Jumat, 15 Maret 2013

GEREJA DAN BAPTISAN


GEREJA DAN BAPTISAN
Oleh : Chrisnov M. Tarigan

I.                   Pembahasan
1.1. Pengertian Gereja
Kata gereja berasal dari bahasa Portugis yakni “Igreja” yang berarti milik Tuhan, yang dimaksud dengan milik Tuhan adalah orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan juruselamat. Dalam hal ini berarti gereja adalah persekutuan orang beriman.[1] Gereja pertama kali muncul pada masa turunya Roh Kudus yaitu Pentakosta.[2] Kata lain untuk gereja adalah “Ekklesia”, yang berarti kumpulan dari orang-orang yang dipanggil, dimana Tuhan memanggil orang-orang dan mengumpulkannya menjadi satu persekutuan untuk memberitakan karya Allah yang luar biasa.[3] Jadi dapat dikatakan bahwa pengertian gereja adalah perkumpulan orang-orang yang dipanggil menuju terang Kristus dan diutus kedunia untuk mengabarkan berita kesukaan, sehingga lahirlah gereja Kristen.[4]

1.2. Tugas Gereja
Tugas utama Yesus datang kedunia adalah untuk menyelamatkan manusia dari dosa-dosanya dan gereja dipakai Allah untuk melaksanakan tugasNya. Gereja dituntut untuk melaksanakan tugasnya didunia ini. Dalam melaksanakan tugasnya, gereja dipenuhi seluruh kepenuhan Allah ( Ef. 3:18-19 band. 4:3). Keputusan Allah ini dinyatakan melalui karunia-karunia berbeda yang dianugrahkan oleh Allah[5]. Gereja bukanlah suatu organisasi orang-orang yang mau mendirikan suatu perkumpulan guna suatu tujuan tertentu, melainkan orang-orang yang telah dipanggil berhimpun, yaitu oleh Allah sendiri (Rm. 9:24; Ef. 4:1).[6]

1.3. Pengertian Baptisan Secara Umum
Kata baptis berasal dari kata Yunani yaitu: “baptizo” yang artinya: I Dip (saya mandi, saya masuk kedalam air), I Sudmerge (saya menyelam kedalam air, saya merendam didalam air). Pemandian atau penyelaman kedalam air ini baru menjadi “baptisan” apabila dilaksanakan dengan suatu upacara seremonial agama yang khusus. Apabila kata baptizo ini diikuti dengan kata depan ‘eis’ maka baptisan ini mengindikasikan bahwa seseorang yang dibaptis menjadi milik kepunyaan Tuhan (Mrk. 10:38). Baptisan merupakan salah satu dogma yang sangat penting dalam gereja, maka seharusnya kita dapat memahami, mengetahui, dan mengerti akan arti dan makna baptisan itu. Dengan kata lain baptisan merupakan sakramen yang dilaksanakan oleh gereja disepanjang sejarah, karena baptisan merupakan sebagai tanda, bukti atau sebagai materai tentang pembersihan dari segala dosa-dosa manusia. Setiap orang percaya hendaklah dibaptis.[7]
Baptisan ditetapkan oleh Allah untuk dilaksanakan oleh murid-muridnya sebagai mana yang telah diamanatkan dalam Mat. 28:19-20. Janganlah menganggap baptisan itu tidak penting, tetapi hendaklah kita memandang baptisan itu sebagai sesuatu yang baik dan luhur dan menghormatinya.[8]
Verkuyl mengatakan bahwa baptisan adalah merupakan suatu tanda dan ibarat sederhana untuk ketergolongannya kepada umat Kristen. Siapa yang masuk menjadi anggota Gereja Kristen, ia menerima tanda baptisan itu pada waktu ia digabungkan ke dalam persekutuan gereja. Baptisan juga merupakan sebagai tanda dan meterai, yang menunjukkan kepada kita suatu hal yang membuat kita rendah hati, yang menunjukkan kepada kita bahwa kita pada dasarnya adalah najis dan tabiat lama kita harus dimatikan. Baptisan juga dapat merupakan suatu pengampunan dari Tuhan. Apabila kadang-kadang jatuh kedalam dosa karena kelemahan kita, janganlah kita bimbang dan meragukan kasih karunia Tuhan, karena baptisan memberikan kepastian kepada kita bahwa Tuhan tidak akan menolak kita jika kita kembali lagi kepadaNya. Ia juga selalu membuat permulaan baru dengan kita.[9]

1.4. Makna Baptisan Menurut PL
Makna baptisan dalam PL sama dengan sunat. Ini dapat dilihat ketika Allah memerintahkan kepada Abraham supaya ia bersunat dan menyunatkan keluarga berserta hamba-hambanya. Perintah ini memiliki 3 makna yaitu:
1.      Dalam sunat dikatakan bahwa manusia yang disunat adalah najis (kotor). Kulub[10] yang dipotong dari badan manusia itu menunjukkan bahwa kita semua pada dasarnya adalah orang-orang yang jahat, najis dan kotor. Segala sesuatu yang menentang kehendak Tuhan haruslah dipotong dari tubuh kita.
2.      Darah yang tercurah pada waktu disunat menunjukkan bahwa untuk keampunan dosa kita haruslah ada suatu korban dipersembahkan.
3.      Sunat adalah memanggil orang yang disunat itu kepada hidup baru. Bangsa Israel harus hidup sebagai suatu bangsa yang baru, bangsa yang dikuduskan, diantara bangsa-bangsa lainnya. Seluruh hidupnya harus dipersembahkan kepada Tuhan.[11]
Dalam Jemaat Yahudi sunat menandai, mencirikan serta memateraikan orang yang menerima seumur hidup. Keputusan dari menerima penyunatan itu bukanlah suatu persetujuan sementara yang dapat dibatalkan, diakhiri, dihilangkan, melainkan menjadi suatu ikatan yang tetap, suatu sumpah setia yang kekal, sehingga orang yang telah disunat memperoleh kelahiran kembali oleh perjanjian Allah kepada persekutuan dengan Allah. Tidak dapat lagi mengundurkan diri dan menarik diri, melainkan penerimaan janji Allah itu merupakan suatu keputusan yang berlaku sedalam-dalamnya dan seerat-eratnya.[12]

1.5. Pengertian Baptisan Menurut PB
1.5.1.      Baptisan Menurut Injil Sinoptik
Dalam PB kedudukan sunat digantikan dengan baptisan karena sunat dianggap bagian dari tuntutan hukum, sedangkan dalam Yesus Kristus, manusia dibebaskan dari tuntutan hukum walaupun manusia sudah berdosa haruslah dibaptiskan sebagai tanda bahwa manusia yang berdosa dipersatukan dalam Kristus dan menjadi ciptaan baru, sebagaimana halnya didalam PL sunat merupakan satu tanda untuk memasukkan orang ke dalam perjanjian kasih karunia Tuhan Allah sehingga orang tersebut menjadi umat Allah, demikian juga didalam PB. Kata Baptisan berasal dari kata Yunani yakni Baptizo yang secara harafiah artinya diselamatkan. Melalui baptisan kita dipermandikan dalam Kristus dan dimasukkan ke dalam Perjanjian Allah yang telah diperbaharui dan dipenuhi oleh Kristus.
Dalam Alkitab kita mengenal 2 jenis baptisan, yaitu: Baptisan Yohanes dan Baptisan Tuhan Yesus. Baptisan Tuhan Yesus ini bukan hanya menunjuk kepada Kerajaan Allah yang masih akan datang, melainkan menjadi pengukuhan dari apa yang diwujudkan oleh kedatangan Kristus. Pembaptisan yang dilakukan Yohanes Pembaptis sangat menuntut dua hal dari umatNya, yaitu: (1) mereka terlebih dahulu bertobat, dan (2) supaya mereka mengaku dosa-dosanya didepan umum. Setelah kedua hal ini dilakukan maka mereka akan dibaptiskan. Jadi dapatlah dikatakan bahwa baptisan Yohanes bertujuan untuk “bertobat dan mengaku dosa”.[13]

1.5.2.      Baptisan Menurut Rasul Paulus
Menurut Paulus, Baptisan adalah merupakan cara untuk memulai masuk kedalam satu tubuh, yaitu perhimpunan umat Kristiani (1 Kor. 12:13), yang mana menurut Paulus dalam baptisan itu yang berperan adalah Roh Kudus. Menurutnya pembaptisan bertujuan untuk semua orang tanpa mengenal golongan, perbedaan, bangsa, jenis kelamin, dan kedudukan sosial, karena semua dipandang sudah “dibaptis dalam Kristus” dan sebagai hasilnya mereka telah mengenakan Kristus ( Rm. 13:14; Ef, 5:26; Kol. 3:10).[14]

1.6. Gereja Mula-Mula Dan Baptisan (30/33M – 313/590 M)
1.6.1.      Gereja dan Baptisan pada 30-150 Masehi
Dalam gereja mula-mula, baptisan[15] dilayankan dalam upacara sendiri, diluar kebaktian umum. Sebagai persiapan, calon baptisan harus berpuasa. Ia menyatakan imannya dengan rumus tertentu (yang kemudian berkembang menjadi Pengakuan Iman Rasuli). Lalu ia dibaptiskan, pada umumnya dengan diselamkan (seluruhnya atau sebagian), tetapi kalau air tidak cukup, maka penyiraman juga boleh. Seusai upacara, anggota gereja yang baru itu dibawa kedalam kumpulan jemaat. Pada abad ke-2, pembaptisan anak-anak ada, tetapi tidak sering, karena kebanyakan orang Kristen merasa bahwa dengan itu, sakramen baptisan dianggap enteng. Pendapat ini didasari keyakinan bahwa pembaptisan menganugerahkan pengampunan dosa; kalau setelah dibaptis orang berdosa lagi, pengampunan itu harus diperoleh lewat perbuatan penyesalan yang susah, dan dalam hal dosa berat malah sama sekali tidak memperoleh pengampunan. Hal ini disebabkan karena disiplin gereja dipertahankan sangat ketat. Kalau anggota jemaat kedapatan berbuat dosa, ia dikucilkan dari jemaat. Lagipula selama abad ke-2 orang itu tidak diberi kesempatan untuk menyesal dan kembali kedalam pangkuan gereja kalau dosanya termasuk yang berat yaitu: murtad, pembunuhan, zinah.[16]
Mengenai baptisan anak seperti yang sudah disebutkan diatas, dalam buka F.D. Wellem, Alkitab tidak ada petunjuk langsung mengenai baptisan anak. Namun, dalam  tradisi gereja, sekurang-kurangnya sejak abad ke-3, anak-anak yang dilahirkan dari keluarga Kristen telah dibaptis sejak kecil. Sejak zaman Perjanjian Baru, baptisan anak ditemukan dalam  kenyataan bahwa anak-anak orang Kristen dikatakan kudus sementara mereka masih berdosa (1 Kor. 7:14) dan tidak pernah ada anjuran agar mereka meminta baptisan apabila mereka dewasa. Bahkan dalam Kisah Para Rasul dikatakan bahwa “seisi rumah” dibaptis (Kis. 16:15; 18:8; bnd. 1 Kor. 1:16) sehingga bisa diduga bahwa anak-anak juga turut dibaptis. Dalam Gereja Timur, baptisan anak diikuti dengan konfirmasi dan ekaristi; sedangkan dalam Gereja Katolik Roma, konfirmasi ditunda sampai anak tersebut mempunyai kesadaran sendiri dan biasanya hingga berumur 7 tahun.[17]

1.6.2.      Gereja dan Baptisan pada 180-313/590 M
Dalam Gereja Roma pada zaman Hippolytus (170-235), ritus-ritus inisiasi, baptisan dan komuni pertama, diselenggarakan bersama-sama pada malam Paskah. Dalam Kisah Para Rasul, baptisan sering diselenggarakan segera setelah seseorang mengaku percaya kepada Yesus sebagai Kristus, tetapi pada abad ke-3 pola itu berubah menjadi suatu proses yang lebih berhati-hati. Di Roma suatu periode pengajaran tiga-tahun mendahului baptisan. Pada malam Paskah para calon dibawa ke air, disitu mereka diceburkan kedalam suatu kolam dan sedikit air dicurahkan ke atas mereka. Pada sebagian besar Gereja awal, baptisan air diikuti oleh suatu pengurapan (di Roma, pengurapan kedua oleh uskup merupakan ketentuan). Setelah pengurapan, para calon tersebut mengikuti komuni pertama mereka dalam Ekaristi pertama yang dirayakan pada hari Paskah.[18]
Para Bapa Gereja mula-mula memberikan sejumlah makna Perjanjian Baru mengenai baptisan, walaupun dengan penekanan yang berbeda oleh para pemikir yang berbeda. Misalnya, Gembala dari Hermas menekankan kematian dan kebangkitan. Kita turun ke dalam air “mati” dan muncul dari air “hidup”. Dalam surat Barnabas, pembasuhan dosa ditekankan, dan Clemens dari Roma berbicara tentang “satu roh anugerah yang dicurahkan ke atas kita”. Yustinus martir menjelaskan baptisan sebagai sesuatu yang menghasilkan kelahiran kembali, pencerahan dan pengampunan dosa. Akhirnya, kita pun dapat menyebut Ireneus, yang menulis, “Kita telah menerima baptisan untuk penghapusan dosa dalam nama Allah Bapa, dan dalam nama Yesus Kristus sang Anak Allah, yang telah berinkarnasi dan mati serta bangkit lagi, dan dalam nama Roh Kudus Allah”. Dalam baptisan kita dibasuh Roh Allah yang dianugerahkan kepada kita, dan menerima “citra surgawi”. [19] Tentu saja semuanya ini ada dalam konteks menjadi seorang anggota gereja.
Karya Tertullianus On Baptism, yang ditulis pada tahun-tahun awal abad ke-3, merepresentasikan sesuatu yang menonjol, seperti risalah pertama tentang salah satu sakramen Injil. Namun, dalam karyanya, Againts Marcion, Tertullianus memberikan ringkasan yang tepat tentang ajaran gereja mengenai baptisan. Disana ia menjelaskan bahwa baptisan terdiri atas empat karunia, yaitu penghapusan dosa, pelepasan dari kematian, kelahiran kembali, dan penganugerahan Roh Kudus.[20]
Pada perjalanannya, baptisan didalam gereja mengalami pergeseran dalam segi pemahaman. Baptisan itu sebenarnya tak lain daripada suatu kotbah yang kelihatan tentang keampunan dosa oleh rahmat Allah dalam Yesus Kristus. Tetapi sekarang jemaat mulai percaya bahwa dalam air baptisan terkandung suatu khasiat istimewa, sehingga air itu menyucikan secara magis-realistis; oleh kuasa ilahi itu setan dan pengaruhnya diusir dari badan dan jiwa orang yang dibaptiskan itu. Dengan demikian orang yang baru dilahirkan secara lahiriah-batiniah itu, berdiri suci-murni dihadapan Tuhan pada hari baptisannya itu. Tetapi sesudah itu manusia harus bersandar lagi kepada kebajikan dan amalnya sendiri. oleh karena itu timbullah dua jenis reaksi di antara jemaat. Ada yang menunda baptisannya sampai menjelang ajalnya, supaya kesucian yang diperolehnya daripada baptisan itu dapat diperlihatkan lebih gampang sampai hari matinya[21]. Orang lain pula yang terdorong oleh pandangan yang magis ini lekas-lekas membawa anak-anaknya supaya dibaptiskan dalam gereja, agar selekas mungkin mereka ditarik keluar dari genggaman dosa dan iblis.[22]
Secara ringkas, praktik yang paling awal adalah membaptis dengan air pada malam Paskah, kemudian diikuti pengurapan dan komuni pertama. Bagi orang-orang dewasa, sebelum upacara yang khidmat ini, ada suatu periode persiapan yang panjang, biasanya berlangsung selama tiga tahun. Katekhesis, sebutan untuk proses tersebut, meliputi pelajaran, pelatihan, percobaan, dan partisipasi yang nyata – namun terbatas – dalam peribadahan komunitas. Dari hal ini dapat dilihat adalah suatu periode pembentukan spiritual yang radikal dari kehidupan sang calon.[23]

1.7. Gereja Pada Abad Pertengahan dan Baptisan (590-1492/1517 M)
Pada masa abad pertengahan, gereja dipandang sebagai lembaga keselamatan ilahi[24] yang berfungsi melalui pelayanan sakramen-sakramen. Maka yang penting ialah membawa orang sebanyak-banyaknya masuk ke dalam persekutuan gereja yang menyelamatkan, dengan jalan membaptis mereka. Pada masa itu, metode Misi ditentukan oleh pandangan bahwa karunia dan daya pengaruh sakramen terutama bergantuntg pada pelaksanaannya dengan ritus tepat. Wawasan opus operatum tetap dominan. Pada Abad Pertengahan dan sesudahnya wawasan tersebut berdampak fatal terhadap praktek pembaptisan, sebab membuatnya berubah menjadi upacara lahiriah yang bekerja di luar kemauan dan keyakinan orang yang menerimannya.[25]
Persiapan menjelang pembaptisan biasanya sangat singkat. Harus diakui bahwa unsure pemberitaan Firman dan katekisasi tetap ada, tetapi pengajaran agama pada Abad Pertengahan sangat tidak memuaskan dibandingkan dengan katekisasi pada zaman Gereja Lama. Bahkan banyak para calon baptis, dibaptis padahal belum dapat menghafal Pengakuan Iman Rasuli dan sama sekali tidak memahami tata kesusilaan Kristen. Banyak juga para imam tidak mengharuskan para calon baptis dewasa bersumpah akan melepasakan iblis dan belajar mengenai Allah Tritunggal. Banyak orang dibaptis kendati mereka belum mengalami pertobatan hati.[26]
Bagi Gereja Romawi, baptisan bukan kiasan dari pembasuhan dosa manusia oleh darah Kristus, melainkan baptisan itu sungguh-sungguh menghapuskan dosa turunan dan segala dosa yang diperbuat oleh orang itu sendiri. sebelum manusia dibaptiskan, dosa turunannya masih melekat kepadanya, sehingga ia berada diluar lingkungan rahmat dari keselamatan, dan pasti akan binasa. Berkenan dengan anggapan itu, Gereja Roma mengizinkan baptisan darurat, jikalau seorang mau meninggal dunia dan imam tidak dapat dipanggil lagi. Dalam hal yang demikian umpamanya seorang bayi yang baru lahir tetapi barangkali akan mati, maka seorang awam boleh melakukan baptisan darurat itu, misalnya bapa, bidan, tabib atau tetangga.[27]
Pada abad Pertengahan, misi atau pengkabaran Injil juga berdampak pada praktek pembaptisan yang dilakukan. Sesudah tahun 750, metode pengkristenan semakin dangkal dan semakin banyak memakai pemaksaan. Sesungguhnya timbul perlawanan terhadap metode itu. Pada tahun 796 salah satu konsili di Jerman Selatan menetapkan bahwa masa persiapan menjelang pembaptisan wajib sekurang-kurangnya tujuh hari. Tetapi konsili itu pun memandang kurang bijaksana kalau para calon baptis diharuskan menunggu lebih daripada empat puluh hari, ‘agar dorongan hati mereka yang berkobar tidak melemah’. Di kemudian hari jangka waktu tujuh hari pun tidak berhasil dipertahankan.
Jadi, metode misi Abad Pertengahan ditandai masa persiapan yang singkat, pembaptisan cepat, dan pengembalaan intensif sesudah pembaptisan. Metode tersebut tidak bisa tidak harus membawa akibat bagi hubungan pelayanan Baptisan dan komuni pertama. Pada zaman Gereja Lama perayaan Ekaristi merupakan puncak kehidupan seluruh jemaat. Peserta katekisasi dengan rasa gembira menantikan hari pembaptisan mereka, sebab pada hari itu mereka pertama kali akan diperkenankan ikut serta dalam perayaan itu. Sebaliknya, dalam Abad Pertengahan Komuni hampir tidak memainkan peranan dalam kehidupan anggota jemaat. Mula-mula orang percaya bisa mengikuti Komuni hanya tiga kali dalam setahun, yakni pada hari raya Natal, Paskah dan Pentakosta. Sebabnya, runtuhnya kekaisaran Romawi disusul kemunduran dahsyat di bidang kesusilaan. Banyak orang dibaptis kendati mereka belum mengalami pertobatan hati. Ketika itu belum ada peraturan umum yang mewajibkan orang melakukan pengakuan dosa sebelum menerima sakramen Ekaristi. Jadi orang dapat mengambil bagian didalamnya tanpa lebih dahulu mengaku dosanya yang akan membawa maut.[28]   

1.8. Gereja Modern dan Baptisan (1492/1517 M – sekarang)
1.8.1.      Baptisan Menurut Para Reformator
Pada awal zaman Perjanjiam Baru, orang-orang Kristen menghubungkan baptisan dengan berbagai karunia Roh Kudus, pembasuhan dosa, kematian dan kebangkitan, dan dengan inisiasi kedalam persekutuan Kristen, gereja. Kemudian, ketika orang-orang Kristen mulai menekankan dosa asal, mareka pun percaya bahwa baptisan menyingkirkan dosa asali dan juga dosa-dosa aktual. Para reformator membalikkan perkembangan ini dan menjelaskan baptisan sebagaimana dilakukan oleh Gereja Awal, dengan menghapuskan semua rujukan pada “pembasuhan dosa asali”. Para reformator utama, Luther[29], Calvin dan Zwingli, melakukan penyesuaian dengan luar biasa.
Semua reformator Kontinental menolak ide bahwa dalam baptisan dosa asali disingkirkan, egoisme alamiah kita tampaknya sama kuatnya baik sebelum baptisan maupun sesudahnya. Jadi, Calvin menolak bahwa oleh baptisan itu kita dilepaskan dan dibebaskan dari dosa turunan dan dari kerusakan yang diteruskan Adam keseluruh keturunannya, dan bahwa olehnya kita dipulihkan dalam kebenaran dan kemurnian tabiat yang sama seperti yang akan dimiliki Adam sekiranya ia tetap bertahan dalam keutuhan yang ada-padanya ketika ia diciptakan.[30]
Dalam berbagai pembahasan para reformator mengenai baptisan, kita dapat mengamai suatu ketegangan antara kutub objektif dan subyektif. Pada kutub objektif, diskusi berpusat pada apa yang ditawarkan kepada kita dalam baptisan. Pada kitub subjektif, fokusnya terletak pada sikap yang dibawa sang calon terhadap baptisan. Dalam risalahnya yang ditulis tahun 1520, The Babylonion Captivity of the Church, Luther mulai melaksanakan berbagai implikasi dari pandangannya bahwa kita diselamatkan oleh anugereh melalui iman. Dalam satu teks dari Markus, ia menemukan suatu penekanan atas kedua kutub ini, “Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan” (Mrk. 16:16). Kutub subyektif, penekanan atas iman, ditemukan dalam teks, sedangkan teks secara keseluruhan mengekspersikan kutub objektif, janji keselamatan Allah. Demikian pula, ritus baptisan itu sendiri mengandung dua kutub itu, memproklamasikan janji dan menuntut iman. Tema-tema ini digarap menurut cara yang serupa baik dalam risalah zwingli maupun Calvin mengenai baptisan. Selain itu, Zwingli dan Calvin menekankan peranan baptisan sebagai “suatu tanda inisiasi atau janji yang dengannya kita mengikatkan diri kepada Allah, menyaksikan hal yang sama kepada sesama kita.[31]
Kaum Anabaptis, dengan mengacu pada Markus 16:16 sebagai ayat yang menentukan, berpegang teguh bahwa hanya orang-orang yang percaya yang dapat dibaptis dan menuntut pembaptisan ulang bagi mereka semua yang telah dibaptis ketika masih bayi atau kanak-kanak. Berhadapan dengan logika ini, ketiganya (Luther, Calvin, dan Zwingli) memberikan jawaban yang nyaris sama. Tidak mengizinkan baptisan anak berarti kembali ke suatu agama yang menekankan karya atau perbuatan, dan bukan suatu agama anugerah. Iman itu penting, tetapi iman dapat ditimbulkan di dalam diri anak-anak setelah baptisan. Menurut Luther, “Anak dibantu oleh iman dari orang-orang lain, yaitu mereka yang membawa anak itu untuk dibaptis. Karena Firman Allah itu cukup berkuasa, ketika diucapkan, untuk mengubah segala sesuatu, bahkan hati yang tidak ber-ilah sekalipun, yang tak berbeda dengan bayi mana pun dalam hal ketiadaan resposn dan ketidakberdayaannya”. Tentu saja “iman dari orang-orang lain” itu mencakup iman dari persekutuan Kristen yang memperantai Firman dan janji Allah kepada anak yang sedang bertumbuh itu. Zwingli dan Calvin benar-benar setuju dengan penekanan yang serupa atas pengaruh dari persekutuan Kristen. Calvin berusaha menyempurnakan argument untuk baptisan anak dengan memberikan jaminan landasan Alkitab terhadapnya. Ia menemukan preseden untuk kegiatan itu didalam ritus penyunatan, penerimaan anak-anak ke dalam paguyuban umat Allah dalam Perjanjian Lama dan sikap Yesus yang menyambut dengan sukacita akan anak-anak kecil. Bagi Calvin, baptisan, seperti sunat adalah suatu tanda perjanjian.[32]

1.8.2.      Gereja Katolik Setelah Reformasi dan Baptisan
Setelah terjadinya reformasi dalam tubuh gereja sehingga terdapat aliran gereja yang baru di luar Gereja Katolik Roma, maka diadakan Konsili Trente[33] (1545-1563) yang juga membahas mengenai baptisan. Mengenai baptisan, dalam Decretum de Iustificatione (Ketetapan Mengenai Pembenaran, 1547) merupakan salah satu hasi Konsili Trente yang terpenting, dinyatakan bahwa dengan didorong dan dibantu oleh anugerah Allah, mereka mendapat iman karena mendengar dan tergerak bebas menuju Allah, dan percaya apa yang diungkapkan dan dijanjikan oleh Allah, khususnya bahwa mereka yang tak percaya dibenarkan oleh Allah melalui anugerahNya serta penyelamatan dalam Yesus Kristus. Sadar bahwa mereka adalah orang berdosa, timbullah rasa takut yang menguntungkan akan keadilan Allah dan mereka dipenuhi harapan dengan memikirkan rahmatNya. Mereka juga percaya bahwa Allah akan baik kepada mereka demi Kristus. Maka mereka mengasihi Dia sebagai satu-satunya sumber kebenaran dan oleh karena itu tergerak untuk tidak berdosa karena perasaan benci dan muak, yaitu melalui penyesalan dan pengakuan dosa yang harus dijalani sebelum dibaptis. Akhirnya mereka bersedia dibaptis dan mereka mulai dengan hidup baru yang taat kepada perintah Allah.[34] Dalam Konsili ini, kritik secara khusus ditujukan pada pandangan bahwa sakramen-sakramen menandakan anugerah yang harus diterima melalui iman.[35]

1.8.3.       Pandangan Berbagai Aliran Gereja Masa Kini mengenai Baptisan[36]
1.8.3.1. Lutheran
Seperti yang sudah dibahas pada bagian “Menurut Para Reformator” diatas yang telah cukup jelas mengenai baptisan, yang mana pemahaman mengenai baptisan kudus pada dasarnya sama dengan GKR maupun dengan Calvin. Yang mana sama-sama memahami baptisan sebagai yang setara dengan sunat dalam Perjanjian Lama, sebagai tanda perjanjian Allah dengan umatNya, yang juga berlaku bagi anak-anak mereka.

1.8.3.2. Calvinis
Pandangan kaum Calvinis mengenai baptisan yang juga sudah disinggung diatas, memiliki pemahaman yang pada dasarnya sama dengan Luther dan Zwingli. Calvin menolak bahwa oleh baptisan itu kita dilepaskan dan dibebaskan dari dosa turunan dan dari kerusakan yang diteruskan Adam keseluruh keturunannya, dan bahwa olehnya kita dipulihkan dalam kebenaran dan kemurnian tabiat yang sama seperti yang akan dimiliki Adam sekiranya ia tetap bertahan dalam keutuhan yang ada-padanya ketika ia diciptakan. Bagi Calvin, baptisan, seperti sunat adalah suatu tanda perjanjian.

1.8.3.3. Anglikan (Episkopal)
Menurut aliran Anglikan, baptisan adalah tanda pengakuan akan Kristus dan penolakan atas kejahatan. Melalui baptisan, dengan cara dipercik ataupun diselamkan, didalam nama Allah Tritunggal, orang dipersekutukan didalam gereja yang adalah tubuh Kristus. Melalui baptisan persekutuan Kristen dibimbing, diajar, dan dikuatkan oleh Roh Kudus. Melalui baptisan ini iman diteguhkan dan kasih karunia ditingkatkan, Allah diundang untuk menganugerahkan kepada si-terbaptis pengampunan dosa melalui kelahiran kembali secara rohani. Ketika baptisan dilayankan, si-terbaptis diberi nama kristiani dan menyusul pembersihannya dengan air dilakukanlah upacara pemberian tanda salib pada dahi si-terbaptis. Upacara ini melambangkan pernyataan Kristiani melawan “dosa, dunia dan iblis”, serta pengabdiannya kepada Kristus. Dalam hal baptisan anak, janji tentang iman dan ketaatan diucapkan atas nama anak itu oleh sponsor atau orang-tua (bapak dan ibu) seraninya. Sang sponsor berjanji bahwa baik itu akan menerima pendidikan Kristiani yang sepatutnya dan akan didorong untuk menjalani hidup Kristiani dan pada giliriannya akan di-sidi-kan. Ada juga yang memahami bahwa seluruh jemaat adalah sponsor, sehingga tidak perlu ada orang tua serani.

1.8.3.4. Aliran Mennonit
Kaum Mennonit tidak mengunakan istilah sakramen melainkan penetapan. Salah satu alasannya adalah sesuai dengan semboyan imamat am, semua orang percaya, bukan hanya pendeta yang berhak melayankan upacara-upacara gerejawi, melainkan juga warga jemaat. Dengan demikian ditiadakanlah sifat sacramental dari upacara-upacara itu maupun dari petugas yang melayankannya. Yang menjadi tolak ukur untuk menentukan upacara mana yang masuk kategori upacara gerejawi adalah penetapan yang dilakukan oleh Kristus dan para Rasul didalam Perjanjian Baru. Kaum Mennonit berkeyakinan bahwa semua perintah didalam Perjanjian Baru harus dilaksanakan secara harafiah oleh semua umat beriman dimanapun selama dunia ini masih ada. Mengenai Baptisan, hanya dilayankan bagi mereka yang sudah mampu menghayati dan melaksanakan panggilan imannya. Karena itu, hanya oleh dilayankan bagi orang dewasa yang sungguh-sungguh menerima panggilan pertobatan dan hidup baru. Sebab baptisan tidak hanya berisi janji pengampunan, melainkan tantangan untuk merubah sikap dan perilaku. Itu berarti mengambil keputusan untuk menjalani jenis kehidupan yang sama sekali baru serta terikat sepenuhnya pada perintah Kristus maupun pada ikatan persaudaraan, sebagaimana diamanatkan Kristus dan Para Rasul.

1.8.3.5. Aliran Baptis
Sama dengan Mennonit, mereka memakai istilah penetapan, karena menurut mereka istilah sakramen tidak terdapat didalam Alkitab dan berasal dari pembendaharaan bahasa sehari-hari. Menurut kaum Baptis, baptisan harus dilakukan dengan cara selam dan hanya dilakukan bagi orang dewasa yang sudah mampu memahami dan menyatakan imannya karena memang begitulah dinyatakan dalam Alkitab. Baptisan dilayankan dalam nama Allah Tri-Tunggal, Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Disamping melambangkan kasih karunia Allah yang menganugrahkan kembali atau hidup baru, baptisan juga melambangkan iman dan ketaatan kepada Kristus. Kendati kebanyakan kalangan Baptis tidak percaya bahwa baptisan merupakan syarat mutlak agar selamat, mereka pada umumnya mengajarkan bahwa iman kepada Kristus yang dinyatakan pada waktu baptisan, merupakan hal yang hakiki.

1.8.3.6. Aliran Pentakostal
Menurut kaum Pentakostal, baptisan terdiri atas dua jenis, yakni:
a.       Baptisan Air
Baptisan Air merupakan lambang kematian dan penguburan kemanusiaan yang lama, dengan cara menyelamkan kedalam air orang yang sudah menyatakan pertobatan dan percaya sungguh-sungguh bahwa Kristus adalah Tuhan dan Juruselamatnya. Dengan itu tubuhnya berdosa telah dibersihkan, sedangkan hati dan batinnya telah diperciki dan disucikan oleh darah Kristus. Dengan itu mereka telah menyatakan kepada dunia bahwa mereka telah mati bersama Kristus dan telah juga bangkit bersama Dia untuk berjalan didalam hidup yang baru. Karena yang mampu menyatakan pertobatan dan pengakuan imannya adalah orang dewasa, maka baptisan air pada umumnya berlaku kepada orang dewasa.

b.      Baptisan Roh (Api)
Setiap orang percaya dilayakkan untuk dan harus dengan sungguh-sungguh mengharapkan dan memperoleh baptisan roh dan api yang dijanjikan oleh Bapa, sesuai dengan perintah Tuhan Yesus Kristus. Ini adalah pengalaman yang wajar dari semua orang percaya pada zaman gereja perdana. Dengan baptisan ini, orang yang menerimanya beroleh kuasa untuk hidup dan pelayanan, dikokohkanlah karunia-karunia dan pengunaannya didalam karya pelayanan. Pengalaman ajaib ini merupakan bentuk yang nyata dan kelanjutan dari pengalaman kelahiran baru.



1.8.3.7. Aliran Kharismatik
Pada umumnya baptisan menurut aliran Pentakostal dan Kharismatik memiliki kesamaan. Namun terdapat perbedaan pemahaman yakni, bagi kaum Pentakostal, Baptisan Roh tidak bisa tidak harus disertai oleh karunia berbahasa lidah, sedangkan bagi kaum Kharismatik, kendati Baptisan Roh juga merupakan pengalaman rohani yang mutlak, namun tidak mesti disertai oleh glossolalia itu. Sebab bagi kaum Kharismatik bukan hanya glossolalia yang merupakan karunia utama.

1.8.3.8. Aliran Adventis
Menurut kaum Adventis, melalui baptisan kita mengaku iman kita atas kematian dan kebangkitan Yesus Kristus, dan mempersaksikan kematian kita terhadap dosa dan niat kita untuk menjalani hidup baru. Jadi kita mengakui Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, menjadi umatNya dan diterima sebagai warga oleh gerejaNya. Baptisan adalah lambang kesatuan kita dengan Kristus, pengampunan dosa kita, dan penerimaan kita atas Roh Kudus. Itu dilakukan dengan menyelam di dalam air dan disatukan dengan pengikraran iman kepada Yesus, dan merupakan bukti penyesalan atas dosa. Itu dilakukan setelah pengajaran Kitab Suci dan menerima ajaran-ajarannya.

1.8.3.9. Aliran Jehova
Kaum Saksi Jehova, memahami baptisan bukan sebagai sakramen tetapi dilakukan secara teratur. Baptisan tidak dilaksanakan di gedung pertemuan atau ibadah (Balai Kerajaan), melainkan di sungai, danau, laut atau tempat mandi buatan, dimana seluruh tubuh si terbaptis diselamkan. Baptisan bukanlah pembasuhan dari dosa, karena hal itu hanya terjadi melalui iman kepada Kristus. Jadi baptisan adalah demontrasi terbuka, yang mempersaksikan bahwa seseorang telah menjalankan pengabdian yang khidmat kepada Allah Jehova dan sekarang sedang mempersembahkan dirinya kepada kehendakNya. Jadi baptisan bukanlah perkara sepele. Sebelum seseorang menerima baptisan yang sah, ia harus ‘mendengar firman’, memeluknya dengan sepenuh hati, bertobat dari dosa, dan mengakui perlunya keselamatan melalui Kristus. Kendati rumusan dalam Mat. 28:19 tidak dipahami dalam pengertian Trinitas, namun setiap Saksi Jehova ‘dibaptis di dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus’.

II.                Refleksi Teologis
Penulis dalam membahas mengenai Gereja dan Baptisan ini mendapatkan banyak hal yang menarik. Yang mana dalam perjalanannya, pemahaman mengenai baptisan mengalami perubahan yang sangat signifikan. Dalam perjalanannya, terdapat peralihan pemahaman baptisan, yakni pada pemahaman baptisan secara pengertian, makna, persiapan bagi yang si-terbaptis, pelaksanaan baptisan itu sendiri, dan lain-lain. Dari pembahasan baptisan ini, penulis melihat berbagai macam pemahaman baptisan, baik dari berbagai tokoh dan akhirnya juga pada berbagai aliran yang ada dalam gereja. Namun ada satu hal yang menarik dalam baptisan bagi penulis, bahwa semua praktek baptisan, didalamnya akan mengunakan nama Bapa, Anak dan Roh Kudus dalam pelaksanaannya (Mat. 28:19). Dan dari berbagai pemahaman, penulis melihat bahwa perbedaan ini mau tidak mau harus dapat kita terima, baik juga dalam pelaksanaannya. Namun penulis  melihat bahwa, dalam baptisan ini, yang menjadi pokok terpenting juga adalah baptisan ini benar-benar menunjukkan bahwa kita masuk dalam otoritas nama Bapa, Anak dan Roh Kudus, yang mana kita merasakan dan menyakini kita telah dipilih dan disertai oleh Allah, menyakini bahwa Yesus Kristus adalah juruselamat kita melalui kematian dan kebangkitanNya, dan juga menyerahkan seutuhnya kehidupan kita kepada Roh Kudus untuk berkerja atas kita semua.
Dengan kita memaknai dan melihat hal penting dalam penggunaan nama Ilahi dalam baptisan, kita menyadari bahwa betapa penting baptisan itu dalam kehidupan orang Kristen, yang mana juga harus terlihat dalam realitas kehidupan kita baik dalam iman kepercayaan dan juga dalam praktek kehidupan sehari-hari, dalam kehidupan bergereja, bermasyarakat, dan bernegara.

III.             Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat kita simpulkan bahwa gereja dan praktek baptisan mengalami perubahan dan perkembangan sesuai dengan perjalanan gereja dan perkembangan zaman. Dari perkembangannya, banyak pemahaman mengenai baptisan ini, terlebih dalam pelaksanaannya dan kepada siapa harus diberikan baptisan ini. Namun bila kita melihat, ada hal yang menjadi pemahaman bersama, dan mungkin tidak bisa dilupakan atau disingkirkan dalam pelaksanaan baptisan, bahwa semua orang akan dibaptis dalam nama ilahi yang sama, yakni dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus.
Mengenai perbedaan pemahaman dalam baptisan, mau tidak mau kita harus menerima hal ini, dengan tetap menjaga rasa saling menghormati dan menghargai sebagai mana gereja adalah tubuh Kristus dan persekutuan yang kudus.

IV.             Daftar Pustaka
Aritonang,Jan S., Berbagai Aliran Di Dalam dan Di Sekitar Gereja,Jakarta: BPK-GM, 1995
Berkhof, H.,Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM, 1993
Calvin, Yohanes, INSTITUTIO (Pengajaran Agama Kristen)¸ Jakarta: BPK-GM
Curtis, A. Kenneth, 100 Peristiwa Penting Dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM, 2007
Enklaar, I.H.,Pembaptisan Massal dan Pemisahan Sakramen, Jakarta: BPK-GM, 2003
Graham, Billy,Damai Dengan Allah, Jakarta: YKBK/OMF, 1998
Hadiwijono, Harun, Iman Kristen, BPK-GM, 1996
Kamm, Born, Early Christian Exerience, London: SCM Press, 1969
Kelly, J.N.D., Early Christian Doctrine, New York: Harper & Row, 1958
Lane, Tony, Runtut Pijar, Jakarta: BPK-GM, 1993
Lempp, Walter, Tafsiran Kejadian (12:4-25; 18), Jakarta: BPK-GM, 1980
Lumantobing, Darwin,Teologi di Pasar Bebas, Pematang Siantar: L-SAPA, 2008
Luther, Martin,Katekismus Besar, Jakarta: BPK-GM, 1999
McGrath, A.E., Sejarah Pemikiran Reformasi, Jakarta: BPK-GM, 1997
Mitchell, Leonel L.¸ The Meaning of Ritual, Harrisburg, PA: Morehouse, 1977
Urban, Linwood, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, Jakarta: BPK-GM, 2003
Van den End, Th., Harta Dalam Bejana, Jakarta: BPK-GM, 2004
van Niftrik, G.C., Dogmatika Masa Kini,Jakarta: BPK-GM, 2001
Verkuyl, J.,Aku Percaya, Jakarta: BPK-GM, 1991
Wellem, F.D., Kamus Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM, 2009


[1] Harun Hadiwijono, Iman Kristen, BPK-GM, 1996, hlm. 167
[2] F.D. Wellem, Kamus Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM, 2009, hlm. 350
[3] Billy Graham, Damai Dengan Allah, Jakarta: YKBK/OMF, 1998, hlm. 233
[4] Th. Van den End, Harta Dalam Bejana, Jakarta: BPK-GM, 2004, hlm .1
[5] Harun Hadiwijono, Op.cit., hlm. 142
[6] G.C. van Niftrik, Dogmatika Masa Kini,Jakarta: BPK-GM, 2001, hlm. 359
[7] Yohanes Calvin, INSTITUTIO (Pengajaran Agama Kristen)¸ Jakarta: BPK-GM, hlm. 281
[8] Martin Luther, Katekismus Besar, Jakarta: BPK-GM, 1999, hlm. 184
[9] J. Verkuyl, Aku Percaya, Jakarta: BPK-GM, 1991, hlm. 233
[10] Kulup atau pucuk kelamin dipotong, dibuanh. Hal ini merupakan bahwa orang yang termasuk kedalam perjanjian Allah, yang menjadi umat Allah, harus diampuni dosanya. Kulup atau pucuk kelamin yang dibuang menggambarkan dosa yang dibuang. Pembuangan dosa itu terjadi dengan pertumpahan darah. Maka sunat adalah suatu ibarat, suatu gambaran, yang menunjukkan kepada isi perjanjian Allah dengan Abraham dan keturunannya. Akan tetapi sunat bukan hanya sebagai tanda atau ibarat semata-semata, sebab bersamaan dengan dilakukannya sunat itu Tuhan Allah berkenan member pengukuhan, member jaminan, bahwa sama seperti kulup atau pucuk kelamin orang itu telah dibuang, demikian juga Tuhan Allah membuang dosa yang disunati, jikalau ia percaya. Oleh karena itu didalam PL juga terdapat peringatan, agar orang jangan hanya memperhatikan sunat lahiriah semata-mata sebab yang perlu disunat adalah hati, artinya: hatinya harus kudus, bersih dari dosa-dosa. H. Hadiwijono, Op.cit., hlm. 436
[11] J, Verkuyl, Op.cit., hlm. 221
[12] Walter Lempp, Tafsiran Kejadian (12:4-25; 18), Jakarta: BPK-GM, 1980, hlm. 195-196
[13] J, Verkuyl, Op.cit., hlm. 222
[14] Born Kamm, Early Christian Exerience, London: SCM Press, 1969, hlm. 74
[15] Mengenai baptisan, pada tahun 1870, sebuah buku ditemukan yang mana diperkirakan berasal dari akhir abad pertama, mungkin dari Smirna. Buka ini  merupakan kitab Didakhe atau Pengajaran Tuhan Kepada Orang-orang Kafir melalui Keduabelas Rasul, yang mana didalamnya berisikan penjelasan mengenai baptisan. Baptisan harus dilakukan dengan cara demikian: Setelah mengucapkan kesemuanya itu, baptiskan dalam nama Allah Bapa dan Anak dan Roh Kudus dalam air yang mengalir. Akan tetapi, jika tidak ada air dingin, pakailah air panas. Kalau yang tadi semuanya tidak ada, siramlah air di atas kepada tiga kali dalam nama Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Tony Lane, Runtut Pijar, Jakarta: BPK-GM, 1993, hlm. 7
[16] Th. Van den End, Op.cit., 1995, hlm. 30
[17] F.D. Wellem, Op.cit., hlm. 38-39
[18]Leonel L. Mitchell¸ The Meaning of Ritual, Harrisburg, PA: Morehouse, 1977, hlm. 90-92
[19] J.N.D. Kelly, Early Christian Doctrine, New York: Harper & Row, 1958, hlm. 195
[20] Linwood Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen, Jakarta: BPK-GM, 2003, hlm. 349
[21] Mengenai adanyan pemahaman yang mana menunda baptisannya sampai menjelang ajal, terjadi dikarenakan adanya pandangan yang kaku dari Novatianus (kira-kira tahun 250), yang berpendapat bahwa setelah pembaptisan tidak mungkin lagi ada pengampunan sebab Gereja tidak dapat mengampuni dosa-dosa yang amat berat. Kaisar Konstantinus mungkin menjadi contoh yang paling terkenal dalam praktik semacam ini dan Novatianus sendiri tampaknya meminta dibaptis hanya ketika ia yakin bahwa ia akan segera mati. Ibid, hlm. 351-352
[22] H. Berkhof, Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM, 1993, hlm. 31-32
[23] Linwood Urban, Op.cit., hlm. 350-351
[24] Hal ini dipengaruhi oleh hasil dari Konsili Orange (529), yang mana kasih karunia terikat pada sakramen. Kehendak bebas disembuhkan oleh kasih karunia baptisan. Dengan kasih karunia baptisan serta pertolongan dan kerja sama Yesus Kristus kita mempunyai kuasa untuk melakukan apa saja untuk mencapai keselamatan, asal saja kita menghendakinya. Tony Lane, Op.cit., hlm. 81
[25] I.H. Enklaar, Pembaptisan Massal dan Pemisahan Sakramen, Jakarta: BPK-GM, 2003, hlm. 21
[26] Ibid, hlm. 21-22
[27] H. Berkhof, Op.cit., hlm. 112
[28] I.H. Enklaar, Op.cit., hlm. 22-23
[29] Reformasi teologi yang dilakukan Luther dapat disimpulkan dalam tiga pokok yakni: (1). Kembali kepada Alkitab, (2). Pembenaran oleh Iman, (3). Imamat orang percaya. Ia mencoba mengoreksi ‘kemapanan’ dan ‘kekakuan’ kehidupan gereja, sosial dan politik. Bagi Luther adalah “ubi Christus ibi ekklesia”, dimana ada Kristus, itulah gereja. Darwin Lumantobing,Teologi di Pasar Bebas, Pematang Siantar: L-SAPA, 2008, hlm. 172-175
[30] Linwood Urban, Op.cit. hlm. 380
[31] Ibid, hlm. 381
[32] Ibid, hlm. 382
[33] Konsili ini yang diundang Paulus di mulai pada tahun 1545, konsili ini bertemu secara berkala hingga tahun 1563 dalam tiga sesi utama dengan kehadiran yang memperhatinkan. Persaingan politik telah menjadi penyebabnya. Namun konsili itu tetap membawa sebuah perubahan. A. Kenneth Curtis, 100 Peristiwa Penting Dalam Sejarah Gereja, Jakarta: BPK-GM, 2007, hlm. 85
[34] Tony Lane, Op.cit., hlm. 188
[35] A.E. McGrath, Sejarah Pemikiran Reformasi, Jakarta: BPK-GM, 1997,hlm. 242
[36] Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran Di Dalam dan Di Sekitar Gereja,Jakarta: BPK-GM, 1995, hlm. 81-316

Tidak ada komentar:

Posting Komentar