Senin, 11 Maret 2013

FILSAFAT PRAGMATISME



FILSAFAT PRAGMATISME
Chrisnov M. Tarigan Sibero
I.                   I. PEMBAHASAN
1.1.Pengertian Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata pragma artinya guna. Pragma berasal dari kata Yunani. Maka pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang bermanfaat secara praksis.[1] Pragmatisme merupakan inti filsafat pragmatik[2] dan menemukan nilai pengetahuan berdasarkan kegunaan praksisnya. Kegunaan praksis bukan pengakuan kebenaran objektif dengan ketentuan praktik, tetapi apa yang memenuhi kepentingan-kepentingan subyektif.[3] Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantara akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praksis. Pegangan pragmatisme adalah logika pengamatan. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu asal saja bermanfaat bahkan kebenaran mistis dipandang sebagai berlaku juga, kebenaran mistis itu membawa akibat praksis yang bermanfaat.[4]
Dalam logika pragmatika sampai pada irasionalisme hal ini nampak jelas dalam karya-karya James dan secara tersirat dalam karya-karya Dewey. Dalam etika, pragmatisme menganut meliorisme yaitu pandangan tentang pendekatan secara bertingkat dari tantanan yang ada.[5]

1.2.Latar Belakang Sejarah dan Perkembagan Pragmatisme
Pragmatisme pada awalnya diperkenalkan oleh Charles Sanders Peirce (1839-1914), dia adalah filsuf Amerika pertama yang menggunakan pragmatisme sebagai metode filsafat, tetapi pengertian pragmatisme telah terdapat juga pada Socrates, Aristoteles, Berkeley, dan Hune. Jika pragmtisme disangkutpautkan dengan empirisme[6] kiranya ketersangkutan itu memang besar-maka sejarah pragmatisme berarti tersebar pada banyak filsuf lainnya. Satu diantaranya John Lock.[7] Suatu gerakan filsafat abad ke-19 dan ke-20 yang menekankan interpretasi ide-ide melalui kensekuensi-konsekuensinya. Istilah ini diangkat dari Kant oleh C. S. Peirce. Kant membedakan –yang praksis-yang berkaitan dengan kehendak dan tindakan-dari yang pragmatis-yang bertalian dengan akibat-akibat. Pierce mengusulkan teori makna dari ide ini.[8]
Lahirnya pragmatisme tidak terlepas dari adanya pertentangan antara empirisme dan rasionalisme. Bila pertentangan ini diperuncing akan menimbulkan pertanyaan jalan tunggal manakah pengetahuan itu terjadi. Aliran yang disebut intelektualisme menjawab pertanyaan tersebut secara ekstrim mengatakan bahwa akal budi merupakan sarana pengetahuan, sedangkan aliran sensualisme secara ekstrim pula mengatakan bahwa sarana untuk memperoleh pengetahuan adalah panca indra. Aliran pragmatisme meyakini bahwa akal budi tidak memunculkan objek (sebagaimana pandangan idealisme). Serta tidak pula mampu memantulkan kembali (seperti anggapan kaum realis). Pragmatisme memandang daya pengetahuan sebagai sarana bagi tindakan manusia untuk menentukan apa manfaat suatu tindakan bagi hidup kita. Dalamhal ini, pragmatisme dapat dikatakan mempertanyakan apa fungsi filsafat bagi kehidupan kita. Walaupun banyak yang berpendapat bahwa pragmatisme bukan suatu filsafat melainkan suatu metode atau instrument karena senantiasa berorientasi pada manfaat.[9]  

1.3. Pragmatisme Berpegang Teguh Pada Praktek
Berusaha menemukan asal mula serta hakekat terdalam dari segala sesuatu, merupakan kegiatan yang sangat menarik, meskipun kegiatan tersebut luar biasa buktinya. Peganut pragmatisme menarik perhatian pada praktek. Mereka memandang hidup manusia sebagai suatu perjuangan, utuk hidup yang berlangsung terus menerus yang didalamnya terpenting ialah konsekuensi. Konsekuensi yang bersifat praktis. Konsekuensi-konsekuens yang bersifat praksis tersebut erat hubungannya dengan makna dan kebenaran. Demikian eratnya sehingga oleh seorang penganut pragmatisme dikatakan bahwa kedua hal tersebut sesungguhnya merupakan ketunggalan.[10] Salah seorang peletak dasar Pragmatisme adalah Peirce yang mengatakannya demikian “ Untuk memastikan makna apakah yang dikandung oleh sebuah konsepsi akali, maka kita harus memperhatikan konsekuensi-konsekuensi praksis apakah yang niscaya timbul dari kebenaran konsepsi tersebut.Jika tidak menimbulkan konsekuensi-konsekuensi yang praksi, maka sudah tentu tidak ada makna yang dikandungnya. Kesimpulan yang terakhir ini dinyatakan dalam semboyan “ Apa yang tidak mengakibatkan perbedaan maka tidak mengandung makna”. Maka yang dikandung sebuah pernyataan terdapat dalam konsekuensi yang niscaya timbul dari suatu pertanyaan yang dianggap benar.[11]


1.4. Tokoh-Tokoh Pragmatisme
·                    William James (1842-1910)
William James lahir di New York pada 1842. Sejak 1872 hingga 1907, ia menuntut ilmu di Harvard. Pada mulanya James mempelajari fisiologi, kemudian beralih ke psikologi, dan terakhir filsafat. Pragmatisme William James memiliki pengaruh yang cukup dominan dalam filsafat pragmatisme, yang merupakan pemikiran khas Amerika. Karya-karya William James antara lain Pragmatism, The Will to Believe, The Varietis of Religion Experience, The Meaning of Truth, dan beberapa karya lainnya. Pemikiran filsafat James lahir karena dalam sepanjang hidupnya mengalami ilmu pengetahuan dengan pandangan agama. Ia beranggapan bahwa masalah kebenaran, tentang asal/tujuan dan hakikat bagi orang Amerika terlalu teoritis. Yang dia inginkan ialah hasil-hasil yang kongkrit. Dengan demikian untuk mengetahui kebenaran dari idea tau konsep haruslah diselidiki konsekuensi-konsekuensi praksisnya.[12]
William James mengatakan bahwa secara ringkas pragmatisme adalah realitas sebagaimana yang kita ketahui. Ia juga menambahkan, untuk mengukur kebenaran suatu konsep kita harus mempertimbangkan apa konsekuensi logis penerapan konsep tersebut. James adalah tokoh yang bertanggung jawab yang membuat pragmatisme menjadi terkenal di seluruh dunia.[13]   
Mengenai kebenaran, ada satu kalimat dari William James yang cukup padat dalam menggambarkannya, yaitu “truth happens to an idea” . Berbeda dengan konsepsi tradisional mengenai kebenaran yang memandang kebenaran sebagai sesuatu yang pasti dan tetap, James meyakini bahwa kebenaran itu terjadi pada suatu gagasan. Dalam hal ini, kebenaran dipahami sebagai sesuatu yang dinamis. Maka kebenaran suatu gagasan tidaklah dikatakan sebagai “benar”, melainkan “menjadi benar”. Hal ini ditakar dari efek-efek praktis dan tindakan yang mengikuti gagasan tersebut. Sebuah gagasan dinilai benar, jika mengarahkan manusia pada suksesnya suatu tindakan. Dengan kata lain, jika gagasan itu mengarahkan kita pada tindakan yang membawa manfaat. Bagi James, benar dan bermanfaat merupakan satu hal yang sama.[14]
·                     Charles S. Peirce (1839-1914)
Peirce adalah anak seorang ahli matematika, logika dan filsafat. Peirce terkenal dengan prinsipil dalam filsafat klasik dan sangat memahami sejarah ilmu pengetahuan, termasuk penemuan Darwin. Peirce menyimpulkan bahwa salah satu kunci dalam usaha adalah bukti, data, persepsi, dan peluang yang tersedia bagi para peneliti. Peirce menolak teori realitas yang telah ada sebelumnya yakni mekanistis.[15] Pierce juga menyatakan ‘untuk memastikan makna apakah yang dikandung oleh sebuah konsepsi akali, maka kita harus memperhatikan konsekuensi-konsekuensi praksis apakah yang niscaya yang akan timbul dari konsepsi tersebut jika tidak menimbulkan konsepsi-konsepsi yang praksis maka tidak ada makna yang dikandungnya”.[16] Menurut Peirce, yang penting adalah pengaruh apa yang dimiliki suatu ide dalam suatu rencana tindakan dan bukan hakikat suatu ide. Dalam konsep Peirce salah satu gagasan yang paling adalah gagasan dalam bentuk aksi, ide tidak begitu penting karena dikatakan tetapi karena dilaksanakan. Ditemukan sejumlah ide dan prinsip Pragmatisme yang dihasilkan dari ajaran Peirce: termasuk diantaranya bahwa prinsip pengalaman apapun(Seperti penelitian ilmiah) selalu mempunyai hubungan dengan pengalaman lain. Proses penjelasan tentang realitas adalah suatu proses yang tidak pernah berhenti dan setiap pengetahuan hanya bersifat sementara dan kondisional.[17]

·         John Dewey (1859-1952)
John Dewey dilahirkan di Burlington Vermont tahun 1859 mula-mula ia adalah seorang pemuda yang pemalu. Tetapi akhirnya menjadi seorang yang pengaruhnya sangat besar dalam bidang filsafat.Tujuan filsafat bagi Dewey adalah untuk mengatur kehidupan dan aktivitas manusia secara lebih baik untuk di dunia dan sekarang Dewey mengatakan manusia telah memakai dua metode untuk menghindari bahaya dan mencapai keamanan. Diantara pemikiran-pemikiran Dewey adalah:
-          Pengalaman dan dunia yang berubah
Pengalaman adalah satu dari kata-kata kunci dalam filsafat Dewey, filsafat Dewey adalah mengenal dan untuk pengalaman sehari-hari. Pengalaman adalah keseluruhan drama manusia dan mencakup segala proses saling mempengaruhi antara organisme yang hidup dan lingkungan ronaldanfisik.
-          Metode kecerdasan.
Hal-hal yang pokok dalam filsafat Dewey adalah teori tentang ide-ide dan menggunakan intelegensi (kecerdasan) sebagai metode. Ia mementingkan persoalan antara suatu organisme dengan lingkungannya semua pemikiran dan konsep, doktrin logika dan filsafat merupakan alat pertahanan bagi manusia dalam perjuangan untuk kehidupan.
-          Kemerdekaan kemauan dan kebudayaan.
Menurut Dewey manusia dan alam selalu saling bersandar. Alam dalam manusia adalah alam yang sudah berfikir dan menjadi cerdas. Alam dapat difikirkan dan dipahami, alam dimanfaatkan tetapi sesuatu yang harus diubah dan dikontrol.

II.                ANALISA
Pragmatisme yang adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara prakktis. Dimana aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat yang praksis. Dari pengertian tersebut dapat kita refleksikan bahwa segala sesuatu yang dalam kehidupan sehari-hari jikalau memang kita melakukan perbuatan yang benar jelas  pada segala sesuatu yang bisa membuktikan kita itu benar. Arti lain untuk membuktikan perbuatan kita itu benar jika sesuatu yang kita lakukan itu bermanfaat dan praktis. Dalam kehidupan kita sehari-hari terkadang kita tidak menyadari bahwa apa yang kita perbuat berbalik dari suatu kebenaran secara praksis, artinya tidak ada sesuatu yang bermanfaat yang kita lakukan meskipun itu mengajarkan tentang kebenaran dan kebenaran itupun tidak memiliki bukti yang nyata. Kita sering ragu akan perbuatan baik yang kita lakukan seakan-akan itu tidak memiliki manfaat apapun. Sehingga apapun yang kita lakukan dalam hidup kita dikuasai akan perasaan kawatir karena memang tidak ada bukti dari kebaikan tersebut. Melalui pembahasan kita kali ini, pragmatisme menekankan akan manfaat atau praksis dari setiap perbuatan baik itu kebenaran. Misalnya segala sesuatu yang berbau mistikpun asalkan membawa kepraktisan dan bermanfaat, artinya segala sesuatu itu dapat diterima asalkan bermanfaat.Oleh karena itu mari kita membiasakan diri untuk melakukan hal-hal kebaikan dan mempunyai manfaat yang praksis sehingga kita memperoleh kepuasan akan apa yang kita perbuat.Tuhan yang mengajarkan kita kebaikan memberikan contoh kepada kita untuk kita juga harus melakukan kebenaran yang bermanfaat sehingga relasi kita dengan Dia semakin dekat.

III.             III. DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Asmoro A., Filsafat Umum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000
Hadiwijono, Harun, Sari Sejarah Filsafat Barat II, Yogyakarta: Kanisius, 1988
James, William, Pragmatism: and Four Essays from The Meaning of Truth, New York: Meridian Books, 1959
Kattsoff, Louis O., Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992
Minderop, Albertine, Pragmatisme Amerika, Jakarta:OBOR (Anggota IKAPI), 2005
Soemargono, Soejono, Pengantar Filsafat. Yogyakarta: 1989
Tafsir, Ahmad, Filsafat Umum, Bandug: PT. Remaja Rosdakarya, 1994



[1] Asmoro A. Achmadi, Filsafat Umum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, hlm.118
[2] Pragmatik: Inggris dari bahasa Yunani pragma (fakta, benda, materi, sesuatu yang dibuat, kegiatan, pekerjaan, menyangkut akibat) dari prasseum (membuat, melakukan) suatu cabang semiotika studi tentang apa yang kita buat terhadap dengan symbol-simbol terpisah dari artinya. Pragmatika tidak berurusan dengan apa yang symbol-simbol artikan atau tandakan atau bagaimana symbol-simbol itu berhubungan dengan symbol-simbol lainnya. Pragmatika bergelut dengan bagaimana orang-orang yang menciptakan symbol-simbol itu berhubungan dengan symbol-simbol lainnya. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000, hlm. 876
[3] Ibid, hlm.877
[4] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat II, Yogyakarta: Kanisius, 1988, hlm.130
[5] Lorens Bagus, Op.cit., hlm. 878
[6]Inggris: Empirisme, dari Yunani “Empeiria, empeiros” (berpengalaman dalam, berkenalan dengan, terampil untuk). Dalam bahasa Latin kata empirisme berasal dari kata“Experiential” (pengalaman). Empirisme adalah doktrin bahwa sumber pengetahuan harus dicari dalam pengalaman salah satu teori mengenai asal pengetahuan. Biasanya bertolak belakang dengan rasionalisme dimana pada anggapannya adalah bahwa akal merupakan sumber pengetahuan satu-satunya setidaknya yang primer. (Lih. Ibid., hlm. 197 )
[7] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Bandug: PT. Remaja Rosdakarya, 1994, hlm. 166
[8] Lorens Bagus, Op. Cit., hlm. 878
[9]  Albertine Minderop, Pragmatisme Amerika, Jakarta:OBOR (Anggota IKAPI), 2005, hlm. 12-15
[10] Soejono Soemargono, Pengantar Filsafat. Yogyakarta: 1989, hlm. 130
[11] Louis O Kattsoff, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992, hlm. 130
[12] Asmoro A. Achmadi, Op. Cit., hlm. 118
[13] Ahmad Tafsir, Op. Cit., hlm. 166-167
[14]William James, Pragmatism: and Four Essays from The Meaning of Truth, (New York: Meridian Books, 1959) hlm. 133
[15] Albertine Minderop, Op. Cit., hlm. 95
[16] Louis O. Kattsoff, Op. Cit.,  hlm. 130
[17] Albertine Minderop, Op. Cit., hlm. 96

Tidak ada komentar:

Posting Komentar