Senin, 11 Maret 2013

Teologi Brahmana


Teologi Brahmana
Oleh: Chrisnov M. Tarigan Sibero
I.                   Pembahasan
1.1. Lahirnya Agama Hindu
Pada zaman kuna oleh penduduknya India disebut: Jambudwipa yang artinya: benua pohon jambu, atau disebut Bharatwarsa, yang artinya: tanah keturunan Bharata. Nama India dijabarkan dari nama sungai Sindhu, yang mengairi daerah Barat India. Oleh orang-orang Persia sungai ini disebut sungai Hindu. Kemudian nama ini diambil-alih oleh orang Gerika, sehingga nama itulah yang terkenal di dunia Barat. Akhirnya nama itu diambil-alih oleh pemerintahan India sekarang. Ketika agama Islam dating ke India nama yang diberikan oleh bangsa Persia timbul kembali dengan bentuk Hindustan, sedang penduduknya yang masih memeluk agama India asli disebut orang Hindu.
Oleh orang Pribumi sendiri agama Hindu disebut: Sanatana Dharma, yang berarti: agama yang kekal. Agama Hindu bukanlah agama dalam arti yang biasa. Agama Hindu adalah suatu bidang keagamaan dan kebudayaan, yang meliputi zaman sejak kira-kira 1500 s.M. hingga  zaman sekarang. Di dalam perjalanannya di sepanjang abad-abad itu agama Hindu berkembang sambil berubah dan terbagi-bagi, sehingga memiliki cirri yang bermacam-macam, yang oleh penganutnya kadang-kadang diutamakan, tetapi kadang-kadang tidak diidahkan sama sekali.[1]
Menurut sejarah, agama Hindu itu dibagi menjadi 2 masa yaitu: masa sebelum dan sesudah serangan-serangan Islam kira-kira tahun 1000 s.M. Meskipun agama Islam mendapat penganut di India, tetapi agama tersebut tidak besar pengaruhnya terhadap agama Hindu.[2]
1.2. Teologi Brahmana
Agama Brahmana bersumber kepada Kitab Brahmana, yaitu bagian kitab Weda yang kedua. Kitab ini dituliskan oleh para Imam atau Brahmana dalam bentuk prosa. Isinya memberi keterangan tentang korban. Hal ini disebabkan karena zaman ini adalah suatu zaman yang memusatkan keaktifan rohaninya kepada korban.[3] Kitab Sama Weda terdiri atas 1000 bagian.[4] Kitab ini berisikan nazam dan nyanyian-nyanyian terutama pada waktu mau memotong korban untuk Dewa Soma Devita.[5] Teologi Brahmana mengelompokkan ajarannya menjadi dua bagian yaitu:
1.      Teologi Brahmana Wedanta
2.      Teologi Brahmana Sankhya

1.2.1.      Teologi Brahmana Wedanta
Wedanta artinya: akhirnya weda atau selesainya weda. Wedanta membicarakan apa yang disebut “jnana marga”, artinya: “jalan ilmu” . Itu berarti, bahwa Wedanta menunjukkan suatu jalan kelepasan dengan mempergunakan ilmu.
Paham-paham Weda ini ditetapkan secara dogmatis dan selanjutnya dikembangkan oleh lima macam “pandangan” atau dogmatika (darsana) yaitu:
1.      Nyaya atau teori tentang seni bantah
2.      Weiseshika atau “Susunan keistimewaan yang dibedakan”
3.      Mimansa, penyelidikan, yaitu theologia, dibagi atas dua bagian yakni:
a.       Purwa- Mimansa atau Theologia Upacara
 b. Uttara-Mimansa atau disebut juga Wedanta, penetapan dogmatis dari paham Upanisad
4.      Sankhya atau susunan yang berupa bilangan
5.      Yoga[6] atau latihan-latihan pada pemusatan jiwa.[7]
Darsana-darsana itu menekankan bahwa berpikir menurut akal itu sendiri tidak memberi kepastian. Darsana-darsana ini hanya hendak menerangkan kebenaran yang kekal daripada Weda-weda yang diwartakan oleh dewa-dewa. Darsana-darsana itu mau digunakan untuk menolong dunia yang menderita, dunia yang telah terjerat dalam samsara dan mau membimbing ke arah kelepasan dan ketentraman yang kekal.
Kitab yang termasyur dari pengajaran Wedanta ialah Brahmasutra yang dituliskan oleh Badarayana. Sutra ialah kitab pelajaran yang singkat, tersusun dari amsal-amsal pendek, yang baru dapat menjadi terang setelah dijelaskan dengan lisan oleh guru. Keterangan-keterangan atau tafsiran-tafsiran yang terkenal mengenai Brahmasutra yaitu:
1.      Tafsiran Sankara dari ± abad ke-8
2.      Tafsiran Ramanuja dari ± abad ke-11[8]
Pada aliran Sankara pertautan (antara dewa-dewa dan manusia) itu lenyap karena dianggap tidak perlu lagi; bagi pujangga tersebut dewa-dewa juga termasuk bidang penipuan diri manusia; dewa-dewa itu sebetulnya tidak ada, tetapi manusia menggambarkan substansi purba, sang Brahmana itu, dalam bentuk dewa-dewa.[9] Sankara tidak mengakui adanya pengalaman/ penalaran indenpenden apa pun yang dapat menegaskan pernyataan bahwa Brahman yang diberikan dalam Upanisad, Brahman tidak memiliki sifat.[10]
Penafsiran Sankara itu banyak mengambil dari Buddhisme, terutama dari Maha-Yana. Keterangan-keterangan kadang-kadang sangat menyimpang dari yang dimaksud oleh Badarayana.
Sistem Sankara dapat disifat-khaskan dengan istilah akosmisme, artinya tidak mengakui adanya dunia yang dapat dialami. Yang kekal yang tidak berubah (sat), yang menjadi Roh (cit), dan yang didalam ketenangannya berupa kebahagiaan (ananda), menjadikan dunia jasmani itu dengan hikmah (sihir), dengan suatu kesemuan. Sat mengakui dunia jasmani ini dalam bentuk jiwa-jiwa yang banyak, yang mengalami samsara disitu dan menjalankan karma. Secara semu juga sat menguasai seluruh dunia sebagai Raja (Isvara). Peralihan yang kekal (sat) kedunia yang jasmani dengan mempergunakan hikmah itu disebut maya, tetapi maya itupun ilusi dan atau khayal. Didalam ajaran ini ada suatu hikmat yang tinggi dan hikmat yang rendah. Hikmat yang rendah mengakui adanya Raja (Isvara); sukma manusia serupa dangan Isvara itu. Dengan kepatuhan dalam memenuhi kewajiban-kewajiban kasta dan aturan-aturan keagamaan, jiwa (sukma) itu mendapat pengampunan dari Sang Isvara dan dengan demikian sukma itu dapat memasuki hikmat yang lebih tinggi. Dengan perlengkapan itu orang mencapai kelepasan (moksa) dan mengalahkan samsara.
Pada ilmu tentang maya itu terkaitlah ilmu tentang ke empat keadaan sukma. Ia membedakan keadaan tersebut sebagai berikut:
1.      Jaga. Yang paling hakiki didalam keadaan juga ialah mengalami susah dan takut.
2.      Mimpi. Ini suatu keadaan yang lebih tinggi karena didalam mimpi susah dan takut itu menjadi sesuatu yang tidak sesungguhnya.
3.      Tidur Nyenyak. Ini merupakan suatu keadaan yang lebih tinggi lagi, karena didalam tidur nyenyak orang malahan terbebas dari rasa susah  dan takut yang tidak sesungguhnya itu.
4.      Ekstase atau Lupa diri. Ini tingkatan yang tertinggi karena dalam ekstase manusia mengalami ketentraman tidur secara sadar.
Karena Sankara itu julukan Siva. Sebaliknya Ramanuja adalah seorang Brahmana, yang menjadi pengikut agama Visnu.
Ramanuja tidak mengakui suatu keadaan abadi yang abstrak, yang menciptakan dengan ilmu sihir. Keabadian (sat) yang dinyatakan dengan kata benda Brahman dilukiskan olehnya sebagai suatu Allah yang berpribadi, yang menghakimi dan memutuskan, yang memberi daya kepada karman sukma-sukma, tetapi berkuasa juga member pengampunan. Selain itu Ramanuja juga mengenal lagi suatu segi badani. Dunia badani ini masih diperinci lagi menjadi dunia jasmani dan jiwa-jiwa yang kekal.
Dengan demikian ada 3 golongan keabadian, yaitu:
1.    Tuhan, pertimbangan dan keputusannya tidak bergantung kepada hal-hal di luar Dia.
2.    Dunia jasmani
3.    Jiwa-jiwa yang kekal, disuatu pihak menjadi bagian-bagian Tuhan, tetapi dilain pihak mengandung Tuhan sebagai saksi.[11]
1.2.2.      Teologi Brahmana Sankhya
Sankhya terjadi karena dua patah kata yakni “san”, artinya bersama-sama atau dengan; dan “khya”, artinya bilangan. Jadi Sankhya artinya pejumlahan. Didalam system ini dapat ditunjukkan pikiran-pikiran pokok sebagai berikut:
a.       Perlawanan Kosmis adalah perlawanan antara roh (purusa) dan materi (prakrti). System sankhya mengajarkan bahwa prakrti itu satu dan abadi, purusa tiada terhingga banyaknya tetapi abadi juga. Selanjutnya diajarkan oleh system ini, bahwa dunia bisa diamati oleh panca indra itu sesungguhnya ada. Oleh karena itu penganut ajaran Sankhya menamakan system itu suatu pandangan (vada) yang menganggap bahwa kerja atau peristiwa (karya) itu kenyataan (sat).
b.      Hubungan antara prakrti dan purusa diterangkan sebagai suatu perkawinan. Bila pada system sankhya nisbah antara purusa dan prakrti dilukiskan sebagai suatu perkawinan maka artinya demikian: antara purusa dan prakrti terdapat suatu daya tarik yang mendekatkan keduanya eros atau cinta.
c.       Dalam system sankhya purusa itu sesuatu yang sangat halus dan tidak dapat diberi definisinya. Segala gejala psikis, segala yang ada pada diri kita termasuk benda pengamatan ilmu jiwa oleh sankhya dipandang tergolong dalam prakrti. Purusa hanya penonton (sakhsin) saja pada peristiwa-peristiwa dalam. Prakrti adalah substansi yang universal yang tidak diberi bentuk ialah alam dalam arti yang seluas-luasnya. Didalam prakrti terdapat tiga bagian yang membentuk semesta yang disebut guna, yakni:
1.      Sattva, adalah “adanya yang ada”. Sattva itu juga sesuatu memberi kepuasan, yang memberi ketentraman, yang menenangkan hati manusia.
2.      Rayas, adalah nafsu yang berkobar yang tidak dapat dikekang, ialah sesuatu yang menimbulkan rasa tidak senang dan tentram.
3.      Tamas, adalah kegelapan, yang berat, yang tidak bernafsu (yang indolen) yang muram, merasa sedih, hancur dan dukacita.
Ketiga guna ini menentukan segala peristiwa didunia dan didalam hidup manusia. Guna-guna itu tidak dapat diberi definisinya tetapi dapat dirasakan apa yang ditimbulkannya.
d.      Hubungan (samyoga) antara prakrti dan purusa. Purusa dan prakrti itu saling dekat mendekati mulailah prakrti itu mencipta: dari keadaan yang tidak berbentuk dan dari kemungkinan yang alami beralihlah prakrti itu menjadi sesuatu yang berbentuk (rupa). Dalam saling mendekati dari prakrti dan purusa berkembanglah kabut menyelimuti purusa yang makin bertambah tebal.
Jika prakrti dan purusa saling dekat-mendekati, terjadilah yang banyak seluk beluknya sebagai berikut:
1.      Mula-mula lahirlah budi, kesadaran
2.      Unsur yang kedua adalah ahamkara, artinya sang pembuat aku, kesadaran akan adanya suatu “aku” (Kesadaran-subyek)
3.      Manas: kekuatan untuk mengamati dan untuk memberi reaksi terhadap apa yang telah diamati itu.
4-13.  Manas membagi diri menjadi sepuluh daya kekuatan yang bermacam-macam, lima diantaranya kemungkinan pengindaraan (budi-indria):
-          Perasaan
-          Pendengaran
-          Penglihatan
-          Pengecap
-          Penciuman
Dan lima lagi kemungkinan perbuatan (karma-indria):
-          Berkata
-          Memengang
-          Berjalan
-          Mengosongkan
-          Bersalin
14-18. Kemungkinan pengindraan itu mendapat juga isi kelima tanmatra, kecuali daya penglihatan (Gezict Svermogen) ada juga kesan-kesan penglihatan; selain perasaan ada juga pengindraan perasaan.
19-23. Benda (materi) yang kasar, “zat” didalam pengertiaan filsafat barat dalam 5 buah anasir:
-          Eter (mahabuta)
-          Hawa
-          Api
-          Air
-          Bumi

Jika pada 23 pokok ini kita tambahkan lagi prakrti dan purusa terdapatlah 25. Ini adalah bilangan yang paling keramat pada system Sankhya.
e.       Kepada buddhi diberikan 8 buah bentuk atau keadaan (bhawa), yang meresapi seluruhnya dengan bau. Tujuh diantaranya menahan buddhi didalam samsara. Purusa itu memang disangka bahwa ia aktif tapi itu hanya kelihatan (semu) saja.
f.       Apabila purusa itu telah sampai pada pandangan atau pengertian yang betul (jnana) dan ia mulai mengerti, bahwa ia hanya menjadi sakshin saja, maka tercapailah olehnya masa tingkatan pelepasan. Kelepesan itu terletak pada pengetahuan tentang dua keadaan pokok, yakni prakrti dan purusa.
g.      Guna mencapai mokhsa didalam segala pengajaran Agama Hindu digunakan yoga. Yoga berarti berusaha sekuat-kuatnya dan dalam ajaran tentang kelepasan yoga itu berarti latihan-latihan rohani, yang menyebabkan orang dapat memisahkan purusa dari prakrti, didalam yoga itu yang menjadi tujuan ialah kelepasan mokhsa.
h.      Didalam Sankhya tidak terdapat Tuhan. Itu suatu system yang tidak mengenal Tuhan, system atheistis, seperti agama Buddha yang timbul pada masa yang bersamaan dan mula-mula atheistis juga.
Didalam agama Hindu tiap-tiap bilangan itu mempunyai nilai yang magis.
Satu adalah bilangan kesatuan yang tidak mengenal Tuhan, sesuatu yang tidak terpecah-pecah, bilangan itu juga bertalian dengan keadaan asal dan unsur asal laki-laki.
Dua adalah pemecahanan, penguaraian, percabiakan, dan kegelapan, bila itu bertalian dengan unsur perempuan.
Empat adalah bilangan keempat mata angin dan dengan begitu bilangan kosmos pula sebagai keluasan didalam serba banyaknya gejala-gejala.
Lima adalah dunia-dunia dengan keempat mata angin beserta titik puncaknya (zhenit) dan oleh karena itu adalah bilangan kosmos.
Sembilan di Jawa menjadi bilangan lubang, karena badan manusia mempunyai Sembilan buah lubang dan begitu juga 9 itu menjadi bilangan pintu dan gapura.
Bigitulah di India dan seluruh dunia Timur. Bilangan itu tidak pernah dipandang yang netral dan sembarangan.[12]

II.                Daftar Pustaka
Cefebure, Leo D., Penyataan Allah, Agama dan Kekerasan, Jakarta: BPK-GM, 2006
Effendy, Mochtar, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Palembang: Universitas Sriwijaya, 2001
Hadiwijono, Harun, Agama Hindu dan Buddha, Jakarta: BPK-GM, 1989
Honig, A.G., Ilmu Agama, Jakarta: BPK-GM, 2005
Sipahutar, P. & Arifinsyah (Ed), Ensiklopedi Praktis Kerukunan Hidup Umat Beragama, Bandung: Citapustaka Media, 2003
Van Peursen, C.A., Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 1988


[1] Hadiwijono, Harun, Agama Hindu dan Buddha, Jakarta: BPK-GM, 1989,hlm. 9-11
[2] Honig, A.G., Ilmu Agama, Jakarta: BPK-GM, 2005, hlm. 93-94
[3] Hadiwijono, Harun, Op.cit, hlm.17-18
[4] Sipahutar, P. & Arifinsyah (Ed), Ensiklopedi Pratis Kerukunan Hidup Umat Beragama, Bandung: Citapustaka Media, 2003, hlm. 226
[5] Effendy, Mochtar, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, Palembang: Universitas Sriwijaya, 2001, hlm. 331
[6] Yoga Hindu dimaksudkan untuk membantu orang keluar dari roda eksistensi individual yang adalah tragedi ini. Tujuan Yoga Hindu adalah membantu individu dalam proses penyerapan ke dalam Brahma yang universal. Maksudnya ialah menolong orang tersebut melepaskan pemahaman yang keliru tentang keberadaan pribadi seseorang. Penghentian eksistensi personal harus menjadi tujuan orang yang bersangkutan. Shenk, David W., Ilah-ilah Global (Menggali Peran Agama-agama dalam Masyarakat Modern, Jakarta: BPK-GM, 2006, hlm.107
[7] Honig, A.G., Op.cit, hlm. 125-126
[8] Ibid, hlm. 126
[9] Van Peursen, C.A., Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 1988, hlm. 77
[10] Cefebure, Leo D., Penyataan Allah, Agama dan Kekerasan, Jakarta: BPK-GM, 2006, hlm. 221
[11] Honig, A.G., Op.cit, hlm.126-127
[12] Honig, A.G., Op.cit, hlm. 128-137

Tidak ada komentar:

Posting Komentar