GEREJA DAN
BAPTISAN
Oleh
: Chrisnov M. Tarigan
I.
Pembahasan
1.1.
Pengertian Gereja
Kata
gereja berasal dari bahasa Portugis yakni “Igreja” yang berarti milik Tuhan,
yang dimaksud dengan milik Tuhan adalah orang-orang yang percaya kepada Tuhan
Yesus sebagai Tuhan dan juruselamat. Dalam hal ini berarti gereja adalah
persekutuan orang beriman.[1]
Gereja pertama kali muncul pada masa turunya Roh Kudus yaitu Pentakosta.[2]
Kata lain untuk gereja adalah “Ekklesia”, yang berarti kumpulan dari
orang-orang yang dipanggil, dimana Tuhan memanggil orang-orang dan
mengumpulkannya menjadi satu persekutuan untuk memberitakan karya Allah yang
luar biasa.[3]
Jadi dapat dikatakan bahwa pengertian gereja adalah perkumpulan orang-orang
yang dipanggil menuju terang Kristus dan diutus kedunia untuk mengabarkan
berita kesukaan, sehingga lahirlah gereja Kristen.[4]
1.2.
Tugas Gereja
Tugas utama
Yesus datang kedunia adalah untuk menyelamatkan manusia dari dosa-dosanya dan
gereja dipakai Allah untuk melaksanakan tugasNya. Gereja dituntut untuk
melaksanakan tugasnya didunia ini. Dalam melaksanakan tugasnya, gereja dipenuhi
seluruh kepenuhan Allah ( Ef. 3:18-19 band. 4:3). Keputusan Allah ini
dinyatakan melalui karunia-karunia berbeda yang dianugrahkan oleh Allah[5].
Gereja bukanlah suatu organisasi orang-orang yang mau mendirikan suatu
perkumpulan guna suatu tujuan tertentu, melainkan orang-orang yang telah
dipanggil berhimpun, yaitu oleh Allah sendiri (Rm. 9:24; Ef. 4:1).[6]
1.3.
Pengertian Baptisan Secara Umum
Kata baptis
berasal dari kata Yunani yaitu: “baptizo” yang artinya: I Dip (saya mandi, saya
masuk kedalam air), I Sudmerge (saya menyelam kedalam air, saya merendam
didalam air). Pemandian atau penyelaman kedalam air ini baru menjadi “baptisan”
apabila dilaksanakan dengan suatu upacara seremonial agama yang khusus. Apabila
kata baptizo ini diikuti dengan kata depan ‘eis’ maka baptisan ini
mengindikasikan bahwa seseorang yang dibaptis menjadi milik kepunyaan Tuhan
(Mrk. 10:38). Baptisan merupakan salah satu dogma yang sangat penting dalam
gereja, maka seharusnya kita dapat memahami, mengetahui, dan mengerti akan arti
dan makna baptisan itu. Dengan kata lain baptisan merupakan sakramen yang
dilaksanakan oleh gereja disepanjang sejarah, karena baptisan merupakan sebagai
tanda, bukti atau sebagai materai tentang pembersihan dari segala dosa-dosa
manusia. Setiap orang percaya hendaklah dibaptis.[7]
Baptisan
ditetapkan oleh Allah untuk dilaksanakan oleh murid-muridnya sebagai mana yang
telah diamanatkan dalam Mat. 28:19-20. Janganlah menganggap baptisan itu tidak
penting, tetapi hendaklah kita memandang baptisan itu sebagai sesuatu yang baik
dan luhur dan menghormatinya.[8]
Verkuyl mengatakan
bahwa baptisan adalah merupakan suatu tanda dan ibarat sederhana untuk
ketergolongannya kepada umat Kristen. Siapa yang masuk menjadi anggota Gereja
Kristen, ia menerima tanda baptisan itu pada waktu ia digabungkan ke dalam
persekutuan gereja. Baptisan juga merupakan sebagai tanda dan meterai, yang
menunjukkan kepada kita suatu hal yang membuat kita rendah hati, yang
menunjukkan kepada kita bahwa kita pada dasarnya adalah najis dan tabiat lama
kita harus dimatikan. Baptisan juga dapat merupakan suatu pengampunan dari
Tuhan. Apabila kadang-kadang jatuh kedalam dosa karena kelemahan kita,
janganlah kita bimbang dan meragukan kasih karunia Tuhan, karena baptisan
memberikan kepastian kepada kita bahwa Tuhan tidak akan menolak kita jika kita
kembali lagi kepadaNya. Ia juga selalu membuat permulaan baru dengan kita.[9]
1.4.
Makna Baptisan Menurut PL
Makna baptisan
dalam PL sama dengan sunat. Ini dapat dilihat ketika Allah memerintahkan kepada
Abraham supaya ia bersunat dan menyunatkan keluarga berserta hamba-hambanya.
Perintah ini memiliki 3 makna yaitu:
1. Dalam
sunat dikatakan bahwa manusia yang disunat adalah najis (kotor). Kulub[10]
yang dipotong dari badan manusia itu menunjukkan bahwa kita semua pada dasarnya
adalah orang-orang yang jahat, najis dan kotor. Segala sesuatu yang menentang
kehendak Tuhan haruslah dipotong dari tubuh kita.
2. Darah
yang tercurah pada waktu disunat menunjukkan bahwa untuk keampunan dosa kita
haruslah ada suatu korban dipersembahkan.
3. Sunat
adalah memanggil orang yang disunat itu kepada hidup baru. Bangsa Israel harus
hidup sebagai suatu bangsa yang baru, bangsa yang dikuduskan, diantara
bangsa-bangsa lainnya. Seluruh hidupnya harus dipersembahkan kepada Tuhan.[11]
Dalam Jemaat
Yahudi sunat menandai, mencirikan serta memateraikan orang yang menerima seumur
hidup. Keputusan dari menerima penyunatan itu bukanlah suatu persetujuan
sementara yang dapat dibatalkan, diakhiri, dihilangkan, melainkan menjadi suatu
ikatan yang tetap, suatu sumpah setia yang kekal, sehingga orang yang telah
disunat memperoleh kelahiran kembali oleh perjanjian Allah kepada persekutuan
dengan Allah. Tidak dapat lagi mengundurkan diri dan menarik diri, melainkan
penerimaan janji Allah itu merupakan suatu keputusan yang berlaku
sedalam-dalamnya dan seerat-eratnya.[12]
1.5.
Pengertian Baptisan Menurut PB
1.5.1. Baptisan
Menurut Injil Sinoptik
Dalam PB
kedudukan sunat digantikan dengan baptisan karena sunat dianggap bagian dari
tuntutan hukum, sedangkan dalam Yesus Kristus, manusia dibebaskan dari tuntutan
hukum walaupun manusia sudah berdosa haruslah dibaptiskan sebagai tanda bahwa
manusia yang berdosa dipersatukan dalam Kristus dan menjadi ciptaan baru,
sebagaimana halnya didalam PL sunat merupakan satu tanda untuk memasukkan orang
ke dalam perjanjian kasih karunia Tuhan Allah sehingga orang tersebut menjadi
umat Allah, demikian juga didalam PB. Kata Baptisan berasal dari kata Yunani
yakni Baptizo yang secara harafiah artinya diselamatkan. Melalui baptisan kita
dipermandikan dalam Kristus dan dimasukkan ke dalam Perjanjian Allah yang telah
diperbaharui dan dipenuhi oleh Kristus.
Dalam Alkitab
kita mengenal 2 jenis baptisan, yaitu: Baptisan Yohanes dan Baptisan Tuhan
Yesus. Baptisan Tuhan Yesus ini bukan hanya menunjuk kepada Kerajaan Allah yang
masih akan datang, melainkan menjadi pengukuhan dari apa yang diwujudkan oleh
kedatangan Kristus. Pembaptisan yang dilakukan Yohanes Pembaptis sangat
menuntut dua hal dari umatNya, yaitu: (1) mereka terlebih dahulu bertobat, dan
(2) supaya mereka mengaku dosa-dosanya didepan umum. Setelah kedua hal ini
dilakukan maka mereka akan dibaptiskan. Jadi dapatlah dikatakan bahwa baptisan
Yohanes bertujuan untuk “bertobat dan mengaku dosa”.[13]
1.5.2. Baptisan
Menurut Rasul Paulus
Menurut Paulus,
Baptisan adalah merupakan cara untuk memulai masuk kedalam satu tubuh, yaitu
perhimpunan umat Kristiani (1 Kor. 12:13), yang mana menurut Paulus dalam
baptisan itu yang berperan adalah Roh Kudus. Menurutnya pembaptisan bertujuan
untuk semua orang tanpa mengenal golongan, perbedaan, bangsa, jenis kelamin,
dan kedudukan sosial, karena semua dipandang sudah “dibaptis dalam Kristus” dan
sebagai hasilnya mereka telah mengenakan Kristus ( Rm. 13:14; Ef, 5:26; Kol.
3:10).[14]
1.6.
Gereja Mula-Mula Dan Baptisan (30/33M – 313/590 M)
1.6.1. Gereja
dan Baptisan pada 30-150 Masehi
Dalam
gereja mula-mula, baptisan[15]
dilayankan dalam upacara sendiri, diluar kebaktian umum. Sebagai persiapan,
calon baptisan harus berpuasa. Ia menyatakan imannya dengan rumus tertentu
(yang kemudian berkembang menjadi Pengakuan Iman Rasuli). Lalu ia dibaptiskan,
pada umumnya dengan diselamkan (seluruhnya atau sebagian), tetapi kalau air
tidak cukup, maka penyiraman juga boleh. Seusai upacara, anggota gereja yang
baru itu dibawa kedalam kumpulan jemaat. Pada abad ke-2, pembaptisan anak-anak
ada, tetapi tidak sering, karena kebanyakan orang Kristen merasa bahwa dengan
itu, sakramen baptisan dianggap enteng. Pendapat ini didasari keyakinan bahwa
pembaptisan menganugerahkan pengampunan dosa; kalau setelah dibaptis orang
berdosa lagi, pengampunan itu harus diperoleh lewat perbuatan penyesalan yang
susah, dan dalam hal dosa berat malah sama sekali tidak memperoleh pengampunan.
Hal ini disebabkan karena disiplin gereja dipertahankan sangat ketat. Kalau
anggota jemaat kedapatan berbuat dosa, ia dikucilkan dari jemaat. Lagipula
selama abad ke-2 orang itu tidak diberi kesempatan untuk menyesal dan kembali
kedalam pangkuan gereja kalau dosanya termasuk yang berat yaitu: murtad,
pembunuhan, zinah.[16]
Mengenai
baptisan anak seperti yang sudah disebutkan diatas, dalam buka F.D. Wellem,
Alkitab tidak ada petunjuk langsung mengenai baptisan anak. Namun, dalam tradisi gereja, sekurang-kurangnya sejak abad
ke-3, anak-anak yang dilahirkan dari keluarga Kristen telah dibaptis sejak
kecil. Sejak zaman Perjanjian Baru, baptisan anak ditemukan dalam kenyataan bahwa anak-anak orang Kristen
dikatakan kudus sementara mereka masih berdosa (1 Kor. 7:14) dan tidak pernah
ada anjuran agar mereka meminta baptisan apabila mereka dewasa. Bahkan dalam
Kisah Para Rasul dikatakan bahwa “seisi rumah” dibaptis (Kis. 16:15; 18:8; bnd.
1 Kor. 1:16) sehingga bisa diduga bahwa anak-anak juga turut dibaptis. Dalam
Gereja Timur, baptisan anak diikuti dengan konfirmasi dan ekaristi; sedangkan
dalam Gereja Katolik Roma, konfirmasi ditunda sampai anak tersebut mempunyai
kesadaran sendiri dan biasanya hingga berumur 7 tahun.[17]
1.6.2. Gereja
dan Baptisan pada 180-313/590 M
Dalam Gereja Roma pada zaman Hippolytus
(170-235), ritus-ritus inisiasi, baptisan dan komuni pertama, diselenggarakan
bersama-sama pada malam Paskah. Dalam Kisah Para Rasul, baptisan sering
diselenggarakan segera setelah seseorang mengaku percaya kepada Yesus sebagai
Kristus, tetapi pada abad ke-3 pola itu berubah menjadi suatu proses yang lebih
berhati-hati. Di Roma suatu periode pengajaran tiga-tahun mendahului baptisan.
Pada malam Paskah para calon dibawa ke air, disitu mereka diceburkan kedalam
suatu kolam dan sedikit air dicurahkan ke atas mereka. Pada sebagian besar
Gereja awal, baptisan air diikuti oleh suatu pengurapan (di Roma, pengurapan
kedua oleh uskup merupakan ketentuan). Setelah pengurapan, para calon tersebut
mengikuti komuni pertama mereka dalam Ekaristi pertama yang dirayakan pada hari
Paskah.[18]
Para Bapa Gereja mula-mula memberikan
sejumlah makna Perjanjian Baru mengenai baptisan, walaupun dengan penekanan
yang berbeda oleh para pemikir yang berbeda. Misalnya, Gembala dari Hermas
menekankan kematian dan kebangkitan. Kita turun ke dalam air “mati” dan muncul
dari air “hidup”. Dalam surat Barnabas, pembasuhan dosa ditekankan, dan Clemens
dari Roma berbicara tentang “satu roh anugerah yang dicurahkan ke atas kita”.
Yustinus martir menjelaskan baptisan sebagai sesuatu yang menghasilkan
kelahiran kembali, pencerahan dan pengampunan dosa. Akhirnya, kita pun dapat
menyebut Ireneus, yang menulis, “Kita telah menerima baptisan untuk penghapusan
dosa dalam nama Allah Bapa, dan dalam nama Yesus Kristus sang Anak Allah, yang
telah berinkarnasi dan mati serta bangkit lagi, dan dalam nama Roh Kudus
Allah”. Dalam baptisan kita dibasuh Roh Allah yang dianugerahkan kepada kita,
dan menerima “citra surgawi”. [19]
Tentu saja semuanya ini ada dalam konteks menjadi seorang anggota gereja.
Karya Tertullianus On Baptism, yang ditulis pada tahun-tahun awal abad ke-3,
merepresentasikan sesuatu yang menonjol, seperti risalah pertama tentang salah
satu sakramen Injil. Namun, dalam karyanya, Againts
Marcion, Tertullianus memberikan ringkasan yang tepat tentang ajaran gereja
mengenai baptisan. Disana ia menjelaskan bahwa baptisan terdiri atas empat
karunia, yaitu penghapusan dosa, pelepasan dari kematian, kelahiran kembali,
dan penganugerahan Roh Kudus.[20]
Pada perjalanannya, baptisan didalam
gereja mengalami pergeseran dalam segi pemahaman. Baptisan itu sebenarnya tak
lain daripada suatu kotbah yang kelihatan tentang keampunan dosa oleh rahmat
Allah dalam Yesus Kristus. Tetapi sekarang jemaat mulai percaya bahwa dalam air
baptisan terkandung suatu khasiat istimewa, sehingga air itu menyucikan secara
magis-realistis; oleh kuasa ilahi itu setan dan pengaruhnya diusir dari badan
dan jiwa orang yang dibaptiskan itu. Dengan demikian orang yang baru dilahirkan
secara lahiriah-batiniah itu, berdiri suci-murni dihadapan Tuhan pada hari
baptisannya itu. Tetapi sesudah itu manusia harus bersandar lagi kepada
kebajikan dan amalnya sendiri. oleh karena itu timbullah dua jenis reaksi di
antara jemaat. Ada yang menunda baptisannya sampai menjelang ajalnya, supaya
kesucian yang diperolehnya daripada baptisan itu dapat diperlihatkan lebih
gampang sampai hari matinya[21].
Orang lain pula yang terdorong oleh pandangan yang magis ini lekas-lekas
membawa anak-anaknya supaya dibaptiskan dalam gereja, agar selekas mungkin
mereka ditarik keluar dari genggaman dosa dan iblis.[22]
Secara ringkas, praktik yang paling awal
adalah membaptis dengan air pada malam Paskah, kemudian diikuti pengurapan dan
komuni pertama. Bagi orang-orang dewasa, sebelum upacara yang khidmat ini, ada
suatu periode persiapan yang panjang, biasanya berlangsung selama tiga tahun. Katekhesis, sebutan untuk proses
tersebut, meliputi pelajaran, pelatihan, percobaan, dan partisipasi yang nyata
– namun terbatas – dalam peribadahan komunitas. Dari hal ini dapat dilihat
adalah suatu periode pembentukan spiritual yang radikal dari kehidupan sang
calon.[23]
1.7.
Gereja Pada Abad Pertengahan dan Baptisan (590-1492/1517 M)
Pada masa abad
pertengahan, gereja dipandang sebagai lembaga keselamatan ilahi[24]
yang berfungsi melalui pelayanan sakramen-sakramen. Maka yang penting ialah
membawa orang sebanyak-banyaknya masuk ke dalam persekutuan gereja yang
menyelamatkan, dengan jalan membaptis mereka. Pada masa itu, metode Misi
ditentukan oleh pandangan bahwa karunia dan daya pengaruh sakramen terutama
bergantuntg pada pelaksanaannya dengan ritus tepat. Wawasan opus operatum tetap dominan. Pada Abad
Pertengahan dan sesudahnya wawasan tersebut berdampak fatal terhadap praktek
pembaptisan, sebab membuatnya berubah menjadi upacara lahiriah yang bekerja di
luar kemauan dan keyakinan orang yang menerimannya.[25]
Persiapan
menjelang pembaptisan biasanya sangat singkat. Harus diakui bahwa unsure
pemberitaan Firman dan katekisasi tetap ada, tetapi pengajaran agama pada Abad
Pertengahan sangat tidak memuaskan dibandingkan dengan katekisasi pada zaman
Gereja Lama. Bahkan banyak para calon baptis, dibaptis padahal belum dapat
menghafal Pengakuan Iman Rasuli dan sama sekali tidak memahami tata kesusilaan
Kristen. Banyak juga para imam tidak mengharuskan para calon baptis dewasa
bersumpah akan melepasakan iblis dan belajar mengenai Allah Tritunggal. Banyak
orang dibaptis kendati mereka belum mengalami pertobatan hati.[26]
Bagi Gereja
Romawi, baptisan bukan kiasan dari pembasuhan dosa manusia oleh darah Kristus,
melainkan baptisan itu sungguh-sungguh menghapuskan dosa turunan dan segala
dosa yang diperbuat oleh orang itu sendiri. sebelum manusia dibaptiskan, dosa
turunannya masih melekat kepadanya, sehingga ia berada diluar lingkungan rahmat
dari keselamatan, dan pasti akan binasa. Berkenan dengan anggapan itu, Gereja
Roma mengizinkan baptisan darurat, jikalau seorang mau meninggal dunia dan imam
tidak dapat dipanggil lagi. Dalam hal yang demikian umpamanya seorang bayi yang
baru lahir tetapi barangkali akan mati, maka seorang awam boleh melakukan
baptisan darurat itu, misalnya bapa, bidan, tabib atau tetangga.[27]
Pada abad
Pertengahan, misi atau pengkabaran Injil juga berdampak pada praktek
pembaptisan yang dilakukan. Sesudah tahun 750, metode pengkristenan semakin
dangkal dan semakin banyak memakai pemaksaan. Sesungguhnya timbul perlawanan
terhadap metode itu. Pada tahun 796 salah satu konsili di Jerman Selatan
menetapkan bahwa masa persiapan menjelang pembaptisan wajib sekurang-kurangnya
tujuh hari. Tetapi konsili itu pun memandang kurang bijaksana kalau para calon
baptis diharuskan menunggu lebih daripada empat puluh hari, ‘agar dorongan hati
mereka yang berkobar tidak melemah’. Di kemudian hari jangka waktu tujuh hari
pun tidak berhasil dipertahankan.
Jadi, metode
misi Abad Pertengahan ditandai masa persiapan yang singkat, pembaptisan cepat,
dan pengembalaan intensif sesudah pembaptisan. Metode tersebut tidak bisa tidak
harus membawa akibat bagi hubungan pelayanan Baptisan dan komuni pertama. Pada
zaman Gereja Lama perayaan Ekaristi merupakan puncak kehidupan seluruh jemaat.
Peserta katekisasi dengan rasa gembira menantikan hari pembaptisan mereka,
sebab pada hari itu mereka pertama kali akan diperkenankan ikut serta dalam
perayaan itu. Sebaliknya, dalam Abad Pertengahan Komuni hampir tidak memainkan
peranan dalam kehidupan anggota jemaat. Mula-mula orang percaya bisa mengikuti
Komuni hanya tiga kali dalam setahun, yakni pada hari raya Natal, Paskah dan
Pentakosta. Sebabnya, runtuhnya kekaisaran Romawi disusul kemunduran dahsyat di
bidang kesusilaan. Banyak orang dibaptis kendati mereka belum mengalami
pertobatan hati. Ketika itu belum ada peraturan umum yang mewajibkan orang
melakukan pengakuan dosa sebelum menerima sakramen Ekaristi. Jadi orang dapat
mengambil bagian didalamnya tanpa lebih dahulu mengaku dosanya yang akan
membawa maut.[28]
1.8.
Gereja Modern dan Baptisan (1492/1517 M – sekarang)
1.8.1. Baptisan
Menurut Para Reformator
Pada awal zaman
Perjanjiam Baru, orang-orang Kristen menghubungkan baptisan dengan berbagai
karunia Roh Kudus, pembasuhan dosa, kematian dan kebangkitan, dan dengan
inisiasi kedalam persekutuan Kristen, gereja. Kemudian, ketika orang-orang
Kristen mulai menekankan dosa asal, mareka pun percaya bahwa baptisan
menyingkirkan dosa asali dan juga dosa-dosa aktual. Para reformator membalikkan
perkembangan ini dan menjelaskan baptisan sebagaimana dilakukan oleh Gereja
Awal, dengan menghapuskan semua rujukan pada “pembasuhan dosa asali”. Para
reformator utama, Luther[29],
Calvin dan Zwingli, melakukan penyesuaian dengan luar biasa.
Semua
reformator Kontinental menolak ide bahwa dalam baptisan dosa asali
disingkirkan, egoisme alamiah kita tampaknya sama kuatnya baik sebelum baptisan
maupun sesudahnya. Jadi, Calvin menolak bahwa oleh baptisan itu kita dilepaskan
dan dibebaskan dari dosa turunan dan dari kerusakan yang diteruskan Adam
keseluruh keturunannya, dan bahwa olehnya kita dipulihkan dalam kebenaran dan
kemurnian tabiat yang sama seperti yang akan dimiliki Adam sekiranya ia tetap
bertahan dalam keutuhan yang ada-padanya ketika ia diciptakan.[30]
Dalam
berbagai pembahasan para reformator mengenai baptisan, kita dapat mengamai
suatu ketegangan antara kutub objektif dan subyektif. Pada kutub objektif,
diskusi berpusat pada apa yang ditawarkan kepada kita dalam baptisan. Pada
kitub subjektif, fokusnya terletak pada sikap yang dibawa sang calon terhadap
baptisan. Dalam risalahnya yang ditulis tahun 1520, The Babylonion Captivity of the Church, Luther mulai melaksanakan
berbagai implikasi dari pandangannya bahwa kita diselamatkan oleh anugereh
melalui iman. Dalam satu teks dari Markus, ia menemukan suatu penekanan atas
kedua kutub ini, “Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan” (Mrk.
16:16). Kutub subyektif, penekanan atas iman, ditemukan dalam teks, sedangkan
teks secara keseluruhan mengekspersikan kutub objektif, janji keselamatan
Allah. Demikian pula, ritus baptisan itu sendiri mengandung dua kutub itu,
memproklamasikan janji dan menuntut iman. Tema-tema ini digarap menurut cara
yang serupa baik dalam risalah zwingli maupun Calvin mengenai baptisan. Selain
itu, Zwingli dan Calvin menekankan peranan baptisan sebagai “suatu tanda
inisiasi atau janji yang dengannya kita mengikatkan diri kepada Allah,
menyaksikan hal yang sama kepada sesama kita.[31]
Kaum
Anabaptis, dengan mengacu pada Markus 16:16 sebagai ayat yang menentukan,
berpegang teguh bahwa hanya orang-orang yang percaya yang dapat dibaptis dan
menuntut pembaptisan ulang bagi mereka semua yang telah dibaptis ketika masih
bayi atau kanak-kanak. Berhadapan dengan logika ini, ketiganya (Luther, Calvin,
dan Zwingli) memberikan jawaban yang nyaris sama. Tidak mengizinkan baptisan
anak berarti kembali ke suatu agama yang menekankan karya atau perbuatan, dan
bukan suatu agama anugerah. Iman itu penting, tetapi iman dapat ditimbulkan di
dalam diri anak-anak setelah baptisan. Menurut Luther, “Anak dibantu oleh iman
dari orang-orang lain, yaitu mereka yang membawa anak itu untuk dibaptis.
Karena Firman Allah itu cukup berkuasa, ketika diucapkan, untuk mengubah segala
sesuatu, bahkan hati yang tidak ber-ilah sekalipun, yang tak berbeda dengan
bayi mana pun dalam hal ketiadaan resposn dan ketidakberdayaannya”. Tentu saja
“iman dari orang-orang lain” itu mencakup iman dari persekutuan Kristen yang
memperantai Firman dan janji Allah kepada anak yang sedang bertumbuh itu.
Zwingli dan Calvin benar-benar setuju dengan penekanan yang serupa atas
pengaruh dari persekutuan Kristen. Calvin berusaha menyempurnakan argument
untuk baptisan anak dengan memberikan jaminan landasan Alkitab terhadapnya. Ia
menemukan preseden untuk kegiatan itu didalam ritus penyunatan, penerimaan
anak-anak ke dalam paguyuban umat Allah dalam Perjanjian Lama dan sikap Yesus
yang menyambut dengan sukacita akan anak-anak kecil. Bagi Calvin, baptisan,
seperti sunat adalah suatu tanda perjanjian.[32]
1.8.2.
Gereja Katolik Setelah Reformasi dan
Baptisan
Setelah terjadinya reformasi dalam tubuh
gereja sehingga terdapat aliran gereja yang baru di luar Gereja Katolik Roma,
maka diadakan Konsili Trente[33]
(1545-1563) yang juga membahas mengenai baptisan. Mengenai baptisan, dalam Decretum de Iustificatione (Ketetapan
Mengenai Pembenaran, 1547) merupakan salah satu hasi Konsili Trente yang
terpenting, dinyatakan bahwa dengan didorong dan dibantu oleh anugerah Allah,
mereka mendapat iman karena mendengar dan tergerak bebas menuju Allah, dan
percaya apa yang diungkapkan dan dijanjikan oleh Allah, khususnya bahwa mereka
yang tak percaya dibenarkan oleh Allah melalui anugerahNya serta penyelamatan
dalam Yesus Kristus. Sadar bahwa mereka adalah orang berdosa, timbullah rasa
takut yang menguntungkan akan keadilan Allah dan mereka dipenuhi harapan dengan
memikirkan rahmatNya. Mereka juga percaya bahwa Allah akan baik kepada mereka
demi Kristus. Maka mereka mengasihi Dia sebagai satu-satunya sumber kebenaran
dan oleh karena itu tergerak untuk tidak berdosa karena perasaan benci dan
muak, yaitu melalui penyesalan dan pengakuan dosa yang harus dijalani sebelum
dibaptis. Akhirnya mereka bersedia dibaptis dan mereka mulai dengan hidup baru
yang taat kepada perintah Allah.[34]
Dalam Konsili ini, kritik secara khusus ditujukan pada pandangan bahwa
sakramen-sakramen menandakan anugerah yang harus diterima melalui iman.[35]
1.8.3.
Pandangan
Berbagai Aliran Gereja Masa Kini mengenai Baptisan[36]
1.8.3.1. Lutheran
Seperti
yang sudah dibahas pada bagian “Menurut Para Reformator” diatas yang telah
cukup jelas mengenai baptisan, yang mana pemahaman mengenai baptisan kudus pada
dasarnya sama dengan GKR maupun dengan Calvin. Yang mana sama-sama memahami
baptisan sebagai yang setara dengan sunat dalam Perjanjian Lama, sebagai tanda
perjanjian Allah dengan umatNya, yang juga berlaku bagi anak-anak mereka.
1.8.3.2. Calvinis
Pandangan kaum Calvinis mengenai
baptisan yang juga sudah disinggung diatas, memiliki pemahaman yang pada dasarnya
sama dengan Luther dan Zwingli. Calvin menolak bahwa oleh baptisan itu kita
dilepaskan dan dibebaskan dari dosa turunan dan dari kerusakan yang diteruskan
Adam keseluruh keturunannya, dan bahwa olehnya kita dipulihkan dalam kebenaran
dan kemurnian tabiat yang sama seperti yang akan dimiliki Adam sekiranya ia
tetap bertahan dalam keutuhan yang ada-padanya ketika ia diciptakan. Bagi
Calvin, baptisan, seperti sunat adalah suatu tanda perjanjian.
1.8.3.3. Anglikan
(Episkopal)
Menurut aliran Anglikan, baptisan adalah
tanda pengakuan akan Kristus dan penolakan atas kejahatan. Melalui baptisan,
dengan cara dipercik ataupun diselamkan, didalam nama Allah Tritunggal, orang
dipersekutukan didalam gereja yang adalah tubuh Kristus. Melalui baptisan
persekutuan Kristen dibimbing, diajar, dan dikuatkan oleh Roh Kudus. Melalui
baptisan ini iman diteguhkan dan kasih karunia ditingkatkan, Allah diundang
untuk menganugerahkan kepada si-terbaptis pengampunan dosa melalui kelahiran
kembali secara rohani. Ketika baptisan dilayankan, si-terbaptis diberi nama
kristiani dan menyusul pembersihannya dengan air dilakukanlah upacara pemberian
tanda salib pada dahi si-terbaptis. Upacara ini melambangkan pernyataan
Kristiani melawan “dosa, dunia dan iblis”, serta pengabdiannya kepada Kristus.
Dalam hal baptisan anak, janji tentang iman dan ketaatan diucapkan atas nama
anak itu oleh sponsor atau orang-tua (bapak dan ibu) seraninya. Sang sponsor
berjanji bahwa baik itu akan menerima pendidikan Kristiani yang sepatutnya dan
akan didorong untuk menjalani hidup Kristiani dan pada giliriannya akan
di-sidi-kan. Ada juga yang memahami bahwa seluruh jemaat adalah sponsor,
sehingga tidak perlu ada orang tua serani.
1.8.3.4. Aliran Mennonit
Kaum Mennonit tidak mengunakan istilah
sakramen melainkan penetapan. Salah satu alasannya adalah sesuai dengan
semboyan imamat am, semua orang percaya, bukan hanya pendeta yang berhak
melayankan upacara-upacara gerejawi, melainkan juga warga jemaat. Dengan
demikian ditiadakanlah sifat sacramental dari upacara-upacara itu maupun dari
petugas yang melayankannya. Yang menjadi tolak ukur untuk menentukan upacara
mana yang masuk kategori upacara gerejawi adalah penetapan yang dilakukan oleh
Kristus dan para Rasul didalam Perjanjian Baru. Kaum Mennonit berkeyakinan
bahwa semua perintah didalam Perjanjian Baru harus dilaksanakan secara harafiah
oleh semua umat beriman dimanapun selama dunia ini masih ada. Mengenai
Baptisan, hanya dilayankan bagi mereka yang sudah mampu menghayati dan
melaksanakan panggilan imannya. Karena itu, hanya oleh dilayankan bagi orang
dewasa yang sungguh-sungguh menerima panggilan pertobatan dan hidup baru. Sebab
baptisan tidak hanya berisi janji pengampunan, melainkan tantangan untuk
merubah sikap dan perilaku. Itu berarti mengambil keputusan untuk menjalani
jenis kehidupan yang sama sekali baru serta terikat sepenuhnya pada perintah
Kristus maupun pada ikatan persaudaraan, sebagaimana diamanatkan Kristus dan
Para Rasul.
1.8.3.5. Aliran Baptis
Sama
dengan Mennonit, mereka memakai istilah penetapan, karena menurut mereka
istilah sakramen tidak terdapat didalam Alkitab dan berasal dari pembendaharaan
bahasa sehari-hari. Menurut kaum Baptis, baptisan harus dilakukan dengan cara
selam dan hanya dilakukan bagi orang dewasa yang sudah mampu memahami dan
menyatakan imannya karena memang begitulah dinyatakan dalam Alkitab. Baptisan
dilayankan dalam nama Allah Tri-Tunggal, Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Disamping
melambangkan kasih karunia Allah yang menganugrahkan kembali atau hidup baru,
baptisan juga melambangkan iman dan ketaatan kepada Kristus. Kendati kebanyakan
kalangan Baptis tidak percaya bahwa baptisan merupakan syarat mutlak agar
selamat, mereka pada umumnya mengajarkan bahwa iman kepada Kristus yang
dinyatakan pada waktu baptisan, merupakan hal yang hakiki.
1.8.3.6. Aliran
Pentakostal
Menurut kaum Pentakostal, baptisan
terdiri atas dua jenis, yakni:
a. Baptisan
Air
Baptisan Air merupakan lambang kematian
dan penguburan kemanusiaan yang lama, dengan cara menyelamkan kedalam air orang
yang sudah menyatakan pertobatan dan percaya sungguh-sungguh bahwa Kristus
adalah Tuhan dan Juruselamatnya. Dengan itu tubuhnya berdosa telah dibersihkan,
sedangkan hati dan batinnya telah diperciki dan disucikan oleh darah Kristus.
Dengan itu mereka telah menyatakan kepada dunia bahwa mereka telah mati bersama
Kristus dan telah juga bangkit bersama Dia untuk berjalan didalam hidup yang
baru. Karena yang mampu menyatakan pertobatan dan pengakuan imannya adalah
orang dewasa, maka baptisan air pada umumnya berlaku kepada orang dewasa.
b. Baptisan
Roh (Api)
Setiap orang percaya dilayakkan untuk
dan harus dengan sungguh-sungguh mengharapkan dan memperoleh baptisan roh dan
api yang dijanjikan oleh Bapa, sesuai dengan perintah Tuhan Yesus Kristus. Ini
adalah pengalaman yang wajar dari semua orang percaya pada zaman gereja
perdana. Dengan baptisan ini, orang yang menerimanya beroleh kuasa untuk hidup
dan pelayanan, dikokohkanlah karunia-karunia dan pengunaannya didalam karya
pelayanan. Pengalaman ajaib ini merupakan bentuk yang nyata dan kelanjutan dari
pengalaman kelahiran baru.
1.8.3.7. Aliran
Kharismatik
Pada umumnya baptisan menurut aliran
Pentakostal dan Kharismatik memiliki kesamaan. Namun terdapat perbedaan
pemahaman yakni, bagi kaum Pentakostal, Baptisan Roh tidak bisa tidak harus
disertai oleh karunia berbahasa lidah, sedangkan bagi kaum Kharismatik, kendati
Baptisan Roh juga merupakan pengalaman rohani yang mutlak, namun tidak mesti
disertai oleh glossolalia itu. Sebab
bagi kaum Kharismatik bukan hanya glossolalia
yang merupakan karunia utama.
1.8.3.8. Aliran Adventis
Menurut kaum Adventis, melalui baptisan
kita mengaku iman kita atas kematian dan kebangkitan Yesus Kristus, dan
mempersaksikan kematian kita terhadap dosa dan niat kita untuk menjalani hidup
baru. Jadi kita mengakui Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, menjadi umatNya
dan diterima sebagai warga oleh gerejaNya. Baptisan adalah lambang kesatuan
kita dengan Kristus, pengampunan dosa kita, dan penerimaan kita atas Roh Kudus.
Itu dilakukan dengan menyelam di dalam air dan disatukan dengan pengikraran
iman kepada Yesus, dan merupakan bukti penyesalan atas dosa. Itu dilakukan
setelah pengajaran Kitab Suci dan menerima ajaran-ajarannya.
1.8.3.9. Aliran Jehova
Kaum Saksi Jehova, memahami baptisan
bukan sebagai sakramen tetapi dilakukan secara teratur. Baptisan tidak
dilaksanakan di gedung pertemuan atau ibadah (Balai Kerajaan), melainkan di
sungai, danau, laut atau tempat mandi buatan, dimana seluruh tubuh si terbaptis
diselamkan. Baptisan bukanlah pembasuhan dari dosa, karena hal itu hanya
terjadi melalui iman kepada Kristus. Jadi baptisan adalah demontrasi terbuka,
yang mempersaksikan bahwa seseorang telah menjalankan pengabdian yang khidmat
kepada Allah Jehova dan sekarang sedang mempersembahkan dirinya kepada
kehendakNya. Jadi baptisan bukanlah perkara sepele. Sebelum seseorang menerima
baptisan yang sah, ia harus ‘mendengar firman’, memeluknya dengan sepenuh hati,
bertobat dari dosa, dan mengakui perlunya keselamatan melalui Kristus. Kendati
rumusan dalam Mat. 28:19 tidak dipahami dalam pengertian Trinitas, namun setiap
Saksi Jehova ‘dibaptis di dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus’.
II.
Refleksi
Teologis
Penulis dalam membahas mengenai Gereja
dan Baptisan ini mendapatkan banyak hal yang menarik. Yang mana dalam
perjalanannya, pemahaman mengenai baptisan mengalami perubahan yang sangat
signifikan. Dalam perjalanannya, terdapat peralihan pemahaman baptisan, yakni
pada pemahaman baptisan secara pengertian, makna, persiapan bagi yang
si-terbaptis, pelaksanaan baptisan itu sendiri, dan lain-lain. Dari pembahasan
baptisan ini, penulis melihat berbagai macam pemahaman baptisan, baik dari
berbagai tokoh dan akhirnya juga pada berbagai aliran yang ada dalam gereja.
Namun ada satu hal yang menarik dalam baptisan bagi penulis, bahwa semua
praktek baptisan, didalamnya akan mengunakan nama Bapa, Anak dan Roh Kudus
dalam pelaksanaannya (Mat. 28:19). Dan dari berbagai pemahaman, penulis melihat
bahwa perbedaan ini mau tidak mau harus dapat kita terima, baik juga dalam
pelaksanaannya. Namun penulis melihat
bahwa, dalam baptisan ini, yang menjadi pokok terpenting juga adalah baptisan
ini benar-benar menunjukkan bahwa kita masuk dalam otoritas nama Bapa, Anak dan
Roh Kudus, yang mana kita merasakan dan menyakini kita telah dipilih dan disertai
oleh Allah, menyakini bahwa Yesus Kristus adalah juruselamat kita melalui
kematian dan kebangkitanNya, dan juga menyerahkan seutuhnya kehidupan kita
kepada Roh Kudus untuk berkerja atas kita semua.
Dengan kita memaknai dan melihat hal
penting dalam penggunaan nama Ilahi dalam baptisan, kita menyadari bahwa betapa
penting baptisan itu dalam kehidupan orang Kristen, yang mana juga harus
terlihat dalam realitas kehidupan kita baik dalam iman kepercayaan dan juga dalam
praktek kehidupan sehari-hari, dalam kehidupan bergereja, bermasyarakat, dan
bernegara.
III.
Kesimpulan
Dari
pembahasan di atas dapat kita simpulkan bahwa gereja dan praktek baptisan
mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan perjalanan gereja dan
perkembangan zaman. Dari perkembangannya, banyak pemahaman mengenai baptisan
ini, terlebih dalam pelaksanaannya dan kepada siapa harus diberikan baptisan
ini. Namun bila kita melihat, ada hal yang menjadi pemahaman bersama, dan
mungkin tidak bisa dilupakan atau disingkirkan dalam pelaksanaan baptisan, bahwa
semua orang akan dibaptis dalam nama ilahi yang sama, yakni dalam nama Bapa,
Anak dan Roh Kudus.
Mengenai
perbedaan pemahaman dalam baptisan, mau tidak mau kita harus menerima hal ini,
dengan tetap menjaga rasa saling menghormati dan menghargai sebagai mana gereja
adalah tubuh Kristus dan persekutuan yang kudus.
IV.
Daftar
Pustaka
Aritonang,Jan S., Berbagai Aliran Di Dalam dan Di Sekitar
Gereja,Jakarta: BPK-GM, 1995
Berkhof,
H.,Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM,
1993
Calvin,
Yohanes, INSTITUTIO (Pengajaran Agama
Kristen)¸ Jakarta: BPK-GM
Curtis, A. Kenneth, 100 Peristiwa Penting Dalam Sejarah Gereja,
Jakarta: BPK-GM, 2007
Enklaar,
I.H.,Pembaptisan Massal dan Pemisahan
Sakramen, Jakarta: BPK-GM, 2003
Graham,
Billy,Damai Dengan Allah, Jakarta:
YKBK/OMF, 1998
Hadiwijono,
Harun, Iman Kristen, BPK-GM, 1996
Kamm,
Born, Early Christian Exerience, London:
SCM Press, 1969
Kelly,
J.N.D., Early Christian Doctrine, New
York: Harper & Row, 1958
Lane,
Tony, Runtut Pijar, Jakarta: BPK-GM,
1993
Lempp,
Walter, Tafsiran Kejadian (12:4-25; 18), Jakarta:
BPK-GM, 1980
Lumantobing,
Darwin,Teologi di Pasar Bebas, Pematang
Siantar: L-SAPA, 2008
Luther,
Martin,Katekismus Besar, Jakarta:
BPK-GM, 1999
McGrath,
A.E., Sejarah Pemikiran Reformasi,
Jakarta: BPK-GM, 1997
Mitchell,
Leonel L.¸ The Meaning of Ritual, Harrisburg,
PA: Morehouse, 1977
Urban,
Linwood, Sejarah Ringkas Pemikiran
Kristen, Jakarta: BPK-GM, 2003
Van
den End, Th., Harta Dalam Bejana, Jakarta:
BPK-GM, 2004
van
Niftrik, G.C., Dogmatika Masa Kini,Jakarta:
BPK-GM, 2001
Verkuyl,
J.,Aku Percaya, Jakarta: BPK-GM, 1991
Wellem,
F.D., Kamus Sejarah Gereja, Jakarta:
BPK-GM, 2009
[1] Harun Hadiwijono, Iman Kristen, BPK-GM, 1996, hlm. 167
[2] F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM,
2009, hlm. 350
[3] Billy Graham, Damai Dengan Allah, Jakarta: YKBK/OMF,
1998, hlm. 233
[4] Th. Van den End, Harta Dalam Bejana, Jakarta: BPK-GM,
2004, hlm .1
[5] Harun Hadiwijono, Op.cit., hlm. 142
[6] G.C. van Niftrik, Dogmatika Masa Kini,Jakarta: BPK-GM,
2001, hlm. 359
[7] Yohanes Calvin, INSTITUTIO (Pengajaran Agama Kristen)¸
Jakarta: BPK-GM, hlm. 281
[8] Martin Luther, Katekismus Besar, Jakarta: BPK-GM, 1999,
hlm. 184
[9] J. Verkuyl, Aku Percaya, Jakarta: BPK-GM, 1991, hlm. 233
[10] Kulup atau pucuk kelamin
dipotong, dibuanh. Hal ini merupakan bahwa orang yang termasuk kedalam
perjanjian Allah, yang menjadi umat Allah, harus diampuni dosanya. Kulup atau
pucuk kelamin yang dibuang menggambarkan dosa yang dibuang. Pembuangan dosa itu
terjadi dengan pertumpahan darah. Maka sunat adalah suatu ibarat, suatu
gambaran, yang menunjukkan kepada isi perjanjian Allah dengan Abraham dan
keturunannya. Akan tetapi sunat bukan hanya sebagai tanda atau ibarat
semata-semata, sebab bersamaan dengan dilakukannya sunat itu Tuhan Allah
berkenan member pengukuhan, member jaminan, bahwa sama seperti kulup atau pucuk
kelamin orang itu telah dibuang, demikian juga Tuhan Allah membuang dosa yang
disunati, jikalau ia percaya. Oleh karena itu didalam PL juga terdapat
peringatan, agar orang jangan hanya memperhatikan sunat lahiriah semata-mata
sebab yang perlu disunat adalah hati, artinya: hatinya harus kudus, bersih dari
dosa-dosa. H. Hadiwijono, Op.cit.,
hlm. 436
[11] J, Verkuyl, Op.cit., hlm. 221
[12] Walter Lempp, Tafsiran Kejadian (12:4-25; 18), Jakarta:
BPK-GM, 1980, hlm. 195-196
[13] J, Verkuyl, Op.cit., hlm. 222
[14] Born Kamm, Early Christian Exerience, London: SCM Press, 1969, hlm. 74
[15] Mengenai baptisan, pada tahun
1870, sebuah buku ditemukan yang mana diperkirakan berasal dari akhir abad
pertama, mungkin dari Smirna. Buka ini
merupakan kitab Didakhe atau Pengajaran Tuhan Kepada Orang-orang Kafir
melalui Keduabelas Rasul, yang mana didalamnya berisikan penjelasan
mengenai baptisan. Baptisan harus dilakukan dengan cara demikian: Setelah
mengucapkan kesemuanya itu, baptiskan dalam nama Allah Bapa dan Anak dan Roh
Kudus dalam air yang mengalir. Akan tetapi, jika tidak ada air dingin, pakailah
air panas. Kalau yang tadi semuanya tidak ada, siramlah air di atas kepada tiga
kali dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Tony Lane, Runtut Pijar, Jakarta: BPK-GM, 1993, hlm. 7
[16] Th. Van den End, Op.cit., 1995, hlm. 30
[17] F.D. Wellem, Op.cit., hlm. 38-39
[18]Leonel L. Mitchell¸ The Meaning of Ritual, Harrisburg, PA:
Morehouse, 1977, hlm. 90-92
[19] J.N.D. Kelly, Early Christian Doctrine, New York:
Harper & Row, 1958, hlm. 195
[20] Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen,
Jakarta: BPK-GM, 2003, hlm. 349
[21] Mengenai adanyan pemahaman yang
mana menunda baptisannya sampai menjelang ajal, terjadi dikarenakan adanya
pandangan yang kaku dari Novatianus (kira-kira tahun 250), yang berpendapat
bahwa setelah pembaptisan tidak mungkin lagi ada pengampunan sebab Gereja tidak
dapat mengampuni dosa-dosa yang amat berat. Kaisar Konstantinus mungkin menjadi
contoh yang paling terkenal dalam praktik semacam ini dan Novatianus sendiri
tampaknya meminta dibaptis hanya ketika ia yakin bahwa ia akan segera mati. Ibid, hlm. 351-352
[22] H. Berkhof, Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM, 1993, hlm. 31-32
[23] Linwood Urban, Op.cit., hlm. 350-351
[24] Hal ini dipengaruhi oleh hasil
dari Konsili Orange (529), yang mana kasih karunia terikat pada sakramen.
Kehendak bebas disembuhkan oleh kasih karunia baptisan. Dengan kasih karunia
baptisan serta pertolongan dan kerja sama Yesus Kristus kita mempunyai kuasa
untuk melakukan apa saja untuk mencapai keselamatan, asal saja kita
menghendakinya. Tony Lane, Op.cit., hlm.
81
[25] I.H. Enklaar, Pembaptisan Massal dan Pemisahan Sakramen, Jakarta:
BPK-GM, 2003, hlm. 21
[26] Ibid, hlm. 21-22
[27] H. Berkhof, Op.cit., hlm. 112
[28] I.H. Enklaar, Op.cit., hlm. 22-23
[29] Reformasi teologi yang dilakukan
Luther dapat disimpulkan dalam tiga pokok yakni: (1). Kembali kepada Alkitab,
(2). Pembenaran oleh Iman, (3). Imamat orang percaya. Ia mencoba mengoreksi
‘kemapanan’ dan ‘kekakuan’ kehidupan gereja, sosial dan politik. Bagi Luther
adalah “ubi Christus ibi ekklesia”, dimana
ada Kristus, itulah gereja. Darwin Lumantobing,Teologi di Pasar Bebas, Pematang Siantar: L-SAPA, 2008, hlm.
172-175
[30] Linwood Urban, Op.cit. hlm. 380
[31] Ibid, hlm. 381
[32] Ibid, hlm. 382
[33] Konsili ini yang diundang Paulus
di mulai pada tahun 1545, konsili ini bertemu secara berkala hingga tahun 1563
dalam tiga sesi utama dengan kehadiran yang memperhatinkan. Persaingan politik
telah menjadi penyebabnya. Namun konsili itu tetap membawa sebuah perubahan. A.
Kenneth Curtis, 100 Peristiwa Penting
Dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM, 2007, hlm. 85
[34] Tony Lane, Op.cit., hlm. 188
[35] A.E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, Jakarta:
BPK-GM, 1997,hlm. 242
[36] Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran Di Dalam dan Di Sekitar
Gereja,Jakarta: BPK-GM, 1995, hlm. 81-316
Tidak ada komentar:
Posting Komentar