Selasa, 12 Maret 2013

Ketidakadilan Terhadap Perempuan


Agama dan Gender
(Ketidakadilan terhadap perempuan)
Oleh : Julia E. Ginting’s

       I.            Pendahuluan
Manusia biasanya dibedakan secara sexual, sesuai jenis kelamin (sex) yakni laki-laki dan perempuan. Berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan adalah sebuah kodrat. Berbicara mengenai masalah perempuan tidak akan ada habis-habisnya dan selalu menjadi hal yang menarik. Keberadaan perempuan yang selalu dijadikan makhluk nomor dua adalah  akibat hasil dari sistem masyarakat. Perempuan memiliki hak untuk hidup dan mengatur hidupnya sendiri walaupun pada kenyataan hidup seorang perempuan lebih banyak didominasi oleh laki-laki. Keberadaan jenis kelamin dijadikan alasan untuk berlaku tidak adil pada perempuan.

    II.            Pembahasan
2.1. Pengertian Gender
Gender berasal dari kata genus (dari gener, latin) yang berarti jenis, tipe. Gender kemudian berarti jenis kelamin. Tetapi kini gender lebih mengacu pada perbedaan antara perempuan dan laki-laki yang dibuat melalui proses sosial dan budaya yang panjang. Gender adalah perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung-jawab laki-laki dan perempuan. Perbedaan peran antara perempuan dan laki-laki dapat ditukarkan dan berubah dari waktu ke waktu, serta berbeda dari satu tempat ke tempat lain.[1]
Gender dalam sosiologi mengacu pada sekumpulan ciri-ciri khas yang dikaitkan dengan jenis kelamin individu (seseorang) dan diarahkan pada peran sosial atau identitasnya dalam masyarakat. WHO memberi batasan gender sebagai “seperangkat peran, perilaku, kegiatan, dan atribut yang dianggap layak bagi laki-laki dan perempuan, yang dikonstruksikan secara sosial dalam suatu masyarakat”.[2]
Istilah gender lebih merujuk kepada kontruksi sosial dengan kata lain, gender adalah kategori untuk menjelaskan perbedaan antara perempuan dan laki-laki akibat konstruksi sosial (culture). Yang termasuk dalam kategori tersebut adalah ciri feminim/ maskulin, identitas feminim/ maskulin, dan aktor sosial perempuan/ laki-laki berdasarkan perbedaan jenis kelamin. Dengan kata lain, gender tidak dapat direduksikan dengan ciri-ciri biologis, walaupun sering kali hal tersebut dianggap alamiah. Pertentangan ciri ini sangat penting dalam konstruksi gender sebab jika sesuatu dianggap feminim maka ia tidak maskulin.[3]  

2.2. Pengertian Perempuan
Kata perempuan adalah kata yang berasal dari Sansekerta yakni “empu” merupakan gelar kehormatan yang berarti tuan; orang ahli; atau jika dijadikan verbal: mengampu, menghormati, memuliakan, mengasuh, membimbing.[4] Kata perempuan lebih menunjuk kepada manusia yang mempunyai ciri-ciri yakni memiliki rahim, mempunyai saluran untuk melahirkan, memproduksi sel telur, memiliki vagina dan mempunyai alat menyusui.[5]
Kata lain yang sering digunakan antara lain adalah wanita dan juga berasal dari bahasa Sanskerta yakni “vanita” yang berarti “yang diinginkan laki-laki”. Demikian juga dalam bahasa Jawa kata wanita diartikan yakni “berani diatur” atau “berani ditata”.[6]

2.3. Pandangan Alkitab Tentang Perempuan
Dalam cerita penciptaan manusia, baik laki-laki maupun perempuan diciptakan berbeda dengan makhluk lainnya. Menurut rencana Allah, manusia akan diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Istilah itu tidak pernah dipakai untuk makhluk lain selain manusia.[7] Setelah laki-laki tercipta sebagai manusia pertama, segala kebutuhannya telah tersedia. Kemudian Tuhan menjadikan seorang perempuan dan membawakannya kepada laki-laki (adam) sebab Tuhan melihat bahwa tidak baik apabila manusia itu seorang diri. Dan Adam berkata inilah tulang dari tulangku dan daging dari dagingku: dia akan dipanggil perempuan karena dia berasal dari laki-laki.[8]
Dalam Kej.2 , perempuan diciptakan sebagai penolong yang sepadan bagi laki-laki. Kata ini adalah sebuah kata yang menunjuk kedudukan yang lebih tinggi daripada yang ditolong (laki-laki), namun demikian Allah tidak menginginkan hal tersebut sehingga kata sepadan adalah kata yang cukup menjelaskan dan menunjukkan bahwa perempuan adalah seorang yang posisinya setara dengan laki-laki.[9] Jadi dengan demikian maka jelaslah bahwa laki-laki dan perempuan adalah setara dalam harkat dan martabat yang sama serta dalam tugas yang diembankan kepada manusia dan sebagai mandataris Allah di bumi.
Dalam kitab PB, hal yang paling penting adalah sikap dan ajaran dari Tuhan Yesus termasuk juga bagaimana sikap dan ajarannya mengenai perempuan. Dalam kitab Injil banyak tertulis mengenai perjumpaan Yesus dengan kaum perempuan dimana Yesus mengampuni, menyembuhkan dan mengajar mereka bahkan selama perjalanannya hingga Dia disalibkan, yang membersihkan kubur bahkan menjadi saksi mata akan kebangkitanNya. Dengan fakta yang demikian Ia mau menyatakan bahwa perempuan juga mempunyai hak yang sama dan kesempatan yang sama seperti halnya laki-laki.[10] Walaupun Yesus tidak memiliki murid perempuan (12 murid Yesus) namun hal tersebut tidak bisa menjadikan alasan sebab banyak dari perempuan yang terlibat dalam peristiwa penting yang dialami Yesus, mulai dari kelahiran dan kebangkitanNya.
Alkitab mengemukakan status perempuan yang bersifat ambivalen, disatu pihak identitas perempuan dibatasi dalam ruang lingkup sebagai istri dan ibu, dipihak lain perempuan juga memiliki kesempatan yang terbuka untuk memimpin suatu masyarakat (Hak. 4:4-16). Disisi lain dalam konteks budaya memang ada suatu ajaran yang tidak dapat diganggu gugat, hal itu disebabkan oleh aturan yang mengkondisikan perempuan untuk tidak memiliki kebebasan bagi dirinya sendiri. Dalam tradisi budaya perempuan dapat menjadi korban kepentingan dan keselamatan laki-laki. Contohnya: untuk menyelamatkan suami dari bahaya dan ancaman, perempuan boleh diserahkan (Hak. 19:22-26). Perempuan boleh dihukum dengan brutal, diusir dari rumah (Im. 21 dan Ul. 24:1-3). Dalam aturan undang-undang Keyahudian ditegaskan bahwa seorang istri lebih lama kenajisannya ketika melahirkan seorang anak perempuan (Im. 12:1-5).

2.4. Peran Perempuan dalam Alkitab
2.4.1. Dalam Perjanjian-Lama
Sejak awal manusia diciptakan laki-laki dan perempuan, dan keduanya adalah sama. Dalam sejarah bangsa Israel, tidak dapat kita sangkal lagi bahwa umat Israel memiliki pola tatanan patriakhat. Akan tetapi ditengah-tengah kebudayaan ini, Allah dapat mempergunakan perempuan untuk berperan dalam kehidupannya dan dapat menjadi teladan, antara lain:
a.       Kedua bidan Sifra dan Pua (Kel. 1:15-21). Mereka adalah perempuan-perempuan yang pemberani untuk menghadapi resiko yang sangat mengancam kehidupan mereka. menjadi teladan bagi setiap orang yang melawan perintah yang merusak hidup yang diberikan Allah. Mereka juga berperan dalam menentukan sejarah dengan menyelamatkan Musa.
b.      Hulda, yaitu nabiah yang dipanggil Allah dan diutus Allah untuk bertindak sebagai pembawa firmanNya (2 Raj. 22:11 dst).
c.       Miryam, yaitu saudara perempuan Musa (Kel. 15:20). Ia dijadikan Allah sebagai pemimpin umat Israel, ketika umat Israel sudah menyebrang laut Teberau. Ia memukul rebana dan memimpin para perempuan menyambut pembebasan (Kel. 15:21)
d.      Selanjutnya Allah juga mengangkat perempuan sebagai nabiah sekaligus hakim yaitu Debora, selain memimpin perang ia juga menjadi wakil Allah dalam menyelesaikan perkara-perkara yang ada dalam bangsa Israel (Hak. 4&5). Ia adalah perempuan yang berani mempertaruhkan nyawanya bagi janji Tuhan.[11]
e.       Abigail (I Sam. 25:2-44), yaitu seorang perempuan berhikmat yang berhasil menghindarkan kekerasan yang akan menimpa keluarga besarnya dan yang membahayakan masa depan Daud.
f.       Ester, dalam narasi Ester, kita melihat bagaimana ia menjadi mitra seorang laki-laki yakni mordekhai dalam menyelamatkan bangsa Israel dari ancaman Haman, Ester bukan hanya mengingatkan suaminya supaya bertindak adil dan memperhatikan keselamatan orang banyak, tetapi juga bertindak langsung untuk menyelamatkan Israel (Est. 5:1-14).[12]
g.      Naomi dan Rut, yang menjadi teladan bagi kita adalah iman Rut. Imannya kepada Allah memberi dinamika dan kekuatan besar yang luar biasa. Baik dalam mengembangkan kepribadiannya yang kokoh maupun dalam menyatakan keterlibatannya dan peranannya. Karena imannya yang teguh Rut berani melakukan pekerjaan yang besar dalam situasi dan kondisi yang menantang.[13]

2.4.2 Dalam Perjanjian Baru
Dalam perjanjian baru perempuan dipilih dan mendapat peran yang sangat besar dalam hal karya Allah untuk menyelamatkan dunia ini, yakni melalui maria yang melahirkan Yesus Kristus.  Kesempatan yang diterima Maria tersebut merupakan proses pengembalian citra perempuan kepada bentuknya yang semula.[14] Peran perempuan didalam kitab PB dapat semakin kita lihat dengan jelas dari sikap Yesus terhadap perempuan. Yesus hidup didalam budaya dimana perempuan dipandang rendah, namun Yesus justru mengangkat harkat dan martabat perempuan pada masanya. Beberapa sikap Yesus terhadap perempuan dapat kita lihat sebagai berikut:
a.       Mat. 15:21-28. Ketika seorang perempuan kanaan meminta kepada Yesus untuk menyembuhkan anaknya yang kerasukan setan. Pada ayat 23 jelas tertulis bahwa murid-murid Yesus tersebut terganggu dengan kedatangan perempuan itu akan tetapi yesus menunjukkan sikapnya yang berbeda. Artinya Yesus tidak melihat kesempatan kesembuhan anak dari perempuan yang datang itu. Melainkan siapapun memiliki kesempatan yang sama untuk datang kepada Yesus.
b.      Mat. 26:6-13. Ketika Yesus diurapi oleh seorang perempuan di Betania, tepatnya dirumah Simon. Sangat jarang seorang perempuan berani mengurapi seorang laki-laki. Hal yang menarik adalah perkataan Yesus yang mengatakan bahwa tindakan perempuan itu akan diingat diseluruh dunia dimana injil diberitakan.[15]
c.       Luk. 8:1. Ketika Yesus melayani dari kota ke kota. Dalam hal ini Yesus tidak hanya ditemani oleh murid-muridnya yang laki-laki tetapi juga ditemani oleh perempuan. Semua perempuan itu awalnya adalah lemah secara rohani dan jasmani seperti halnya Maria magdalena yang kerasukan setan akan tetapi yesus menyembuhkan dia. Bukan hanya menyembuhkannya tetapi juga menjadi kesaksian bagi orang lain yakni melalui pelayanannya bersama-sama dengan Yesus.
d.      Luk. 7:36. Dalam nats ini kita dapat melihat bagaimana Yesus memberi kesempatan kepada seorang perempuan pelacur untuk melakukan hal yang menjadi kerinduannya.
e.       Luk. 10:38. Yesus datang ke rumah Maria dan marta, dalam hal ini berarti Yesus tidak hanya memberikan pengajaran kepada laki-laki saja tetapi kepada perempuan. Dalam kisah ini yang menjadi perhatian adalah: Pertama, tidak benar kalau perempuan harus bekerja dibagian dapur saja. Kedua, Perempuan juga memiliki hak untuk menerima pengajaran.
f.       Yoh. 4:7. Yesus yang berdialog dengan seorang perempuan samaria dan pada akhirnya justru seorang perempuan samaria yang sama sekali tidak dianggap pada masa itu justru menjadi saksi bagi seisi kota dan orang-orang yangmendengar kesaksiannya menjadi percaya.
g.      Yoh. 8:1-11. Sikap Yesus terhadap perempuan yang kedapatan berzinah. Ia tidak menghukum perempuan itu tetapi juga tidak membenarkan tindakannya tetapi Yesus memberikan kesempatan kepada perempuan itu untuk tidak berbuat dosa lagi.[16]
Alkitab dalam perjanjian baru mencatat bahwa perempuan terlibat aktif didalam pelayanan Yesus meskipun Yesus tidak pernah mengangkat perempuan menjadi rasul, akan tetapi kepada perempuanlah Yesus menampakkan dirinya untuk pertama kalinya setelah kebangkitannya.

2.5 Pengertian Ketidakadilan
Pada hakekatnya keadilan adalah kata sifat yang artinya adalah sifat yang adil atau tidak berat sebelah. Jon Sobrino mengatakan ketidakadilan adalah kekerasan dalam arti yang sebenarnya, karena ia mengucilkan mayoritas secara tidak adil dan dengan kekuatan dari dasar-dasar kehidupan dan kehidupanitu sendiri.[17] Ketidakadilan sebenarnya adalah kekerasan yang paling nyata. Kata ketidakadilan adalah lawan dari keadilan dimana kedua kata ini berasal dari satu kata dasar yang sama yaitu adil.

2.6 Latar Belakang Terjadinya Praktek Ketidakadilan Terhadap Perempuan
Hal penting yang menjadi latang belakang dari terjadinya ketidakadilan terhadap kaum perempuan adalah dengan adanya sistem patriakhat. Pada mulanya kata “Patriakhat” memiliki arti sempit, yaitu yang menunjukkan kepada sistem secara historis yang berasal dari hukum Yunani dan Romawi, dimana kepala rumah tangga laki-laki memiliki kekuasaan hukum dan ekonomi yang mutlak atas anggota keluarganya. Yang mutakhir, istilah patriakhat mulai digunakan diseluruh dunia untuk menggambarkan dominasi laki-laki terhadap perempuan dan anak-anak didalam keluarga dan ini berlanjut kepada dominasi laki-laki dalam semua ruang lingkup kemasyarakatan lainnya.[18]
Menurut studi Antropologi dan sejarah terjadi pembagian kerja antar laki-laki dan perempuan yang bersifat hierarkis. Masalah utama yang perlu diteliti adalah pembagian kerja menurut jenis kelamin yang sederajat menjadi kurang sederajat.[19] Segresi (pemisahan) pekerjaan menurut jenis kelamin adalah mekanisme utama dalam masyarakat kapitalis yang mempertahankan siperioritas laki-laki terhadap perempuan karena dengan adanya hal tersebut upah kerja bagi perempuan menjadi lebih murah dalam pasar tenaga kerja. Proses inilah yang menjadi penyebab berlanjutnya sistem patriakhat menjadi kekuasaan dibidang publik sedangkan perempuan tetap berada di ranah domestik. Segresi dalam angkatan kerja menurut jenis kelamin ini terbagi dua yaitu, segresi horizontal dan segresi vertikal.[20] Dengan adanya pembedaan jenis pekerjaan menurut jenis kelamin, maka hal ini membuat timbulnya masalah ketidakadilan terhadap perempuan.

2.7 Faktor-faktor penyebab ketidakadilan Perempuan
Beberapa faktor pengdukung timbulnya ketidakadilan terhadap kaum perempuan dari budaya Patriakhat, yaitu: Pertama, perbedaan pandangan dan perlakuan antara laki-laki dan perempuan pada umumnya didasarkan pada kodrat perempuan untuk mengandung atau pun mempunyai anak. Dengan sistem reproduksinya, perempuan dianggap sebagai makhluk yang lemah dan patut untuk dilindungi. Kodrat yang berbeda ini seakan-akan membuat bahwa seorang perempuan harus berperan dirumah tangga yang berurusan dengan penyediaan makanan dan menjaga kebersihan rumah.[21] Kedua, dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan baik di keluarga maupun disekolah telah memisahkan laki-laki dan perempuan. Didalam pendidikan rumah, secara sadar ataupun tidak orangtua seringkali menempatkan anak perempuan untuk aktif didalam rumah, sangat jarang memberikan pekerjaan itu kepada anak laki-laki karena kekhawatiran anaknya akan menjadi banci.[22]
Ketiga, dalam masyarakat ada pergaulan laki-laki dan perempuan tetapi memberikan perbedaan-perbedaan, baik secara fisik maupun psikis. Berdasarkan perbedaan ini laki-laki diidentikkan dengan sosok yang kasar, besar dan kuat. Keempat, pengaruh ideologi negara dan budaya global. Konteks ini berbicara mengenai ideologi phallocentrisme, dimana laki-laki menjadi pusat dan kriteria segala sesuatu. Berarti laki-lakilah yang mendominasi model pemahaman, keyakinan-keyakina moral, dan kognitif tentang manusia, masyarakat dan dunia serta hubungan antara ketiga hal ini.[23] Kelima,penafsiran yang salah atau menyimpang dari nats-nats yang ada dalam kitab suci, yang mempertahankan sistem patriakhat sebagai resistensi terhadap kekuasaan, dominasi laki-laki terhadap perempuan. Misalnya, penafsiran kitab suci didalam agama Kristen, seperti dalam surat Paulus tentang sikap perempuan dalam ibadah (I Tim. 2:1-15). Demikian juga dengan penafsiran tentang perempuan yang diambil dari tulang rusuk laki-laki. [24]
Max weber mengatakan bahwa budaya dan ideologi sangat mempengaruhi mobilitas kaum perempuan. Bagaimana budaya dan ideologi itu dapat membangun suatu hubungan sosial yang seimbang, egaliter, tergantung dari apa dan bagaimana sasaran dan tujuan yang hendak mereka capai. Namun dalam hal ini budaya dan ideologi yang patriakhis bukanlah suatu budaya yang memberi kesempatan kepada perempuan untuk tumbuh, berkembang dan maju, malah sebaliknya berusaha untuk mendominasi kaum perempuan didalam segala aspek kehidupan yang membuat matinya kreativitas perempuan dan tidak memberi kesempatan bagi perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya.[25]

2.8 Bentuk-Bentuk Ketidakadilan terhadap Perempuan
2.8.1 Ketidakadilan menurut jenisnya
a.       Secara Fisik
Ketidakadilan secara fisik yang dialami perempuan mengartikan adanya organ tubuh ataupun bagian tubuh tertentu yang terluka baik itu karena dianiaya, ditampar, ataupun dipukul bahkan tak jarang hingga terjadi pembunuhan. Hal ini sering kali dikatakan sebagai kekerasan. Jika ditelusuti lebih dalam lagi maka sering kali laki-laki menjadi pelaku dan perempuan menjadi korbannya. Dalam lingkungan keluarga saja misalnya, yang jadi pelaku bisa saja pasangan, anak ataupun orang-orang yang berhubungan dekat dengan si korban.
b.      Secara Seksual
Masalah ini sering kali terjadi bagi kaum perempuan dan sangatlah memprihatinkan bahwa korban dari tindakan ini semakin meningkat disetiap tahunnya.[26] Ketidakadilan terhadap perempuan sudah menjadi bagian yang ibtegral dari fenomena ketidakadilan secara umum. Serangan-serangan seksual terhadap perempuan muncul sejalan dengan meningkatnya kekerasan dimasyarakat. Tindakan ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
            1. Tindakan ini dilakukan dalam bentuk teror oleh laki-laki terhadap perempuan yang biasanya menjadi bawahannya, atau barangkali masa depan si perempuan berada padanya dengan tujuan supaya siperempuan mau melayani kebutuhan seksualitasnya.
            2. tindakan ini muncul dikarenakan ketakutan laki-laki menghadapi resiko. Awalnya hubungan seksual itu dilakukan atas dasar suka sama suka namun karena hasil dari perbuatan tersebut dan laki-laki tidak mau bertanggung jawab sehingga memicu kepada penganiayaan dan tak jarang perempuan itu dibunuh. [27]
c.       Secara Psikis
Ketidakadilan yang dimaksudkan disini ialah yang berhubungan dengan psikis atau mental/kejiwaan seseorang. Secara kasat mata perempuan yang mengalami hal ini tidak kelihatan, namun akibat yang ditimbulkannya sangatlah menyiksa si korban, mulai dari rasa takut, trauma, tertekan sampai pada tahap gangguan kejiwaan. Dilain pihak sering kali perempuan memendam/ tidak menceritakan serta tidak mencari pertolongan kepada orang lain. Sehingga apa yang dia alami akan terus tersimpan dalam ingatannya yang menyebabkan beban hati ataupun tekanan yang seakan-akan menghimpit hatinya yang tidak bisa dilepaskan.
Banyak dari perempuan akan mengatakan bahwa sebenarnya luka yang paling menyakitkan adalah luka yang tidak kelihatan. Dan kategori yang termasuk kedalam hal ini adalah pedihnya pengkhianatan, perasaan tak berdaya kehilangan kebebasan, menghancurkan martabat, caci maki, fitnah, dan lain sebagainya.[28]

2.8.2 Ketidakadilan menurut tempatnya
            1. Ketidakadilan dalam rumah tangga
Bentuk ketidakadilan ini bervariasi, mulai dari sekedar tamparan sampai pada penganiayaan yang bisa mengakibatkan kematian.masalah ini sering terjadi dalam kasus pemukulan suami terhadap istrinya dan pada dewasa ini ditafsirkan secara luas sebagai ketidakadilan terhadap kaum perempuan.[29]
            2. Ketidakadilan di Publik
Ketidakadilan yang sering terjadi diluar rumah tangga adalah ditempat kerja atau ditempat-tempat lain. Ketidakadilan disini tidaklah berbeda jauh dengan yang terjadi di rumah tangga, karena pelakunya lebih sering adalah orang-orang terdekat. Namun tidaklah tertutup kemungkinan bahwa antara korban dengan pelaku tidak mempunyai hubungan apa-apa. Ketidakadilan yang terjadi disini bisa saja dalam bentuk penganiayaan, ancaman kata-kata, sampai kepada tahap pembunuhan.
selain dari pada hal diatas terdapat dua lagi jenis ketidakadilan lainnya, yaitu:
a.       Ketidakadilan ekonomi
Ketidakadilan ekonomi merupakan tindkan yang mengakibatkan perempuan mengalami ketergantungan secara ekonomi atau tereksploitasi, seperti kaum perempuan mendapat warisan lebih kecil dari pada laki-laki, kemungkinan tidak diberi uang belanja oleh suami. Dalam hubungan kerja juga, perempuan mendapat upah yang lebih rendah daripada laki-laki. Menjual atau memaksa istri bekerja sebagai pelacur atau menghambur-hamburkan penghasilan istri untuk bermain judi, minum alkohol, juga merupakan ketidakadilan secara ekonomi.[30]
b.      Ketidakadilan sosial
Ketidakadilan secara sosial berupa domestifikasi dimana perempuan dianggap bertanggung jawab terhadap pengurusan rumah tangga. Mereka dituntut untuk mengurus rumah tangga dan mengasuh anak walaupun mereka bekerja mencari nafkah sehingga membuat perempuan tidak mau jauh dari rumahnya jika mereka bekerja.[31] Ketidakadilan sosial berarti perampasan kemerdekaansecara sewenang-wenang, yang menyebabkan terisolirnya seseorang dari lingkungan sosialnya.[32]tindakan ketidakadilan ini merupakan konsekuensi dari sistem patriakkat yang sudah mendarah daging dan yang beranggapan bahwa laki-lakilah yang menguasai perempuan sehingga mereka dapat berlaku sesuka hati mereka karena mereka adalah penguasa.

2.10 Perlakuan Gereja (Agama) terhadap Perempuan
Periode akhir abad pertengahan merupakan masa krisi kewibawaan gereja bersamaan atas munculnya negara-negara baru. Pada masa ini kedudukan perempuan secara mental, phisik dan moral, mulai berkurang. Dalam hubungan kekerabatan, perkawainan mengalami perubahan. Jika seorang perempuan menikah maka pihaknyalah yang akan memberikan mas kawin.[33] Kehidupan perempuan dalam gereja juga memperihatinkan.pada abad ini, banyak ordo keagamaan yang didirikan, sehingga jumlah perempuan dan laki-laki yang memasuki biara makin bertambah. Biara menawarkan pendidikan yang tidak bisa diperileh perempuan ditempat lain, mereka juga mendapat kepuasan melayani Allah.[34] Pada abad pertengahan tersebut potret perempuan terlihat juga dalam karya Skolastik. Thomas Aquino mempersoalkan munculnya perempuan, dalam buku The Production Of The Woman.[35] Pada saat itu ada asumsi mayarakat bahwa perempuan adalah manusia laki-laki (secara biologis) yang cacat. Demikian juga ada anggapan bahwa perempuan dianggap sama seperti tanah yang pasif saja menerima benih dari laki-laki. Perempuan tidak mempunyai peran atau sumbangan apapun dalam terbentuknya manusia yang berada dalam rahimnya.
Dengan adanya persepsi yang salah mengenai perempuan seperti diatas maka thomas mengatakan pendapatnya:
a.       Thomas Aquino mengatakan pentingnya perempuan sebagai partner laki-laki dalam proses prokreasi, disini belum tampak nilai kesetaraan perempuan dan laki-laki
b.      Mengenai ketaklukan perempuan, bagi Thomas perempuan harus tetap takluk pada laki-laki dalam arti domestik (pekerjaan sehari-hari) bukan dalam arti perbudakan.
c.       Mengenai terjadinya perempuan dan laki-laki, Thomas menekankan betapa perlu dan pentingnya perempuan dibuat dari laki-laki, sebab didalam diri laki-laki terdapat prinsip dari seluruh kemanusiaan.
d.      Mengenai perempuan dari rusuk adam, Thomas memberi makna sakramental, dan secara spesifik merupakan pencurahan berkat Allah. Dengan kata lain, Thomas menegaskan bahwa perempuan tidak diambil dari kepala agar tidak berkuasa atas laki-laki dan tidak diambil dari kaki agar tidak menjadi budak laki-laki.
e.       Masalah tentang perempuan diciptakan langsung oleh Allah, Thomas meyakini bahwa perempuan dicipyakan langsung oleh Allah walaupun dengan cara yang berbeda dengan penciptaan laki-laki.[36]
Gereja dalam arti katanya, ternyata menurut komisi peremppuan dan anak[37], gereja belumlah seperti apa yang sebenarnya. Sepanjang sejarah gereja-gereja di Indonesia khusunya ditemukan bahwa perempuan mencintai Gereja, namun tidak bisa dipungkiri realitas gereja tidak mencerminkan keadilan bagi kaum perempuan.
Kenyataannya, disadari atau tidak disadari gereja sering melenceng dari tugasnya. Telah berabad-abad gereja membangun teologinya dalam pandangan tentang peranan perempuan yang tidak setara dengan laki-laki.[38] Gereja sudah terbiaa terlalu lama dengan tradisi bahwa kaum laki-lakilah yang menentukan hal ihwal yang berhubungan dengan gereja. Artinya dalam gereja juga terdapat praktek-praktek yang mencerminkan sikap yang tidak teologis bahkan bertentangan dengan prinsip-prinsip penciptaan.
Salah satu contoh nyata yang kita lihat adalah mengenai dogma gereja tentang penahbisan perempuan. Dalam gereja katolik, gereja ortodoks, dan gereja-gereja timur, yang semua disusun secara episkopa-hierarkis tidak pernah mentahbiskan perempuan menjadi imam.[39] Sementara itu dalam gereja protestan dibeberapa gereja masih saja ada kekhawatiran bahwa menahbiskan perempuan berlawanan dengan kitab suci.[40]
Secara umum ada tiga alasan gereja yang tidak mengijinkan penahbisan perempuan menjadi pelayan gerejawi:
a.       Dalam perjanjian baru secara khusus dlam ajaran Yesus mengenai penahbisan menjelaskan Dia sebagai yang hanya memanggil kaum laki-laki. Perjanjian lama menyajikan tidak ada perempuan sebagai pejabat yang berfungsi di bait suci, dan perjanjian baru melarang perempuan untuk erbicara didalam gereja.
b.      Kaum rohaniawan melaksanakan fungsi perwakilan ganda, mereka mewakili umat kepada Allah dan Allah kepada umat, demikian argumentasinya
c.       Yesus adalah laki-laki dan Allah disimbolkan sebagai laki-laki, seorang perempuan tidak dapat menjadi simbol untuk Allah. Perempuan memiliki kekurangan dalam hal keseruan alamiah yang diperlukan untuk memainkan peranan sebagai seorang imam.[41]

Perkembangan selanjutnya yang cukup melegakan adalah melalui PGI, usaha-usaha yang dilakukan departemen perempuan dan anak dalam Pra Sidang Raya PGI XIV PGI merekomendasikan kepada gereja bahkan kepada pemerintah untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan melalui berbagai upaya.[42]
Semua usaha yang dilakukan PGI dapat dikategorikan sebagai bentuk pemberdayaan Perempuan yang dilakukan di Indonesia. Walaupun ada usaha dari PGI, namun perlu diingat bhawa masih banyak gereja-gereja di Indonesia yang harus mengevaluasi kembali program-programnya karena masih banyak gereja terkurung dalam paham  patriakhat.
Potret kaum perempuan yang sering digambarkan oleh kitab suci dan tradisi dalam semua agama sebagai pribadi yg tidak memiliki subyektivitas manusia yang utuh tetapi hanya memperolehnya dari orang lain, sebagai milik suami atau ayah.[43] Pengaruh ajaran agama dalam membentuk persepsi masyarakat terhadap perempuan adalah sangat besar yang mana ajaran agama Kristen mengajarkan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk adam, yaitu personifikasi dari kaum laki-laki. Perempuan yang dianggap berasal dari laki-laki, maka perempuan dianggap lebih rendah dari laki-laki. Selain itu perempuan juga yang jatuh pada bujuk rayu iblis menambahkan suatu anggapan yang semakin kuat yang menyatakan bahwa perempuan yang lemah dalam hal fisik dari pada laki-laki.[44]
Beberapa kemungkinan yang menyebabkan perempuan dijadikan makhluk nomor dua setelah laki-laki diantaranya:
a.       Umat beragama salah menafsirkan teks dalam kitab suci sehingga keliru dalam memperlakukan perempuan
b.      Umat beragama salah menetapkan tafsir otentik teks suci, artinya tafsirnya sungguh otentik dan benar namun umat tersebut salah dalam menerapkan perlakuan terhdap perempuan
c.       Umat beragama tidak menafsirkan teks suci tetapi langsung menerapkan secara hurufiah apa yang tertulis didalamnya.[45]

2.11 Upaya penanggulangan Ketidakadilan bagi Kaum Perempuan
Dalam kaitan ini siapakah yang harus berjuang untuk mengupayakan penganggulangan ketidakadilan yang dialami oleh perempuan? Tentunya jawaban kita adalah semua pihak yang terkait yakni, pemerintah, kaum laki-laki, kaum perempuan, kaum ulama, dan para pendeta harus turut serta. Penyadaran untuk gidak bertahan dalam keadaan yang tidak adil inilah yang ahrus pertama sekali dipahami oleh semua pihak terutama kaum perempuan. Banyak perempuan yan tidak punya cukup keberanian dalam melawan dan menyuarakan hak-haknya yang telah banyak dirugikan. Setelah perempuan menikah mereka diwajibkan untuk menjaga nama baik suami dan keluarganya secara penuh untuk itu merka tidak akan berani menyalurkan dan membela dirinya karena itu akan dianggap mencemarkan nama baik suami dan keluarganya.
Sehubungan dengan hal tersebut bila perempuan ingin mendapatkan posisi yang setara dengan laki-laki dan adil, maka slah satu cara yang dapat ditempuh adalah terus berpikir kritis dan menyuarakan pikiran tersebut. Namun pembebasan hakiki bagi perempuan tidak akan tercapai selama belum adanya usaha maksimal yang tumbuh dari hati nurani perempuan, dan bukan sekedar keputusan dari pihak penguasa atau pemerintah.[46] Tabiat dari pada penguasa akan selalu menjaga sistem yang berlaku, yaitu sistem kelas Patriakhal, kapitalis atau non kapitalis. Yaitu sistem yang membedakan manusia atas dasar kelas, jenis kelamin, agama, warna kulit, etnis, dan lainnya. Perempuan harus bangkit dan bersama-sama berjuang dalam mengembalikan pisisi perempuan yang setara dan mendapat perlakuan adil dalam segala bidang kehidupan ini.
Selain kesadaran dan semangat yang penuh dalam berjuag untuk keadilan perlu kita ketahui bahwa peran pemimpin agama dalam menyampaikan ajaran yang benar tentang kedudukan dan keberadaan perempuan yang sesuai, ajaran agama sangat punya pengaru yang cukup besar dalam mengembalikan permpuan pada posisi yang sebenarnya. Tidak ada alasan yang untuk membenarkan perlakuan yang tidak adil yang dialami oleh kaum perempuan. Selain itu memang sangat tidak mungkin kita menghapus kebudayaan yangada didalam kehidupan ini. Tetapi bukan tidak mungkin unsur-unsur kebudayaan yang merugikan baik pihak laki-laki maupun perempuan harus dihapuskan karena kebudayaan maupun adat ada untuk mengatur kehidupan ini semakin damai dan teratur.
Bagi perempuan yang sudah menikah, mereka memiliki peranan yang secara terpisah dapat dimainkan oleh perempuan:
1.      Peranan sebagai istri dan ibu secara tradusional
2.      Sebagai pendamping setia suami atas izinnya, ikut berpartisipasi untuk kesenangan dan kegembiraan bersama, seperti yang ingin dicapai oleh individu pada umumnya
3.      Sebagai partner dan berperan tidak bergantung secara ekonomis kepada suami dan punya kuasa yang sama dalam mengelola keluarga.
Dengan memahami peran perempuan yang sudah menikah diatas adalah langkah awal yang baik untuk mengembalikan keadilan bagi perempuan. Dari peranan diatas berarti seorang istri adalah partner kerja suami dlam menjalankan roda kehidupan rumah tangga bukan seorang pembantu sedangkan jika istri berperan sebagai pembantu maka yanggung jawab yang berbeda yang akan terjadi. Maka haruslah jelas bahwa peran perempuan dan laki-laki adalah sama didalam menciptakan dan menjalankan kehidupan keluarga. Didalam kesamaan harkat dan martabat laki-laki dan perempuan tersebut jelaslah bahwa tidak ada satu alasan pun untuk menerima perlakuan yang tidak adil bagi salah satu pihak.

 III.            Analisa
Ketidakadilan terhadap kaum perempuan dapat kita katakan sebagai hasil dari sebuah statement ataupun bisa dikatakan sebuah mitos yang mengatakan bahwa perempuan adalah mahluk yang lemah, hal ini mengakibatkan perempuan termaginalkan (terpinggirkan) secara ekonomi. Dalam kajian diatas tampak bahwa ketertindasan ataupun ketidakadilan yang dialami kaum perempuan merupakan masalah yang kompleks. Perempuan diperhadapkan pada situasi yang menyulitkan keduduknnya. Bahkan memang tidak kita pungkiri ada juga upaya-upaya dari lembaga-lembaga pemberdayaan bahkan gereja-gereja untuk menanggulangi masalah ini namun upaya tersebut seakan-akan belum menemukan jalan keluar.
Dengan adanya permasalah ketidakadilan ini dituntut suatu perubahan mendasar bagi setiap orang, baik secara individu, laki-laki dan perempuan, maupun secara struktural gereja. Ketidakadilan yang dialami perempuan bisa saja akibat dari sistem yang berlaku (patriakhat), maupun akibat penafsiran yang salah terhadap isi Alkitab, hal ini dapat melemahakn kaum perempuan itu sendiri. Dalam kondisi yang mengalami ketidakadilan, maka perempuan dapat mengalami kemunduran fisik maupun psikis. Untuk itu tentu saja dpat kita maklumi dengan melihat jumlah peran aktif perempuan yang masih terbatas dibandingkan dengan laki-laki sebab kaum perempuan telah mengalami tindak ketidakadilan yang nerlangsung sudah selama berabad-abad.
Namun dari pandangan Alkitab khususnya tentang penciptaan dan dari pandangan Yesus terhadap perempuan, maka penulis merasa sudah waktunya bagi perempuan untuk menemukan dirinya sendiri tentang apa yang dapat dan yang harus dilakukan dan apa yang ingin mereka lakukan. Proses untuk berusaha bangkit dari lumpur ketidakadilan ini memang memerlukan keberanian untuk merubah pola pikir setiap orang tentang sistem yang berlaku dan struktur yang ada dlam masyarakat.
Keberanian yang disebutkan diatas harus didukung oleh kepercayaan diri yang sungguh-sungguh dari perempuan terhadap segala kemampuan yang ada pada diri perempuan itu dan hal tersebut harus ditampilkan. Dalam luk. 2 tentang nyanyian pujian Maria, ada hal menarik yang dapat menjadi perhatian kita yaitu bahwa Allah memperhatikan orang-orang yang rendah dan memerangi orang-orang yang tinggi. Maria berfungsi sebagai seorang penyuara kebebasan.
Berdasarkan hal tersebut seharusnya gereja diharapkan juga dapat memberi perhatian kepada ketidakadilan dan pelecehan nilai-nilai kemanusiaan yang berlangsung ditengah-tengah masyarakat. Kasus-kasus tersebut menimpa perempuan cukup banyak, tenaga kerja perempuan, kasus pemerkosaan, perceraian, pemukulan yang didiamkan, perzinahan, dan bahkan yang tertekan dalam ekonomi. Mereka inilah yang membutuhkan orang-orang yang mau menyuarakan keadilan dan kebebasan dari ketidakadilan yang dialaminya. Perjuangan ini harus mendapat dukungan dari gereja baik dalam sistem maupun ajaran-ajaran yang relevan. Yesus telah datang supaya manusia dapat hidup dalam kesejahteraan. Oleh sebab itu jika kita tetap diam dihadapan ketidakadilan yang dialami perempuan berarti kita mengubah gambar Allah. Kalau gereja-gereja menyatakan keadilan, tidak mungkin gereja tidak memperdulikan begitu banyaknya ketidakadilan yang terjadi terhdap perempuan.
Gereja harus meninggalkan tradisi-tradisi teologi yang menyalahgunakan penderitaan dan salib Yesus sebagai pembenaran penderitaan perempuan yang tidak perlu. Yesus memanggil perempuan dan laki-laki menjadi pengikutnya. Tidak ada tempat untuk diskriminasi terhadap perempuan baik dalam kehidupan sosial maupun dalam kehidupan gereja.
Gereja seharusnya terpanggil untuk dapat menyuarakan bahwa tindakan ketidakadilan ataupun penindasan terhadap perempuan adalah dosa, bukan sebagai pelanggaran hukum semata. Kekuasaan gerejawi diberikan oleh Tuhan dan tetap berada dibawah kekuasaan Tuhan. Kekuasaan gereja seharusnya sensitif terhadap penderitaan perempuan yang disebabkan oleh ketidakadilan yang dialaminya dan mendukung mereka, memperhatikan kesejahteraan mereka seperti yang Yesus lakukan. Dengan demikian permasalahan ketidakadilan terhadap perempuan ini dapat dilihat secara menyeluruh tidak hanya disatu sisi saja namun dapat secara praktis dan teologis.

 IV.            Refleksi Teologis
Didunia ini ada dua mahluk manusia yang berbeda jenis kelaminnya. Hal ini merupakan suatu hal yang nyata. Ini harus diterima sebagai bagian dari ciptaan Allah dan bagian dari rencana penyelamatan Allah. Dua manusia yang berbeda jenis kelamin itu diciptakan Allah dalam rupa dan gambar-Nya sendiri. Maka martabat manusia harus dijaga dan dihormati, karena martabat manusia adalah ungkapan martabat Allah. Perempuan juga adalah ciptaan Tuhan, jadi dia perlu diperlakukan dan dihargai sebagai manusia. Allah menciptakan seorang perempuan sebagai “penolong yang sepadan”. Dalam hal ini bukan berarti sekedar membantu atau keberadaan perempuan diciptakan tidak hanya sebagai istri atau sebagai pembantu yang cocok untuk suaminya melainkan sebagai penolong yang sepadan dan yang berhadapan didepannya bukan dibelakang suami.
Perbedaan jenis kelamin bukanlah perbedaan derajat, golongan atau martabat, tetapi perbedaan jenis hendak menunjukkan variasi dari ciptaan Allah yang sempurna dan dalam rangka untuk melaksanakan tanggung jawab yang diberikan Allah kepada manusia. Perjuangan untuk kesamaan martabat antara laki-laki dan perempuan ataupun dalam memperjuangkan keadilan bagi perempuan telah dibuat Yesus ketika masih berada di dunia ini. Dalam Yoh. 8:1-11 tentang perempuan yang berzinah, nampak sekali sikap Yesus yang sangat berbeda dengan sikap masyarakat. Yesus menentang budaya yang demikian dengan berusaha menyadarkan para pembesar Yahudi bahwa semua manusia adalah pendosa dihadapan Allah.
Kesetaraan laki-laki dan perempuan tidak perlu dimengerti secara dangkal, sebab kesamaan dalam segala peran dan juga segala aktivitas yang dapat dilakukan oleh laki-laki juga dapat dilakukan oleh perempuan. Meskipun laki-laki dan perempuan memang diciptakan dengan konstruksi tubuh yang berbeda dengan kapasitas yang berbeda dengan laki-laki, hal ini adalah supaya mereka dapat hidup bersama dengan memuliakan Tuhan. Ketidakadilan terhadap kaum perempuan dari tahun ke tahun memang semakin meningkat, hal ini bukan semata-mata sebagai permasalahan perempuan saja namun harus menjadi masalah dan tanggung jawab pihak laki-laki juga bahkan gereja dan agama serta lingkungan masyarakat.
Dari hal ketidakadilan yang dialami perempuan oleh kaum perempuan, rasul Petrus memberikan suatu teladan yang dapat menjadi pengharapan bagi setiap korban ketidakadilan seperti tertulis dalam I Pet. 2:23. Pada nats ini tertulis ketika dia dicaci maki, dia tidak membalas dengan caci maki, ketika dia menderita, dia tidak mengancam, tetapi dia menyerahkannya kepada Tuhan, dan membiarkan Tuhan yang membalas atau menghukum. Sehingga didalam mengalami ketidakadilan dalam hidup ini hendaknyalah setiap kita dapat mengambil nilai positif, dan bukan nilai negatif yang berarti menjauh dari Tuhan tetapi malah mendekatkan diri kepada Tuhan atau mengingat bahwa ada Tuhan yang selalu setia melihat, mengetahui, bahkan menolong setiap orang yang mengalami penderitaan termasuk didalam ketidakadilan.

    V.            Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan diatas maka kesimpulan yang dapat penulis ambil adalah bahwa masalah ketidakadilan terhadap kaum perempuan terjadi mencakup hampir disegala bidang kehidupan, baik didalam rumah tangga maupun diluar rumah tangga. Bila kita melihat masalah ketidakadilan yang dilakukan terhadap perempuan yang sesama ciptaan Allah maka berarti kaum perempuan hanya dilihat sebagai objek. Apapun alasannya, setiap manusia tidaklah berhak memperlakukan orang lain dengan sewenang-wenang tanpa menghargai haknya sebagai sesama mahluk ciptaan Allah yang Imago Dei. Setiap individu haruslah menghargai hak-hak orang lain dalam segala aspek kehidupan karena setiap manusia mempunyai tanggung jawab dan hak yang sama didunia ini. Manusia adalah sama dihadapan Allah sehingga tidak ada yang rendah dan tidak ada yang tinggi, tidak ada yang nomor satu, nomor dua tetapi semuanya memiliki harkat dan martabt yang sama dihadapan Allah.

 VI.            Daftar Pustaka
Adiprasetya, Joas, Beberapa Potret perempuan dalam (Kekristenan) Abad Pertengahan, Jakarta, 1998.
Al-sadawi, Nawal & Hibah Rauf Izzat, Perempuan agama dan moralitas antara nala feminis dan Islam Revivas, Jakarta: Erlangga, 2002.
Arivia, Gadis, “Kamus” dalam Jurnal Perempuan III, Jakarta: Misi Prestatama, 1997.
Astuti, Mary, Pendidikan Berspektif Gender, Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Barth, Marie Claire, Hati Allah Bagaikan Seorang Ibu, Jakarta: BPK-GM, 2003.
Baso, Zohra Andi, Perempuan Bergerak, Sulsel: Yayasan Lembaga Konsumen, 2000.
Bergant, Diane & Robert J., Kitab Kejadian dalam Karri Pauline A. Viviano (ed.)., Tafsir Alkitab PL, Yogyakarta: Lembaga Biblika Indonesia dan Kanisius, 2002.
Bone, Indriani, “Teologi Feminis dan Konsep Gender” dalam Berikanlah Aku Air Hidup Itu, Stephet Suleiman, Bendalina Souk, Jakarta: PERSETIA, 1997.
Bone, Indriani, Perempuan dalam Teologi, Bogor: Institut Teologi Feminis, 1998.
Cleves Mosse, Julia, Gender & Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Dobash, Russel P. & R. Emerson Dobash, dalam Adam Kuper & Jessica Kuper, Ensiklopedia Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid II, 2000
Douglas, J.D., Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, M-Z, Jakarta: YKBK/OMF, 2003.
Fromm, Erich, Cinta, Seksualitas, Matriarki, Gender, Yogyakarta: JALASUTRA, 2002.
Grey, Mary, Peran Perempuan Dalam Mengatasi Kekerasan , Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Hartman, Heidi, Kapitalisme “Patriakhat & Segresi  Pekerjaan menurut jenis kelamin”, Jakarta: Rajawali Press, 1987.
Heuken, S.J.H., Ensiklopedi Gereja V “Tr-Z”, Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1995.
Hommes, Anne, Perubahan Peran Pria dan Wanita dalam Gereja dan Masyarakat, Jakarta: BPK-GM, 1996.
Hutabarat, Rainy MP.  (Peny), Hasl-Hasil Pertemuan Wanita Gereja Pra Sidang Raya PGI XIV, Jakarta: Departemen Perempuan dan Anak PGI, 2005.
Illich, Ivan, Matinya Gender, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001
Jackson, Jim & Jeff Olson, Mengatasi Kekerasan Dalam Keluarga, Yogyakarat: Yayasan Gloria, 1995.
Jan Plaiseir, Ariel, Manusia Gambar Allah “Terobosan-Terobosan Dalam Bidang Antropologi Kristen”, Jakarta: BPK-GM, 2000.
Kleden, Leo, Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Bagaimana Menyikapinya, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2003.
Luhulima, Achie Sudiarti, Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Alternatif Pemecahannya, Jakarta: P.T.Alumni, 2000.
Mite, M. Beny, Menyiasati Teks Suci “Pandangan Kristiani Tentang Ketidakadilan Terhadap Perempuan”, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2008.
Murniaty, Nunuk P., Peran Perempuan dalam Gereja, Jakarta: LPPS, 1995.
Nadeak, Wilson, Perempuan-perempuan pemberani, Bandung: Yayasan Baptis Indonesia, 2005.
Ngazenan, Mohammad, Kamus Etimologi Bahasa Indonesia, Semarang: Dahara Preize, 1992.
Retnowati, Perempuan-Perempuan dalam Alkitab, Jakarta: BPK-GM, 2000.
Ridjal, Fauzie, Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1993.
Sairin, Weinata, Iman Kristen dan Pergumulan Kekinian, Jakarta: BPK-GM, 1996.
Saragih, Jahenos, Suara Hati Anak Bangsa dengan Solusinya, Jakarta: Suara Gereja Kristiani Yang Esa, 2006.
Simon & Christoper Danes, Masalah-Masalah Moral Sosial Dalam Perspektif Iman Kristen, Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Sobrino, Jon, Agama Sebagai Sumber Kekerasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
Stott, Jhon, Isu-Isu Global, Jakarta: YKBK/OMF, 2003.
Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi Edisi kedua, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2000.
Surjawa, Polemik Gender¸ Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2001.
Sutrisno, Loekman, Kemiskinan, Perempuan & Pemberdayaan, Yogyakarta: Kanisius, 1997
Turner, Bryan S., Teori-Teori Sosiologi Modernitas Posmodernitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Urban, Linwood, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, Jakarta: BPK-GM, 2003.
http://id.wikipedia.org/wiki/Gender_(sosial), (diakses tanggal 2 februari 2012)



[1] Indriani Bone, “Teologi Feminis dan Konsep Gender” dalam Berikanlah Aku Air Hidup Itu, Stephet Suleiman, Bendalina Souk, Jakarta: PERSETIA, 1997, hlm. 142
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Gender_(sosial), (diakses tanggal 2 februari 2012)
[3] Gadis Arivia, “Kamus” dalam Jurnal Perempuan III, Jakarta: Misi Prestatama, 1997, hlm. 17
[4] Surjawa, Polemik Gender¸ Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2001, hlm. 2
[5] Mohammad Ngazenan, Kamus Etimologi Bahasa Indonesia, Semarang: Dahara Preize, 1992, hlm. 137
[6] Jahenos Saragih, Suara Hati Anak Bangsa dengan Solusinya, Jakarta: Suara Gereja Kristiani Yang Esa, 2006, hlm. 112-113
[7] Ariel Jan Plaiseir, Manusia Gambar Allah “Terobosan-Terobosan Dalam Bidang Antropologi Kristen”, Jakarta: BPK-GM, 2000, hlm. 17
[8] Erich Fromm, Cinta, Seksualitas, Matriarki, Gender, Yogyakarta: JALASUTRA, 2002, hlm. 88
[9] Diane Bergant & Robert J., Kitab Kejadian dalam Karri Pauline A. Viviano (ed.)., Tafsir Alkitab PL, Yogyakarta: Lembaga Biblika Indonesia dan Kanisius, 2002, hlm. 38
[10] J.D. Douglas, Ensiklopedia Alkitab Masa Kini, M-Z, Jakarta: YKBK/OMF, 2003, hlm. 240
[11] Wilson Nadeak, Perempuan-perempuan pemberani. Bandung: Yayasan Baptis Indonesia, 2005, hlm. 55-59
[12] Retnowati, Perempuan-Perempuan dalam Alkitab, Jakarta: BPK-GM, 2000, hlm. 37-38
[13] Ibid., hlm. 20
[14] Jhon Stott, Isu-Isu Global, Jakarta: YKBK/OMF,2000, hlm. 343
[15] Jahenos Saragih, Op.Cit., hlm. 128
[16] Marie Claire Barth, Hati Allah Bagaikan Seorang Ibu, Jakarta: BPK-GM, 2003, hlm. 75-88
[17] Jon Sobrino, Agama Sebagai Sumber Kekerasan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 56-57
[18] Julia Cleves Mosse, Gender & Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hlm. 64-65
[19] Heidi Hartman, Kapitalisme “Patriakhat & Segresi  Pekerjaan menurut jenis kelamin”, Jakarta: Rajawali Press, 1987, hlm. 505-506
[20] Segresi horizontal mengacu pada kenyataan bahwa pekerjaan perempuan sering terkonsentrasi di jenis pekerjaan yang berbeda dengan jenis pekerjaan yang dilakukan pekerja laki-laki. Sedangkan segresi vertikal, mengacu pada terkonsentrainya pekerja perempuan pada jenjang rendah dalam organisasi, misalnya, pramusaji, pramuniaga, kasir, tenaga kebersihan, dan sebagainya. (Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi Edisi kedua, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI, 2000, hlm. 117)
[21] Mary Astuti, Pendidikan Berspektif Gender, Yogyakarta: Kanisius, 2000, hlm. 71-72
[22] Ibid., hlm. 72
[23] Zohra Andi Baso, Perempuan Bergerak, Sulsel: Yayasan Lembaga Konsumen, 2000, hlm. 68-69
[24] Leo Kleden, Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Bagaimana Menyikapinya, Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama, 2003, hlm. 41-42
[25] Bryan S. Turner, Teori-Teori Sosiologi Modernitas Posmodernitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hlm. 247
[26] Loekman Sutrisno, Kemiskinan, Perempuan & Pemberdayaan, Yogyakarta: Kanisius, 1997, hlm. 118
[27] Ibid., hlm. 120
[28] Jim Jackson & Jeff Olson, Mengatasi Kekerasan Dalam Keluarga, Yogyakarat: Yayasan Gloria, 1995, hlm. 16
[29] Russel P Dobash & R. Emerson Dobash, dalam Adam Kuper & Jessica Kuper, Ensiklopedia Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid II., hlm 1124
[30] Ivan Illich, Matinya Gender, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 4-17
[31] Fauzie Ridjal, Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1993, hlm. 84
[32] Achie Sudiarti Luhulima, Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan Dan Alternatif Pemecahannya, Jakarta: P.T.Alumni, 2000, hlm. 109
[33] Anne Hommes, Perubahan Peran Pria dan Wanita dalam Gereja dan Masyarakat, Jakarta: BPK-GM, 1996, hlm. 192-222
[34] Indriani Bone, Perempuan dalam Teologi, Bogor: Institut Teologi Feminis, 1998, hlm. 1
[35] Joas Adiprasetya, Beberapa Potret perempuan dalam (Kekristenan) Abad Pertengahan, Jakarta, 1998, hlm. 1
[36] Nunuk P. Murniaty, Peran Perempuan dalam Gereja, Jakarta: LPPS, 1995, hlm. 48
[37] Departemen Perempuan dan Anak yang dimaksudkan adalah departemen perempuan PGI. Pada tanggal 24-27 November 2007 mengadakan pertemuan Raya Wanita Pra sidang raya PGI XIV PGI di Wisma Kinasih Caringin Bogor
[38] Weinata Sairin, Iman Kristen dan Pergumulan Kekinian, Jakarta: BPK-GM, 1996, hlm. 48
[39] S.J.H.Heuken, Ensiklopedi Gereja V “Tr-Z”, Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1995, hlm. 105
[40] Simon & Christoper Danes, Masalah-Masalah Moral Sosial Dalam Perspektif Iman Kristen, Yogyakarta: Kanisius, 2000, hlm. 190-191
[41]Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, Jakarta: BPK-GM, 2003, hlm. 491-492
[42] Rainy MP. Hutabarat (Peny), Hasl-Hasil Pertemuan Wanita Gereja Pra Sidang Raya PGI XIV, Jakarta: Departemen Perempuan dan Anak PGI, 2005, hlm. 9-10
[43] Mary Grey, Peran Perempuan Dalam Mengatasi Kekerasan , Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 109
[44] Loekman Sutrisno, Op.Cit., hlm. 64
[45] M. Beny Mite, Menyiasati Teks Suci “Pandangan Kristiani Tentang Ketidakadilan Terhadap Perempuan”, Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, 2008, hlm. 37-38
[46] Nawal Al-sadawi & Hibah Rauf Izzat, Perempuan agama dan moralitas antara nala feminis dan Islam Revivas, Jakarta: Erlangga, 2002, hlm. 95-96

Tidak ada komentar:

Posting Komentar