama, dan para
pendeta harus turut serta. Penyadaran untuk gidak bertahan dalam keadaan yang
tidak adil inilah yang ahrus pertama sekali dipahami oleh semua pihak terutama
kaum perempuan. Banyak perempuan yan tidak punya cukup keberanian dalam melawan
dan menyuarakan hak-haknya yang telah banyak dirugikan. Setelah perempuan
menikah mereka diwajibkan untuk menjaga nama baik suami dan keluarganya secara
penuh untuk itu merka tidak akan berani menyalurkan dan membela dirinya karena
itu akan dianggap mencemarkan nama baik suami dan keluarganya.
Sehubungan
dengan hal tersebut bila perempuan ingin mendapatkan posisi yang setara dengan
laki-laki dan adil, maka slah satu cara yang dapat ditempuh adalah terus
berpikir kritis dan menyuarakan pikiran tersebut. Namun pembebasan hakiki bagi
perempuan tidak akan tercapai selama belum adanya usaha maksimal yang tumbuh
dari hati nurani perempuan, dan bukan sekedar keputusan dari pihak penguasa
atau pemerintah.[46]
Tabiat dari pada penguasa akan selalu menjaga sistem yang berlaku, yaitu sistem
kelas Patriakhal, kapitalis atau non kapitalis. Yaitu sistem yang membedakan
manusia atas dasar kelas, jenis kelamin, agama, warna kulit, etnis, dan
lainnya. Perempuan harus bangkit dan bersama-sama berjuang dalam mengembalikan
pisisi perempuan yang setara dan mendapat perlakuan adil dalam segala bidang
kehidupan ini.
Selain kesadaran
dan semangat yang penuh dalam berjuag untuk keadilan perlu kita ketahui bahwa
peran pemimpin agama dalam menyampaikan ajaran yang benar tentang kedudukan dan
keberadaan perempuan yang sesuai, ajaran agama sangat punya pengaru yang cukup
besar dalam mengembalikan permpuan pada posisi yang sebenarnya. Tidak ada
alasan yang untuk membenarkan perlakuan yang tidak adil yang dialami oleh kaum
perempuan. Selain itu memang sangat tidak mungkin kita menghapus kebudayaan
yangada didalam kehidupan ini. Tetapi bukan tidak mungkin unsur-unsur
kebudayaan yang merugikan baik pihak laki-laki maupun perempuan harus
dihapuskan karena kebudayaan maupun adat ada untuk mengatur kehidupan ini
semakin damai dan teratur.
Bagi perempuan
yang sudah menikah, mereka memiliki peranan yang secara terpisah dapat
dimainkan oleh perempuan:
1.
Peranan sebagai istri
dan ibu secara tradusional
2. Sebagai
pendamping setia suami atas izinnya, ikut berpartisipasi untuk kesenangan dan
kegembiraan bersama, seperti yang ingin dicapai oleh individu pada umumnya
3. Sebagai
partner dan berperan tidak bergantung secara ekonomis kepada suami dan punya
kuasa yang sama dalam mengelola keluarga.
Dengan
memahami peran perempuan yang sudah menikah diatas adalah langkah awal yang
baik untuk mengembalikan keadilan bagi perempuan. Dari peranan diatas berarti
seorang istri adalah partner kerja suami dlam menjalankan roda kehidupan rumah
tangga bukan seorang pembantu sedangkan jika istri berperan sebagai pembantu
maka yanggung jawab yang berbeda yang akan terjadi. Maka haruslah jelas bahwa
peran perempuan dan laki-laki adalah sama didalam menciptakan dan menjalankan
kehidupan keluarga. Didalam kesamaan harkat dan martabat laki-laki dan
perempuan tersebut jelaslah bahwa tidak ada satu alasan pun untuk menerima
perlakuan yang tidak adil bagi salah satu pihak.
III.
Analisa
Ketidakadilan
terhadap kaum perempuan dapat kita katakan sebagai hasil dari sebuah statement
ataupun bisa dikatakan sebuah mitos yang mengatakan bahwa perempuan adalah
mahluk yang lemah, hal ini mengakibatkan perempuan termaginalkan
(terpinggirkan) secara ekonomi. Dalam kajian diatas tampak bahwa ketertindasan
ataupun ketidakadilan yang dialami kaum perempuan merupakan masalah yang
kompleks. Perempuan diperhadapkan pada situasi yang menyulitkan keduduknnya.
Bahkan memang tidak kita pungkiri ada juga upaya-upaya dari lembaga-lembaga
pemberdayaan bahkan gereja-gereja untuk menanggulangi masalah ini namun upaya
tersebut seakan-akan belum menemukan jalan keluar.
Dengan
adanya permasalah ketidakadilan ini dituntut suatu perubahan mendasar bagi
setiap orang, baik secara individu, laki-laki dan perempuan, maupun secara
struktural gereja. Ketidakadilan yang dialami perempuan bisa saja akibat dari
sistem yang berlaku (patriakhat), maupun akibat penafsiran yang salah terhadap
isi Alkitab, hal ini dapat melemahakn kaum perempuan itu sendiri. Dalam kondisi
yang mengalami ketidakadilan, maka perempuan dapat mengalami kemunduran fisik
maupun psikis. Untuk itu tentu saja dpat kita maklumi dengan melihat jumlah
peran aktif perempuan yang masih terbatas dibandingkan dengan laki-laki sebab
kaum perempuan telah mengalami tindak ketidakadilan yang nerlangsung sudah
selama berabad-abad.
Namun
dari pandangan Alkitab khususnya tentang penciptaan dan dari pandangan Yesus
terhadap perempuan, maka penulis merasa sudah waktunya bagi perempuan untuk
menemukan dirinya sendiri tentang apa yang dapat dan yang harus dilakukan dan
apa yang ingin mereka lakukan. Proses untuk berusaha bangkit dari lumpur
ketidakadilan ini memang memerlukan keberanian untuk merubah pola pikir setiap
orang tentang sistem yang berlaku dan struktur yang ada dlam masyarakat.
Keberanian
yang disebutkan diatas harus didukung oleh kepercayaan diri yang
sungguh-sungguh dari perempuan terhadap segala kemampuan yang ada pada diri
perempuan itu dan hal tersebut harus ditampilkan. Dalam luk. 2 tentang nyanyian
pujian Maria, ada hal menarik yang dapat menjadi perhatian kita yaitu bahwa
Allah memperhatikan orang-orang yang rendah dan memerangi orang-orang yang
tinggi. Maria berfungsi sebagai seorang penyuara kebebasan.
Berdasarkan
hal tersebut seharusnya gereja diharapkan juga dapat memberi perhatian kepada
ketidakadilan dan pelecehan nilai-nilai kemanusiaan yang berlangsung
ditengah-tengah masyarakat. Kasus-kasus tersebut menimpa perempuan cukup
banyak, tenaga kerja perempuan, kasus pemerkosaan, perceraian, pemukulan yang
didiamkan, perzinahan, dan bahkan yang tertekan dalam ekonomi. Mereka inilah
yang membutuhkan orang-orang yang mau menyuarakan keadilan dan kebebasan dari
ketidakadilan yang dialaminya. Perjuangan ini harus mendapat dukungan dari
gereja baik dalam sistem maupun ajaran-ajaran yang relevan. Yesus telah datang
supaya manusia dapat hidup dalam kesejahteraan. Oleh sebab itu jika kita tetap
diam dihadapan ketidakadilan yang dialami perempuan berarti kita mengubah
gambar Allah. Kalau gereja-gereja menyatakan keadilan, tidak mungkin gereja
tidak memperdulikan begitu banyaknya ketidakadilan yang terjadi terhdap perempuan.
Gereja
harus meninggalkan tradisi-tradisi teologi yang menyalahgunakan penderitaan dan
salib Yesus sebagai pembenaran penderitaan perempuan yang tidak perlu. Yesus
memanggil perempuan dan laki-laki menjadi pengikutnya. Tidak ada tempat untuk
diskriminasi terhadap perempuan baik dalam kehidupan sosial maupun dalam
kehidupan gereja.
Gereja
seharusnya terpanggil untuk dapat menyuarakan bahwa tindakan ketidakadilan
ataupun penindasan terhadap perempuan adalah dosa, bukan sebagai pelanggaran
hukum semata. Kekuasaan gerejawi diberikan oleh Tuhan dan tetap berada dibawah
kekuasaan Tuhan. Kekuasaan gereja seharusnya sensitif terhadap penderitaan
perempuan yang disebabkan oleh ketidakadilan yang dialaminya dan mendukung
mereka, memperhatikan kesejahteraan mereka seperti yang Yesus lakukan. Dengan
demikian permasalahan ketidakadilan terhadap perempuan ini dapat dilihat secara
menyeluruh tidak hanya disatu sisi saja namun dapat secara praktis dan
teologis.
IV.
Refleksi
Teologis
Didunia
ini ada dua mahluk manusia yang berbeda jenis kelaminnya. Hal ini merupakan
suatu hal yang nyata. Ini harus diterima sebagai bagian dari ciptaan Allah dan
bagian dari rencana penyelamatan Allah. Dua manusia yang berbeda jenis kelamin
itu diciptakan Allah dalam rupa dan gambar-Nya sendiri. Maka martabat manusia
harus dijaga dan dihormati, karena martabat manusia adalah ungkapan martabat
Allah. Perempuan juga adalah ciptaan Tuhan, jadi dia perlu diperlakukan dan
dihargai sebagai manusia. Allah menciptakan seorang perempuan sebagai “penolong
yang sepadan”. Dalam hal ini bukan berarti sekedar membantu atau keberadaan
perempuan diciptakan tidak hanya sebagai istri atau sebagai pembantu yang cocok
untuk suaminya melainkan sebagai penolong yang sepadan dan yang berhadapan
didepannya bukan dibelakang suami.
Perbedaan
jenis kelamin bukanlah perbedaan derajat, golongan atau martabat, tetapi
perbedaan jenis hendak menunjukkan variasi dari ciptaan Allah yang sempurna dan
dalam rangka untuk melaksanakan tanggung jawab yang diberikan Allah kepada
manusia. Perjuangan untuk kesamaan martabat antara laki-laki dan perempuan
ataupun dalam memperjuangkan keadilan bagi perempuan telah dibuat Yesus ketika
masih berada di dunia ini. Dalam Yoh. 8:1-11 tentang perempuan yang berzinah,
nampak sekali sikap Yesus yang sangat berbeda dengan sikap masyarakat. Yesus
menentang budaya yang demikian dengan berusaha menyadarkan para pembesar Yahudi
bahwa semua manusia adalah pendosa dihadapan Allah.
Kesetaraan
laki-laki dan perempuan tidak perlu dimengerti secara dangkal, sebab kesamaan
dalam segala peran dan juga segala aktivitas yang dapat dilakukan oleh
laki-laki juga dapat dilakukan oleh perempuan. Meskipun laki-laki dan perempuan
memang diciptakan dengan konstruksi tubuh yang berbeda dengan kapasitas yang
berbeda dengan laki-laki, hal ini adalah supaya mereka dapat hidup bersama
dengan memuliakan Tuhan. Ketidakadilan terhadap kaum perempuan dari tahun ke
tahun memang semakin meningkat, hal ini bukan semata-mata sebagai permasalahan
perempuan saja namun harus menjadi masalah dan tanggung jawab pihak laki-laki
juga bahkan gereja dan agama serta lingkungan masyarakat.
Dari
hal ketidakadilan yang dialami perempuan oleh kaum perempuan, rasul Petrus memberikan
suatu teladan yang dapat menjadi pengharapan bagi setiap korban ketidakadilan
seperti tertulis dalam I Pet. 2:23. Pada nats ini tertulis ketika dia dicaci
maki, dia tidak membalas dengan caci maki, ketika dia menderita, dia tidak
mengancam, tetapi dia menyerahkannya kepada Tuhan, dan membiarkan Tuhan yang
membalas atau menghukum. Sehingga didalam mengalami ketidakadilan dalam hidup
ini hendaknyalah setiap kita dapat mengambil nilai positif, dan bukan nilai
negatif yang berarti menjauh dari Tuhan tetapi malah mendekatkan diri kepada
Tuhan atau mengingat bahwa ada Tuhan yang selalu setia melihat, mengetahui,
bahkan menolong setiap orang yang mengalami penderitaan termasuk didalam
ketidakadilan.
V.
Kesimpulan
Berdasarkan
pemaparan diatas maka kesimpulan yang dapat penulis ambil adalah bahwa masalah
ketidakadilan terhadap kaum perempuan terjadi mencakup hampir disegala bidang
kehidupan, baik didalam rumah tangga maupun diluar rumah tangga. Bila kita
melihat masalah ketidakadilan yang dilakukan terhadap perempuan yang sesama
ciptaan Allah maka berarti kaum perempuan hanya dilihat sebagai objek. Apapun
alasannya, setiap manusia tidaklah berhak memperlakukan orang lain dengan
sewenang-wenang tanpa menghargai haknya sebagai sesama mahluk ciptaan Allah
yang Imago Dei. Setiap individu
haruslah menghargai hak-hak orang lain dalam segala aspek kehidupan karena
setiap manusia mempunyai tanggung jawab dan hak yang sama didunia ini. Manusia
adalah sama dihadapan Allah sehingga tidak ada yang rendah dan tidak ada yang
tinggi, tidak ada yang nomor satu, nomor dua tetapi semuanya memiliki harkat
dan martabt yang sama dihadapan Allah.
VI.
Daftar
Pustaka
Adiprasetya,
Joas, Beberapa Potret perempuan dalam
(Kekristenan) Abad Pertengahan, Jakarta, 1998.
Al-sadawi,
Nawal & Hibah Rauf Izzat, Perempuan
agama dan moralitas antara nala feminis dan Islam Revivas, Jakarta:
Erlangga, 2002.
Arivia,
Gadis, “Kamus” dalam Jurnal Perempuan
III, Jakarta: Misi Prestatama, 1997.
Astuti,
Mary, Pendidikan Berspektif Gender,
Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Barth,
Marie Claire, Hati Allah Bagaikan Seorang
Ibu, Jakarta: BPK-GM, 2003.
Baso,
Zohra Andi, Perempuan Bergerak,
Sulsel: Yayasan Lembaga Konsumen, 2000.
Bergant,
Diane & Robert J., Kitab Kejadian dalam
Karri Pauline A. Viviano (ed.)., Tafsir
Alkitab PL, Yogyakarta: Lembaga Biblika Indonesia dan Kanisius, 2002.
Bone,
Indriani, “Teologi Feminis dan Konsep
Gender” dalam Berikanlah Aku Air Hidup Itu, Stephet Suleiman, Bendalina
Souk, Jakarta: PERSETIA, 1997.
Bone,
Indriani, Perempuan dalam Teologi,
Bogor: Institut Teologi Feminis, 1998.
Cleves
Mosse, Julia, Gender & Pembangunan, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002.
Dobash,
Russel P. & R. Emerson Dobash, dalam Adam Kuper & Jessica Kuper, Ensiklopedia Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid II,
2000
Douglas,
J.D., Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, M-Z,
Jakarta: YKBK/OMF, 2003.
Fromm,
Erich, Cinta, Seksualitas, Matriarki,
Gender, Yogyakarta: JALASUTRA, 2002.
Grey,
Mary, Peran Perempuan Dalam Mengatasi
Kekerasan , Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Hartman,
Heidi, Kapitalisme “Patriakhat &
Segresi Pekerjaan menurut jenis
kelamin”, Jakarta: Rajawali Press, 1987.
Heuken,
S.J.H., Ensiklopedi Gereja V “Tr-Z”,
Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1995.
Hommes,
Anne, Perubahan Peran Pria dan Wanita
dalam Gereja dan Masyarakat, Jakarta: BPK-GM, 1996.
Hutabarat,
Rainy MP. (Peny), Hasl-Hasil Pertemuan Wanita Gereja Pra Sidang Raya PGI XIV,
Jakarta: Departemen Perempuan dan Anak PGI, 2005.
Illich,
Ivan, Matinya Gender, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001
Jackson,
Jim & Jeff Olson, Mengatasi Kekerasan
Dalam Keluarga, Yogyakarat: Yayasan Gloria, 1995.
Jan
Plaiseir, Ariel, Manusia Gambar Allah
“Terobosan-Terobosan Dalam Bidang Antropologi Kristen”, Jakarta: BPK-GM,
2000.
Kleden,
Leo, Kekerasan Terhadap Perempuan Dan
Bagaimana Menyikapinya, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2003.
Luhulima,
Achie Sudiarti, Pemahaman Bentuk-Bentuk
Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Alternatif Pemecahannya, Jakarta:
P.T.Alumni, 2000.
Mite,
M. Beny, Menyiasati Teks Suci “Pandangan Kristiani
Tentang Ketidakadilan Terhadap Perempuan”, Jakarta: Yayasan Jurnal
Perempuan, 2008.
Murniaty,
Nunuk P., Peran Perempuan dalam Gereja,
Jakarta: LPPS, 1995.
Nadeak,
Wilson, Perempuan-perempuan pemberani, Bandung:
Yayasan Baptis Indonesia, 2005.
Ngazenan,
Mohammad, Kamus Etimologi Bahasa
Indonesia, Semarang: Dahara Preize, 1992.
Retnowati, Perempuan-Perempuan dalam Alkitab,
Jakarta: BPK-GM, 2000.
Ridjal,
Fauzie, Dinamika Gerakan Perempuan di
Indonesia, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1993.
Sairin,
Weinata, Iman Kristen dan Pergumulan
Kekinian, Jakarta: BPK-GM, 1996.
Saragih,
Jahenos, Suara Hati Anak Bangsa dengan
Solusinya, Jakarta: Suara Gereja Kristiani Yang Esa, 2006.
Simon
& Christoper Danes, Masalah-Masalah Moral Sosial Dalam Perspektif Iman Kristen,
Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Sobrino,
Jon, Agama Sebagai Sumber Kekerasan,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Stott,
Jhon, Isu-Isu Global, Jakarta:
YKBK/OMF, 2003.
Sunarto,
Kamanto, Pengantar Sosiologi Edisi kedua,
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2000.
Surjawa,
Polemik Gender¸ Yogyakarta: Pustaka
Belajar, 2001.
Sutrisno,
Loekman, Kemiskinan, Perempuan &
Pemberdayaan, Yogyakarta: Kanisius, 1997
Turner,
Bryan S., Teori-Teori Sosiologi
Modernitas Posmodernitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Urban,
Linwood, Sejarah Ringkas Pemikiran
Kristen, Jakarta: BPK-GM, 2003.
[1] Indriani Bone, “Teologi Feminis
dan Konsep Gender” dalam Berikanlah Aku Air Hidup Itu, Stephet Suleiman,
Bendalina Souk, Jakarta: PERSETIA, 1997, hlm. 142
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Gender_(sosial), (diakses tanggal 2 februari 2012)
[3] Gadis Arivia, “Kamus” dalam
Jurnal Perempuan III, Jakarta: Misi Prestatama, 1997, hlm. 17
[4] Surjawa, Polemik Gender¸ Yogyakarta:
Pustaka Belajar, 2001, hlm. 2
[5] Mohammad Ngazenan, Kamus
Etimologi Bahasa Indonesia, Semarang: Dahara Preize, 1992, hlm. 137
[6] Jahenos Saragih, Suara Hati Anak
Bangsa dengan Solusinya, Jakarta: Suara Gereja Kristiani Yang Esa, 2006,
hlm. 112-113
[7] Ariel Jan Plaiseir, Manusia
Gambar Allah “Terobosan-Terobosan Dalam Bidang Antropologi Kristen”,
Jakarta: BPK-GM, 2000, hlm. 17
[8] Erich Fromm, Cinta, Seksualitas,
Matriarki, Gender, Yogyakarta: JALASUTRA, 2002, hlm. 88
[9] Diane Bergant & Robert J., Kitab
Kejadian dalam Karri Pauline A. Viviano (ed.)., Tafsir Alkitab PL, Yogyakarta: Lembaga Biblika Indonesia dan
Kanisius, 2002, hlm. 38
[10] J.D. Douglas, Ensiklopedia
Alkitab Masa Kini, M-Z, Jakarta: YKBK/OMF, 2003, hlm. 240
[11] Wilson Nadeak, Perempuan-perempuan
pemberani. Bandung: Yayasan Baptis Indonesia, 2005, hlm. 55-59
[12] Retnowati, Perempuan-Perempuan
dalam Alkitab, Jakarta: BPK-GM, 2000, hlm. 37-38
[13] Ibid., hlm. 20
[14] Jhon Stott, Isu-Isu Global,
Jakarta: YKBK/OMF,2000, hlm. 343
[15] Jahenos Saragih, Op.Cit.,
hlm. 128
[16] Marie Claire Barth, Hati Allah
Bagaikan Seorang Ibu, Jakarta: BPK-GM, 2003, hlm. 75-88
[17] Jon Sobrino, Agama Sebagai
Sumber Kekerasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 56-57
[18] Julia Cleves Mosse, Gender &
Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 64-65
[19] Heidi Hartman, Kapitalisme
“Patriakhat & Segresi Pekerjaan
menurut jenis kelamin”, Jakarta: Rajawali Press, 1987, hlm. 505-506
[20] Segresi horizontal mengacu pada kenyataan bahwa pekerjaan perempuan
sering terkonsentrasi di jenis pekerjaan yang berbeda dengan jenis pekerjaan
yang dilakukan pekerja laki-laki. Sedangkan segresi vertikal, mengacu pada
terkonsentrainya pekerja perempuan pada jenjang rendah dalam organisasi,
misalnya, pramusaji, pramuniaga, kasir, tenaga kebersihan, dan sebagainya.
(Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi
Edisi kedua, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2000, hlm. 117)
[21] Mary Astuti, Pendidikan
Berspektif Gender, Yogyakarta: Kanisius, 2000, hlm. 71-72
[23] Zohra Andi Baso, Perempuan
Bergerak, Sulsel: Yayasan Lembaga Konsumen, 2000, hlm. 68-69
[24] Leo Kleden, Kekerasan Terhadap
Perempuan Dan Bagaimana Menyikapinya, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama,
2003, hlm. 41-42
[25] Bryan S. Turner, Teori-Teori
Sosiologi Modernitas Posmodernitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hlm.
247
[26] Loekman Sutrisno, Kemiskinan,
Perempuan & Pemberdayaan, Yogyakarta: Kanisius, 1997, hlm. 118
[27] Ibid., hlm. 120
[28] Jim Jackson & Jeff Olson,
Mengatasi Kekerasan Dalam Keluarga, Yogyakarat: Yayasan Gloria, 1995, hlm.
16
[29] Russel P Dobash & R. Emerson Dobash, dalam Adam Kuper &
Jessica Kuper, Ensiklopedia Ilmu-Ilmu
Sosial, Jilid II., hlm 1124
[30] Ivan Illich, Matinya Gender, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 4-17
[31] Fauzie Ridjal, Dinamika Gerakan
Perempuan di Indonesia, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1993, hlm. 84
[32] Achie Sudiarti Luhulima,
Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Alternatif
Pemecahannya, Jakarta: P.T.Alumni, 2000, hlm. 109
[33] Anne Hommes, Perubahan Peran
Pria dan Wanita dalam Gereja dan Masyarakat, Jakarta: BPK-GM, 1996, hlm.
192-222
[34] Indriani Bone, Perempuan dalam
Teologi, Bogor: Institut Teologi Feminis, 1998, hlm. 1
[35] Joas Adiprasetya, Beberapa
Potret perempuan dalam (Kekristenan) Abad Pertengahan, Jakarta, 1998, hlm.
1
[36] Nunuk P. Murniaty, Peran
Perempuan dalam Gereja, Jakarta: LPPS, 1995, hlm. 48
[37] Departemen Perempuan dan Anak yang dimaksudkan adalah departemen
perempuan PGI. Pada tanggal 24-27 November 2007 mengadakan pertemuan Raya
Wanita Pra sidang raya PGI XIV PGI di Wisma Kinasih Caringin Bogor
[38] Weinata Sairin, Iman Kristen dan
Pergumulan Kekinian, Jakarta: BPK-GM, 1996, hlm. 48
[39] S.J.H.Heuken, Ensiklopedi Gereja
V “Tr-Z”, Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1995, hlm. 105
[40] Simon & Christoper Danes,
Masalah-Masalah Moral Sosial Dalam Perspektif Iman Kristen, Yogyakarta:
Kanisius, 2000, hlm. 190-191
[41]Linwood Urban, Sejarah Ringkas
Pemikiran Kristen, Jakarta: BPK-GM, 2003, hlm. 491-492
[42] Rainy MP. Hutabarat (Peny), Hasl-Hasil
Pertemuan Wanita Gereja Pra Sidang Raya PGI XIV, Jakarta: Departemen
Perempuan dan Anak PGI, 2005, hlm. 9-10
[43] Mary Grey, Peran Perempuan Dalam
Mengatasi Kekerasan , Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 109
[44] Loekman Sutrisno, Op.Cit., hlm.
64
[45] M. Beny Mite, Menyiasati Teks
Suci “Pandangan Kristiani Tentang Ketidakadilan Terhadap Perempuan”, Jakarta:
Yayasan Jurnal Perempuan, 2008, hlm. 37-38
[46] Nawal Al-sadawi & Hibah Rauf Izzat, Perempuan agama dan moralitas antara nala feminis dan Islam Revivas,
Jakarta: Erlangga, 2002, hlm. 95-96
Tidak ada komentar:
Posting Komentar