Teologi Brahmana
Oleh:
Chrisnov M. Tarigan Sibero
I.
Pembahasan
1.1.
Lahirnya Agama Hindu
Pada zaman kuna oleh penduduknya India disebut: Jambudwipa yang artinya: benua pohon
jambu, atau disebut Bharatwarsa, yang artinya: tanah keturunan Bharata. Nama
India dijabarkan dari nama sungai Sindhu, yang mengairi daerah Barat India.
Oleh orang-orang Persia sungai ini disebut sungai Hindu. Kemudian nama ini
diambil-alih oleh orang Gerika, sehingga nama itulah yang terkenal di dunia
Barat. Akhirnya nama itu diambil-alih oleh pemerintahan India sekarang. Ketika
agama Islam dating ke India nama yang diberikan oleh bangsa Persia timbul
kembali dengan bentuk Hindustan, sedang penduduknya yang masih memeluk agama
India asli disebut orang Hindu.
Oleh orang Pribumi sendiri agama Hindu disebut:
Sanatana Dharma, yang berarti: agama yang kekal. Agama Hindu bukanlah agama
dalam arti yang biasa. Agama Hindu adalah suatu bidang keagamaan dan
kebudayaan, yang meliputi zaman sejak kira-kira 1500 s.M. hingga zaman sekarang. Di dalam perjalanannya di
sepanjang abad-abad itu agama Hindu berkembang sambil berubah dan terbagi-bagi,
sehingga memiliki cirri yang bermacam-macam, yang oleh penganutnya
kadang-kadang diutamakan, tetapi kadang-kadang tidak diidahkan sama sekali.[1]
Menurut sejarah, agama Hindu itu dibagi menjadi 2
masa yaitu: masa sebelum dan sesudah serangan-serangan Islam kira-kira tahun
1000 s.M. Meskipun agama Islam mendapat penganut di India, tetapi agama
tersebut tidak besar pengaruhnya terhadap agama Hindu.[2]
1.2.
Teologi Brahmana
Agama Brahmana bersumber kepada Kitab Brahmana,
yaitu bagian kitab Weda yang kedua. Kitab ini dituliskan oleh para Imam atau
Brahmana dalam bentuk prosa. Isinya memberi keterangan tentang korban. Hal ini
disebabkan karena zaman ini adalah suatu zaman yang memusatkan keaktifan
rohaninya kepada korban.[3]
Kitab Sama Weda terdiri atas 1000 bagian.[4]
Kitab ini berisikan nazam dan nyanyian-nyanyian terutama pada waktu mau
memotong korban untuk Dewa Soma Devita.[5]
Teologi Brahmana mengelompokkan ajarannya menjadi dua bagian yaitu:
1. Teologi
Brahmana Wedanta
2. Teologi
Brahmana Sankhya
1.2.1.
Teologi
Brahmana Wedanta
Wedanta artinya: akhirnya weda atau selesainya weda.
Wedanta membicarakan apa yang disebut “jnana
marga”, artinya: “jalan ilmu” .
Itu berarti, bahwa Wedanta menunjukkan suatu jalan kelepasan dengan
mempergunakan ilmu.
Paham-paham Weda ini ditetapkan secara dogmatis dan
selanjutnya dikembangkan oleh lima macam “pandangan” atau dogmatika (darsana)
yaitu:
1. Nyaya
atau teori tentang seni bantah
2. Weiseshika
atau “Susunan keistimewaan yang dibedakan”
3. Mimansa,
penyelidikan, yaitu theologia, dibagi atas dua bagian yakni:
a. Purwa-
Mimansa atau Theologia Upacara
b. Uttara-Mimansa atau disebut juga Wedanta,
penetapan dogmatis dari paham Upanisad
4. Sankhya
atau susunan yang berupa bilangan
Darsana-darsana itu menekankan bahwa berpikir
menurut akal itu sendiri tidak memberi kepastian. Darsana-darsana ini hanya
hendak menerangkan kebenaran yang kekal daripada Weda-weda yang diwartakan oleh
dewa-dewa. Darsana-darsana itu mau digunakan untuk menolong dunia yang
menderita, dunia yang telah terjerat dalam samsara dan mau membimbing ke arah
kelepasan dan ketentraman yang kekal.
Kitab yang termasyur dari pengajaran Wedanta ialah
Brahmasutra yang dituliskan oleh Badarayana. Sutra ialah kitab pelajaran yang
singkat, tersusun dari amsal-amsal pendek, yang baru dapat menjadi terang
setelah dijelaskan dengan lisan oleh guru. Keterangan-keterangan atau
tafsiran-tafsiran yang terkenal mengenai Brahmasutra yaitu:
1. Tafsiran
Sankara dari ± abad ke-8
2. Tafsiran
Ramanuja dari ± abad ke-11[8]
Pada aliran Sankara pertautan (antara dewa-dewa dan
manusia) itu lenyap karena dianggap tidak perlu lagi; bagi pujangga tersebut
dewa-dewa juga termasuk bidang penipuan diri manusia; dewa-dewa itu sebetulnya
tidak ada, tetapi manusia menggambarkan substansi purba, sang Brahmana itu,
dalam bentuk dewa-dewa.[9]
Sankara tidak mengakui adanya pengalaman/ penalaran indenpenden apa pun yang
dapat menegaskan pernyataan bahwa Brahman yang diberikan dalam Upanisad,
Brahman tidak memiliki sifat.[10]
Penafsiran Sankara itu banyak mengambil dari
Buddhisme, terutama dari Maha-Yana. Keterangan-keterangan kadang-kadang sangat
menyimpang dari yang dimaksud oleh Badarayana.
Sistem Sankara dapat disifat-khaskan dengan istilah
akosmisme, artinya tidak mengakui adanya dunia yang dapat dialami. Yang kekal
yang tidak berubah (sat), yang menjadi Roh (cit), dan yang didalam
ketenangannya berupa kebahagiaan (ananda), menjadikan dunia jasmani itu dengan
hikmah (sihir), dengan suatu kesemuan. Sat mengakui dunia jasmani ini dalam
bentuk jiwa-jiwa yang banyak, yang mengalami samsara disitu dan menjalankan
karma. Secara semu juga sat menguasai seluruh dunia sebagai Raja (Isvara).
Peralihan yang kekal (sat) kedunia yang jasmani dengan mempergunakan hikmah itu
disebut maya, tetapi maya itupun ilusi dan atau khayal. Didalam ajaran ini ada
suatu hikmat yang tinggi dan hikmat yang rendah. Hikmat yang rendah mengakui
adanya Raja (Isvara); sukma manusia serupa dangan Isvara itu. Dengan kepatuhan
dalam memenuhi kewajiban-kewajiban kasta dan aturan-aturan keagamaan, jiwa
(sukma) itu mendapat pengampunan dari Sang Isvara dan dengan demikian sukma itu
dapat memasuki hikmat yang lebih tinggi. Dengan perlengkapan itu orang mencapai
kelepasan (moksa) dan mengalahkan samsara.
Pada ilmu tentang maya itu terkaitlah ilmu tentang
ke empat keadaan sukma. Ia membedakan keadaan tersebut sebagai berikut:
1. Jaga.
Yang paling hakiki didalam keadaan juga ialah mengalami susah dan takut.
2. Mimpi.
Ini suatu keadaan yang lebih tinggi karena didalam mimpi susah dan takut itu
menjadi sesuatu yang tidak sesungguhnya.
3. Tidur
Nyenyak. Ini merupakan suatu keadaan yang lebih tinggi lagi, karena didalam
tidur nyenyak orang malahan terbebas dari rasa susah dan takut yang tidak sesungguhnya itu.
4.
Ekstase atau Lupa diri. Ini tingkatan
yang tertinggi karena dalam ekstase manusia mengalami ketentraman tidur secara
sadar.
Karena
Sankara itu julukan Siva. Sebaliknya Ramanuja adalah seorang Brahmana, yang
menjadi pengikut agama Visnu.
Ramanuja
tidak mengakui suatu keadaan abadi yang abstrak, yang menciptakan dengan ilmu
sihir. Keabadian (sat) yang dinyatakan dengan kata benda Brahman dilukiskan
olehnya sebagai suatu Allah yang berpribadi, yang menghakimi dan memutuskan,
yang memberi daya kepada karman sukma-sukma, tetapi berkuasa juga member
pengampunan. Selain itu Ramanuja juga mengenal lagi suatu segi badani. Dunia
badani ini masih diperinci lagi menjadi dunia jasmani dan jiwa-jiwa yang kekal.
Dengan
demikian ada 3 golongan keabadian, yaitu:
1. Tuhan,
pertimbangan dan keputusannya tidak bergantung kepada hal-hal di luar Dia.
2. Dunia
jasmani
3. Jiwa-jiwa
yang kekal, disuatu pihak menjadi bagian-bagian Tuhan, tetapi dilain pihak
mengandung Tuhan sebagai saksi.[11]
1.2.2. Teologi
Brahmana Sankhya
Sankhya terjadi karena dua patah kata yakni “san”,
artinya bersama-sama atau dengan; dan “khya”, artinya bilangan. Jadi Sankhya
artinya pejumlahan. Didalam system ini dapat ditunjukkan pikiran-pikiran pokok
sebagai berikut:
a. Perlawanan
Kosmis adalah perlawanan antara roh (purusa) dan materi (prakrti). System
sankhya mengajarkan bahwa prakrti itu satu dan abadi, purusa tiada terhingga
banyaknya tetapi abadi juga. Selanjutnya diajarkan oleh system ini, bahwa dunia
bisa diamati oleh panca indra itu sesungguhnya ada. Oleh karena itu penganut
ajaran Sankhya menamakan system itu suatu pandangan (vada) yang menganggap
bahwa kerja atau peristiwa (karya) itu kenyataan (sat).
b. Hubungan
antara prakrti dan purusa diterangkan sebagai suatu perkawinan. Bila pada
system sankhya nisbah antara purusa dan prakrti dilukiskan sebagai suatu
perkawinan maka artinya demikian: antara purusa dan prakrti terdapat suatu daya
tarik yang mendekatkan keduanya eros atau cinta.
c. Dalam
system sankhya purusa itu sesuatu yang sangat halus dan tidak dapat diberi
definisinya. Segala gejala psikis, segala yang ada pada diri kita termasuk
benda pengamatan ilmu jiwa oleh sankhya dipandang tergolong dalam prakrti.
Purusa hanya penonton (sakhsin) saja pada peristiwa-peristiwa dalam. Prakrti
adalah substansi yang universal yang tidak diberi bentuk ialah alam dalam arti
yang seluas-luasnya. Didalam prakrti terdapat tiga bagian yang membentuk
semesta yang disebut guna, yakni:
1. Sattva,
adalah “adanya yang ada”. Sattva itu juga sesuatu memberi kepuasan, yang memberi
ketentraman, yang menenangkan hati manusia.
2. Rayas,
adalah nafsu yang berkobar yang tidak dapat dikekang, ialah sesuatu yang
menimbulkan rasa tidak senang dan tentram.
3. Tamas,
adalah kegelapan, yang berat, yang tidak bernafsu (yang indolen) yang muram,
merasa sedih, hancur dan dukacita.
Ketiga guna ini menentukan segala peristiwa didunia
dan didalam hidup manusia. Guna-guna itu tidak dapat diberi definisinya tetapi
dapat dirasakan apa yang ditimbulkannya.
d. Hubungan
(samyoga) antara prakrti dan purusa. Purusa dan prakrti itu saling dekat
mendekati mulailah prakrti itu mencipta: dari keadaan yang tidak berbentuk dan
dari kemungkinan yang alami beralihlah prakrti itu menjadi sesuatu yang
berbentuk (rupa). Dalam saling mendekati dari prakrti dan purusa berkembanglah
kabut menyelimuti purusa yang makin bertambah tebal.
Jika prakrti dan purusa saling dekat-mendekati,
terjadilah yang banyak seluk beluknya sebagai berikut:
1. Mula-mula
lahirlah budi, kesadaran
2. Unsur
yang kedua adalah ahamkara, artinya sang pembuat aku, kesadaran akan adanya
suatu “aku” (Kesadaran-subyek)
3. Manas:
kekuatan untuk mengamati dan untuk memberi reaksi terhadap apa yang telah
diamati itu.
4-13. Manas
membagi diri menjadi sepuluh daya kekuatan yang bermacam-macam, lima
diantaranya kemungkinan pengindaraan (budi-indria):
-
Perasaan
-
Pendengaran
-
Penglihatan
-
Pengecap
-
Penciuman
Dan
lima lagi kemungkinan perbuatan (karma-indria):
-
Berkata
-
Memengang
-
Berjalan
-
Mengosongkan
-
Bersalin
14-18. Kemungkinan pengindraan itu mendapat juga isi
kelima tanmatra, kecuali daya penglihatan (Gezict Svermogen) ada juga
kesan-kesan penglihatan; selain perasaan ada juga pengindraan perasaan.
19-23. Benda (materi) yang kasar, “zat” didalam
pengertiaan filsafat barat dalam 5 buah anasir:
-
Eter (mahabuta)
-
Hawa
-
Api
-
Air
-
Bumi
Jika pada 23 pokok ini kita tambahkan lagi prakrti
dan purusa terdapatlah 25. Ini adalah bilangan yang paling keramat pada system
Sankhya.
e. Kepada
buddhi diberikan 8 buah bentuk atau keadaan (bhawa), yang meresapi seluruhnya
dengan bau. Tujuh diantaranya menahan buddhi didalam samsara. Purusa itu memang
disangka bahwa ia aktif tapi itu hanya kelihatan (semu) saja.
f. Apabila
purusa itu telah sampai pada pandangan atau pengertian yang betul (jnana) dan
ia mulai mengerti, bahwa ia hanya menjadi sakshin saja, maka tercapailah
olehnya masa tingkatan pelepasan. Kelepesan itu terletak pada pengetahuan tentang
dua keadaan pokok, yakni prakrti dan purusa.
g. Guna
mencapai mokhsa didalam segala pengajaran Agama Hindu digunakan yoga. Yoga
berarti berusaha sekuat-kuatnya dan dalam ajaran tentang kelepasan yoga itu
berarti latihan-latihan rohani, yang menyebabkan orang dapat memisahkan purusa
dari prakrti, didalam yoga itu yang menjadi tujuan ialah kelepasan mokhsa.
h. Didalam
Sankhya tidak terdapat Tuhan. Itu suatu system yang tidak mengenal Tuhan,
system atheistis, seperti agama Buddha yang timbul pada masa yang bersamaan dan
mula-mula atheistis juga.
Didalam agama Hindu tiap-tiap bilangan itu mempunyai
nilai yang magis.
Satu adalah bilangan kesatuan yang tidak mengenal
Tuhan, sesuatu yang tidak terpecah-pecah, bilangan itu juga bertalian dengan
keadaan asal dan unsur asal laki-laki.
Dua adalah pemecahanan, penguaraian, percabiakan,
dan kegelapan, bila itu bertalian dengan unsur perempuan.
Empat adalah bilangan keempat mata angin dan dengan
begitu bilangan kosmos pula sebagai keluasan didalam serba banyaknya gejala-gejala.
Lima adalah dunia-dunia dengan keempat mata angin
beserta titik puncaknya (zhenit) dan oleh karena itu adalah bilangan kosmos.
Sembilan di Jawa menjadi bilangan lubang, karena
badan manusia mempunyai Sembilan buah lubang dan begitu juga 9 itu menjadi bilangan
pintu dan gapura.
Bigitulah di India dan seluruh dunia Timur. Bilangan
itu tidak pernah dipandang yang netral dan sembarangan.[12]
II.
Daftar
Pustaka
Cefebure,
Leo D., Penyataan Allah, Agama dan
Kekerasan, Jakarta: BPK-GM, 2006
Effendy,
Mochtar, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Palembang:
Universitas Sriwijaya, 2001
Hadiwijono,
Harun, Agama Hindu dan Buddha, Jakarta:
BPK-GM, 1989
Honig,
A.G., Ilmu Agama, Jakarta: BPK-GM,
2005
Sipahutar,
P. & Arifinsyah (Ed), Ensiklopedi Praktis
Kerukunan Hidup Umat Beragama, Bandung: Citapustaka Media, 2003
Van
Peursen, C.A., Strategi Kebudayaan, Yogyakarta:
Kanisius, 1988
[1] Hadiwijono, Harun, Agama Hindu dan Buddha, Jakarta: BPK-GM,
1989,hlm. 9-11
[2] Honig, A.G., Ilmu Agama, Jakarta: BPK-GM, 2005, hlm.
93-94
[3] Hadiwijono, Harun, Op.cit, hlm.17-18
[4] Sipahutar, P. & Arifinsyah
(Ed), Ensiklopedi Pratis Kerukunan Hidup
Umat Beragama, Bandung: Citapustaka Media, 2003, hlm. 226
[5] Effendy, Mochtar, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Palembang:
Universitas Sriwijaya, 2001, hlm. 331
[6]
Yoga Hindu dimaksudkan untuk membantu orang keluar dari roda eksistensi
individual yang adalah tragedi ini. Tujuan Yoga Hindu adalah membantu individu
dalam proses penyerapan ke dalam Brahma yang universal. Maksudnya ialah
menolong orang tersebut melepaskan pemahaman yang keliru tentang keberadaan
pribadi seseorang. Penghentian eksistensi personal harus menjadi tujuan orang
yang bersangkutan. Shenk, David W., Ilah-ilah
Global (Menggali Peran Agama-agama dalam Masyarakat Modern, Jakarta:
BPK-GM, 2006, hlm.107
[7] Honig, A.G., Op.cit, hlm. 125-126
[8] Ibid, hlm. 126
[9] Van Peursen, C.A., Strategi Kebudayaan, Yogyakarta:
Kanisius, 1988, hlm. 77
[10] Cefebure, Leo D., Penyataan Allah, Agama dan Kekerasan, Jakarta:
BPK-GM, 2006, hlm. 221
[11] Honig, A.G., Op.cit, hlm.126-127
[12]
Honig, A.G., Op.cit, hlm. 128-137
Tidak ada komentar:
Posting Komentar