Bentuk Sistem
Organisasi Gereja
Menurut Sistem
Episkopal
Oleh : Chrisnov M. Tarigan
I.
Pembahasan
1.1 Pengertian Episkopal
Jika
berbicara tentang model kepemimpinan di dalam sistem/ susunan episkopal, kita
harus terlebih dahulu melacak kata episkopal dalam bingkai episkopos. Karena
kata episkopos merupakan produk dunia
gereja mula-mula di dalam Perjanjian Baru.[1]
Istilah Episkopos misalnya muncul
dalam Kisah Para Rasul 20:20, yang
artinya gembala, penilik, dan pada akhirnya penilik ini yang mendapat penekanan
dalam pengertian Roma Katolik yang akhirnya menjadi Bishop.[2] Dapat
juga dikatakan bahwa sistem episkopal ini adalah suatu sistem kepemimpinan
gereja yang pucuk pimpinannya dipegang oleh seorang Bishop.[3] Dalam
buku Abineno dijelaskan bahwa bishop dalam sistem episkopal ini mempunyai kuasa
atas pendeta-pendeta dan diaken-diaken. Jabatan episkopal mula-mula merupakan suatu
majelis jabatan dari penilik jemaat dan penatua (band. Kis. 20:17,28 dan Tit.
1:5,7) dan kemudian jabatan episkopos makin lama makin menjadi satu-satunya
pemimpin jemaat, sehingga jabatan uskup (bishop) berkembang menjadi jabatan
yang berkuasa. Presbiter-presbiter dan diaken-diaken tidak boleh melakukan
sesuatu tanpa izin dari uskup, sebab kepadanyalah umat Tuhan dipercayakan dan
ialah yang bertanggung jawab atas jiwa-jiwa mereka.[4]
1.2 Latar belakang Munculnya Sistem
Episkopal
Pada
zaman Perjanjian Baru jemaat-jemaat, baik di Palestina maupun di luar Palestina
dipimpin oleh rasul-rasul. Sewaktu rasul-rasul tidak ada lagi, jemaat mulai
mengalami kesuliatan. Mereka hidup di tengah-tengah masyarakat kafir yang
mempengaruhi segala bidang kehidupan. Dalam situasi sulit seperti ini mereka
membutuhkan seorang pemimpin rohani yang kuat bagi jemaat-jemaat mereka dan
suatu penjagaan yang cermat terhadap kekudusan hidup mereka. Atas dasar inilah
memimpin kepada suatu perkembangan dimana pejabat-pejabat, yaitu
episkopos-episkopos dan penatua-penatua yang dapat memainkan peranan yang
sangat penting dalam jemaat.[5] Sistem
episkopos ini akhirnya berekembang. Sistem episkopal semakin berkembang karena
dilatarbelakangi suatu kritik timbul di
tengah gereja Roma Katolik sebagai kritik terhadap sistem Papal. Yang
mengkritik ini tidak menerima kuasa papas (paus) yang tidak terbatas.
Pengkritik ini menghendaki agar paus itu tunduk kepada konsili, dimana kuasa
tertinggi diaharapkan ada di tangan konsili (persidangan uskup-uskup).[6]
1.3 Sistem / Susunan Episkopal
Dalam
rangka mengemban tugas tanggung-jawab kepemimpinan, uskup bertugas mengawasi
kehidupan rohani gereja dan jalannya roda administrasi dan organisasi gereja.
Dalam sistem kepemimpinan gereja, kuasa tidak berpusat di tangan satu orang
saja, melainkan dipegang oleh sekelompok orang yang secara kolektif seperti
dewan bishop, konferensi dan badan-badan konferensi lainnya. Tugas terpenting
seorang uskup (bishop) merupakan wujud dari episkopalisme yaitu membuat
penempatan pendeta untuk melayani suatu gereja atau lembaga terkait kendati
proses penempatan ini digodok melalui konsultasi dalam cabinet dan konsultasi
dengan pendeta bersangkutan, namun hasil keputusan terakhir ada ditangan uskup.[7]
Uskup
sangat terkait dengan posisi yang ditempatkan lebih tinggi, sehingga jabatan
mulai diutamakan dalam gereja, dan kesewenang-wenangan yang meleburkan
aspek-aspek kesederajatan, inilah herarki dari bentuk pemerintahan di kemudian
hari.[8]
Hal ini merupakan kelemahan dari sistem ini, dimana ketika makna dari kata
pengawas dipahami sebagai sebuah jabatan yang dibentuk atas dasar herarki
jabatan, dipahami dan dijalankan sebagai bentuk kekuasaan yang mutlak dan
kesewenang-wenangan.[9]
Hal ini adalah sesuatu yang wajar, karena sudah jelas bahwa setiap sistem atau
susunan organisasi pastilah mempunyai kelemahan dan kelebihan. Walaupun sistem
ini mempunyai kelemahan tetapi masih banyak hal positif yang ada didalamnya
dalam rangka pengembangan gereja, oleh karena itu sampai saat ini masih ada
gereja yang menganut sistem ini.
1.4 Jabatan Gerejawi Dalam Sistem
Episkopal
salah
satu gereja yang menganut sistem episkopal ini adalah Gereje Methodist
Indonesia (GMI). Untuk memahami sistem ini kami rasa perlu kita ketahui
bagaimana pembagian jabatan dalam sistem ini. Kami penyaji akan memaparkan bagaimana
pembagian jabatan gerejawi yang ada dalam GMI.
1.
Bishop
Dalam
gereja Methodist di Amerika, bishop dipilih untuk seumur hidup (for life).
Penempatannya bisa berpindah-pindah dari suatu konfrensi tahunan ke konfrensi tahunan lain, yang diatur dalam badan
episkopal (sebuah badan yang terdiri dari pendeta dan warga gereja). Sementara
di Indonesia, jabatan bishop memiliki periode (for term), ia harus dipilih
sekali untuk empat tahun. Bishop hanya bisa melayani selama dua periode,
setelah itu ia harus digantikan oleh bishop yang dipilih kemudian.
2.
Pimpinan
Distrik
Pimpinan
distrik biasa juga disebut praeses atau bishop kecil. Pimpinan distrik bertugas
sebagai pembantu bishop di distriknya masing-masing. Pimpinan distrik ini
diangkat dan ditempatkan langsung oleh bishop, itu adalah hak prerogative
bishop. pimpinan distrik bertugas sebagai konektor antara konferensi tahunan
dengan jemaat dan antara Bishop dengan Pendeta (Pemimpin jemaat). Di setiap
wilayah konferensi tahunan terdapat satu cabinet yang terdiri dari Bishop
(sebagai ketua dan para pimpinan distrik sebagai anggota. Forum cabinet inilah
yang memutuskan mutasi dan penampatan para pendeta dan guru Injil.
3.
Pendeta
Pendeta
dalam GMI melaksanakan tugas untuk memberitakan firman Tuhan, melaksanakan sakramen
baptisan kudus dan perjamuan kudus. Disamping tugas tersebut, pendeta juga
melaksanakan tugas pemiliharaan rohani atau pengembalaan. Seorang pendeta
Metodist terdaftar dalam konferensi tahunan dengan status anggota penuh artinya
pendeta tidak tergabung dalam satu jemaat tertentu, tetapi dia adalah anggota
konferensi tahunan. Yang tergabung dalam satu jemaat tertentu hanya istri dan
anak-anak pendeta.
4.
Majelis
Jemaat
Disetiap
jemaat GMI dibentuk suatu badan yang dinamakan majelis jemaat. Anggota majelis
jemaat ini merupakan teman sekerja pendeta atau guru injil. Komposisi majelis
jemaat terdiri dari pendeta jemaat, guru
Injil, lay-leader, ketua-ketua komisi, pimpinan sekolah Minggu. Lay-leader
adalah suatu jabatan dalam mejelis jemaat yang boleh dikatakan sebagai wakil pendeta
dan atau guru injil yang melayani disuatu jemaat. Dalam GMI tidak ada jabatan
penatua, yang ada adalah lay-speaker (pengkotbah awam). Tugasnya adalah
membantu pendeta dan guru injil dalam melaksanakan tugas pemberitaan firman dan
yang memimpin kebaktian.[10]
II.
Daftar
Pustaka
Berkhof, H., Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM, 2007
Ch. Abineno, J.L., Garis-Garis Besar Hukum Gereja, Jakarta:
B PK-GM, 2009
Daulay, Richard M., Kekristenan dan Kesukubangsaan, Yogyakarta:
Taman Pusaka Kristen, 1996
Daulay, Richard M., Mengenal Gereja Methodist Indonesia, Jakarta:
BPK-GM, 2003
Gintings, E. P., Apakah Hukum Gereja, Bandung: Jurnal
Info Media, 2009
Lumbantobing, Sahat
Martua, Model Kepemimpinan Episkopal,
Jakarta: BPK-GM, 2003
Saragih, Jahenos, Manajemen Kepemimpinan Gereja, Jakarta:
Suara GKYE, 2008
[1] Sahat Martua Lumbantobing, Model Kepemimpinan
Episkopal, Jakarta: BPK-GM, 2003, hlm. 84
[2] E. P. GIntings, Apakah Hukum Gereja, Bandung:
Jurnal Info Media, 2009, hlm. 68
[3] Jahenos Saragih, Manajemen Kepemimpinan
Gereja, Jakarta: Suara GKYE, 2008, hlm. 246
[4] J.L. Ch. Abineno, Garis-Garis Besar Hukum
Gereja, Jakarta: B PK-GM, 2009, hlm. 51-53
[5] Ibid, hlm. 50-51
[6] E.P.Gintings, Op.Cit., hlm. 68
[7]
Richard M. Daulay, Kekristenan dan
Kesukubangsaan, Yogyakarta: Taman Pusaka Kristen, 1996, hlm.78-79
[8] H.
Berkhof, Sejarah Gereja, Jakarta:
BPK-GM, 2007, hlm.10
[9]
Sahat Martua Lumbantobing, Op.cit., hlm.170-174
[10]
Richard M. Daulay, Mengenal Gereja
Methodist Indonesia, Jakarta: BPK-GM, 2003, hlm. 10-13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar