Manusia
(Gambar dan Rupa
Allah)
I.
Pembahasan
1.1.Manusia Dalam PL
Secara umum manusia
disebut sebagai mahluk yang berakal budi yang mampu menguasai mahluk lain.[1]
Dari istilah umum ini dapat disebutkan bahwa manusia adalah mahluk yang
memiliki derejat atau martabat yang lebih tinggi dari mahluk ciptaan yang lain
sehingga memiliki kuasa dan kemampuan untuk menguasai mahluk lain.
Di dalam Perjanjian
Lama, manusia adalah ciptaan Allah, hasil karya Allah(Kej. 2:7) dan berada di
bawah pemerintahan Allah. Secara etimologi, kata “manusia” berasal dari bahasa
Ibrani אָדָם (adam) yang berarti “Manusia”.[2]
Tuhan membentuk manusia dari debu tanah (עָפָר
מִן־הָאֲמָה) dan menghembuskan
nafas hidup (נִשְׁמַת חַיִּים) sehingga manusia itu
menjadi mahluk yang hidup. Allah membuat taman Eden dan menempatkan manusia di
taman itu untuk mengusahakan taman itu dan memeliharanya.
Manusia
yang diciptakan oleh Allah terdiri dari beberapa komponen/ aspek/ unsur yaitu:
1.
Daging (בּשָׂר)
Kata “daging” digunakan 270 kali dalam
Perjanjian Lama itu menunjukkan substansi badani pada kehidupan manusia atau binatang.[3]
Jadi permulaan kata “daging” menunjukkan pada kesamaan manusia dengan binatang.
Kata ini dapat berarti daging saja yang dimakan orang (Yes. 20:13; Ams. 23:20)
tetapi sering berarti “daging” sebagai karakteristik keberadaan tubuh (Ayub
10:11; Mzm. 78:38). “Daging” sering kali berarti eksistensi jasmaniah atau cara
hidup yang jasmaniah. Namun sangatlah penting bahwa tidak ada petunjuk yang
mengatakan bahwa daging adalah jahat atau sumber kejahatan. Tetapi orang
sebagai daging dianggap lemah dan tidak mempunyai kekuatan. Ini terutama benar
jika daging dibandingkan dengan Allah (Mzm. 56:4; Yer. 17:5,7;Ayub 34:14-15;
Yes. 40:6, 8) namun meskipun lemah, daging itu sendiri tidak jahat dan menjadi
sumber kekecewaan. [4]
2.
Jiwa (נֶפֶשׁ)
Kata
nefes muncul 754 kali dan dalam arti
tradisionalnya berarti “jiwa”. Ke dalam tubuh manusia Allah menghembuskan nafas
hidup sehingga manusia menjadi mahluk yang hidup (Kej. 2:7), jadi manusia hidup
karena nafas hidup. Maka inti kehidupan manusia itu disebut “nyawa, jiwa, nafas”.[5]
Kata ini sering dipakai mengungkapkan keadaan seseorang yang berada dalam
kekurangan. Umumnya dalam arti jasmaniah semata. Nefes dipakai dalam arti “kerongkongan yang terbuka dengan rakus”
(Yes. 5:14).[6]
Dalam naskah Ibrani “nyawa” memiliki arti “keinginan” dan menunjuk kepada suatu
kebutuhan yang sangat penting (Mzm. 32:25).[7]
Jadi “jiwa”
adalah individu yang hidup bukan dengan arti roh yang tak dapat binasa,
melainkan hidup fisik yang konkrit dan sarat dengan berbagai kebutuhan. Manusia
tidak mempunyai jiwa, dia sendirilah jiwa itu.[8]
3.
Hati (לֵב)
Kata
ini muncul 835 kali dalam Perjanjian Lama. Inilah kata yang paling penting
dalam bagian istilah di Perjanjian Lama.[9]
Dalam PL kata ini sering sekali dipakai sebagai bandingan untuk “isi perut”
yang dianggap sebagai pusat emosi yang dalam (Mzm. 38:11; 26:2). Hati juga
sering menunjukkan ekspresi wajah (Ams. 15:13), lidah (12:23; 15:28), dan
anggota tubuh yang lain. Hati juga digunakan untuk menunjukkan “hati” bagian
dari tubuh manusia (2 Raj. 9:24). Bagi orang Ibrani Leb sering diterjemahkan juga sebagai “jantung”. Leb juga memiliki tempat dalam keberadaan
seseorang. Leb terletak pada tingkat perasaan yang dalam yang
mencatat tanggapan-tanggapan yang paling dalam terhadap hidup (Yer. 4:19; Mzm.
25:17).[10]
Jadi pengertian hati di sini adalah
bagian seseorang yang hanya dapat dilihat oleh Tuhan. Manusia dapat melihat
penampilan lahiriah saja (1 Sam. 16:7). Namun di dalam hati sekalipun kita
tidak dapat melihat penampilan tersimpan rahasia dari Tuhan (Ams. 24:12).[11]
4.
Roh (רוּחַ)
Ruakh muncul
378 kali dalam kitab Ibrani Perjanjian Lama. Secara harafiah itu berarti
“Angin”, dengan konotasi bahwa itu memiliki kekuatan untuk menggerakkan
sesuatu. Dalam Amsal 25:23 dikaitkan dengan angin utara yang membawa hujan dan
kondisi iklim yang lain.[12]
Ruakh dapat juga berarti “nafas”, nafas yang Tuhan
berikan kepada umat manusia (Yes. 42:5) atau nafas yang berbau busuk (Ayub
19:17). Kalau diperluas kata ini mempunyai arti tenaga vital “kekuatan” bila
mengacu kepada manusia.
Roh
juga dipakai untuk Allah guna untuk menunjukkan kekuasaannya yang besar. Oleh
rohNya bumi diciptakan (Mzm.33:6) atau air laut Merah tertimbun (Kl. 15:8).
Karena itu dalam pengertian roh ini, bila Roh Tuhan turun atas seseorang maka
orang tersebut dianugerahi kuasa (Hak. 3:10; 6:334) atau wibawa yang luar biasa
(Yes. 42:1). Dalam kasus ini roh berarti kuasa yang akan memperlengkapi
kemampuan yang sudah ada, menambah apa yang masih kurang (Yes. 11:2).[13]
Roh juga dapat berarti “hati” (Yeh. 11:5), “pikiran”(Mzm.77:6, 7), “Keinginan”
(Ams. 16:32) dan “motivasi” (Ams. 16:2).[14]
Jadi dari aspek yang dimiliki manusia tersebut
kita melihat manusia diciptakan memiliki kelemahan daging dan tercipta dari
debu tanah. Manusia lemah dan berkekurangan, meskipun kekurangan dan
keterbatasan bukan halangan untuk bergaul dengan Allah.[15]
Di dalam diri manusia berpadu unsure duniawi sehingga ia disebut “mahluk tanah”
dan unsur ilahi sehingga ia disebut “gambar dan rupa Allah”.
1.2.Manusia Sebagai Gambar dan Rupa
Allah
Keistimewaan
manusia dari ciptaan Allah yang lainnya ialah diciptakan menurut gambar dan
rupa Allah.tentang manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah merupakan
suatu ungkapan yang dalam yang telah banyak dipersoalkan dalam ilmu Teologi.
Tokohnya seperti Thomas Aquinas, Yohanes Calvin, Karl Barth, dan sebagainya.
Dengan memakai istilah “gambar Allah” Alkitab menyoroti kehidupan manusia
sebagai kehidupan yang unik. Bukan hanya Alkitab yang mengakui keunikan manusia
itu. juga dalam agama-agama lain dan dalam banyak konsep filsafat, manusia
digambarkan sebagai mahluk yang tersendiri dalam jenisnya, lain dari yang lain.
Hal itu sering di jelaskan melalui perbandingan manusia dengan
binatang-binatang.[16]
·
Gambar
(צֶלֶם)
Secara
Etimologi kata “gambar” berasal dari bahasa Ibrani yaitu tselem. Kata tselem digunakan 17 kali dalam kitab
Perjanjian Lama (Keadian (5x), 1 Samuel (3x), Yehezkiel (3x), Mazmur (2x),
Bilangan 33:2, 2 Raj. 11:18, 2 Taw. 23:17 dan Amos 5:26).[17]
Empat menunjuk kepada “gambar Allah” (Kej. 1:26, 27, 9:6) tanpa konteks yang
menjelaskan lebih jelas lagi. Tujuh kata gambar yang lain menunjukkan kepada
pengertian “idol/ berhala” (perwakilan fisik allah lain) (Bil. 33:52; 2 Raj.
31:8; 2 Taw. 23:17, Yeh. 7:20, 16:17; Amos 5:26). Tiga menunjuk pada wakili
fisik dari “tumor dan tikus” ( 1 Sam. 6:5,11). Dua menunjuk kiasan pada suatu
“gambar fana/ tidak kekal” (Mzm. 39:6, 73:20), ini mungkin menunjuk pada akar
kata tselem yaitu sel yang berarti “bayangan, bayangan yang
cepat berlalu”, dan kemudian satu menunjuk pada sebuah “lukisan” (Yeh. 23: 14)
dan yang lain pada Set sebagai gambar Adam (Kej. 5:3).[18]
·
Rupa
(דְמוּת)
Dalam karya penafsir
Barat “gambar” dan “rupa” dipandang searti saja. Dalam tradisi Ortodoks Timur,
keduanya dibedakan. “Gambar” dikaruniakan kepada setiap orang ketika ia lahir
dan tak dapat hilang sedangkan “rupa” baru berkembang dalam hubungan dengan
Allah.[19]
Kata
“rupa” berasal dari kata Demuth yang berasal dari kata kerja damah muncul 23 kali dalam Perjanjian
Lama (Kej. 1:26, 5:1,3; 2 Raj. 16:10; Yes. 40:18; Yeh. 1:5, 10,16,22,26 (3x),
28; 10:1, 10,22,23; 15; Mzm. 58:5 (4); Dan. 10:16; 2 Taw. 4:3).[20]
Demuth yang berarti “mirip, serupa” dari kata kerja damah yang artinya
“Menyerupai”.
Oleh
LXX selalu menafsirkan “demuth” dengan “homoioma”,
yang artinya “rupa, bentuk, penampilan”, dan juga “homoiosis”, yang artinya
“rupa, mirip”, “eikon” yang artinya “gambar, rupa”, “idea” yang artinya
“penampilan, roman, bentuk”, dan “homoios” yang artinya “rupa” (Yes. 13:4) dan
yang paling menonjol artinya adalah “rupa”. Kata Demuth paling sering muncul di
kitab Yehezkiel kebanyakan artinya adalah “bayangan”. [21]
Dalam
tulisan smber P, juga masa pembuangan penggunaan demuth selalu disertai dengan
tselem (Kej. 5:3) salinan ini memberi kesan bahwa tselem dan demuth sulit untuk
dipisahkan. Persoalan ini juga kerap
kali menjadi ketimbang Teologi. Ada juga yang berpendapat bahwa kata
“rupa” pada penciptaan hanya digunakan
untuk menegaskan kata “gambar”. Namun
ada juga yang membedakannya, kata gambar dikatakan lebih menunjuk kepada bentuk
luar seseorang mengambil bagian dalam penggambaran Allah sedangkan kata rupa lebih
condong berarti kesamaan ketimbang tiruan.[22]
Dari
Etimologi kata “tselem” dan “demuth” di atas maka diperoleh beberapa arah dari
makna kata “gambar” yaitu:
1.
Berarti menunjukkan adanya kemiripan dan
dipakai untuk anak yang serupa dengan ayahnya (Kej. 5:3) yang dalam konteks itu
ada kemiripan baik fisik maupun sifat dan karakter.[23].
namun perlu kita ketahui bahwa dalam pengertian ini bukan secara harafiah kita
menyebutkan bahwa Allah sama dengan manusia secara fisik, mempunyai mata,
mulit, hidung, wajah dan tangan. Fisik manusia adalah cerminan dari Allah.
Alkitab kerap kali berbicara tentang mulut, mata, hidung, wajah, tangan Allah
(Mzm. 94:9), tapi itu tidak bisa didefenisikan secara harafiah. Allah adalah
Roh, bukan bersifat badani, dan oleh karena itu dalam hakekatnya Dia berbeda
dengan manusia. Singkatnya, struktur kita manusia dengan percaya dan cukup
menjelaskan atau menunjukkan bahwa Allah, meskipun roh, Ia melihat kaum miskin
dan mendengan tangis dari penderitaan.[24]
Manusia sebagai cerminan Allah memiliki intelek, perasaan, kemampuan dan suatu
pengertian hukum moral dan pengertian tentang identitasnya sendiri. Tapi satu
hal kita perlu ketahui pengetahuan Allah yang tidak terbatas adalah nyata
berbeda dengan pengetahuan manusia yang terbatas.[25]
2.
Dari kata tselem yang berarti patung,
yang merupakan wakil dari sosok nyatanya. Dalam budaya Mesir dan Babel, raja
disamakan dengan gambar ilah dan menurut Von Rad (1972) dalam konteks sosial
Timur Dekat Kuno, tselem dimaksud sebagai bentuk fisik yang mewakili kehadiran
seorang penguasa, ketika seorang raja menguasai wilayah di luar kerajaannya,
kehadirannya secara fisik di wilayah itu bisa diwakili dengan tselem berupa
patung dirinya yang ditaruh di daerah itu. patung itu bukan raja sebenarnya
melainkan bisa dipandang sebagai representasi kehadirannya di suatu wilayah.[26]
Sebagai wakil Allah manusia berkuasa atas mahluk lain (Kej. 1:26,28) atau
memenuhi bumi.[27]
Hal ini berkaitan dengan kreativitas dan tanggung jawab yang diberikan Allah
bagi manusia (Kej. 1: 26,28-29) yaitu untuk menguasai dan memelihara bum serta
mengerjakannya.[28]
Manusia ditugaskan memelihara keutuhan ciptaan Allah.
3.
Gambar dan rupa Allah juga berarti
manusia memiliki relasi yang khusus dengan Allah. Juga berarti manusia mempuyai
hidup dari Allah dan Allah hadir dalam gambarnya. Namun bukan berarti manusia
sama dengan Allah, gambar Allah, bukan Allah.[29]
Oleh karena itu manusia tetap dikuasai oleh hukum dan kehendak Allah yang
mengatur manusia.
4.
Gambar dan rupa Allah berarti manusia
menemukan jati dirinya secara benar dalam hidup berdampingan satu dengan yang
lain. Dalam hal ini berarti manusia
tidak terlepas dari ciptaan Allah yang lainnya. Berkaitan dengan tugas dan
tanggungjawab manusia yang diberikan oleh Allah maka manusia harus menjaga dan
melestarikan serta memelihara dan menggunakan ciptaan Allah yang lainnya dengan
tanggungjawab kepada Allah.
II.
Refleksi Teologis
Dalam
konteks sekarang ini manusia telah lupa akan hakekatnya sendiri sebagai mahluk
yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Dalam konteks sekarang hal di
atas tampak dari banyaknya manusia terlibat dalam pemakaian obat-obat
terlarang, minum-minuman keras, rokok dan lain sebagainya yang merusak dirinya
sendiri. Tuhan menciptakan manusia dengan tanggung jawab untuk memelihara bumi
dan cipaan-Nya, namun bagaimana manusia itu memelihara ciptaan lain sementara
didalam kenyataannya ia tidak bisa memelihara tubuhnya sendiri. Selain itu hal
di atas juga dibuktikan dengan kerusakan-kerusakan alam yang terjadi di bumi
milik Allah ini. Kejahatan dan kejahatan semakin beranekaragam dilakukan oleh
manusia, kasih terhadap sesama dan terhadap Tuhan tidak lagi tercermin dalam
diri manusia. Untuk itu perlu kita bertanya dimanakan gambar dan rupa Allah itu
sekarang dalam diri manusia?
III.
Kesimpulan
Dari
pemaparan di atas dapat kita simpulkan bahwa Manusia adalah mahluk yang
diciptakan istimewa oleh Allah dengan maksud dan rencana Allah yang tidak dapat
dijangkau oleh manusia. Manusia adalah gambar dan rupa Allah bukan berarti
manusia sama dengan Allah. Manusia tetap memiliki status sebagai ciptaan Allah,
jadi ia berada di bawah kekuasaan Allah. Oleh karena manusia memiliki
keterbatasan maka manusia tidak bisa menjangkau renacana Allah dalam ciptaan-Nya
dan maksud penciptaan-Nya. Oleh sebab itu sebagai manusia yang diciptakan
menurut gambar dan rupa Allah marilah kita mencerminkan apa yang Tuhan
perintahkan dan kehendaki untuk kita hidupi.
IV.
Daftar
Pustaka
Baker,
D. L, & A. A. Sitompul, Kamus Singkat
Ibrani-Indonesia , Jakarta: BPK-GM, 2007
Baker,
Sejarah Kerajaan Allah 1, Jakarta:
BPK-GM, 2004
Barth,
Christoph & Maria Claire Barth Frommel, Teologi
Perjanjian Lama 1, Jakarta: BPK-GM, 2008
Botter
Weck, Johannes-Helmer Ringgren,TDOT ,
Michigan: William B. Eerdmanns, 1980
Dyrness,
William, Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian
Lama, Malang: Gandum Mas, 1979
Jan
Plaiser, Arie, Manusia,Gambar Allah,
Jakarta: BPK-GM, 1999
Jenni,
Ernst & Claus Wastermann Theological
Lexion Of The Old Testament Vol 1, America: Hendrickson, 1997 1080.
Karman,Yonky,
Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama ,
Jakarta: BPK-GM, 2004
Poerwardarminta,
Kamus Besar Bahasa Indonesia II,
Jakarta: Balai Pustaka, 1995
Waltke,
Bruce K., An Old Testament Theology, Michigan:
Zondervan, 2006
[1] Poerwardarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia II
(Jakarta: Balai Pustaka, 1995), 1014.
[2] D. L. Baker & A. A.
Sitompul, Kamus Singkat Ibrani-Indonesia (Jakarta:
BPK-GM, 2007), 9
[3] Bruce K. Waltke, An Old Testament Theology (Michigan:
Zondervan, 2006), 224.
[4] William Dyrness, Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama (Malang:
Gandum Mas, 1979), 74.
[5] Christoph Barth & Maria
Claire Barth Frommel, Teologi Perjanjian
Lama 1 (Jakarta: BPK-GM, 2008), 33.
[6] kata nefes juga dipakai dalam
arti “orang” (Yer. 52:9), sebagai jumlah anggota rumah tangga (Kej. 36:7),
sebagai kata ganti diri seperti “aku” (Mzm. 103: 1), engkau, dia dan hamba. Ibid, 33.
[7] William Dyrness, Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama, 69.
[8] Christoph Barth & Maria
Claire Barth Frommel, Teologi Perjanjian
Lama 1, 34.
[9] Bruce K. Waltke, An Old Testament Theology, 225.
[10] William Dyrness, Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama, 73-74.
[11] Dengan hati manusia insyaf,
merasa, mengenal, atau mempertimbangkan (ump. Hak. 5:14-15; 1 Sam. 16:7; 1
Raj.3:9), di dalam hati berdiamlah hikmat (Ams. 2:10; 16:23), dengan hati suatu
rencana dibuat dan dilaksanakan (Yes. 10:7), hati dapat bersifat tulus (Mzm.
7;11; 11:2), atau murni (Mzm. 24:4; 51:12), tetapi juga dapat bersifat degil
(Yer.3:17). Christoph Barth & Maria Claire Barth Frommel, Teologi Perjanjian Lama 1, 34.
[12] Bruce K. Waltke, An Old Testament Theology, 227.
[13] William Dyrness, Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama, 70.
[14] Bruce K. Waltke, An Old Testament Theology, 227
[15] William Dyrness, Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama, 78.
[16] Arie Jan Plaiser, Manusia,Gambar Allah (Jakarta: BPK-GM,
1999), 15-16.
[17] Dalam bahasa Akkad yaitu bahasa
dari rumpun Semit, kata ini disebut “salmu” yang berarti “patung, ukiran,
gambar, konselasi, bentuk fisik.” dan di dalam bahasa Aram ber disebut
"arti “patung” serta di dalam bahasa Arabdisebut “sanam” yang berarti
“dewa, berhala, patung terukir”. H. Wildberger, Theological Lexion Of The Old Testament Vol 1 (Ernst Jenni &
Claus Wastermann), (America: Hendrickson, 1997), 1080.
[18] Bruce K. Waltke, An Old Testament Theology, 215.
[19] Yonky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama (Jakarta:
BPK-GM, 2004), 27.
[20] Preuss, TDOT (Johannes Botter Weck-Helmer Ringgren) (Michigan: William B.
Eerdmanns, 1980), 257.
[21] Ibid, 258
[22] William Dyrness, Tema-Tema Dalam Teologi Perjanjian Lama, 67
[23]Christoph Barth & Maria
Claire Barth Frommel, Teologi Perjanjian
Lama 1, 35.
[24] Bruce K. Waltke, An Old Testament Theology, 217.
[25] Yonky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, 50
[26] H. Wildberger, Theological Lexion Of The Old Testament Vol
1 (Ernst Jenni & Claus Wastermann), 1083
[27] F. L. Baker, Sejarah Kerajaan Allah 1 (Jakarta: BPK-GM, 2004), 17.
[28] Christoph Barth & Maria
Claire Barth Frommel, Teologi Perjanjian
Lama 1, 37.
[29] Yonky Karman, Bunga Rampai Teologi Perjanjian Lama, 50-51.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar