FILSAFAT
PRAGMATISME
Chrisnov
M. Tarigan Sibero
I.
I. PEMBAHASAN
1.1.Pengertian Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata pragma artinya guna.
Pragma berasal dari kata Yunani. Maka pragmatisme adalah suatu aliran yang
mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai
yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara praksis.[1] Pragmatisme
merupakan inti filsafat pragmatik[2]
dan menemukan nilai pengetahuan berdasarkan kegunaan praksisnya. Kegunaan
praksis bukan pengakuan kebenaran objektif dengan ketentuan praktik, tetapi apa
yang memenuhi kepentingan-kepentingan subyektif.[3]
Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa
yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantara akibat-akibatnya yang
bermanfaat secara praksis. Pegangan pragmatisme adalah logika pengamatan.
Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu asal saja bermanfaat bahkan
kebenaran mistis dipandang sebagai berlaku juga, kebenaran mistis itu membawa
akibat praksis yang bermanfaat.[4]
Dalam logika pragmatika sampai pada irasionalisme
hal ini nampak jelas dalam karya-karya James dan secara tersirat dalam
karya-karya Dewey. Dalam etika, pragmatisme menganut meliorisme yaitu pandangan
tentang pendekatan secara bertingkat dari tantanan yang ada.[5]
1.2.Latar Belakang Sejarah dan
Perkembagan Pragmatisme
Pragmatisme pada awalnya diperkenalkan oleh Charles
Sanders Peirce (1839-1914), dia adalah filsuf Amerika pertama yang menggunakan
pragmatisme sebagai metode filsafat, tetapi pengertian pragmatisme telah
terdapat juga pada Socrates, Aristoteles, Berkeley, dan Hune. Jika pragmtisme
disangkutpautkan dengan empirisme[6]
kiranya ketersangkutan itu memang besar-maka sejarah pragmatisme berarti
tersebar pada banyak filsuf lainnya. Satu diantaranya John Lock.[7]
Suatu gerakan filsafat abad ke-19 dan ke-20 yang menekankan interpretasi
ide-ide melalui kensekuensi-konsekuensinya. Istilah ini diangkat dari Kant oleh
C. S. Peirce. Kant membedakan –yang praksis-yang berkaitan dengan kehendak dan
tindakan-dari yang pragmatis-yang bertalian dengan akibat-akibat. Pierce
mengusulkan teori makna dari ide ini.[8]
Lahirnya pragmatisme tidak terlepas dari adanya
pertentangan antara empirisme dan rasionalisme. Bila pertentangan ini
diperuncing akan menimbulkan pertanyaan jalan tunggal manakah pengetahuan itu
terjadi. Aliran yang disebut intelektualisme menjawab pertanyaan tersebut
secara ekstrim mengatakan bahwa akal budi merupakan sarana pengetahuan,
sedangkan aliran sensualisme secara ekstrim pula mengatakan bahwa sarana untuk
memperoleh pengetahuan adalah panca indra. Aliran pragmatisme meyakini bahwa
akal budi tidak memunculkan objek (sebagaimana pandangan idealisme). Serta
tidak pula mampu memantulkan kembali (seperti anggapan kaum realis).
Pragmatisme memandang daya pengetahuan sebagai sarana bagi tindakan manusia
untuk menentukan apa manfaat suatu tindakan bagi hidup kita. Dalamhal ini,
pragmatisme dapat dikatakan mempertanyakan apa fungsi filsafat bagi kehidupan
kita. Walaupun banyak yang berpendapat bahwa pragmatisme bukan suatu filsafat
melainkan suatu metode atau instrument karena senantiasa berorientasi pada
manfaat.[9]
1.3. Pragmatisme Berpegang Teguh Pada
Praktek
Berusaha menemukan asal mula serta hakekat terdalam
dari segala sesuatu, merupakan kegiatan yang sangat menarik, meskipun kegiatan
tersebut luar biasa buktinya. Peganut pragmatisme menarik perhatian pada
praktek. Mereka memandang hidup manusia sebagai suatu perjuangan, utuk hidup
yang berlangsung terus menerus yang didalamnya terpenting ialah konsekuensi.
Konsekuensi yang bersifat praktis. Konsekuensi-konsekuens yang bersifat praksis
tersebut erat hubungannya dengan makna dan kebenaran. Demikian eratnya sehingga
oleh seorang penganut pragmatisme dikatakan bahwa kedua hal tersebut
sesungguhnya merupakan ketunggalan.[10]
Salah seorang peletak dasar Pragmatisme adalah Peirce yang mengatakannya
demikian “ Untuk memastikan makna apakah yang dikandung oleh sebuah konsepsi
akali, maka kita harus memperhatikan konsekuensi-konsekuensi praksis apakah
yang niscaya timbul dari kebenaran konsepsi tersebut.Jika tidak menimbulkan
konsekuensi-konsekuensi yang praksi, maka sudah tentu tidak ada makna yang
dikandungnya. Kesimpulan yang terakhir ini dinyatakan dalam semboyan “ Apa yang
tidak mengakibatkan perbedaan maka tidak mengandung makna”. Maka yang dikandung
sebuah pernyataan terdapat dalam konsekuensi yang niscaya timbul dari suatu
pertanyaan yang dianggap benar.[11]
1.4.
Tokoh-Tokoh Pragmatisme
·
William James (1842-1910)
William James lahir di New York pada 1842. Sejak
1872 hingga 1907, ia menuntut ilmu di Harvard. Pada mulanya James mempelajari
fisiologi, kemudian beralih ke psikologi, dan terakhir filsafat. Pragmatisme
William James memiliki pengaruh yang cukup dominan dalam filsafat pragmatisme,
yang merupakan pemikiran khas Amerika. Karya-karya William James antara lain Pragmatism, The Will to Believe, The
Varietis of Religion Experience, The Meaning of Truth, dan beberapa karya
lainnya. Pemikiran filsafat James lahir karena dalam sepanjang hidupnya
mengalami ilmu pengetahuan dengan pandangan agama. Ia beranggapan bahwa masalah
kebenaran, tentang asal/tujuan dan hakikat bagi orang Amerika terlalu teoritis.
Yang dia inginkan ialah hasil-hasil yang kongkrit. Dengan demikian untuk
mengetahui kebenaran dari idea tau konsep haruslah diselidiki
konsekuensi-konsekuensi praksisnya.[12]
William
James mengatakan bahwa secara ringkas pragmatisme adalah realitas sebagaimana
yang kita ketahui. Ia juga menambahkan, untuk mengukur kebenaran suatu konsep
kita harus mempertimbangkan apa konsekuensi logis penerapan konsep tersebut.
James adalah tokoh yang bertanggung jawab yang membuat pragmatisme menjadi
terkenal di seluruh dunia.[13]
Mengenai kebenaran, ada satu kalimat dari William James yang cukup padat dalam menggambarkannya, yaitu “truth happens to an idea” . Berbeda dengan konsepsi tradisional mengenai kebenaran yang memandang kebenaran sebagai sesuatu yang pasti dan tetap, James meyakini bahwa kebenaran itu terjadi pada suatu gagasan. Dalam hal ini, kebenaran dipahami sebagai sesuatu yang dinamis. Maka kebenaran suatu gagasan tidaklah dikatakan sebagai “benar”, melainkan “menjadi benar”. Hal ini ditakar dari efek-efek praktis dan tindakan yang mengikuti gagasan tersebut. Sebuah gagasan dinilai benar, jika mengarahkan manusia pada suksesnya suatu tindakan. Dengan kata lain, jika gagasan itu mengarahkan kita pada tindakan yang membawa manfaat. Bagi James, benar dan bermanfaat merupakan satu hal yang sama.[14]
Mengenai kebenaran, ada satu kalimat dari William James yang cukup padat dalam menggambarkannya, yaitu “truth happens to an idea” . Berbeda dengan konsepsi tradisional mengenai kebenaran yang memandang kebenaran sebagai sesuatu yang pasti dan tetap, James meyakini bahwa kebenaran itu terjadi pada suatu gagasan. Dalam hal ini, kebenaran dipahami sebagai sesuatu yang dinamis. Maka kebenaran suatu gagasan tidaklah dikatakan sebagai “benar”, melainkan “menjadi benar”. Hal ini ditakar dari efek-efek praktis dan tindakan yang mengikuti gagasan tersebut. Sebuah gagasan dinilai benar, jika mengarahkan manusia pada suksesnya suatu tindakan. Dengan kata lain, jika gagasan itu mengarahkan kita pada tindakan yang membawa manfaat. Bagi James, benar dan bermanfaat merupakan satu hal yang sama.[14]
·
Charles
S. Peirce (1839-1914)
Peirce adalah anak seorang ahli matematika, logika dan filsafat. Peirce
terkenal dengan prinsipil dalam filsafat klasik dan sangat memahami sejarah
ilmu pengetahuan, termasuk penemuan Darwin. Peirce menyimpulkan bahwa salah
satu kunci dalam usaha adalah bukti, data, persepsi, dan peluang yang tersedia
bagi para peneliti. Peirce menolak teori realitas yang telah ada sebelumnya
yakni mekanistis.[15] Pierce juga menyatakan ‘untuk memastikan makna apakah yang dikandung
oleh sebuah konsepsi akali, maka kita harus memperhatikan
konsekuensi-konsekuensi praksis apakah yang niscaya yang akan timbul dari
konsepsi tersebut jika tidak menimbulkan konsepsi-konsepsi yang praksis maka
tidak ada makna yang dikandungnya”.[16] Menurut Peirce, yang penting adalah pengaruh apa yang dimiliki suatu ide
dalam suatu rencana tindakan dan bukan hakikat suatu ide. Dalam konsep Peirce
salah satu gagasan yang paling adalah gagasan dalam bentuk aksi, ide tidak
begitu penting karena dikatakan tetapi karena dilaksanakan. Ditemukan sejumlah
ide dan prinsip Pragmatisme yang dihasilkan dari ajaran Peirce: termasuk
diantaranya bahwa prinsip pengalaman apapun(Seperti penelitian ilmiah) selalu
mempunyai hubungan dengan pengalaman lain. Proses penjelasan tentang realitas
adalah suatu proses yang tidak pernah berhenti dan setiap pengetahuan hanya
bersifat sementara dan kondisional.[17]
·
John Dewey (1859-1952)
John Dewey dilahirkan di Burlington Vermont
tahun 1859 mula-mula ia adalah seorang pemuda yang pemalu. Tetapi akhirnya
menjadi seorang yang pengaruhnya sangat besar dalam bidang filsafat.Tujuan
filsafat bagi Dewey adalah untuk mengatur kehidupan dan aktivitas manusia
secara lebih baik untuk di dunia dan sekarang Dewey mengatakan manusia telah
memakai dua metode untuk menghindari bahaya dan mencapai keamanan. Diantara pemikiran-pemikiran Dewey adalah:
-
Pengalaman
dan dunia yang berubah
Pengalaman adalah satu dari kata-kata
kunci dalam filsafat Dewey, filsafat Dewey adalah mengenal dan untuk pengalaman
sehari-hari. Pengalaman adalah keseluruhan drama manusia dan mencakup segala
proses saling mempengaruhi antara organisme yang hidup dan lingkungan ronaldanfisik.
-
Metode
kecerdasan.
Hal-hal yang pokok dalam filsafat Dewey
adalah teori tentang ide-ide dan menggunakan intelegensi (kecerdasan)
sebagai metode. Ia mementingkan persoalan antara suatu organisme dengan
lingkungannya semua pemikiran dan konsep, doktrin logika dan filsafat merupakan
alat pertahanan bagi manusia dalam perjuangan untuk kehidupan.
-
Kemerdekaan
kemauan dan kebudayaan.
Menurut Dewey
manusia dan alam selalu saling bersandar. Alam dalam manusia adalah alam yang
sudah berfikir dan menjadi cerdas. Alam dapat difikirkan dan dipahami, alam
dimanfaatkan tetapi sesuatu yang harus diubah dan dikontrol.
II.
ANALISA
Pragmatisme
yang adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa yang
membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang
bermanfaat secara prakktis. Dimana aliran ini bersedia menerima segala sesuatu,
asal saja membawa akibat yang praksis. Dari pengertian tersebut dapat kita
refleksikan bahwa segala sesuatu yang dalam kehidupan sehari-hari jikalau
memang kita melakukan perbuatan yang benar jelas pada segala sesuatu yang bisa membuktikan
kita itu benar. Arti lain untuk membuktikan perbuatan kita itu benar jika
sesuatu yang kita lakukan itu bermanfaat dan praktis. Dalam kehidupan kita
sehari-hari terkadang kita tidak menyadari bahwa apa yang kita perbuat berbalik
dari suatu kebenaran secara praksis, artinya tidak ada sesuatu yang bermanfaat
yang kita lakukan meskipun itu mengajarkan tentang kebenaran dan kebenaran
itupun tidak memiliki bukti yang nyata. Kita sering ragu akan perbuatan baik
yang kita lakukan seakan-akan itu tidak memiliki manfaat apapun. Sehingga
apapun yang kita lakukan dalam hidup kita dikuasai akan perasaan kawatir karena
memang tidak ada bukti dari kebaikan tersebut. Melalui pembahasan kita kali
ini, pragmatisme menekankan akan manfaat atau praksis dari setiap perbuatan
baik itu kebenaran. Misalnya segala sesuatu yang berbau mistikpun asalkan
membawa kepraktisan dan bermanfaat, artinya segala sesuatu itu dapat diterima
asalkan bermanfaat.Oleh karena itu mari kita membiasakan diri untuk melakukan
hal-hal kebaikan dan mempunyai manfaat yang praksis sehingga kita memperoleh
kepuasan akan apa yang kita perbuat.Tuhan yang mengajarkan kita kebaikan
memberikan contoh kepada kita untuk kita juga harus melakukan kebenaran yang
bermanfaat sehingga relasi kita dengan Dia semakin dekat.
III.
III. DAFTAR
PUSTAKA
Achmadi,
Asmoro A., Filsafat Umum, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1995
Bagus,
Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2000
Hadiwijono,
Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat II, Yogyakarta:
Kanisius, 1988
James,
William, Pragmatism: and Four Essays from The Meaning of Truth, New York:
Meridian Books, 1959
Kattsoff,
Louis O., Pengantar Filsafat, Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1992
Minderop,
Albertine, Pragmatisme Amerika,
Jakarta:OBOR (Anggota IKAPI), 2005
Soemargono,
Soejono, Pengantar Filsafat. Yogyakarta:
1989
Tafsir,
Ahmad, Filsafat Umum, Bandug: PT.
Remaja Rosdakarya, 1994
[1] Asmoro A. Achmadi, Filsafat Umum, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1995, hlm.118
[2] Pragmatik: Inggris dari bahasa
Yunani pragma (fakta, benda, materi, sesuatu yang dibuat, kegiatan, pekerjaan,
menyangkut akibat) dari prasseum (membuat, melakukan) suatu cabang semiotika
studi tentang apa yang kita buat terhadap dengan symbol-simbol terpisah dari
artinya. Pragmatika tidak berurusan dengan apa yang symbol-simbol artikan atau
tandakan atau bagaimana symbol-simbol itu berhubungan dengan symbol-simbol
lainnya. Pragmatika bergelut dengan bagaimana orang-orang yang menciptakan
symbol-simbol itu berhubungan dengan symbol-simbol lainnya. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama, 2000, hlm. 876
[3] Ibid, hlm.877
[4] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat II, Yogyakarta:
Kanisius, 1988, hlm.130
[5] Lorens Bagus, Op.cit., hlm. 878
[6]Inggris: Empirisme, dari Yunani
“Empeiria, empeiros” (berpengalaman dalam, berkenalan dengan, terampil untuk).
Dalam bahasa Latin kata empirisme berasal dari kata“Experiential” (pengalaman).
Empirisme adalah doktrin bahwa sumber pengetahuan harus dicari dalam pengalaman
salah satu teori mengenai asal pengetahuan. Biasanya bertolak belakang dengan
rasionalisme dimana pada anggapannya adalah bahwa akal merupakan sumber
pengetahuan satu-satunya setidaknya yang primer. (Lih. Ibid., hlm. 197 )
[7] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Bandug: PT. Remaja
Rosdakarya, 1994, hlm. 166
[8] Lorens Bagus, Op. Cit., hlm. 878
[9]
Albertine Minderop, Pragmatisme
Amerika, Jakarta:OBOR (Anggota IKAPI), 2005, hlm. 12-15
[10] Soejono Soemargono, Pengantar Filsafat. Yogyakarta: 1989, hlm.
130
[11] Louis
O Kattsoff, Pengantar Filsafat,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992, hlm. 130
[12] Asmoro A. Achmadi, Op. Cit., hlm. 118
[13] Ahmad Tafsir, Op. Cit., hlm. 166-167
[14]William James, Pragmatism: and
Four Essays from The Meaning of Truth, (New York: Meridian Books, 1959)
hlm. 133
[15] Albertine Minderop, Op. Cit., hlm. 95
[16] Louis O. Kattsoff, Op. Cit., hlm. 130
[17] Albertine Minderop, Op. Cit., hlm. 96
Tidak ada komentar:
Posting Komentar