PERANAN
AGAMA ISLAM-KRISTEN
DALAM
MEWUJUDKAN PERDAMAIAN DI INDONESIA
I.
PENDAHULUAN
Negara Indonesia
adalah negara yang memiliki banyak agama diantaranya, agama Kristen, Islam,
Buddha, Hindu, dan agama lainnya. Oleh karena banyaknya agama sehingga ada
pandangan yang mengatakan bahwa agamanyalah yang benar, yang mengklaim
kebenaran agamanya, sehingga umat agama lain dipandang lebih rendah. Dalam hal
ini manusia beragama itu lalu merasa dirinya mutlak benar, karena memiliki
kebenaran agamanya itu, manusia beragama ini sepertinya menyatu penuh dengan
kebenaran agamanya yang mestinya dari Allah, tetapi ia sudah daulat menjadi
miliknya sendiri. Dengan demikian, hubungan dengan Allah lenyap dan tersisalah
manusia beragama itu sendiri dengan luapan rasa benarnya yang tidak terkendali
lagi. Tidak ada lagi pada dirinya keharusan untuk tunduk kepada Allah dan
kebenaran Allah. Tinggallah ia sendiri dengan kebenarannya yang memberikan
dirinya dalam bertindak benar sendiri. Dalam hubungan inilah muncul
tindakan-tindakan kekerasan oleh manusia beragama dengan mengatas namakan
Allah, tetapi yang sesungguhnya dilakukan atas dasar kebenarannya sendiri. Inilah yang menjadi
latar belakang masalah saya menuliskan paper ini. Selain itu banyak kejahatan
yang bahkan melampaui batas-batas kemanusiaan telah dilakukan manusia atas
dasar kebenarannya sendiri itu.[1]
Selain itu, terdapat pemahaman yang bersifat eksklusif. Oleh karena maka dibutuhkan perdamaian karena
semua orang mendambakan perdamaian, sekalipun ada banyak perbedaan yang perlu
untuk diperhatikan dalam mencapai perdamaian tersebut. Damai dapat diartikan
tidak ada kerusuhan, tidak ada permusuhan, tidak ada perusakan, tidak ada
saling membunuh. Damai yang tetap menghargai nilai-nilai dari masing masing
agama, tanpa ada paksaan atau rekayasa untuk menyeragamkan, atau menjadikannya
sama.
Kekerasan dan
kerusuhan merupakan fenomena yang terjadi. Dalam media massa kita dapat melihat
berbagai kerusuhan yang terjadi di belahan bumi Indonesia. Jerit kelaparan,
pengungsi akibat perang, korban bencana alam dan meningkatnya jumlah
pengangguran dan masih banyak lagi di negara ini, misalnya konflik religius di
Ambon, pembakaran rumah ibadah. Hal inilah yang menjadikan ratapan dan tangisan
para masyarakat.
II.
PEMBAHASAN
2.1
AGAMA
DAN PERDAMAIAN SERTA KONSEP PERDAMAIAN DALAM KRISTEN-ISLAM
2.1.1. Pengertian Agama
Agama berasal
dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari dua suku kata “a” artinya tidak”, dan
“gama” artinya kacau, sehingga dapat
diartikan agama adalah tidak kacau balau. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
agama adalah suatu kepercayaan yang mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau
balau.[2]
Dalam KBBI, agama merupakan kepercayaan kepada Tuhan dengan ajaran kebatinan
dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu.[3]
Maka berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa agama adalah
melakukan sustu ajaran, suatu peraturan
yang mengatur manusia yang berupaya percaya kepada Tuhan (Dewa) dengan
melakukan ajaran yang berupa kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian
dengan agama itu agar tidak kacau balau. Adapun yang menjadi fungsi agama bagi
masyarakat menurut D. Hendropuspito merupakan suatu hal dalam mengatasi
kesulitan yang muncul dalam masyarakat serta menunjukkan cara-cara ilmiah untuk
perbaikan dan pengembangan masyarakat melalui sumbangan-sumbangan.[4]
Selain itu, dia juga mengatakan bahwa dalam mengatasi tantangan-tantangan yang
dihadapi manusia, manusia lari kepada agama, karena manusia percaya dengan
keyakianan yang kuat bahwa agama memiliki kesanggupan yang defenititf dalam
menolong manusia. Maka penyeminar menyimpulkan bahwa fungsi agama merupakan
kegunaan melalui sumbangan-sumbangan yang diberikan agama kepada masyarakat
dalam mempertahankan kebutuhan masyarakat
2.1.2. Pengertian Perdamaian
Dalam kamus umum Bahasa Indonesia yang
dituliskan oleh Poerwadarminta, kata ‘damai’ diartikan sebagai suatu keadaan
yang tidak bermusuhan, tidak ada perselisihan, berbaikan kembali, adanya suasana
tentram. Ia juga mengatakan bahwa kata damai menyangkut berbagai aspek
kehidupan misalnya: dalam keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan
kata perdamaian adalah merupakan bentuk kata benda yang berasal dari kata dasar
damai ditambah dengan kata awalan ‘per’ dan akhiran ‘an’, dalam penambahan
imbuhan tersebut kata perdamaian menjadi suatu kata yang di dalamnya terdapat
unsur kesenjangan untuk berbuat atau melakukan sesuatu, yakni membuat supaya
damai, tidak berseteru atau bermusuhan, dan lain-lain. Jadi kesimpulan yang
dapat diambil sari pengertian di atas Poerwadarminta mendefenisikan bahwa
perdamaian adalah penghentian permusuhan, dengan adanya kemufakatan untuk
menghentikan permusuhan atau perang.[5]
Dalam gambaran yang sebenarnya damai itu tidak akan ada jika tidak ada keadilan
“No peace without Justice” damai
tidak dapat diukur dengan nilai nominal, terkadang damai dihubungkan dengan
dihubungkan denagan penataan kebebasan bagi orang-orang yang tertindas. Damai
dan keadilan tidak dapat dipisahkan. Karena sejak awal Tuhan telah menjadikan
segala sesuatunya baik. Jika ada damai maka harus ada rasa keadilan, jika tidak
ada keadilan, maka damai itu juga tidak ada.
a.
Konsep
Perdamaian dalam Agama Islam
Islam
sebagai agama adalah merupakan tuntutan hidup yang telah berkembang 14 abad
sampai sekarang ini. Ia menjadi sumber pedoman umat manusia dan berasal dari
wahyu Allah SWT. Oleh karena itu agama ini memberikan petunjuk bagaimana
seharusnya manusia sebagai hamba Allah, pencipta alam semesta ini, berbuat dan
membaktikan dirinya kepada-Nya sehingga terwujudlah suatu hubungan vertikal
dengan khaliknya melalui peraturan-peraturan dan kaidah-kaidah yang telah
ditetapkan oleh Allah sendiri. Selain itu Islam juga memberi petunjuk bagaimana
seharusnya manusia sebagai makhluk sosial melakukan hubungan dengan
masyarakatnya melalui cara dan sistem yang telah ditetapkan oleh Allah yaitu
berupa Syariah mu;alah. Ajaran Islam berusaha membangun kehidupan manusia yang
serba memiliki keserasian, keseimbangan, serta keselarasan antara kehidupan
duniawi dan ukhrawi, antar kehidupan jasmani dan rohani, antara kehidupan fisik
dan spiritual, bahkan antara hubungan dirinya sebagai pribadi dengan
masyarakatnya yang berada dalam keseimbangan, keserasian, keselarasan[6].
Nama agama bagi muslim diperoleh dari satu akar kata di dalam bahasa Arab yang
bermakna “damai”. Di dalam pengertian ini bermakna “ketundukan” kepada kehendak
Tuhan. Dalam hal ini “damai” dipahami oleh muslim sebagai awal, sebagai ketiadaan
keterikatan pada berbagai hal yang berhubungan dengan politeisme.[7]
Sedangkan
menurut Syamsul Rizal menjelaskan dari segi bahasa, yang mengartikan Islam adalah damai dan kasih sayang.
Maksudnya agama mengajarkan perdamaian dan kasih sayang bagi umat manusia tanpa
memandang warna kulit, agama dan status sosial. Oleh karenanya Islam tidak
membenarkan adanya penjajahan. Selain itu Syamsul juga mengartikan Islam
dengan selamat, maksudnya Islam merupakan petunjuk untuk memperoleh keselamatan
hidup baik di dunia maupun di akhirat kelak. Itulah sebab salam Islam adalah
“Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh”. Damai merupakan hubungan yang
asli sesama manusia menurut Islam; di atas prinsip damai Islam membina politik
pembangunannya dan pembaharuannya antar kaum muslimin sesamanya dan antara
mereka dengan umat-umat yang tidak beragama Islam. Dengan, demikian, damai
adalah keadaan yang asli yang memungkinkan kerjasama
dan hubungan baik antara seluruh bangsa dan memungkinkan pula kemakmuran dan
kesejahteraan yang merata diantara seluruh umat di dunia ini berdasarkan
prinsip damai.[8]
Mereka dapat bekerjasama dalam menciptakan kebaikan dan saling bantu membantu
dalam mewujudkan kesejahteraan bersama. Tiap-tiap mereka dengan agamanya
masing-masing untuk menyiarkan adanya ditempuh jalan hikmat, pengetahuan dan
pengajaran yang baik, tidak merugikan dan tidak mengurangkan hak orang lain.[9]
Sifat utama ideologi Islam adalah ia
tidak menerima suatu pertentangan dan juga suatu pemisahan menonjol antar hidup
kerohanian dengan hidup keduniawian. Ia tidak membatasi dirinya semata-mata
pada penyucian kehidupan rohani dan kehidupan moral manusia dalam artian
terbatas dari perkataan tersebut. Ruang lingkupnya melingkupi seluruh
bidang kehidupan manusia. Ia hendak menuang bukan saja kehidupan perorangan
tapi juga susunan masyarakat manusia ke dalam pola-pola yang sehat, sehingga mamlakah (kekuasaan, kerajaan) Tuhan
dapat dibangun sebenar-benarnya di muka bumi ini. Sehingga perdamaian,
kebahagiaan, dan kemakmuran dapat memenuhi dunia ini.[10]
Dalam
hubungannya terhadap agama non-muslim, masing-masing pemeluk agama perlu
mengembangkan sikap toleransi yang wajar sesuai dengan proporsinya dalam
kehidupan bermasyarakat, misalnya mengembangkan sikap toleransi dalam kegiatan
sosial, ekonomi atau kultural dalam proyek bersama antar sektor agama. Sikap
toleransi inilah yang menjadi daya dorong pembinaan kerukunan antar umat
beragama atau intra umat beragama dengan pihak pemerintah yang bisa efektif
tahan lama.
b.
Konsep
Perdamaian Agama Kristen dalam PL dan PB
Di dalam
kepercayaan Kristen perdamaian memiliki arti yang luas. Perdamaian mengacu
kepada hubungan antara Allah dengan manusia yang dalam pengertian Allah
mendamaikan dirinya kepada manusia, sedangkan perdamaian mengacu kepada
hubungan manusia dengan manusia dan bertindak untuk melakukan perdamaian
tersebut adalah manusia itu sendiri. Di dalam kepercayaan Kristen, perdamaian
merupakan salah satu yang penting. Kata perdamaian mempunyai arti yang
sangat luas, sebagaimana nampak dalam
pemakaian Alkitab, baik PL maupun PB.
v Perdamaian Dalam Perjanjian Lama
Istilah
perdamaian dalam Perjanjian Lama digunakan dengan memakai kata (kaper)
yang artinya mengadakan perdamaian. Ada beberapa hal yang menyebabkan manusia
untuk melakukan yaitu karena dosa manusia yang bersifat universal (1 Raj. 8:46;
Mzm. 14:3; Pkh. 7:20, dll)[11]
yang membuat manusia menjauh dari Allah, yang membuat hubungan manusia dengan
Allah terputus. Manusia tidak pernah mampu mengatasi dosanya (Bil. 32:23) atau
membersihkan diri dari dosa itu (Ams. 20:9). Jika manusia tetap menggantungkan
dirinya pada diri sendiri, maka dia tidak akan selamat. Meskipun hubungan
manusia dengan Tuhan telah rusak, akan tetapi Allah menyediakan jalan bagi
umat-Nya yang telah jatuh ke dalam dosa.
Jalan masuk pendamaian dalam Perjanjian Lama diperoleh dengan penyerahan
kurban-kurban seperti penyerahan binatang lembu tambun, inilah jalan yang
ditentukan oleh Allah bagi umat manusia untuk memperoleh pendamaian untuk
memulihkan hubungan manusia dengan Allah.[12]
Pendamaian
dalam Perjanjian Lama diperoleh dengan mengadakan atau melaksanakan penyerahan
kurban-kurban dan juga memiliki kaitan dengan darah pendamaian. Allah telah
berkata: “Aku telah memberikan darah itu
kepadamu di atas mezbah untuk mengadakan pendamaian bagi nyawamu, karena darah
mengadakan pendamaian dengan perantaraan nyawa”". (Im. 17:11).[13]
Jadi melalui pemberian kurban dalam bangsa Israel hal ini dimaksudkan untuk
memelihara persekutuan antara Allah dengan manusia, supaya tetap murni. Dengan
pemberian kurban tadi dapat juga disebutkan telah terjadi pada suatu proses
perdamaian. Pendamaian yang sejati adalah kehendak dan pemberian yang bersifat
bebas dari pihak Allah. Ia adalah keadilan, belas kasihan dan pengampunan.
Menurut
penulis sendiri bahwa dalam Perjanjian Lama, perdamaian diperoleh dengan adanya
suatu pengorbanan atau kematian dari ciptaaan-Nya. Yewangoe juga menjelaskan
pokok perdamaian, ia meninjau kata syalom memenuhi suatu gambaran tentang Allah
dengan dunia, yang di dalam cara pengemukaan yang radikal berbeda dengan
bangsa-bangsa disekitarnya. Allah dengan perjanjiannya menanamkan suatu ciptaan
baru. Maka syalom adalah suatu titik berangkat yang baru untuk membangun
pendamaian yang baru antar Allah dengan manusia, dengan singkat dapat dikatakan
bahwa terjadinya pendamaian adalah karena renggangnya hubungan manusia dengan
pencipta.[14]
v Perdamaian Dalam Perjanjian Baru
Dalam
Perjanjian Baru mengungkapkan gagasan tentang perdamaian digunakan kata …(katallasso) dan kata yang sempurna
dengannya sangat sedikit digunakan dalam Septuaginta (LXX). Akar kata katallasso muncul hanya sekali dalam
Yer. 31:39 (kattalkazen) dan artinya
disitu bukanlah perdamaian melainkan perubahan.[15]
Sedangkan dalam Yudaisme mula-mula, gagasan pendamaian dipakai untuk menunjukkan
keinsafan bahwa manusia harus diperdamaikan satu kepada yang lain sebelum dapat
berdamai dengan Allah.[16]
Melainkan hubungan antara manusia dengan sesamanya. Walaupun istilah ini jarang
digunakan dalam Perjanjian Lama, namun dalam Yudaisme ada beberapa istilah yang
dihubungkan dengan kerendahan hati.
Pendamaian dalam Perjanjian Baru itu adalah
sebagai wujud dari kasih Allah
kepada manusia. Allah tidak butuh pendamaian dari manusia, tetapi ia mengambil
prakarsa bagi pendamaian tersebut.[17]
Allah mendamaikan dunia dengan dirinya oleh Kristus (2 Kor. 5:19), kita
diperdamaikan dengan Allah oleh kematian-Nya (Rom. 5:10). Pendamaian terlaksana
oleh kematian itu, jadi pendamaian adalah pemberian yang harus diterima (Rom.
5:11). Allah dalam Kristus telah mendamaikan manusia dengan diri-Nya dan telah
memberikan kepada para Rasul pelayanan pendamaian itu, Allah telah
mengaruniakan kepada manusia berita yang harus disampaikan kepada sesamanya,
berita itu adalah bahwa pendamaian telah terlaksana.
Hal
ini merupakan proklamasi bahwa Allah telah melakukan dengan manusia. Manusia
membutuhkan damai dengan Allah. Artinya perseteruan yang selama ini sudah ada
harus diselesaikan lebih dahulu dan hal tersebut hanya dapat terlaksana melalui
pengorbanan Yesus di kayu salib. “Kita dibenarkan karena iman, kita hidup dalam
damai sejahtera dengan Allah oleh karena Tuhan kita, Yesus Kristus” (Rm. 5:1)
dan oleh Yesus Allah.
2.1.3. Hubungan Agama dengan Perdamaian
Semua agama yang pada prinsipnya sama yakni
mengajarkan kedamaian, toleransi kepada sesama umat beragama dan hidup
berdampingan antara satu dengan yang lainnya dengan rukun, dalam istilah pemuka
agama disebutkan indahnya kebersamaan. Selama ini, kecemasan umat beragama
terhadap terjadinya peristiwa-peristiwa yang menegangkan antara umat beragama
bisa terobati dengan cara memahami agama secara universal serta mengamalkannya[18]
dalam ruang lingkup kehidupan masyarakat. Agama pada dasarnya adalah usaha
manusia untuk menjawab kekhawatiran manusia atas masalah yang menyangkut
hidupnya. Secara etimologinyapun agama diartikan sebagai pembawa keteraturan,
karena ia tidak kacau. Dalam kenyataannya orang menganggap agama adalah jalan
terbaik untuk menjawab tantangan sosial karena ia dianggap akan memberikan
jawaban yang karakter surgawi ketimbang hal lain. Para pemeluk agama hendaknya
bisa membedakan mana yang baik dan buruk sesuai dengan konteks yang ia hadapai,
ketaatan akan kepercayaan itu yang dituangkan dalam agamanya hendaknya
dibarengi dengan pengetahuan yang mantap, agar dalam pelaksanaannya kita tidak
membabi buta tanpa memikirkan orang lain.
Tugas
agama Kristen dan Islam saat ini haruslah menciptakan perdamaian diantara
mereka sendiri, agar dengan segala alat yang disediakan melalui media dapat
menghilangkan kesalahpahaman, bekerja melalui kenangan yang menyakitkan,
memecahkan gambaran-gambaran buruk yang umum tentang musuh, memilah-milah
konflik dari kesalahan yang bersifat individu dan bersifat sosial,
menghilangkan kerusakan, serta memikirkan apa yang mereka miliki bersama. [19]
Agama Kristen dalam kitab sucinya disebutkan “Apa yang kamu ingin orang laian untuk
lakukan kepadamu lakukan juga kepada mereka” (Mat. 7:12; Luk. 6:31),
sedangkan bagi Islam dalam kitab sucinya dituliskan “Tak seorangpun diantara kamu yang beriman sepanjang tidak mempercayai
saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri” (Empat Puluh Hadits
Namawi 13)[20].
Hidup
secara benar menurut kehendak Tuhan adalah melaksanakan kehendak Tuhan, dan
kehendak tuhan adalah berjuang untuk kebaikan semua orang, sehingga perintah
Yesus dalam Mat. 22:37-40 menjadi lebih
bermakna. Manusia tidak akan mampu mengasihi Tuhan Allah jika manusia tersebut
jika manusia tersebut belum mampu mengasihi sesamanya. Artinya bahwa kasih
kepada sesama manusia yang dinyatakan dalam perjuangan menegakkan harkat dan
martabat manusia adalah bentuk yang paling benar dari kasih kepada Tuhan Allah.
Kebenaran dari sebuah agama justru terletak kepada aspek spiritualitasnya bukan
pada simbol-simbol agama. Dengan kata lain, ketika kemanusiaan menjadi agenda
utama agama, maka inilah yang menjadi kekuatan spiritual dari agama sebagai
pemelihara perdamaian. Agama baru benar-benar menjadi agama yang benar dan yang
mengemban amanat Tuhan kalau agama yang menghormati kemanusiaan sebagai agenda
utamanya. Itu juga berarti vgvcxmenghormati
pluralitas agama.
2.2
FAKTOR-FAKTOR
PENGHAMBAT AGAMA SEBAGAI SUMBER PERDAMAIAN
2.2.1.
Situasi dan Kondisi Masyarakat Indonesia Saat ini
Indonesia sebagai negara majemuk yang mengklaim
budaya dan agama yang majemuk sebagai kekayaan, tetapi didalam kehidupan
masyarakatnya terdapat banyak konflik-konflik yang terjadi yang mengatas
namakan agama. Terlepas dari benar atau salah ternyata agama itu memiliki
potensi yang deskruktif terhadap agama lain bila tidak tahu bagaimana memahami
dan memperlakukan agama itu dan untuk apa agama itu dilakukan. Potensi konflik
itu akan menjadi besar efeknya bila terlalu eksklusif terhadap agama-agama lain
dan mencoba untuk memaksakan salah satu respon di tengah-tengah banyak respon
yang ada disekitarnya. Ada juga terjadi sikap saling curiga terhadap agama
lain, seperti yang terjadi dalam kasus penutupan dan penyegelan gereja. Banyak
konflik yang melibatkan sesama pemeluk agama, antar umat beragama dan adat
istiadat (budaya), kecenderungan yang terjadi melibatkan mayoritas baik agama
maupun aliran dengan kelompok minoritas.
menghadapai
perubahan tersebut. Masyarakat Indonesia yang masih memiliki pandangan
tradisional, sedangkan perubahan maupun paradigma baru yang bertentangan dengan
pola hidup yang masih bersifat tradisional.
Seperti yang telah diketahui bersama
persoalan hubungan agama di Indonesia secara sosial dan politis oleh ketegangan
Islam-kristen. Secara historis penjajahan yang dilakukan Portugis, Spanyol dan
yang terakhir Belanda sengkali menjadi beban sejarah yang mewarnai hubugan
tersebut. Penjajahan selalu diidentikkan sebagai hubungan yang terjajah dengan
yang dijajah. Selain aspek sosial politis faktor lain yang memicu konflik antar
Islam-Kristen yakni munculnya bentuk-bentuk klaim kesukuan dan kedaerahan
sebagai wilayah istimewa agama tertentu. Klaim tersebut lahir sebagai identitas
suku dan wilayah, sehingga ketika agama lain masuk ke daerah dan dianut oleh
suku itu, maka identitas suku yang penganut agama pendatang tersebut dianggap
salah.
Ada 2 faktor penting yang dapat
mempengaruhi terciptanya konflik yang mengakibatkan perdamaian itu tidak
terjadi yakni faktor teologi dan non-teologi.
2.2.2. Teologi
a. Eksklusisvisme Agama
Menurut
Th. Sumartana berpendapat, eksklusivisme adalah sikap menutup diri dari
pengaruh agama lain, karena takut
terpengaruh agama lain, ingin mempertahankan keaslian dan kemurnian
pribadinya.[21]
Adanya sikap eksklusif dalam agama, yang menganggap kebenaran itu secara terbatas
hanya ada pada suatu komunitas agama tertentu, dan dalam tataran sosiologis, klaim
kebenaran berubah menjadi simbol agama yang
dipahami secara subjektif oleh masing-masing pemeluk agama, sehingga
kerap kali muncul perilaku pemaksaan konsep ajaran maupun gerakannya pada umat
di luar dirinya. Contoh ajaran dari sikap eksklusivisme dalam agama Kristen timbul dari penafsiran dari
beberapa ayat Alkitab, misalnya ayat yang berbunyi “Akulah jalan dan kebenaran
dan hidup” Yoh. 14:6 dipahami sebagai ayat yang mengharuskan pertobatan dunia.
Maksudnya menjadikan umat Kristen untuk merasa bahwa hanya yang percaya kepada
Yesuslah yang mendapatkan keselamatan, di luar itu tidak ada. Dalam hal inilah
Kristen menganggap posisinya sebagai kebenaran yang mutlak. Hal ini tergugat
jelas dalam kalimat klasik ecclesiam nulla salus (di luar gereja tidak ada
keselamatn). Sedangkan agama Islam, terdapat pemahaman bahwa agam Islam adalah
agama yang diridhoi Allah (QS. LI Imran
[3]:19) dan penganut agam lain akan masuk neraka (QS. Ali Imran [3]:85).
Islam
adalah agama yang sempurna karena itu tidak dapat berubah dan tidak boleh
berubah. Menurut mereka bahwa bahwa agama islam berhak membatalkan atau
menggantikan semua agama lain, karena semua kebenaran-kebenaran agama lain
tercantum dalam agama Islam (bnd. QS. An Nuur [24]:55; At Taubah [9]:33),
ditambah lagi tercantum bahwa agama lain wajib bertobat dan masuk agama Islam
karena keunggulan umat Islam (QS. Ali Imran [3]:10).
Dalam
konteks seperti inilah para pemimpin agama harus peka terhadap ajaran/doktrin
yang diajarkan terhadap umatnya, perdamaian juga mesti menjadi kesadaran bersama bagi bermasyarakat yang
sedang menghadapi konflik dan kekerasan. Kesadaran tentang kesetaraan toleransi
dan perdamaian sekaligus juga pemicu konflik jika terjadi konflik masyarakat, terutama
konflik SARA.
Kerjasama antara umat beragama ini
mesti difokuskan pada tantangan besar yaitu pertama, untuk menghilangkan stigma
dan salah faham terhadap sejarah yang masih saling mencurigai ketika kompetisi
politik dan identitas yang cenderung mengekalkan stigma kristenisasi dan islamisasi.
Kedua, bagaimana antar agama mampu bekerjasama mewujudkan solidaritas
kepedulian kemanusiaan saat Indonesia penuh bencana, penuh kesulitan
orang-orang kecil yang sulit hidupnya. Ketiga, saling terbuka untuk mempelajari
dan serius dalam analisa struktural sosial maupun mentalitas watak ketika
berhadapan dengan invlasi materialis hedonis industri, hasrat yang cenderung
melupakan moralitas tanggungjawab hidup bersama. Inilah yang menjadi tantangan
bersama kita agar tokoh-tokoh agama dengan kapasitasnya sebagai pengayom umat
mampu menjawab tantangan-tantangan tersebut secara permanen.
Jadi ketika agama-agama masih berada
pada sikap eksklusif yang hanya mementingkan agamanya sendiri, maka kahadiran
agama-agama tidak menyelesaikan persoalan melainkan menambah persoalan. Oleh
karena itu agama-agama harus bisa keluar dari sikap ini dan bekerjasama dengan
agama lain.
c.
Fundamentalisme
Agama
Istilah
fundamentalis ini pertama kalinya digunakan oleh kelompok-kelompok penganut
agama Kristen di Amerika Serikat untuk memahami aliran pemikiran keagamaan yang
cenderung menafsirkan teks-teks keagamaan secara rigid (kaku) dan literalis
(harafiah). Dalam konteks ini, fundamentalisme yang cenderung menafsirkan
teks-teks keagamaan secara elastis dan fleksibel, untuk menyesuaikannya dengan
berbagai ke masa di zaman modern. Akhirnya justru membawa agama ke posisi
semakin terdesak ke pinggiran. Kaum fundamentalis menuduh bahwa kaum
modernisasi ini adalah sebagai pihak yang bertanggungjawab terhadap terjadinya
proses sekularisasi secara besar-besaran di mana peran agama akhirnya semakin
cenderung terkesampingkan dan diganti oleh peranan sains modern.[22]
Ada tiga faktor yang menyebabkan lahirnya kaum fudamentalis, yaitu:
v Faktor
modernisasi yang dirasakan menggeser agama dan pelaksanaannya dalam kehidupan
v Adanya
pandangan dan sikap politik fundamentalis yang tidak sejalan dengan sikap dan
pandangan politik yang dianut penguasa (pemerintah).
v Sikap
dan karakter dari setiap ajaran agama (Kristen-Islam) yang cenderung bersikap
rigid dan literalis. Misalnya ada teks
doktrin agama yang melegalkan kekerasan dan memberikan imbalannya terhadapnya.
Dalam hal ini kita melihat begitu besar imbalan yang diberikan terhadap orang
yang mati berperang dalam mempertahankan agama. Hal ini tidak hanya membentuk
sikap rela berkorban demi kepentingan agama tersebut, tetapi justru
memperlihatkan bahwa agama juga menyetujui sebagai sebuah alternatif dalam
menegakkan kebenaran. Dalam konteks Kristen misalnya Ul. 20:1-20
(memperlihatkan seolah-olah Allah menyetujui perang atau kekerasan melawan
musuh dan menghancurkannya. Allah juga menjamin kemenangan mereka.[23]
Dalam pengaruhnya kepada kehidupan beragama, memperlihatkan seolah-olah Allah
melegalkan perang dan yang lebih parahnya lagi cerita-cerita Kitab Suci itu
dipersonifikasikan kepada musuh-musuh agama sehingga banyak menimbulkan
konflik-konflik yang berbau SARA yang menjadikan perdamaian itu tidak
terwujud. Dari hal ini agama seolah-olah
turut menjaga kekerasan tetap eksis dalam dunia.
Kaum
fundamentalis ini menganggap mereka melakukan segala sesuatu bersumber pada
agama dan kitab suci yang mampu mengatasi segala persoalan. Sikap
fundamentalisme ini juga kerap dihubungkan dengan sikap fanatisme yang
berlebihan. Sikap fundamentalisme inilah juga yang dapat mengakibatkan
perdamaian antar umat beragama itu tidak tercapai, karena paham ini
kecenderungan memaksakan kehendaknya dalam memperjuangkan keyakinannya.
- Sifat Saling Curiga
Munculnya
ketegangan dan kecurigaan tidak lahir begitu saja tetapi sering, apalagi
dibumbui dengan teologi eksklusif, di mana gerak-gerik orang lain diragukan dan
dicurigai. Frans Magnissuseno menyatakan bahwa kenyataan seperti ini merupakan
akitab dari kekurang mampuan pengantar agama untuk menahan emosi. Sementara
emosi, rasa kebencian adalah salah satu faktor yang sangat ampuh untuk
menimbulkan kekacauan antar agama.[24]
Sikap saling curiga pada dasarnya sering dimiliki setiap individu, akan tetapi
sikap ini sering melembaga dan berproses dalam diri manusia. Pemeluk agam
Kristen-Islam sering memandang pemeluk agam lain dengan kecurigaan yang sangat
mendalam. Penganut kedua agama ini saling memuat penafsiran yang salah terhadap
orang lain berdasarkan kepentingan dari pihaknya. Walaupun terdapat hubungan
dan kerjasama yang erat di antara keduanya akan tetapi sikap saling curiga terus
muncul. Apalagi dalam konteks persaingan tertentu masalah akan menjadi lebih
besar lagi. Sikap saling curiga yang sering muncul berdasar pada Islamisasi dan
Kristenisasi. Jadi ketika sikap saling curiga ini berkembang di tengah-tengah
kehidupan umat beragama, maka perdamaian yang selama ini diharapkan tidak akan
pernah terwujud, karena telah tertanam dalam pikiran bahwa agama yang satu
menjadi pemangsa bagi agama-agama yang lain.
3.2.3. Non-Teologis
Secara
politik kekerasan yang terjadi akibat tindakan yang dilakukan secara emosional
yang disertai dengan adanya penggunaan kekerasan dan hancurnya tata susunan
pemerintahan dalam masyarakat yang melibatkan pembunuhan manusia dalam jumlah
yang besar dan juga akibat adanya kekuatan militerisme yang digunakan oleh
pihak penguasa.[25] Sehingga
keinginan untuk memperebutkan kekuasaan, kekayaan dan tidak tertutup
kemungkinan untuk menguasai kehidupan manusia bisa memicu terjadinya penggunaan
kekuatan militer dan politik untuk menghancurkan sesama manusia.
Dari
segi ekonomi struktur perekonomian
dunia bahkan boleh dikatakan belum merata dan adil. Hal ini boleh dilihat dan
rasakan bahwa pertumbuhan perekonomian yang masih timpang, dan juga dapat
dibuktikan dengan masih adanya kaum miskin, terbelakang dan hina sehingga
mereka ini menjadi rakyat yang terpinggirkan dalam masalah ekonomi dengam
kemajuan ilmu tekhnologi. Bahkan dengan kemajuan yang telah menyebabkan
kehancuran dan gangguan alam yang luar biasa. Adanya kesenjangan di antara
negara-negara makmur dan negara-negara miskin sebagai negara yang kaya dan
makmur yang senantiasa memperlihatkan kesejahteraan rakyatnya apabila sumber
ekonomi mulai melemah, maka tidak segan-segan negara ini akan mengatur strategi
untuk menguasai negara-negara miskin untuk memajukan dan mensejahterakan
kehidupan rakyatnya demikian kepentingan negara itu sendiri oleh karena itu
diharapkan juga partisipasi setiap umat beragama untuk dapat membangun
perekonomian yang baik di tengah-tengah kehidupan masyarkat, karena apabila
sistem perekonomian tidak naik maka mustahil masyarakat dapat hidup sejahtera.
Dari
segi hukum, pada dasarnya ditetapkan guna memberlakukan keadilan dengan
menindak yang salah dan membela yang benar, akan tetapi pada kenyatannya banyak
terjadi ketimpangan antara konsep teoritis dengan prakteknya. Melalui pelaksanaan
hukum yang sesuai dengan sumbernya yaitu Tuhan, akan tercipta keadilan bagi
seluruh lapisan masyarakat. Belakangan ini banyak orang yang berpendapat bahwa
para pemimpin yang ada di negeri ini
tidak loyal terhadap hukum. Hal ini dapat diketahui dengan melihat para pemimpin
bangsa ataupun para penegak hukum
cenderung mengabaikan hukum yang telah ada bahkan segelintir orang menggunakan hukum
hanya sebagai alat kekuasaan, bukan untuk menata serta mengayomi kehidupan
orang yang membutuhkan perlindungan hukum tanpa harus memandang status, akan
tetapi yang terjadi sebaliknya adalah hukum berubah fungsi menjadi penindas
yang mempunyai legitimasi. Ketika hukum digunakan sebagai alat kekuasaan,
sedangkan bagi rakyat kecil hukum jarang diperoleh dengan adil. Belakangan ini
yang muncul adalah perebutan kekuasaan, para eliete politik bertikai bukan
karena berbeda pendapat untuk memperjuangkan perwujudan hukum dan keadilan demi
kesejahteraan rakyat, tetapi oleh karena berbeda pendapat sehingga tidak dapat
dipungkiri tingkat KKN di Indonesia semakin tinggi.
Akibat dari ketimpangan hukum
yang terjadi di dalam masyarakt, maka
tidak tertutup kemungkinan akan muncul di tengah-tengah masyarakat tindakan
sewenang-wenang yang memicu tindakan anarkis dan menibulkan konflik-konflik
serta kekerasan yang berbau SARA (agama).[26]
Jika kehidupan masyarakat tidak lagi hidup dalam suasana aman dan rukun, maka
perdamaian pun tidak mungkin dapat terwujud
dalam kehidupan masyarakat.
2.3
TEOLOGI
KRISTEN TENTANG AGAMA SEBAGAI SUMBER PERDAMAIAN
2.3.1. Perdamaian Sebagai Tujuan
Bersama
Dalam situasi bangsa
dan masyarakat Indonesia yang mana terus dilanda krisis hingga masa sekarang
ini, setiap orang pasti merindukan damai. Ketika kekerasan menjadi kebiasaan mulai
dari peperangan, teror, diskriminasi, penindasan dan ketidakpedulian terhadap
kaum miskin damai menjadi suatu cita-cita yang indah. Hidup dalam perdamaian
tidak mengindikasikan kelemahan, melainkan semangat hidup dalam kerukunan.
Kekuatan yang diliputi oleh arogansi akan menyebabkan peperangan sedangkan,
kekuatan yang disertai dengan kerendahan hati akan menumbuhkan perdamaian,
karena demikian juga yang diajarkan dalam agama Kristen dan Islam yakni tentang
kebaikan, kasih memberi rasa aman kepada orang lain dan sebagainya. Sebagai
contoh Mat. 22:37-39.“"Kasihilah
Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan
segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama.Dan hukum yang
kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu
sendiri.”
Dalam
kitab suci Islam, ditegaskan “Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan lari dari lingkunganmu.
Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermasyurlah
dengan mereka dalam segala urusan. (QS Ali Imran 3:159)”. Mengasihi dalam
konteks Indonesia saat ini adalah berusaha untuk turut serta di
tengah-tengah masyarakat dalam tindakan
nyata dalam mengatasi kemiskinan, ketidak adilan sosial, pelanggaran HAM dll.
Jadi semua komponen yang mengasihi Allah dan manusia berperan aktif dalam
berindak sebagai bukti bahwa dirinya adalah umat Allah karena itu teologi yang
relevan sebagai jawaban terhadap konteks Indonesia adalah teolgi yang
memperjuangkan keadilan terhadap sesama sebagai wujud nyata gambar teladan
Allah yang sekaligus menunjuk pada Kerajaan Allah yang di dalamnya langit dan
bumi baru menjadi nyata dan jelas. Tentunya untuk mencapai ini dibutuhkan
kerjasama antara komponen bangsa tanpa memandang perbedaan agama.[27]
Teologi perdamaian adalah teologi yang kontra
terhadap nilai pembenaran diri atau kelompok yang menyuarakan dirinya pada
fanatisme sempit agama. Teologi agama diberdayakan agar manusia dapat mengelola
hidupnya secara lebih baik untuk memuliakan Allah dalam pengertian setiap usaha
memuliakan Allah adalah sekaligus memberikan yang terbaik dari hidup kita demi
terciptanya keadilan, kesejahteraan dan kebaikan bagi semua orang sebagai
sesama makhluk ciptaan Tuhan walaupun berlainan agama, suku dan asal usul,
sebab Paulus mengsiaratkan orang Kristen dalam dunia pluralism harus mencari kebaikan
bagi sesamanya, bukan mencari kuntungan pribadi.[28]
Dari pernyataan di atas kita lihat bahwa pokok permasalahan adalah
ketidakadilan dalam segala bidang termasuk merajalelanya kemiskinan. Dalam Alkitab
ditekankan bagaimana seseorang itu harus berbuat adil dan benar tanpa memandang
kelompok, ras dan agama. dsb.
Dari segi Islam memberi landasan agamawi bagi para penganutnya untuk
memberi keberadaan agama-agama lain sekaligus menjalin hubungan kerja sama
antar agama-agama tersebut. Nilai yang terkandung dalam Al-quran mengajarkan
prinsip yang benar tentang kebebasan beragama, hidup berdampingan secara damai,
bersikap positif dalam berhubungan serta kerja sama dengan orang-orang yang
tidak seagama. (QS. 60:8). Selanjutnya
menekankan secara tegas keharusan umat
Islam untuk bertindak adil dengan non-muslim dan keharusan untuk menjaga
tempat-tempat ibadah semua agama. alasan diatas mengimpliksikan bahwa kewajiban
setiap agama adalah untuk bersikap menghormati, membuka diri serta bekerja sama
dengan mereka atas prinsip iman kepada Tuhan Yang Maha Esa demi terwujudnya
perdamaian di bumi di mana Tuhan telah menciptakan dan mewariskannya kepada
umat manusia sebagai ciptaan dimana
Tuhan berkenan tinggal di dalamnya.[29]
2.3.2. Upaya Menuju Perdamaian
a. Agama Besikap Inklusif
Inklusivisme
berasal dari dua suku kata, yaitu “inklusif” yang berarti temasuk dan
terhitung, “sedangkan isme” berarti aliran. Maka secara etimologi kata
inklusifisme dapat diartikan menjadi suatu sikap keterbukaan terhadap golongan
atau aliran lain, dalam artian kehadiran dari golongan yang lain itu dianggap
terdapat juga keselamatan, dan yang menjadi pusat keselamatan itu adalah Yesus
Kristus. Jadi dapat disimpulkan paham inklusif merupakan sikap keterbukaan dari
satu agama/kelompok untuk menerima dan menghargai kehadiran golongan-golongan
agama lain, budaya-budaya lain, dll. Serta menganggap bahwa di dalam agama lain
Allah juga hadir untuk menganugrahkan keselamatan dibawah pengaruh Yesus
Kristus sebagai pusat keselamatan. Sikap inklusif ini harus dikembangkan untuk
membina kerukunan umat beragama. Yang mana terbuka terhadap agama lain. Untuk
menyikapi perbedaan agama. Allah yang kita beritakan sudah ada juga di sana. Many ways, one form (banyak cara satu
jalan), yang artinya aliran ini bermisi untuk memperkenalkan Kristus supaya
mereka mengenal Allah yang tidak mereka kenal. Ada 4 tesis Karl Rahner
mengatakan agama Kristen adalah agama yang mutlak yang diperuntukkan bagi semua
orang sehingga tidak dapat mengakui agama lain apapun dengan hak yang setara.
Secara teologis berbasis kepada penyataan Allah. Agama non-Kristen selain
memiliki pengetahuan natural tentang Allah yang memiliki unsur-unsur supranatural
sehingga dapat dianggap sebagai agama yang sah. Kis. 17:23 agama-agama
non-Kristen dapat dipandang dengan hormat
sebagai Kristen tanpa nama (Kristen anonim). Dan gereja merupakan
barisan terdepan secara historis untuk mewujudkan kerajaan Allah. Gereja adalah
tanda dari penyembahan atau pengudusan hal yang berkeanan bagi Allah. Segala sesuatu
yang berkenan bagi Allah adalah gereja. Sehingga ketika mampu untuk inklusif
diharapkkan perdamaian dapat tercipta dalam ruang lingkup kehidupan masyarakat.
b. Dialog Umat Beragama
kata
dialog, berasal dari bahasa Yunani: dialogos
yang artinya bicara antara dua belah pihak. Lebih lanjut berdialog adalah
percakpan antara dua orang atau lebih
dalama mana diadakan pertukaran nilai yang dimiliki masing-masing pihak. Dialog
bersama adalah pertemuan hati dan pikiran antar pemeluk berbagai agama yang
bertujuan mencapai kebenaran dan kerjasama dalam masalah-masalah yang dihadapi
bersama.[30] Dalam dialog agama semua bisa didialogkan
asalkan tepat guna, hanya tergantung pada peserta dialognya. Berdialog adalah
menempatkan orang lain pada posisi yang sama/level yang segar. Hendaklah dalam
berdialog berada dalam keterbukaan. Dengan berdialog janganlah berupaya
menyamakan semua hal. Pentingnya berdialog membuat kita semakin terbuka dan
siap untuk dikritik. Dengan berdialog dapat saling menyumbang antara satu
dengan yang lain. Dan dalam berdialog harus menyadari bahwa dia punya banyak
kekurangan, dan jangan menganggap dirinya paling benar.
c. Peranan Agama-agama Dalam
Perdamaian
Dengan melihat realita yang terjadi, yang
menunjukkan masyarakat Indonesia yang penuh dengan tangisan. Dimana kita bisa
melihat masyarakat Indonesia yang penuh dengan korupsi, kerusakan lingkungan,
diskriminasi sosial, pelanggaran HAM, ketertidasan dan kemelaratan yang dialami
orang-orang yang miskin, serta sikap acuh tak acuh terhadap penderitaan orang
lain disinilah peranan agama hadir dan berperan. Umat beragama bukan sebagai
pengkomentar yang unggul untuk menanggapi masalah yang dihadapi bangsa ini,
melainkan sebagai pembawa solusi yang baik dan bermanfaat.
Dengan melihat keadaan Indonesia yang membuat
kita prihatin dimana berbagai persoalan sosial yang berkembang dalam
masyarakat, yang dapat mengancam kelangsungan kehidupan keluarga, masyarakat
dan lingkungan hidup. Kecenderungan mengejar kemajuan material yang berlebihan
seringkali mengesampingkan nilai-nilai moral, etik dan spiritual. Oleh karena
itu perlu peran agama yaitu sebagai umat Tuhan, mari kita tingkatkan dan
kembangkan pola hidup dan pelayanan bersama antar Gereja Tuhan serta kerja sama
dengan semua lapisan masyarakat, dengan semua cerdik pandai dengan semua
golongan umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa dan dengan
pemerintah dalam membangun masa depan bersama. Sebagai bangsa Indonesia dan
terang iman kita masing-masing kita tingkatkan upaya untuk terus-menerus dan
bersama-sama meletakkan landasan moral, etik dan spiritual yang kukuh memasuki
proses perubahan masayarakat menuju industrialisasi. Marilah kita kembangkan
suatu kehidupan beragama di dalam masyarakat Pancasila yang saling menghormati,
saling menghargai, saling memberi ketenangan dan kesempatan untuk masing-masing
beribadah menurut agama dan kepercayaannya.[31]
Dalam artian bahwa setiap individu hendaknya menyadari bahwa nilai-nilai
kebersamaan penting ditanamkan dalam pribadi setiap manusia, sehingga setiap
pribadi menyadari dalam dirinya dalam lingkungan yang pluralis membutuhkan
suatu kerjasama dan menjalin kerja sama anta umat beragama bukanlah suatu hal
yang mudah, akan tetapi seperti yang telah dinyatkan pleh Paul. F. Knitter umat
beragama mulai terbuka satu sama lain, saling mendengar akan masalah orang
lain, serta kerelaan setiap agama untuk jujur kepada kecurigaan yang
dipendamnya terhadap pemeluk agama lain dalam kehidupan bersama. Sehingga dalam
mencapai pembangunan bangsa yang adil dan damai baik di bidang ekonomi,
politik, hukum, budaya, bahkan agama, dibutuhkan kesadaran pribadi yang bersumber
dari penghayatan terhadap diri sendiri. Jika para penganut agama menyadari
dirinya sebagai gambar Allah maupun Khalifah, setiap pribadi akan memiliki
tanggung jawab untuk berperan serta dalam meyelesaikan permasalahan-permasalahan
yang terjadi. Peran agama besar pengaruhnya bagi masyarakat untuk dapat
menanggalkan perasaan curiga, saling menyalahkan, dan tidak percaya. Perbedaan
SARA sebenarnya dapat menjadi kekuatan, kekuatan yang tidak dapat dinilai
harganya demi terwujudnya perdamaian antar umat beragama. Ketegangan akan
muncul ketika setiap golongan hanya mementingkan golongannya sendiri.[32]
Sehingga dari pembahasan di atas dapat
dilihat beberapa peran agama yang ditanamkan oleh agama-agama dalam proses
pembangunan yaitu, mempengaruhi isi dan bentuk pembangunan, melakukan
pembangunan yang kritis dan realistis. Semua peran tersebut dapat dilakukan
bila agama-agama menyadari akan tugas dan panggilannya ditengah-tengah
kehidupan masyarakat.
Analisa
Berdasarkan
pemaparan di atas maka analisa saya adalah, bahwa agama Islam dan Kristen
memiliki tujuan yang sama untuk mencapai perdamian yaitu dengan kebaikan
melalui kasih. Dimana kasih memberi rasa aman kepada orang lain dan dapat
membantu atau menology orang lain. Hal
ini dapat kita lihat melalui contoh
dalam Agama Kristen 22:37-39.“"Kasihilah
Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan
segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama.Dan hukum yang
kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu
sendiri.”Dalam kitab suci Islam, ditegaskan “Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan
lari dari lingkunganmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi
mereka dan bermasyurlah dengan mereka dalam segala urusan. (QS Ali Imran
3:159)”.
Dalam
hal ini jelas sekali bahwa panggilan damai dalam mengasihi sesama itu menjadi
perhatian besar dalam Kitab Suci. Sehingga dapat dikatakan agama berperan
penting dalam menciptakan masyarakat yang damai. Dalam hal ini juga upaya yang
harus dilakukan untuk menciptakan masyarakat yang damai yaitu dengan mengurangi
kekerasan tanpa adanya praktek kekerasan. Artinya menciptakan perdamaian dengan
cara damai. Maka dibutuhkan sikap untuk tidak saling mencurigai, tetapi
hendaklah setiap agama memiliki sikap saling terbuka dan toleran dalam
memandang saudara-saudara yang aliran sebagai saudara dan sama-sama mencari apa
yang menjadi tujuan bersama. Dengan
sikap inklusif (terbuka) maka dapat menerima dan menghargai kehadiran
golongan-golongan agama lain, budaya-budaya lain, dll. Serta menganggap bahwa
di dalam agama lain Allah juga hadir untuk menganugrahkan keselamatan dibawah
pengaruh Yesus Kristus sebagai pusat keselamatan.
Agama
Islam memberi landasan agamawi bagi para penganutnya untuk memberi keberadaan
agama-agama lain sekaligus menjalin hubungan kerja sama antar agama-agama
tersebut. Nilai yang terkandung dalam Al-quran mengajarkan prinsip yang benar
tentang kebebasan beragama, hidup berdampingan secara damai, bersikap positif
dalam berhubungan serta kerja sama dengan orang-orang yang tidak seagama. (QS.
60:8). Sedangkan agama Kristen dengan sikap yang eklusif, secara teologis
berbasis kepada penyataan Allah. Agama non-Kristen selain memiliki pengetahuan
natural tentang Allah yang memiliki unsur-unsur supranatural sehingga dapat
dianggap sebagai agama yang sah. Kis. 17:23 agama-agama non-Kristen dapat
dipandang dengan hormat sebagai Kristen tanpa nama (Kristen anonim). Dan gereja
merupakan barisan terdepan secara historis untuk mewujudkan kerajaan Allah.
Ketika agama-agama dapat hidup
berdampingan dengan penuh ketulusan dan saling percaya dengan didasarkan pada
rasa persaudaraan dan cinta asih, sehingga permasalahan-permasalahan baik itu
keeklusivan, fundamentalisme agama, kecurigaan bahkan konflik yang terjadi dalam bdang politik, ekonomi, bahkan
hukum dalam bangsa ini dapat diselesaikan dan dapat ditemukan solusi yang
terbaik untuk mengeluarkan bangsa ini dari berbagai macam krisis dalam rangka
mewujudkan perdamaian di bumi Indonesia yang tercinta ini.
III.
DAFTAR
PUSTAKA
Abul
A’la Al-Maududi, Pokok-Pokok Pandangan Hidup Muslim, Jakarta: Media Dak’wah,
1996,
Andreas
A. Yewangoe, Pendamaian, Jakarta: BPK-GM, 1983
Berger
.Peter L., Piramida Korban Manusia, Etika Politik Dan Perubahan Sosial,
Jakarta: LP3ES, 1982
D.
Hendropuspito, Sosiologi Agama, Jakarta: BPK GM, 1990
Efendi
(art), “Dialog Islam dan kristen Dalam Perspektif Sejarah Islam” dalam Eka
Darmaputra (peny.), Strunggling In Hope, Bergumul Dalam Pengharapan, Jakarta:
BPK-GM, 2001
Goppelt,
Leonhard, Theology Of The New Testament,
Vol. II, trans, Jhon E. Alshup editor Roloff, Jurgen, Michigan: Wm. B.
Erdemand, 1982
Guthrie,
Donald, Teologi Perjanjian Baru 2,
Jakarta: BPK-GM, 1996
H.
Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000
H.M.
Arifin, Menguak Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, Jakarta: Golden
Press, 19
Harianto,
I., (ed), Melangkah Dari Reruntuhan Tragedi Situbondo, Jakarta: Grasindo,
1998
J.
Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini I (A-M), Jakarta: YKBK/OMF, 2008
Liem
Khiem Yang, Kebenaran Allah Lawan Kebenaran Sendiri, Jakarta: BPK-GM, 2002
Magnissuseno, Franz, Agama, dapatkah Dibangun suatu
ketulusan Antara mereka, dalam B. Keiser (ed), Tulus Seperti Merpati Licik
Seperti Ular,Yogyakarta: Kanisius, 2002
Mahendra,
Yusril Ihja, “Fundamentalisme Faktor Dan Masa Depannya”, dalam Rekonstruksi
Dan renungan Religius Islam, Jakarta: Paramadino, 1996
Manurung
Kaleb, “Pluralisme Sebagai Dasar Etika Bersama”, dalam Pluralisme
(edisi 15), Medan: STT Abdi sabda, 2006
Muhammad
Iqbal, & William Hunt, Ensiklopedi Ringkas Tentang Islam,
Jakarta: Taramedia, 2003
Poerwadarminta,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996
Rahlfs
D., Septuaginta,
Stuttgart: Deutsche Bibel Gesellschaft, 1997
Robert M. Paterson, Tafsiran Alkitab Imamat,
Jakarta: BPK-GM, 1994
Sairin,
Weinata, Pesan-pesan Kenabian Di Pusaran Zaman, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2002
Setio,
Robert, “Teks Perang” dalam
konteks Perang” dalam Forum Biblika (edisi 16), Jakarta: LAI, 2004
Sumartana,
Th.,
Dialog, Kritik Dan Identitas Agama, Jakarta: BPK-GM, 1996
Syamsul
Rizal, Buku Pintar Agama Islam, Bogor: Penebar Salam , 2002
Syekh
Mahmud Syal Tut, Akikah dan Syari’ah Islam, Jakarta: Bina Aksara, 1985
Tallas,
T.H., Pengantar Studi Ilmu Perbandingan Agama, Jakarta: Galura Pase,
2006
Yewangoe,
A. A., Iman, Agma, Dan Masyarakat, Jakarta:BPK-GM, 2003, hlm. 159
Zaman,
Ali Noer, Agama Untuk Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000
[1] Liem Khiem Yang, Kebenaran
Allah Lawan Kebenaran Sendiri, Jakarta: BPK-GM, 2002, hlm. 16-17
[2] H. Dadang Kahmad, Sosiologi
Agama, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000, hlm. 13
[3] Poerwadarminta,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1996, hlm. 18
[4] D. Hendropuspito,
Sosiologi Agama, Jakarta: BPK GM, 1990, hlm. 34
[5] Poerwadarminta, Op.
Cit., hlm. 224
[6] H.M. Arifin, Menguak
Misteri Ajaran Agama-Agama Besar, Jakarta: Golden Press, 1998, hlm. 206
[7] Muhammad Iqbal, & William
Hunt, Ensiklopedi Ringkas Tentang Islam, Jakarta: Taramedia, 2003,
hlm. 195
[8]
Syamsul Rizal, Buku Pintar Agama Islam, Bogor:
Penebar Salam , 2002, hlm. 2
[9] Syekh Mahmud Syal Tut, Akikah
dan Syari’ah Islam, Jakarta: Bina Aksara, 1985, hlm. 177-178
[10] Abul A’la Al-Maududi, Pokok-Pokok
Pandangan Hidup Muslim, Jakarta: Media Dak’wah, 1996, hlm. 1
[11] J. Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini I
(A-M), Jakarta: YKBK/OMF, 1997, hlm. 226
[12]
Ibid. hlm. 226
[13] Bnd, Robert M. Paterson, Tafsiran Alkitab Imamat,
Jakarta: BPK-GM, 1994, hlm. 32-33
[14]
Andreas A. Yewangoe, Pendamaian, Jakarta: BPK-GM, 1983,
hlm. 1-2
[15] Rahlfs D., Septuaginta, Stuttgart:
Deutsche Bibel Gesellschaft, 1997, pp. 570-578
[16] Leonhard Goppelt, Theology Of The New Testament, Vol. II, trans,
Jhon E. Alshup editor Jurgen Roloff, Michigan: Wm. B. Erdemand, 1982, p.
138-139
[17] Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 2, Jakarta:
BPK-GM, 1996, hlm. 109-115
[18] T.H. Tallas, Pengantar
Studi Ilmu Perbandingan Agama, Jakarta: Galura Pase, 2006, hlm. 11
[19] Ali Noer Zaman, Agama
Untuk Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hlm. 258-259
[20] Kaleb Manurung, “Pluralisme
Sebagai Dasar Etika Bersama”, dalam Pluralisme (edisi 15), Medan: STT
Abdi sabda, 2006, hlm. 61
[21] Th. Sumartana,
Dialog, Kritik Dan Identitas Agama, Jakarta: BPK-GM, 1996, hlm. 7-8
[22] Yusril Ihja Mahendra, “Fundamentalisme
Faktor Dan Masa Depannya”, dalam Rekonstruksi Dan renungan Religius Islam,
Jakarta: Paramadino, 1996, hlm. 98
[23] Robert Setio, “Teks
Perang” dalam konteks Perang”
dalam Forum Biblika (edisi 16), Jakarta: LAI, 2004, hlm. 51
[24] Franz Magnissuseno, Agama,
dapatkah Dibangun suatu ketulusan Antara mereka, dalam B. Keiser (ed), Tulus
Seperti Merpati Licik Seperti Ular,Yogyakarta: Kanisius, 2002, hlm.
21
[25] Peter L. Berger, Piramida
Korban Manusia, Etika Politik Dan Perubahan Sosial, Jakarta: LP3ES,
1982, hlm. 70
[26] I. Harianto (ed), Melangkah
Dari Reruntuhan Tragedi Situbondo, Jakarta: Grasindo, 1998, hlm. 12-13
[27] V.I. Tanja, hlm. 78-80
[28] Andrew D. Clarke & Bruce W.
Winter , hlm. 97. Bnd. 1 Kor. 10:23-24
[29] Efendi (art), “Dialog Islam dan
kristen Dalam Perspektif Sejarah Islam” dalam Eka Darmaputra (peny.), Strunggling
In Hope, Bergumul Dalam Pengharapan, Jakarta: BPK-GM, 2001, hlm.
507-508
[30] H. Dangdang Kahmad, Op.
Cit., hlm. 177
[31] Weinata Sairin, Pesan-pesan
Kenabian Di Pusaran Zaman, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2002, hlm.
254-255
[32] A. A. Yewangoe, Iman,
Agma, Dan Masyarakat, Jakarta:BPK-GM, 2003, hlm. 159
Tidak ada komentar:
Posting Komentar